Naifa
"Menikah lah dengan Adam, Naifa! Karena ibu berhutang banyak pada orangtuanya. orang tua Adam sudah banyak membantu kita, menyekolahkan mu, menyekolahkan adik-adik mu, memberi usaha yang bisa membuat kita bisa hidup sampai sekarang!"
Naifa Arini, perempuan delapan belas tahun. Ia baru saja lulus sekolah menengah atas, tapi apa yang baru saja ibunya katakan?! Menikah?! Ini tentu bukan keinginannya. Apa ini? Kenapa harus seperti ini.
Naifa yang kerap di sapa Nai itu hanya diam membisu, ia tak tahu akan menjawab apa. Menolak pun ia tak bisa bersuara. Karena benar apa kata Ibunya, orangtuanya Adam sudah banyak membantu keluarga nya. Tapi...apa harus dengan menikah ia membalas kebaikan-kebaikan Ibu Nuri dan Bapak Hendra?
Naifa masih diam, gadis cantik itu tak bisa berkata apa-apa. Menikah dengan Adam? Laki-laki yang tidak punya pekerjaan, hanya suka ma buk-ma buk an, bahkan tak jarang ia mendapati Adam keluar waktu pagi dari sebuah hotel bersama seorang wanita. Kesialan apa ini?
"Bu, apa harus menikah cara untuk membayar kebaikan Ibu Nuri dan Pak Hendra?" Naira-adik-Naifa yang kini berusia lima belas tahun yang tak sengaja mendengar apa yang di katakan ibunya mencoba bertanya, berharap ada keadilan untuk kakaknya.
"Rara! Sebaiknya kamu jangan ikut campur, ini masalah orang dewasa." Ujar Ibu menatap Rara-sapaan-akrab Naira yang melongok di gawang pintu kamar ibunya.
"Maaf, bu ... Tapi," ucapan Rara terhenti saat Nai menoleh ke arahnya dan menggelengkan kepalanya, agar adiknya itu tak lagi bicara ataupun membelanya.
Rara menghela nafas kesal. Dan pergi dari sana dengan kesal. Semua orang tahu siapa Adam, bagaimana sikap dan tingkahnya. Dan kini kenapa harus kakaknya tersayang yang harus menikah dengan Adam itu.
"Nai!" Panggil ibu.
"Terserah ibu saja." Jawaban terpaksa dari Naifa. "Nai ke kamar ya bu ...," ucap Nai sembari beranjak dari kamar ibunya.
Flashback on
Pagi hari, Ibu Muni tangah sibuk di warung yang sudah begitu lama menjadi usahanya itu. Menata barang yang baru saja ia beli dari pasar. Membuka warung dengan modal yang dulu ia dapat dari Ibu Nuri, cuma-cuma tanpa harus mengembalikannya.
Tangan Ibu Muni masih sibuk saat Ibu Nuri datang menyapanya.
"Assalamu'alaikum, Mun," suara Ibu Nuri mengagetkan nya. Membuat senyum lebar di bibir Bu Muni menyambut kedatangan dewi penolongnya itu.
"Wa'alaikumsallam, ya Allah ... Lama sekali tidak ke sini, Bu, apa kabar?" Ibu Muni menggandeng tangan Ibu Nuri dan mengajaknya untuk masuk ke dalam warung. Lalu mengambilkan kursi plastik yang biasa di pakai duduk oleh dirinya dan menempatkan di tempat yang nyaman untuk duduk dewi penolong nya itu.
"Silakan, duduk, bu," ucap Ibu Muni sopan.
"Terimakasih, kamu selalu seperti ini," ucap Ibu Nuri yang lantas duduk di kursi plastik yang di sediakan Ibu Muni.
"Mau minum apa? Adanya minuman kemasan, atau mau saya buatkan teh hangat, sebentar ya ... Saya ambilkan di__" ucapan Ibu Muni terhenti saat Ibu Nuri mengehentikan nya.
"Tidak, perlu Mun, saya hanya sebentar." Ujarnya sembari mencegah Muni pergi.
"Ada, apa Bu, seperti nya penting sekali?" Ibu Muni lantas berdiri dengan diam di depan Ibu Nuri juga dengan rasa penasaran dan takut.
"Mun, apa selama ini saya baik sama kamu?" Pertanyaan ibu Nuri lantas di balas dengan anggukan oleh ibu Muni.
"Baik bu, bahkan sangat baik."
"Apa, saya pernah minta bantuan kamu?" Tanya Ibu Nuri lagi. Kali ini jawaban ibu Muni menggeleng. Ia masih belum paham ke mana arah pertanyaan Ibu Nuri.
"Apa, kamu mau membantu ku?"
"Apa, yang bisa saya bantu, bu?"
"Menikahkan anak perempuan mu dengan anakku, Adam."
Seketika itu Ibu Muni terdiam, tak langsung menjawab. Sungguh bagi Ibu Muni, ini adalah permintaan tolong yang membingungkan. Membuatnya seperti telur yang ada di ujung tanduk, ke mana pun telur itu terguling sama-sama akan membuat nya pecah. Perumpamaan itu seperti dirinya, jika menikahkan putri nya dengan Adam, seperti membuatkan neraka untuk putrinya, karena ia tahu persis seperti apa Adam itu. Tapi jika tak menyetujui pun ia akan di cap sebagai orang yang tidak tahu terimakasih.
Karena Ibu Nuri dan Pak Hendrawan adalah pahlawan nya selama ini, dari Naisha-Sasha panggilan akrabnya, anak ketiganya masih kecil sampai kini Sasha sudah masuk ke Sekolah Menengah Pertama.
Dulu, di saat ia tengah bingung, karena tidak punya pekerjaan sedangkan suaminya tengah sakit keras, butuh biaya yang tidak sedikit untuk berobat, untuk makan, dan untuk segalanya, sedangkan anaknya yang terakhir masih kecil. Waktu itu, Nai baru berusia 8 tahun, Rara 5 tahun sedangkan Sasa baru 2 tahun. Di saat itu, Ibu Nuri dan pak Hendra datang membantu membayar biaya rumah sakit, walaupun ujung-ujungnya takdir harus membawa suaminya pergi. Dan membelikan nya tanah serta membuatkan nya warung juga modal untuk berdagang. Yang sampai sekarang masih menjadi sumber untuk mereka berempat makan.
Tanpa embel-embel hutang.
Kini ... Ternyata kebaikan itu membawa putrinya untuk di nikahkan dengan anak dari ibu Nuri yang tergolong brandal dan bukan pria yang baik sama sekali.
Ibu Muni masih diam, ia masih bingung akan menjawab apa.
"Kamu_" baru saja ibu Nuri akan bicara, tapi Ibu Muni sudah mengangguk.
"Iya, saya akan menikahkan putri pertama saya dengan Adam putra mu," sela ibu Muni dengan meneteskan air mata.
"Benarkah, Mun?" Ibu Muni mengangguk.
"Terimakasih, Mun. Aku janji, aku nggak akan buat Nai sedih, aku ingin menikahkan Adam dengan Nai, karena aku yakin hanya Nai yang mampu membuat Adam berubah." Ujar Ibu Nuri di pelukan ibu Muni.
"Semoga, semoga saja, Bu Nuri ...," ucap Ibu Muni tidak mantap sama sekali. Ada batu besar yang mengganjal di hatinya saat langsung setuju begitu saja, tanpa bertanya lebih dulu pada putrinya.
Ibu Muni tahu persis kenapa Ibu Nuri ingin segera menikah kan putranya itu, karena Ibu Nuri sering bilang padanya kalau mungkin jika sudah menikah pikiran Adam akan berubah menjadi lelaki yang bertanggung jawab, tidak seperti sekarang ini.
Tapi ibu Muni tidak pernah menyangka kalau anaknya lah yang di minta untuk menjadi istri dari brandal kampung itu. Br andal an yang kerjanya ma buk - ma buk kan, menghabiskan harta orang tua, foya-foya juga bermain wanita.
Setelah kepergian Ibu Nuri, Ibu Muni menangis sendirian di warung. Terduduk di lantai dengan menutup wajahnya dengan telapak tangannya, menyesali jawaban yang sudah ia berikan. Takut, takut kalau ini adalah keputusan terburuk yang ia ambil untuk putrinya. Yang pasti Ibu Muni jelas tahu kalau suaminya jika masih ada pun tidak akan setuju dengan keputusan mendadaknya itu.
Flashback off.
Nai duduk di ujung ranjang, menatap jendela di depannya yang terbuka lebar. Menatap cahaya malam remang-remang karena di samping rumahnya tak terdapat lampu. Hanya ada lampu terang yang ada di jalan.
Ia masih tak habis pikir dengan takdir. Kenapa ia harus menikah dengan pemuda yang tidak baik menurutnya.
Sedangkan di gawang pintu kamarnya, Rara dan Sasha tengah memandanginya penuh rasa iba, namun tak bisa berbuat apa-apa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Putri Nurdijah
semangat 👍👍😊
2023-07-10
1
Nenieedesu
sudah aq favoritkan kak jangan lupa mampir dan tinggalkan jejak dinovel aq kak dear Handana
2023-06-23
2
Wawan Manuk
aku mampir d sini
2023-03-20
1