Naifa duduk di sofa, semua nya sudah beres. Makanan, rumah, semuanya sudah beres. Bahkan cucian pun sudah ia jemur. Tapi mau sarapan rasanya tidak selera. Bagiamana bisa selera jika satu penghuni rumah itu tak ada. Naifa tersenyum getir saat mengingatnya. Kehidupan pernikahan yang ia idam-idamkan akan bahagia; bangun dan salat bareng, mengerjakan tugas rumah bareng, sarapan bareng. Ah ... angan Naifa tidak terjadi sama sekali. Bahkan jauh, suaminya bahkan tidak salat. Nyatanya yang ia idam-idamkan malah sebaliknya.
Naifa menyalakan televisi, ada baiknya ia menonton televisi dari pada bingung di pagi seperti ini. Namun saat baru saja ia akan mengambil remote ia mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Abang.
Naifa segera membenarkan jilbab dan membuka pintu, namun begitu terkejutnya ia saat melihat seseorang turun dari dalam mobil. "Ibu," ucapnya begitu melihat Ibu Nuri keluar.
Naifa segera tersenyum sumringah dan menghampiri ibu mertuanya itu.
"Assalamu'alaikum, Nai," ucap Ibu Nuri saat melihat menantunya berjalan ke arahnya.
"Wa'alaikumsallam, Ibu. Ibu apa kabar?" Naifa menyalami Ibu mertuanya itu dengan takzim.
"Baik, Nak." Ibu Nuri memeluk Naifa dengan sayang.
"Bu, ini di taruh di mana?!" Tanya Bi Siti yang keluar dari pintu depan sebelah kiri, di susul Pak Barjo-supir Ibu Nuri.
"Oh, ya. Ayok Bi bawa masuk saja." Perintah Ibu Nuri.
"Apa, itu Bu?! Kenapa repot sekali," ucap Naifa.
"Ayok, kita masuk," ajak Ibu Nuri tersenyum mengusap lengan menantunya.
"Ah, ya ... ayo Bu," Naifa sembari mengambil satu kardus yang belum di bawa masuk oleh Bik Siti dan Pak Barjo.
"Biar Non, biar sama Bibi saja." Ujar Bik Siti uang baru keluar dari dalam rumah.
"Tidak apa-apa, Bi." Naifa tetap melanjutkan jalannya ke dalam dan menyuruh Bi Siti untuk duduk saja.
***
"Banyak sekali Bu, yang ibu bawa." Ujar Naifa sembari menaruh gelas berisi minuman hangat untuk tiga tamunya.
"Itu tak seberapa Nai, ibu tidak mau kamu kekurangan makan karena tidak di nafkahi Adam. Sini, Nai duduk." Ibu Nuri menepuk sofa di sebelahnya agar menantunya ikut duduk di sebelahnya.
Sedangkan Bi Siti dan pak Barjo tengah menyimpan makanan dan kebutuhan rumah tangga di belakang.
Naifa duduk dan tersenyum ke arah Ibu mertuanya itu.
"Adam, pergi lagi?" Tanya Ibu Nuri.
Naifa tersenyum, "baru pergi, Bu." Jawabnya bohong.
Malam tadi Pak Jenggot tidak memberi tahu kalau Adam pergi, karena Pak Jenggot keburu pergi, setelah memastikan sampai jam sembilan Adam tidak keluar.
Ibu Nuri menghela nafas kasar, "kamu tidak bisa bohong Nai."
"Tidak apa-apa, Bu." Naifa tersenyum lebar. "Oh, ya ... ibu sudah sarapan belum, kalau belum mari bu, sarapan, Nai sudah masak." Ajak Naifa.
Ibu Nuri tersenyum, "ayok! Kebetulan Ibu juga tadi sarapan sedikit."
Naifa berjalan dengan mertuanya itu, mempersilakan duduk dan mengambilkan makanan untuk nya dan mertuanya. Tak lupa ia menawari pada dua orang yang masih sibuk menata semua barang-barang. Karena barang yang banyak dan tempatnya yang sempit. Akhirnya sisanya tetap di simpan di kardus.
"Masakan kamu benar-benar mantap Nai, Bibi kalah ini sih," ucap Ibu Nuri.
***
Kedatangan Ibu Nuri membuat suasana yang tadinya sepi jadi menghangat. Apalagi ada Bi Siti dan Pak Barjo juga. Naifa sampai lupa kalau suaminya pergi dan belum kembali. Sampai hampir sore Ibu mertuanya masih di sana. Ibu Nuri pikir Adam akan pulang siang, tapi ternyata sampai ia akan pulang anaknya itu tidak pulang-pulang juga.
"Maafkan Adam ya, Nai," ucap Ibu Nuri saat baru saja ia berpamitan.
"Tidak perlu minta maaf seperti ini, Bu ... Nai ikhlas, Nai hanya perlu doa dari ibu," ucap Naifa.
Ibu Nuri memeluk Naifa dengan erat, rasanya ia sangat bersalah membawa Naifa yang baik ke dalam kehidupan Adam yang seperti ini. Tapi, pada siapa lagi Ibu Nuri akan meminta tolong selain pada Naifa. Jika Adam di pertemukan dengan wanita yang biasa saja, wanita itu jelas tidak akan sekuat Naifa.
Naifa memperhatikan mobil Mertuanya menjauh sampai tak terlihat lagi. Setelahnya ia memutuskan untuk mengambil sapu lidi, ia akan menyapu halaman yang tidak terlalu luas itu. Memang tidak banyak sampah hanya beberapa helai daun kering dari pohon milik tetangga. Mungkin terbang terbawa angin.
"Neng!" Panggil Ibu-ibu berdaster dan berjilbab panjang.
Naifa mendongak, ia tersenyum ke arah ibu-ibu itu. "Iya, bu. Ibu manggil saya?!"
"Iya, tetangga baru ya?!" Perempuan yang kira-kira seumuran dengan mertuanya itu mendekat ke arahnya.
"Iya, bu. Kenalkan, saya Naifa," Naifa menyodorkan tangan pada perempuan itu.
"Saya, Halimah, panggil saja Ibu Limah. Biasa tetangga panggil nya gitu." Ibu Limah membalas uluran tangan Naifa.
Naifa mengangguk.
"Rumah saya itu," Ibu Halimah menunjuk rumah di sebelah rumahnya.
Naifa mengangguk kembali.
"Ya, sudah saya pamit. Kalau lagi luang main ya, biar lebih kenal sama warga sini." Ujar Ibu Halimah lagi.
"Iya, bu ... in Syaa Allah." Jawabnya.
***
Setelah Magrib Naifa kembali duduk di sofa. Ia masih menunggu suaminya pulang. Tapi sampai ia salat Isya nyatanya Adam tak kunjung pulang. Naifa akhirnya memutuskan untuk tidak menunggu Adam. Ia lebih memilih untuk tidur di kamar.
Baru saja akan memejamkan mata ia mengingat benda kecil pemberian Ibu mertuanya tadi siang. Sebuah kartu sakti berwarna hitam, yang di berikan padanya untuk kebutuhan hidupnya bersama Adam suaminya.
"Tolong terima ini Nai, jangan menolaknya. Karena kalau kamu menolaknya, berati kamu tidak menyayangi ibu mertua jahat mu ini." Ucap Ibu Nuri tadi siang saat ia dan Ibu Nuri baru selesai salat duhur.
"Tidak perlu ini, Bu. Yang ibu berikan saja sudah sangat cukup dan ibu juga tidak boleh berkata seperti itu." Jawab Naifa tadi siang.
Namun karena Ibu Nuri memaksa jadilah Naifa menerimanya.
Dan kini Naifa takut, takut kalau sampai kartu itu hilang.
Ia tengah memandangi kartu sakti itu di tangannya, mengusap kartu yang biasanya akan membuat para wanita bahagia namun justru tidak dengan Naifa. Ia malah tak suka. Ia sangat berharap sedikit saja nafkah yang ia dapat adalah pemberian suaminya bukan mertuanya.
"Mungkin, aku harus kerja. Supaya aku tidak khilaf dan memakai uang dari sini," ucapnya.
"Ya, besok jika Abang pulang, aku akan minta izin. Semoga saja di bolehkan. Aku juga bisa mencari pekerjaan lewat Ibu Halimah di sekitaran sini, siapa tahu Ibu Halimah bisa membantu mencarikan lowongan pekerjaan untuk ku."
Naifa lalu menyimpan kartu sakti itu di dalam dompetnya dan menaruhnya di belakang tumpukan baju di lemari. Agar susah untuk di ambil. Setelahnya Naifa merebahkan diri setelah menyapu kasurnya lagi dengan sapu lidi dan bacaan surat An-Nas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Neulis Saja
next
2023-02-06
0
Noviyanti
cakep banget.. tapi ijin sama suamimu dulu ya
2022-12-12
1
linda sagita
kerja aja nai sapa tau ketemu orang baik, ahlawan berkuda misl
2022-12-04
2