Sasha berjalan dengan pelan, seolah tak perduli. Ya, siapa yang perduli pada lamaran dari pria seperti Adam yang menurutnya begitu menyebalkan. Sasha lebih suka Kakaknya menikah muda dengan Aran, teman baik Kakaknya yang kini tengah di Jogja untuk kuliah. Sayangnya takdir tak membawa Kakak nya pada Aran, melainkan pada Adam.
Sungguh menyebalkan.
Sebenarnya Sasha sudah tahu pasti ke mana perginya sang kakak, hanya saja ia tak memberi tahu siapapun. Karena tidak ada tempat lain lagi selain Masjid dan Makam sang Ayah yang akan di kunjungi tiga saudara di saat hati mereka tengah bersedih.
Dan benar saja saat Sasha baru akan berbelok dari jalan aspal, ia sudah dapat melihat sang Kakak yang tengah berjalan ke arahnya.
"Kak!" Panggilnya.
Nai tersenyum melihat gadis 12 tahun yang sudah suka sekali mengenakan hijab pashmina, seperti saat ini. Sasha tengah memakai bawahan celana longgar berwarna cokelat tua, kaos warna hitam kebesaran yang ia tahu itu miliknya yang sudah kecil, dan pashmina berwarna hitam kesayangannya.
"Kenapa ke sini?" Tanya Nai begitu sudah sampai di depan sang adik.
"Tamu yang tak di inginkan sudah datang," ucap Sasha dengan memonyongkan bibirnya.
"Tidak boleh bilang seperti itu," Nai tersenyum dan merangkul sang adik, mengajak adiknya untuk berjalan putar balik ke rumahnya.
Sasha balik merangkul pinggang kakaknya dan mengikuti langkah sang kakak, bahkan langkah kaki mereka bersamaan, saat Nai melangkahkan kaki kanan, maka Sasha pun melangkahkan kaki kanan. Membuat keduanya saling pandang dan tertawa setelahnya. Nai bahkan tak sungkan-sungkan untuk mencium gemas pipi sang adik saking sayangnya.
"Apa tidak bisa di tolak kak?" Tanya Sasha.
"Anak kecil, nggak boleh ikut-ikutan deh," ucap Nai menjahili adiknya.
"Ish, kak!" Sasha terlihat kesal.
***
Adam masih duduk di tempatnya, walaupun puntung rokok pertama sudah ia buang. Rasanya masih begitu malas untuk masuk. Tak sengaja matanya kembali menatap jendela kamar yang semalam tertutup dan dari jendela itu ia bisa mendengar suara indah orang mengaji. Walaupun kini jendela itu terbuka lebar, namun entah kenapa ia merasa ada perasaan aneh saat mengingat kejadian semalam. Saat dirinya dengan beraninya membawa kakinya untuk pergi ke sana, yang akhirnya ia bisa mendengar suara.
Adam mengembuskan nafas kesal, ada sedikit perasaan aneh yang menyerang ke dalam hatinya. Perasaan yang sudah lama ia tinggalkan, perasaan yang sudah begitu lama tak ia rasakan. Perasaan nyaman.
Demi membuang kekesalan terhadap perasaan aneh yang menyerang hatinya, Adam memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Tanpa sapaan apa lagi salam, ia langsung duduk begitu saja di kursi yang kosong. Entah kemana sopan santun yang dulu di ajarkan orangtuanya juga guru sekolahnya, sampai tak di pakai sama sekali.
"Maaf, ya Mun, Adam_" ucap Ibu Nuri terhenti saat Ibu Muni menggeleng agar Ibu Nuri tak lagi melanjutkan kalimatnya. Ibu Nuri bahkan tersenyum lebar ke arah calon besannya itu.
Pak Hendra hanya bisa mengembuskan nafas kesal pada tingkah putranya itu, putra yang di gadang-gadang akan menjadi penerus perusahaannya, malah kini menjadi sebaliknya.
Adam tak perduli pada semua orang yang memandangnya kesal.
"Assalamu'alaikum!" Nai dan Sasha masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaikumsallam," jawab tiga orang tua di sana.
Nai langsung masuk dan menyalami tiga orang dewasa di sana dengan takzim, sedang Sasha langsung masuk ke dalam.
"Sini, duduk di sini, Nai," ucap Ibu Muni menepuk kursi kosong di sebelahnya. Nai mengangguk dan duduk di sana.
"Jadi saya langsung saja, ya ... mumpung sudah kumpul," ucap Bapak Hendra.
"Silakan, Pak," ucap Ibu Muni.
Nai yang duduk di samping ibunya hanya bisa menunduk, agar tak memandang wajah Adam yang duduk di seberang nya terhalang meja.
Sedangkan Adam tersenyum sinis saat melihat Nai selalu menunduk di setiap saat, saat dirinya tak sengaja bertemu pun Nai pasti selalu menunduk, bahkan kadang memalingkan wajah. Membuat Adam berpikiran kalau Nai begitu jijik padanya.
"Jadi, Ibu Muni dan Nak Naifa ... kedatangan saya sekeluarga ke rumah Nak Naifa adalah untuk melamar Nak Naifa untuk putra saya, Adam Arsya Mahendra. Maaf kami datang hanya bertiga saja, karena keluarga kami semua jauh-jauh, butuh waktu lama untuk datang ke sini." Ujar Pak Hendra.
Ibu Muni mengangguk dan tersenyum, "terimakasih untuk niat baiknya Pak. Dan dari itu, saya sebagai ibu dan Ayah dari Naifa menerima lamaran ini." Jawab Ibu Muni.
"Benarkah, Nai? Apa ini jawaban dari kamu?" Tanya Ayah pada Naifa.
"In Syaa Allah, iya pak. Apapun yang ibu jawab, itulah jawaban saya." jawab Nai masih dengan menunduk.
"Alhamdulillah, terimakasih Nak," ucap Ibu Nuri tersenyum.
Sedang Adam masih terus saja memandangi wanita yang dari tadi tetap menunduk itu.
"Jadi, kapan kita langsungkan pernikahan mereka?" Tanya Bapak Hendra.
"Terserah Bapak, kita nurut saja Pak, bagaimana baiknya." Jawab Ibu Muni.
"Baiklah, nanti kita urus secepatnya, sembari kita mencari hari yang baik." Ujar Ibu Nuri.
****
Lamaran singkat seadanya sudah selesai, kini di ruang tamu masih duduk empat perempuan yang berbeda usia. Semuanya memasang wajah sendu.
"Apa, kamu ikhlas Nai?" Tanya Ibu.
"In Syaa Allah Bu," jawab Naifa.
"Maafkan, Ibu Nai," Naifa menggeleng, "tidak bu, ibu tidak boleh minta maaf pada Nai, cukup doakan Nai saja bu, semoga ini adalah yang terbaik untuk Nai dan kita." Nai memeluk Ibunya.
Tadi selepas perginya tamu, dua adik kesayangannya langsung keluar dari tempat persembunyiannya, langsung menghambur ke pelukannya, memberi semangat agar sang kakak kuat untuk mejalani hari berikutnya, dua adiknya jelas takut bagaimana nanti kehidupan Naifa dengan suami yang ... yang terkenal menyebalkan, tunggu bukan hanya menyebalkan tapi menjijikan.
Empat perempuan saling berpelukan memberi kekuatan.
"Sudah. Nggak boleh seperti ini, sekarang kita harus pergi. Bu biarkan hari ini Nai yang ke warung, Ibu di rumah saja ya," ucap Naifa.
"Biarkan Rara dan Sasha menemani Kak Nai bu, sebelum ia pergi untuk mengikuti suaminya," ucap Rara.
"Kenapa kalian bertiga saja, kenapa ibu harus di rumah sendirian?! Ibu juga akan ikut, ayok kita nikmati waktu-waktu ini, bersama." Ibu mencoba membuat senyum walaupun begitu susah.
Ayolah, ibu mana yang rela anak perempuannya menikah dengan pria seperti calon menantunya itu. Sungguh dalam hati Ibu benar-benar tak rela. Tapi, mau bagaimana lagi, seperti inilah keadaannya, ia tak mungkin menolak keinginan dewa penolong mereka. Sepasang suami-istri yang begitu baik pada mereka.
Dan setelah membereskan segala makanan di ruang tamu, ke empat perempuan itu siap-siap untuk pergi ke warung. Hari ini penjaga warung ada empat bidadari tak bersayap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Neulis Saja
ask Allah for help with patience and prayer
2023-02-06
0
Ka'Unna
lanjut kak💪💪
2022-12-18
1
Noviyanti
semoga saja nai bisa kuat menghadapi adam
2022-12-05
1