Bab 17

Kacau. Satu kata untuk Adam yang kini masih tertidur akibat terlalu banyak minum. Semalam Vela memaksa dirinya untuk melakukan 'itu', tapi dengan keras dan tega Adam menolaknya. Bukan tak tertarik pada kemolekan tubuh Vela. Tapi yang di otak Adam memang hanya ada Naifa.

Sampai akhirnya ia meminum terlalu banyak dan mengunci dirinya di dalam kamar agar tak terganggu oleh Vela.

Selama seminggu ini bukan Adam tak memikirkan Naifa, justru karena terlalu memikirkan Naifa, akhirnya Adam memutuskan untuk tinggal di sana.

Adam masih tak percaya, bagiamana bisa hanya selama dua hari ia langsung merasakan jatuh dalam cinta pada Naifa. Sedangkan dirinya dan Vela sudah begitu lama bersama dan ia tak merasakan apapun. Bahkan kadang Adam merasa muak saat Vela mengatur segala urusannya.

Adam frustasi dengan segala yang ada di dalam otak dan hatinya. Ia bingung. Bingung sekali. Ia tak mengerti siapa yang harus ia ikuti.

Sedangkan untuk bertanya pada siapa pun ia tak tahu.

***

Setelah hampir siang, saat jam menunjukan pukul sembilan lebih Adam mulai membuka matanya. Yang langsung membuatnya merasakan silau karena sinar matahari masuk sepenuhnya lewat jendela. Adam menutupi matanya dengan lengan, setelahnya ia menarik bantal yang ia pakai untuk menutupi wajahnya. Rasanya ia masih enggan untuk bangun. Malas sekali rasanya jika bangun dan bertemu dengan Vela.

Entah kenapa ia begitu sebal saat mengingat semalam. Adam begidik ngeri saat mengingat itu.

"Ayo lah Dam?! gue tahu lo pengin 'kan sebenarnya!"

"Lo gi la Vela. Gue nggak se gi la lo!"

"Kacau lo Dam. Nggak seru!"

"Lo makin nggak waras!"

Adam mengusap wajahnya kasar. "Kayaknya memang lebih aman kalau sekarang gue pulang," gumam Adam.

Dengan kepala yang masih terasa begitu pusing, Adam keluar dari kamar. Tak ada tanda-tanda Vela di rumah, ia lebih mudah untuk keluar. Mungkin Vela tengah di dalam Kelab, karena biasanya Vela akan di sana jika gabut di rumahnya. Karena Vela memang kenal baik dengan pemilik Kelab itu.

Adam keluar dari rumah yang sudah kotor itu, langsung masuk ke mobil dan pergi dari sana.

****

Pukul sepuluh pagi, Naifa tengah duduk di teras. Ia baru saja selesai dari mencabuti rumput liar yang tumbuh di halaman rumah. Bahkan rumput nya saja belum ia buang masih terkumpul di pengki, ia sudah sangat kelelahan jadi ia memutuskan untuk duduk sebentar lalu setelahnya baru ia akan membuangnya.

Mobil mewah sang mertua masuk ke halaman rumahnya, Naifa buru-buru beranjak untuk mengambil sampah agar tak terinjak ban mobil lalu segera membuangnya ke tong sampah besar yang ada di depan sana.

"Abis ngapain, kamu, Nai?!" Tanya Pak Hendra begitu turun dari mobil.

Naifa buru-buru mendekat, "cari kegiatan Pak," jawabnya.

"Assalamu'alaikum, Nai," sapa Ibu Nuri yang kini sudah berdiri di sebelah sang suami.

"Wa'alaikumsallam, sebentar ya Bu, Pak. Nai cuci tangan dulu, mari silakan masuk," ucap Naifa sembari berjalan ke arah kran yang ada di depan rumah.

Ibu Nuri dan Pak Hendra saling pandang, Ibu Nuri lantas mengangguk. Kedua paruh baya itu menunggu Naifa di sana, memperhatikan menantunya yang tengah mencuci tangan.

Setelah selesai dan mengelap tangannya dengan ujung tunik nya sampai benar-benar kering, Naifa menyalami kedua mertuanya itu dengan takzim.

"Mari, pak, bu." Ujar Naifa mempersilahkan masuk kedua nya. Ibu Nuri merangkul Naifa yang terlihat semakin kurus. "Ayo, Nai. Kita masuk bareng-bareng. Kamu nggak boleh se kaku ini sama ibu dan Bapak." ujar Ibu Nuri.

"Iya, Nai. Kamu jangan panggil bapak, tapi panggil Ayah," ucap Bapak Hendra yang kini sudah duduk di sofa.

Ibu Nuri menyuruh Naifa duduk di sebelahnya, namun Naifa segera pamitan sebentar, tidak mungkin bukan Naifa membiarkan kedua mertuanya duduk tanpa di beri minuman.

"Ayah, saja yang bilang. Ibu tidak kuat." Ujar ibu setelah tak lagi melihat punggung Naifa.

Pak Hendra mengangguk. Setelahnya ia mengembuskan nafas kasar, rumah yang kecil ini terasa begitu dingin. Apalagi kini penghuninya hanya seorang saja.

"Silakan, Bu, Pak eh Yah," Naifa tersenyum.

"Sini, Nai. Ayah mau bicara." Pak Hendra terlihat serius.

Naifa yang duduk di depannya terlihat takut, ada apa kira-kira? Kenapa Bapak mertuanya itu terlihat begitu serius.

"Nai, maaf," Naifa langsung melihat wajah Bapak Hendra, "kenapa Bapak minta maaf?! Mmmm maksudnya untuk apa pa, eh Yah?!"

"Ayah minta maaf untuk segala perlakuan Adam, untuk kesalahan kami yang memintamu untuk mau menikah dengan Anak kami."

Naifa menggeleng, "tidak ada yang perlu minta maaf, Yah. Abang Adam tidak pernah menyakiti Nai, jadi apa yang harus di maafkan. Dan lagi pun, Nai sudah ikhlas untuk mejalani pernikahan ini, jadi Ayah dan Ibu tidak perlu meminta maaf seperti ini," ucap Naifa.

Ibu Nuri meneteskan air mata, ia tak sanggup untuk mendengar apa yang akan di katakan suaminya selanjutnya.

"Tapi, ayah dan ibu tahu Nai. Jadi ... jika kamu memang sudah tidak sanggup untuk melanjutkan pernikahan ini, Ayah dan ibu akan mendukungnya, bahkan kita yang akan mengurus semua_"

"Astaghfirullah, ayah, Ibu ... maaf." Naifa mengatupkan kedua tangannya di depan dada, sembari menggeleng, "ini tidak benar, kenapa ibu dan ayah menyuruh Nai untuk mengakhiri semua ini, Nai hanya butuh doa Ayah dan Ibu, Nai tidak ingin bantuan seperti ini Yah, bu ... Nai yang menjalani dan ini sudah menjadi seharusnya untuk Nai, seperti apapun suami Nai, Nai akan terima Yah, bu, In Syaa Allah Nai ikhlas."

Naifa tak kuasa membendung air matanya. Iya, dia tahu kalau perasaannya sudah tak betah di sana. Di keadaan yang membuatnya seolah tak ada yang menginginkan dirinya. Tapi ... untuk mengakhiri perjalanan yang baru saja Nai tempuh, jelas Nai tidak mau. Bahkan Naifa tidak pernah berpikiran sampai sana. Ia hanya ingin suaminya berubah dan pernikahan ini sampai pada penghujung usianya. Ia tak ingin mempermainkan sebuah pernikahan. Terlepas apapun resikonya.

Ibu Nuri beranjak dari duduknya dan memeluk erat menantu nya itu, "kenapa kamu se baik ini Nai?!"

Bapak Hendra bahkan sampai tercengang saat mendengar apa yang baru saja menantunya katakan. Bapak satu anak itu turut menyusut sudut matanya yang berair.

****

Adam benar-benar sial, tiba-tiba ban mobilnya bocor. Padahal rumah nya sudah dekat. Akhirnya dengan kepala yang pusing ia meninggalkan mobilnya di jalan dan ia berjalan kaki menuju rumahnya.

Saat akan masuk ke halaman ia melihat ada mobil orangtuanya. Tapi, ia tak perduli rasanya ia ingin segara masuk dan mandi. Mungkin bisa menghilangkan pusing yang masih begitu terasa.

"Eh, Den, baru pulang. Mobil nya di mana?!" Tanya Pak Barjo dari dalam mobil. Adam mengernyitkan dahi, tak membalas apa yang Pak Barjo tanyakan. Ia terus saja melangkah sampai ia mendengar apa yang Ayahnya katakan.

Tiba-tiba saja dadanya bergemuruh tidak rela saat Ayahnya menyuruh istrinya itu untuk mengakhiri segala nya. Ia ingin segera masuk dan menolak mentah-mentah saran Ayahnya untuk istrinya itu. Tapi, ia urungkan saat dengan segera istri kecil nya itu menjawab. Dan jawaban itu sukses membuatnya menyesal.

Inikah istri yang ia sia-siakan?! Inikah istri yang sudah ia tinggal itu, kenapa masih saja mau mepertahankan dirinya yang be jad itu, padahal orang tua Adam saja sudah menyuruh dirinya untuk menyerah.

Terpopuler

Comments

Neulis Saja

Neulis Saja

Adam, untill when your attitude like that?

2023-02-06

1

Astuty Nuraeni

Astuty Nuraeni

sadar dam sadar.. perlu tak rukiyah apa

2022-12-19

1

Noviyanti

Noviyanti

adam kudu digetok palanya biar insaff

2022-12-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!