Ini pertama kalinya Adam salat dan langsung menjadi imam. Imam dari istrinya. Naifa dan Adam salat di kamar Naifa, karena kamar Adam tak se bersih kamar Naifa. Gugup dan takut salah itu yang di rasakan Adam. Tapi, beda dengan Naifa ia justru sangat bahagia. Sebentar saja ia menahan diri untuk bersabar ia langsung menuai kebahagiaan dengan bertaubat nya sang suami.
Selesai salat Naifa lantas menyalami tangan suaminya itu, mengecup lama punggung tangan suaminya. Membuat perasaan Adam begitu hangat, mengalirkan energi listrik yang seolah menyuruh Adam mencium puncak kepala istrinya itu.
Cup.
Hangat yang Naifa rasa sampai ke dalam hati. Kecupan sekilas itu membuatnya menutup mata barang sejenak. Menikmati hangat nya kecupan yang rasanya langsung menjalar menghangatkan jiwa, dan masuk ke dalam relung hati. Membuat perasaan yang bernama cinta mengunci diri di sana.
"Maaf, reflek." Ujar Adam.
Naifa mendongak, tersenyum manis, "tidak apa-apa Bang, 'kan sudah halal," ucap Naifa dengan lirih.
Adam menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal, ia duduk bersila melihat sekeliling kamar. "Ternyata kamar lo, lebih luas ya?!" Sengaja Adam bertanya demikian karena rasa canggung yang sekarang mendera dirinya.
Naifa mengangguk, "iya. Abang mau tukeran?!"
"Nggak, lah!"
"Bang!" Adam menoleh, menaikan kedua alisnya, seolah menjawab apa. "Abang tidak ada sarung?!"
Adam lantas melihat dirinya, memakai celana panjang dan kemeja lengan pendek, ia memang hanya mengemasi baju-bajunya dari rumahnya sedikit, yang biasa ia pakai saja. Karena memang Adam tak pernah kepikiran kalau dirinya akan salat seperti sekarang. Jadi tidak terlintas di pikirannya untuk membawa sarung dan baju koko. Itu saja satu-satunya celana yang layak untuk salat karena tidak sobek-sobek seperti yang lainnya.
"Ada sih. Tapi di rumah. Mana gue tahu, kalau gue bakal kayak gini." Ujar Adam. Pandangannya tak lepas dari wajah manis istri kecilnya. Umurnya memang masih kecil tapi pikirannya lebih dewasa dari dirinya.
"Abang, mau ambil?!" Naifa sudah tak lagi takut, yang ada di hadapannya kini bukan lagi Adam yang kaku.
"Lo, mau temenin gue?!" Naifa mengangguk.
"Tapi, mobil gue belum balik. Gimana dong?!"
Naifa tersenyum, "kita bisa naik taksi Bang, kalau Abang mau," ucapnya.
"Umur lo berapa sih?!" Tanya Adam tiba-tiba dengan raut wajah serius.
"Delapan belas tahun, kenapa Bang?!" Jawab Naifa dengan ragu, setelah tadi suaminya itu bicara dengan raut wajah yang menghangat, kini kembali ke mode serius yang langsung membuatnya sedikit takut.
"Lo, kayak udah dewasa banget. Nggak pas sama umur lo!" Kata Adam.
Naifa justru tersenyum, "berarti wajah Nai boros ya Bang, kelihatan nya Nai umur berapa Bang?!"
Adam menggeleng, "bukan! Bukan wajahnya. Tapi cara berpikir lo, dewasa banget."
"Ibu tidak mengajari Nai untuk manja Bang, apalagi waktu itu Ayah sakit, adik Nai masih kecil-kecil. Jadi ... Nai sudah terbiasa untuk berpikiran dewasa dari kecil. Tapi bukan berarti Nai tidak bahagia Bang, justru Nai begitu bahagia bisa membantu Ibu, menjadi Kakak yang baik, In Syaa Allah," jawab Nai, sembari menerawang ke masa silam. "Bahkan Ibu tidak pernah menyuruh tapi selalu mengajari dengan lembut, sampai Nai tahu dengan sendirinya." Ah Naifa jadi merindukan Ibu dan kedua adiknya.
Adam tersenyum miring mendengar cerita istri kecilnya itu, ia juga sama. Tidak di manja, buktinya walaupun orangtuanya kaya tapi orangtuanya selalu menyekolahkan dirinya di sekolah Negeri, tidak di sekolah swasta yang bertaraf internasional. Bahkan dari SD ia sudah sekolah di Sekolah Dasar yang terletak tak jauh dari Kampung Naifa, walaupun selalu di antar jemput namun itu semua malah membuat Adam malu, karena selalu di ejek dan di kata i anak mami.
Kesalahan Adam ada pada dirinya yang tak pernah bercerita pada orangtuanya, sampai akhirnya ia semakin di bully, sampai akhirnya bertemu Vela yang membawanya ke lembah hitam selama bertahun-tahun. Dari dirinya sekolah menengah pertama sampai selesai pendidikan tinggi. Yang akhirnya kerjaannya hanya menghabiskan uang di dalam Kelab untuk meminum minuman haram.
Padahal walau tidak terlalu di manja nyatanya Adam adalah anak kesayangan, selalu di perhatikan segalanya. Semua orang menyayangi dirinya.
"Abang! Kok bengong," ucapan Naifa menyadarkan Adam dari lamunan dirinya di masa lalu.
"Ah, ya. Sorry," Adam menggaruk hidungnya, "sekarang saja gimana? Ke rumah gue?!"
Naifa mengangguk.
****
Di dalam taksi, keduanya diam. Terutama Adam. Ia tengah memikirkan gimana caranya nanti saat di rumahnya. Apa yang akan di tanggapi orang-orang yang ada di rumahnya jika tahu ia pulang untuk mengambil peralatan salat.
"Mmm, Nai," panggil Adam untuk pertama kalinya. Naifa menoleh dengan senyum yang lebar, mendengar namanya di panggil oleh sang suami.
"Iya, Bang," jawabnya.
"Kenapa, kita nggak beli aja?! Kenapa harus ambil di rumah. Lo tahu lah, gue masih risih kalau orang lain tahu." Ujar Adam menatap netra indah sang istri yang tengah menatapnya lembut.
"Kenapa harus beli, Bang. Kalau yang tidak terpakai ada?! Kalau Abang malu, biar nanti Nai yang ambil, kalau Abang mengizinkan," ucapnya pelan. "Lagian, mereka bukan orang lain 'kan Bang, semua orang jelas bahagia sama perubahan Abang ini, tidak akan ada yang tidak suka." Sambung Naifa.
"Benarkah?!" Tanya Adam tidak percaya.
Naifa mengangguk.
Mobil yang mereka tumpangi sampai di kediaman Pak Hendra. Keduanya lantas turun.
Adam berjalan lebih dulu dari Naifa, tangannya langsung saja membuka pintu besar yang Adam tahu kalau tidak di kunci.
"Abang! Tunggu!" Naifa mengehentikan langkah Adam yang akan masuk.
"Ada apa?!" Adam menutup kembali pintu dan memutar badannya, melihat Naifa yang berjalan mendekat ke arahnya.
Naifa tersenyum dan mengambil tangan suaminya. Adam membesarkan mata nya, tak percaya. Gadis kecil di depannya ini sudah berani padanya untuk menggandeng tangannya. Dengan senyum yang merekah Naifa mengajak Adam membuka pintu itu lagi. Tangan kanan Naifa menggandeng tangan kiri Adam, sementara tangan kiri Naifa memegang handle pintu siap untuk mendorong nya.
"Salam, dulu, Abang." Ujar Naifa pada suaminya. Ia tersenyum mendongak ke arah Adam. Adam pun turut menunduk menatap wajah ayu istrinya itu. Genggaman tangan Naifa terasa hangat. Rasanya Adam tak ingin melepaskan genggaman ini, rasanya Adam ingin mengutarakan segala rasa yang ia rasakan di dalam dadanya. Tak perduli lagi pada apa yang orang pikirkan tentang dirinya. Tak perduli kalau semua orang mencacinya karena kini, ia tunduk pada wanita yang bergelar sebagai istrinya. Istri kecil yang mampu mengubah dirinya dalam waktu yang singkat. Membawa Adam kembali ke jalan yang sudah begitu lama ia tinggalkan. Jalan yang bahkan Adam sendiri sudah lupa, bagiamana cara menginjakan kakinya di jalan itu.
Di sana di depan pintu kedua manusia yang berstatus suami-istri saling memandang, tangan saling menggenggam. Lupa akan apa tujuan mereka untuk datang. Bahkan tak perduli pada satpam yang tengah memperhatikan keduanya dengan mata yang memanas karena haru. Dapat kembali melihat tuan muda nya kembali baik seperti dulu.
Sampai ... "Astaghfirullah!" Teriak orang dari dalam rumah yang baru saja membuka pintu dan mendapati dua manusia yang tengah saling pandang penuh cinta.
Sontak saja Naifa langsung menunduk malu dan melepaskan genggaman tangan tersebut. Begitu juga Adam, ia langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Neulis Saja
why are you shame Adam ?
2023-02-06
0
Noviyanti
adam jangan bicara sama nai elo gua donk. panggil sayang gitu biar mesra 🤭🤭
2022-12-14
1
Lee
semoga adam ttap istiqomah ya...
2022-12-11
0