Suasana kembali hening saat orang tua Adam sudah pulang. Naifa masih di dapur, ia tengah membereskan piring-piring kotor. Tadi, setelah Naifa mengantar mertuanya ia langsung masuk ke dalam kembali untuk membereskan peralatan makan. Hanya terdengar suara air yang beradu dengan piring, setelahnya tak ada suara lain lagi.
Sedangkan Adam, ia tengah bingung akan melakukan apa. Biasanya ia pulang hanya untuk tidur, setelahnya ia akan pergi lagi untuk menikmati malam-malam kelabu nya.
Ponselnya berkali-kali bergetar, bukan hanya pesan, telpon masuk pun selalu saja ada. Dari siapa lagi kalau bukan dari Vela. Tapi demi mengingat semalam, Adam jadi benci pada teman nya itu. Menurut Adam ini bukan lagi pertemanan saat ada sesuatu di dalamnya. Perasaan. Perasaan Vela terhadapnya menurut Adam aneh, tapi lagi-lagi ia juga mengatakan kalau perasaannya pada Naifa juga aneh. Karena dengan waktu yang singkat sudah tumbuh di sana.
Adam akhirnya memutuskan untuk keluar, ia mungkin akan duduk-duduk di sofa ruang tamu. Tapi saat baru saja ia membuka pintu ternyata di sana sudah ada Naifa yang tengah duduk menonton televisi.
Naifa menoleh, seperti biasa menyapa suaminya dengan senyuman manisnya. Sementara itu Adam yang sudah terlanjur keluar akhirnya melanjutkan niatnya untuk duduk di sana.
Naifa duduk dengan canggung begitu suaminya duduk di sebelah sana, tak terlalu dekat dengan dirinya.
Keduanya sama-sama diam, menatap televisi yang sedang menampilkan iklan.
"Lo bisa bikinin gue kopi?!" Naifa langsung menoleh dan mengangguk, "bisa Bang, sebentar."
Adam memperhatikan Naifa yang beranjak dari duduk nya dan berlalu dari sana.
Ia tersenyum melihat kegugupan Naifa, walaupun jujur saja ia juga tengah gugup di depan gadis kecil itu.
Tak lama setelahnya, Naifa kembali dengan secangkir kopi untuk Adam.
"Silakan, Bang," ucapnya.
"Makasih." Adam melihat bagaimana ekspresi dari wajah istrinya itu.
"Sama-sama, Bang." Naifa kembali duduk di sofa.
Adam lalu mengambil bungkus rokok dari kantong celananya berikut dengan korek nya. Mengambil se batang dan menyulutnya. Sedangkan Naifa ia tetap diam menonton televisi yang kini sudah menampilkan acara pengajian.
"Nggak ada acara lain apa?!" Tanya Adam, membuat Naifa menoleh.
Naifa lantas tersenyum dan menyodorkan remote, "silakan Abang pilih saja, mau nonton apa, Nai bingung," ucap Naifa.
"Lo bisa telponin ibu 'kan, bilangin suruh kirim montir ke jalan depan, tadi gue lupa. Gue nggak punya ban serep." Perintah Adam.
Naifa mengangguk lantas mengambil ponselnya dari dalam saku bajunya.
Adam melirik Naifa sembari mengganti siaran televisi yang menurutnya bisa ia tonton.
"Sudah, Bang. Kata Ibu, iya." Ujar Naifa.
Adam mengangguk dengan mengembuskan asap ke udara. Ruangan yang tadinya wangi karena pengharum ruangan yang Nai pasang kini jadi bau asap yang langsung membuat Naifa batuk.
"Uhuk, uhuk," Naifa mencoba menahan batuknya. Yang sialnya malah semakin ingin di keluarkan.
Adam yang tahu akan hal itu segera mematikan puntung rokok nya dan beranjak.
"Nih, minum! Kenapa nggak bilang saja biar gue nggak ngerokok di sebelah lo," ucap Adam sembari menyodorkan gelas di mulut Naifa.
Naifa tak mampu menjawab, ia hanya mampu untuk memandangi wajah tampan suaminya itu dari jarak dekat. Mulutnya meminum air, tapi matanya memandang pada makhluk ciptaan Tuhan yang tengah memegangi gelas dan membungkuk di depannya. Debar jantung nya seolah berirama, berdetak lebih cepat dari biasanya. Naifa berharap Adam tidak sampai mendengarnya. Karena jika Adam sampai mendengarnya itu akan sangat memalukan.
"Makasih," ucap Naifa begitu selesai minum. Adam menaruh gelas di meja. Setelahnya ia duduk kembali di sofa.
"Bang, apa boleh Nai minta Izin?" Tanya Naifa pelan.
Adam yang tengah menatap televisi yang menayangkan acara sepak bola itu menoleh, "ke mana?!"
"Mmm, Nai pengin kerja," ucap Nai.
Dahi Adam berkerut, "lo nggak di kasih kartu sama nyokap gue?!"
"Justru itu, Bang. Nai tidak mau terus-menerus merepotkan Ibu dan Bapak." Jawaban Naifa membuat Adam bingung. Kenapa harus kerja kalau sudah di kasih enak oleh orangtuanya.
"Gue, nggak ngerti sama yang lo mau." Adam menekan tombol off di remote dan mendekat ke arah Naifa, ia kini duduk sila di sofa menghadap Naifa.
"Lo, di kasih kartu sama ibu buat di pakai, terus ngapain lo susah-susah kerja?!"
Naifa menunduk, "maaf Bang, 'kan kita sudah berumah tangga, masak masih tergantung di orang tua," Naifa mengatakan nya dengan pelan ia tak mau Adam salah paham.
Ya. Sekarang Adam tahu. Naifa memang tidak seperti wanita lainya. Dia memang wanita pilihan yang tepat dari orangtuanya. Adam mengangguk kan kepalanya, "lo mau kerja apa?!"
Naifa mendongak, "Nai bisa melamar di Toko, atau di perumahan. Nai bisa kerja apa saja." Ujarnya.
Adam menelisik wajah istrinya yang tengah tersenyum senang di depannya. Hanya karena di izinkan untuk bekerja, Naifa bisa sebahagia itu, Adam menggeleng kan kepalanya.
"Lo, nggak nyuruh gue buat kerja?!" Tanya Adam serius. Naifa menggeleng, "Nai tidak akan meminta, semuanya terserah sama Abang." Lagi-lagi Naifa tersenyum.
"Nai?!"
Naifa menoleh kembali melihat Adam, "hm, iya Bang."
"Kenapa lo mau di per istri sama gue?!" Adam menatap netra indah dan lembut istrinya.
"Tidak ada alasan untuk Nai menolak Bang," jawab Naifa. Karena memang ia berada di posisi yang sulit waktu itu jadi apa yang bisa di jadikan alasan untuk Naifa menolak. Walaupun memang dulu ia begitu ingin menolaknya.
"Lo nyesel menikah sama gue?!" Naifa menelan ludahnya dengan kasar. Menyesal?! Ia belum tahu menyesal atau tidak, karena pernikahan nya baru saja terjadi.
"Naifa belum tahu Bang, mungkin tidak akan jika Abang berubah," jawab Naifa dengan kembali menunduk. Ia takut Adam marah atas jawabannya.
"Lo mau bantu gue buat berubah?!" Naifa kembali menatap dengan serius wajah suaminya.
"Mau, apa Abang serius?!" Mata Naifa bahkan berkaca-kaca.
"Apa gue terlihat sedang berbohong?!" Naifa menggeleng.
"Jadi, langkah pertama yang harus gue ambil apa?!" Tanya Adam.
"Taubat, Abang harus taubat." Naifa tak kuasa menahan air matanya.
"Dengan cara?!"
"Salat taubat Bang, nanti Nai tuntun." Naifa mengangguk.
"Selain itu, gue nggak ngerti salat taubat, kalau salat fardhu sedikit-sedikit gue masih ingat." Ujarnya.
"Bisa, Abang bisa mulai dengan salat dan meninggalkan kebiasaan buruk Abang. Allah mencintai hambanya yang bertaubat kepada-'Nya Bang. Salat taubat biar nanti Nai ajarkan doa-doanya Bang," Naifa tentu sangat antusias jika memang benar suaminya akan bertaubat. Sungguh Naifa tak percaya jika Adam akan secepat ini berubah.
Setelah nya benar saja, Adam meminta Naifa untuk membimbing nya salat taubat. Setelahnya Adam di suruh berdoa kepada Allah, memohon ampunan atas apa yang sudah ia lakukan selama ini. Percaya atau tidak nyatanya setelah itu Adam merasakan damai dalam hatinya, perasaan yang dulu ia miliki hadir kembali. Ia merasa lebih ringan dan yang jelas Adam merasa kehidupannya sudah kembali.
Entah ke mana dirinya selama ini, sampai melupakan semua yang sudah di ajarkan orangtuanya. Malah terjerumus ke dalam lembah hitam bersama Vela.
Mengingat Vela, ia berjanji akan mengatakan pada temannya itu kalau ia tak akan kembali ke Kelab.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Neulis Saja
alright
2023-02-06
0
Cherry🍒
ikut seneng juga dia mau taubat 🥰
2022-12-25
1
Noviyanti
akbirnya adam ada rasa insaf nya. semoga tidak terjerumus kembali
2022-12-14
0