NovelToon NovelToon

Naifa

Bab 1

"Menikah lah dengan Adam, Naifa! Karena ibu berhutang banyak pada orangtuanya. orang tua Adam sudah banyak membantu kita, menyekolahkan mu, menyekolahkan adik-adik mu, memberi usaha yang bisa membuat kita bisa hidup sampai sekarang!"

Naifa Arini, perempuan delapan belas tahun. Ia baru saja lulus sekolah menengah atas, tapi apa yang baru saja ibunya katakan?! Menikah?! Ini tentu bukan keinginannya. Apa ini? Kenapa harus seperti ini.

Naifa yang kerap di sapa Nai itu hanya diam membisu, ia tak tahu akan menjawab apa. Menolak pun ia tak bisa bersuara. Karena benar apa kata Ibunya, orangtuanya Adam sudah banyak membantu keluarga nya. Tapi...apa harus dengan menikah ia membalas kebaikan-kebaikan Ibu Nuri dan Bapak Hendra?

Naifa masih diam, gadis cantik itu tak bisa berkata apa-apa. Menikah dengan Adam? Laki-laki yang tidak punya pekerjaan, hanya suka ma buk-ma buk an, bahkan tak jarang ia mendapati Adam keluar waktu pagi dari sebuah hotel bersama seorang wanita. Kesialan apa ini?

"Bu, apa harus menikah cara untuk membayar kebaikan Ibu Nuri dan Pak Hendra?" Naira-adik-Naifa yang kini berusia lima belas tahun yang tak sengaja mendengar apa yang di katakan ibunya mencoba bertanya, berharap ada keadilan untuk kakaknya.

"Rara! Sebaiknya kamu jangan ikut campur, ini masalah orang dewasa." Ujar Ibu menatap Rara-sapaan-akrab Naira yang melongok di gawang pintu kamar ibunya.

"Maaf, bu ... Tapi," ucapan Rara terhenti saat Nai menoleh ke arahnya dan menggelengkan kepalanya, agar adiknya itu tak lagi bicara ataupun membelanya.

Rara menghela nafas kesal. Dan pergi dari sana dengan kesal. Semua orang tahu siapa Adam, bagaimana sikap dan tingkahnya. Dan kini kenapa harus kakaknya tersayang yang harus menikah dengan Adam itu.

"Nai!" Panggil ibu.

"Terserah ibu saja." Jawaban terpaksa dari Naifa. "Nai ke kamar ya bu ...," ucap Nai sembari beranjak dari kamar ibunya.

Flashback on

Pagi hari, Ibu Muni tangah sibuk di warung yang sudah begitu lama menjadi usahanya itu. Menata barang yang baru saja ia beli dari pasar. Membuka warung dengan modal yang dulu ia dapat dari Ibu Nuri, cuma-cuma tanpa harus mengembalikannya.

Tangan Ibu Muni masih sibuk saat Ibu Nuri datang menyapanya.

"Assalamu'alaikum, Mun," suara Ibu Nuri mengagetkan nya. Membuat senyum lebar di bibir Bu Muni menyambut kedatangan dewi penolongnya itu.

"Wa'alaikumsallam, ya Allah ... Lama sekali tidak ke sini, Bu, apa kabar?" Ibu Muni menggandeng tangan Ibu Nuri dan mengajaknya untuk masuk ke dalam warung. Lalu mengambilkan kursi plastik yang biasa di pakai duduk oleh dirinya dan menempatkan di tempat yang nyaman untuk duduk dewi penolong nya itu.

"Silakan, duduk, bu," ucap Ibu Muni sopan.

"Terimakasih, kamu selalu seperti ini," ucap Ibu Nuri yang lantas duduk di kursi plastik yang di sediakan Ibu Muni.

"Mau minum apa? Adanya minuman kemasan, atau mau saya buatkan teh hangat, sebentar ya ... Saya ambilkan di__" ucapan Ibu Muni terhenti saat Ibu Nuri mengehentikan nya.

"Tidak, perlu Mun, saya hanya sebentar." Ujarnya sembari mencegah Muni pergi.

"Ada, apa Bu, seperti nya penting sekali?" Ibu Muni lantas berdiri dengan diam di depan Ibu Nuri juga dengan rasa penasaran dan takut.

"Mun, apa selama ini saya baik sama kamu?" Pertanyaan ibu Nuri lantas di balas dengan anggukan oleh ibu Muni.

"Baik bu, bahkan sangat baik."

"Apa, saya pernah minta bantuan kamu?" Tanya Ibu Nuri lagi. Kali ini jawaban ibu Muni menggeleng. Ia masih belum paham ke mana arah pertanyaan Ibu Nuri.

"Apa, kamu mau membantu ku?"

"Apa, yang bisa saya bantu, bu?"

"Menikahkan anak perempuan mu dengan anakku, Adam."

Seketika itu Ibu Muni terdiam, tak langsung menjawab. Sungguh bagi Ibu Muni, ini adalah permintaan tolong yang membingungkan. Membuatnya seperti telur yang ada di ujung tanduk, ke mana pun telur itu terguling sama-sama akan membuat nya pecah. Perumpamaan itu seperti dirinya, jika menikahkan putri nya dengan Adam, seperti membuatkan neraka untuk putrinya, karena ia tahu persis seperti apa Adam itu. Tapi jika tak menyetujui pun ia akan di cap sebagai orang yang tidak tahu terimakasih.

Karena Ibu Nuri dan Pak Hendrawan adalah pahlawan nya selama ini, dari Naisha-Sasha panggilan akrabnya, anak ketiganya masih kecil sampai kini Sasha sudah masuk ke Sekolah Menengah Pertama.

Dulu, di saat ia tengah bingung, karena tidak punya pekerjaan sedangkan suaminya tengah sakit keras, butuh biaya yang tidak sedikit untuk berobat, untuk makan, dan untuk segalanya, sedangkan anaknya yang terakhir masih kecil. Waktu itu, Nai baru berusia 8 tahun, Rara 5 tahun sedangkan Sasa baru 2 tahun. Di saat itu, Ibu Nuri dan pak Hendra datang membantu membayar biaya rumah sakit, walaupun ujung-ujungnya takdir harus membawa suaminya pergi. Dan membelikan nya tanah serta membuatkan nya warung juga modal untuk berdagang. Yang sampai sekarang masih menjadi sumber untuk mereka berempat makan.

Tanpa embel-embel hutang.

Kini ... Ternyata kebaikan itu membawa putrinya untuk di nikahkan dengan anak dari ibu Nuri yang tergolong brandal dan bukan pria yang baik sama sekali.

Ibu Muni masih diam, ia masih bingung akan menjawab apa.

"Kamu_" baru saja ibu Nuri akan bicara, tapi Ibu Muni sudah mengangguk.

"Iya, saya akan menikahkan putri pertama saya dengan Adam putra mu," sela ibu Muni dengan meneteskan air mata.

"Benarkah, Mun?" Ibu Muni mengangguk.

"Terimakasih, Mun. Aku janji, aku nggak akan buat Nai sedih, aku ingin menikahkan Adam dengan Nai, karena aku yakin hanya Nai yang mampu membuat Adam berubah." Ujar Ibu Nuri di pelukan ibu Muni.

"Semoga, semoga saja, Bu Nuri ...," ucap Ibu Muni tidak mantap sama sekali. Ada batu besar yang mengganjal di hatinya saat langsung setuju begitu saja, tanpa bertanya lebih dulu pada putrinya.

Ibu Muni tahu persis kenapa Ibu Nuri ingin segera menikah kan putranya itu, karena Ibu Nuri sering bilang padanya kalau mungkin jika sudah menikah pikiran Adam akan berubah menjadi lelaki yang bertanggung jawab, tidak seperti sekarang ini.

Tapi ibu Muni tidak pernah menyangka kalau anaknya lah yang di minta untuk menjadi istri dari brandal kampung itu. Br andal an yang kerjanya ma buk - ma buk kan, menghabiskan harta orang tua, foya-foya juga bermain wanita.

Setelah kepergian Ibu Nuri, Ibu Muni menangis sendirian di warung. Terduduk di lantai dengan menutup wajahnya dengan telapak tangannya, menyesali jawaban yang sudah ia berikan. Takut, takut kalau ini adalah keputusan terburuk yang ia ambil untuk putrinya. Yang pasti Ibu Muni jelas tahu kalau suaminya jika masih ada pun tidak akan setuju dengan keputusan mendadaknya itu.

Flashback off.

Nai duduk di ujung ranjang, menatap jendela di depannya yang terbuka lebar. Menatap cahaya malam remang-remang karena di samping rumahnya tak terdapat lampu. Hanya ada lampu terang yang ada di jalan.

Ia masih tak habis pikir dengan takdir. Kenapa ia harus menikah dengan pemuda yang tidak baik menurutnya.

Sedangkan di gawang pintu kamarnya, Rara dan Sasha tengah memandanginya penuh rasa iba, namun tak bisa berbuat apa-apa.

Bab 2

"Adam, kamu baru pulang?" Tanya Ibu Nuri pada putranya.

Adam yang baru masuk ke dalam rumah tersenyum sinis saat mendapati ibunya seperti biasa, mengkhawatirkan nya.

Adam tak perduli, ia tetap berjalan melewati sang ibu yang sudah begitu lama duduk di sana menunggu dirinya.

"Dam, ibu mau bicara," ucap Ibu Nuri menarik tangan tangan putranya itu.

Adam seketika berhenti, "bicara apa?!" Tanpa menoleh ke arah sang ibu.

Bau menyengat dari tubuh Adam mencemari indra penciuman Ibu Nuri, namun demi untuk bisa mengajak putranya bicara ia menahan bau tak sedap itu.

"Tolong, menikah lah dengan Nai Dam!"

"Apa!" Adam menyentak tangan ibunya yang tengah memegangi lengannya membuat Ibu Nuri terkejut bukan main.

Adam membalik badannya, menatap ibu nya dengan garang. "Jangan mimpi!" Teriak nya dengan sangat keras di telinga Ibu nya. Lantas Adam yang baru saja meminum alkohol itu meninggalkan ibu nya menuju ke lantai dua, di mana kamarnya berada.

Air mata ibu mengalir deras, hatinya begitu sakit. Entah kenapa putranya yang dulunya begitu baik, begitu penurut sekarang jadi seperti itu. Teriak-teriak, membentaknya, tak lagi memandangnya penuh sayang seperti dulu.

"Sabar, bu," Bik Siti memeluk Majikannya itu dari samping. Menguatkan majikan nya yang selalu menangis karena sikap kasar putranya.

***

Malam pukul 21:05, Adam turun dari kamarnya langsung jalan ke arah luar. Tak perduli pada dua orang yang tengah duduk di ruang TV.

"Mau ke mana kamu Dam!" Tanya Ayah Hendra.

Namun Adam tak menggubris, ia tetap jalan menuju ke luar.

Ibu Nuri mengusap lengan sang suami, "biarkan Yah, kita bicara besok lagi."

Ayah menghela nafas kasar, "entah kenapa dia jadi seperti itu."

***

Di ruangan yang penuh dengan gemerlap lampu warna-warni, yang kadang menyala, kadang redup juga di iringi musik keras yang di mainkan oleh disk joki, membuat orang-orang yang berdiri di depan sana berjoget tak karuan. Bahkan tak sedikit dari mereka yang berjoget sembari menyatukan wajah.

Di sana, di sofa ada dua orang yang tengah duduk bersebelahan, sembari menghisap dalam-dalam batang rokok dan mengembuskan asap nya dengan asal ke udara.

"Gue, di suruh nikah ma Nyokap!" Teriak Adam pada teman perempuan nya, yang kini duduk di sebelahnya.

"Terus, lo terima?!" Tanya wanita itu, yang wanita itu pun sama-sama mengembuskan asap dari mulutnya ke udara.

"Nggak lah! Lo gila?!" Adam menggerus puntung rokok yang tinggal sedikit di asbak dan membiarkannya di sana, bersama dengan puluhan sisa rokok.

"Kenapa? Cewek nya jelek?!" Tanya wanita itu penasaran.

Adam tersenyum miring, dia tengah mengingat wajah Naifa yang cantik, badannya yang tertutup baju panjang kedodoran dan kepalanya yang selalu di tutup jilbab.

"Kenapa, lo?! Jatuh cinta?!"

"Dia masih kecil," jawab Adam akhirnya.

Keduanya lanjut diam, tak ada yang bicara. Namun tangan wanita itu segera mengambil botol dan menuangkan isi botol ke dalam gelasnya dan gelas Adam.

"Cheers dulu dong! Dari tadi lo belom minum," ajak wanita itu sembari mengangkat gelas.

Adam mengambil gelas yang di peruntukan untuk nya dan melakukan tos antar gelas pada Vela, teman wanitanya.

"Kalau saran gue sih, lo terima aja?!" Vela menaruh gelas kosong ke atas meja kembali.

"Kenapa?!" Adam masih menimang gelas yang air nya belum ia habiskan, hanya sedikit ia minum.

"Lumayan! Bisa lo suruh-suruh!"

"Haha, lo pikir dia babu," ucap Adam.

"Hahaha!" Vela malah tertawa. "Jadi, menurut lo, istri itu apa? Ratu?"

Adam yang masih sadar, tersenyum miring. Ya, ratu. Karena ayahnya selalu menjadikan ibu nya seperti ratu, memberikan ART agar ibunya tak kelelahan, memberikan kebebasan agar ibu nya bahagia. Memberikan segala yang ibunya pinta, bahkan sampai permintaan ibunya yang tetap membiarkan dirinya memilih jalan hidupnya seperti sekarang pun, Ayahnya menyetujui. Asal ibunya bahagia, di situlah ayahnya bahagia.

Tiba-tiba ada rasa aneh secuil di pojok hatinya.

"Menurut, lo?!" Adam malah balik bertanya.

"Menurut gue, lo terima perintah nyokap lo buat menikah. Dengan syarat kalian punya rumah sendiri, jadi lo bisa bebas ngapain aja. Tanpa takut sama orang tua lo!"

"Gue nggak takut, sama mereka!"

"Ya ... Seenggaknya lo jadi bebas, mau pergi tanpa pulang sekalipun. Lagian lo bilang calon istri lo masih kecil bukan?! Mudah buat di suruh-suruh. Mudah buat lo kibulin." Vela tersenyum smirk.

***

Malam kian larut, tapi Adam masih betah duduk di tempat bising itu. Kini bahkan temannya sudah begitu banyak, berkumpul di satu meja dengan banyak botol minuman yang sudah kosong.

Tapi justru ingatan Adam tertuju pada wajah perempuan yang ibunya bilang akan di nikahkan dengan nya. Gadis cantik bak artis yang masih sangat muda, karena ia sudah tahu betul bagaimana tumbuh nya Naifa itu, dari mulai ia remaja sampai kini ia sudah begitu hapal bagaimana kegiatan Naifa yang semuanya terhubung ke kebaikan.

Bagiamana bisa, ibunya menyuruhnya yang berandal itu menikahi gadis yang menurutnya begitu baik itu. Bahkan ia sudah tahu pasti jikalau pun Nai mau menikah dengannya, sudah pasti gadis itu begitu terpaksa.

Karena apalagi, kalau bukan karena ke dermawan nan orangtuanya pada orang tua gadis itu.

Adam membuang nafas kasar. Lantas Adam berdiri, meninggal kan teman-temannya yang ada di sana, bahkan pertanyaan temannya tak ia hiraukan sama sekali, ia tetap fokus pada keinginannya untuk pulang. Bayangan masa lalu sedikit terlintas di pikirannya, sampai ia masuk ke dalam mobilnya dan menutup pintu mobil dengan keras. Entahlah, kenapa. Hanya di suruh menikahi gadis kecil saja sudah membuat aneh dan merasa sesuatu telah terjadi padanya. Namun ia tak bisa mengungkap nya secara lisan.

Mobil yang di jalankan oleh Adam tiba-tiba berhenti. Adam melihat sekeliling nya yang sepi. Dan mata Adam tertuju pada sebuah rumah yang layak huni walaupun memang tidak se besar rumahnya.

"Si al! Kenapa gue malah ke sini?!"

Namun Adam urung pergi dari sana, ia justru malah memandangi sebuah kamar di bagian depan yang lampunya tiba-tiba menyala. Adam lalu menurunkan kaca mobilnya. Adam begitu penasaran, untuk apa menyalakan lampu di tengah malam seperti ini. Mungkinkah gadis itu sedang tidak bisa tidur?!

Entah dorongan dari mana, Adam malah turun dari mobil dan berjalan mendekat ke arah kamar. Berdiri di sebelah jendela kaca yang tertutup gorden. Sayup-sayup Adam mendengar orang tengah mengaji. Dada Adam bergemuruh, ia yakin suara yang ia dengar adalah suara dari Naifa.

Bagaimana bisa, ibu menyuruh gadis se baik dia untuk menjadi istri manusia be jad kaya gue. Sulit di percaya, jika gadis itu tetap mau.

Bab 3

Pagi hari, Naifa keluar dari kamar dengan pakaian yang bisa di bilang rapi.

"Mau, ke mana Nai?" Tanya ibu yang tak sengaja melihat Nai keluar dari kamar.

"Mau, keluar sebentar Bu," jawabnya di iringi senyum dan menyalami tangan ibunya dengan takzim.

"Jangan lama-lama ya, nanti mungkin Ibu Nuri sama Pak Hendra juga anaknya akan ke sini," ucap ibu lagi.

"Sebentar saja, Nai janji," ucap Nai.

Ibu Muni yang tahu kalau putrinya habis menangis, mengusap pipi halus nan bersih milik putrinya. Nai-putrinya begitu cantik, se cantik dirinya. "Maafkan ibu Nai," ucap Ibu dengan air mata yang menggenang.

"Tidak, apa-apa bu, kita tidak kuasa." Nai melepas tangan ibu yang ada di pipinya, lalu pergi dari sana.

"Assalamu'alaikum," ucap Nai begitu keluar dari pintu.

Ibu Muni membalas dengan pelan bahkan hampir tak terdengar, "wa'alaikumsallam."

Rara memeluk ibunya dari belakang, "jangan sedih bu, Rara yakin, Kak Nai bisa merubah Mas Adam menjadi lelaki yang baik," ucapnya dengan sedih.

Ibu mengusap tangan putrinya itu, "ibu jahat ya, Ra?!"

Rara melepas pelukan nya, membawa dirinya untuk berdiri di depan sang ibu. Menggenggam tangan ibunya dan berucap, "seperti yang tadi di katakan Kak Nai, bu...kita tidak kuasa. Jadi ibu nggak boleh bilang kalau ibu jahat, ibu adalah ibu paling baik," Rara tak kuasa untuk tidak memeluk sang ibu. Bahkan Sasha yang dari tadi hanya melihat dari kejauhan pun akhirnya mendekat dsn ikut memeluk sang ibu, memberi kekuatan.

***

Nai berjalan kaki dari rumahnya, melewati jalan aspal, lalu berbelok menuju jalan yang lebar yang tidak beraspal hanya bebatuan saja. Ia melewati beberapa beberapa rumah abadi bagi manusia, hingga sampailah ia di rumah abadi sang Ayah. Dengan mengucap salam Nai lantas duduk di sebelah rumah abadi sang Ayah.

Membaca doa, dan mulai bercerita. Entahlah ia ingin sekali ke sana dan bercerita pada Ayahnya. Mengeluarkan keluh-kesah di hatinya.

"Yah ... aku akan menikah," ucap nya dengan senyum yang menyedihkan.

"Ayah tahu, siapa orang yang ibu jodohkan dengan ku?! Ya, yah ... orang itu adalah Adam." Ucap Naifa, seolah tengah berbicara pada Ayahnya secara nyata.

"Hh, ayah tahu? Dada Nai rasanya sesak Yah, kenapa harus menikah dengan Adam Yah? Nai nggak mau Yah," ucap Nai tertahan.

Air matanya lolos, ia menangis di sana. Menelungkup kan wajah nya di lutut, menangis sejadi-jadinya. Mengeluarkan sesak yang menghimpit dadanya.

"Padahal, Nai mengagumi orang lain Yah, tapi kenapa harus Adam Yah?!"

"Apa, jika Ayah masih hidup Ayah mau menikahkan aku dengan Adam Yah? Apa Ayah rela, jika putri Ayah ini harus menikah dengan orang yang terkenal buruk nya dari pada baik nya?"

Lama sekali ternyata Nai di sana, sampai lupa pesan ibunya agar dirinya tak boleh lama-lama.

Hingga ia ingat waktu itu, waktu dirinya di temui oleh Ibu Nuri.

Flashback on

Sore harinya, sebelum paginya Ibu Nuri menemui Ibu Muni, ia lebih dulu menemui Naifa di Masjid yang tak jauh dari rumahnya, karena Naifa biasa mengajar anak-anak mengaji di sana. Membantu Ustadzah Arini.

"Apa, kabar, Bu ... lama sekali Nai tidak bertemu ibu," ucap Nai kala itu, ia begitu sopan dan selalu mengulas senyum pada Ibu Nuri.

"Aku, baik Nak," Ibu Nuri mengusap lengan Nai, "Nai?!" Panggil Ibu Nuri selanjutnya.

Keduanya sudah duduk depan Masjid sebelah kanan, paling pojok. Agar tak mengganggu ataupun terganggu anak-anak yang tengah mengaji.

"Iya, bu. Seperti nya ada yang penting, tumben sekali ibu menemui Nai, di Masjid."

Ibu Nuri mengulas senyum, "kamu tahu, Nai? Kamu sudah besar ternyata, berapa usia kamu sekarang?"

"Delapan belas, bu," jawab Nai.

"Apa, kamu mau membantu ibu?" Tanya Ibu Nuri dengan pelan dan ragu.

"Apa yang bisa, Nai bantu, Bu? Jika mudah, dan Nai bisa, InSyaa Allah, Nai bantu Bu," ucap Nai.

Ibu Nuri membasahi bibirnya sekilas, dan menarik nafas sebelum mengatakan apa maksudnya.

"Maukah kamu, menikah dengan Adam?" Tanya Bu Nuri dengan wajah takut nya. Takut akan di tolak mentah-mentah oleh gadis berwajah cantik itu.

Naifa diam tak menjawab, ia tersenyum masam, tak mengerti harus menjawab apa. Namun jika hatinya bisa menjawab, maka jawaban nya adalah tidak mau.

"Nai, ibu tahu kamu pasti ogah bukan?! Menikah dengan putra ibu yang seperti itu, tapi, Nai ... ibu tidak tahu harus meminta tolong pada siapa, ibu yakin hanya kamu yang bisa membantu Adam kembali ke jalan yang benar." Naifa masih diam mendengarkan apa yang Ibu Nuri katakan.

"Nai, dulu Adam putra ibu adalah putra yang baik. Tapi setelah masuk SMP, entah kenapa dia jadi semakin aneh sampai, seperti sekarang." Ibu Nuri menjelaskan inti dari masalahnya pada Naifa dengan air mata yang mengalir, jelas sekali di wajah ibu Nuri yang menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam.

"Setelah berteman dengan perempuan yang bertato, Adamku jadi seperti itu Nai. Ibu mohon sama kamu, Nai, apa kamu mau membantu ibu?"

Naifa yang tidak tahan melihat Ibu Nuri menangis dengan segera memeluk Ibu Nuri dari samping.

"InSyaa Allah Nai bantu, bu, tapi apa tidak bisa dengan cara lain, selain menikah Bu?!" Sungguh Nai sebenarnya ingin menolak. Tapi, ia tak bisa se tega itu mengatakannya pada Ibu yang tengah merindukan anak baiknya yang kini menjadi seperti itu.

"Sudah di lakukan segala cara, Nai, tapi anak ibu," ibu Nuri bahkan tak lagi bisa melanjutkan kalimatnya.

"Nai, menyerahkan jawaban pada Ibu, apa yang nanti nya Ibu Nai katakan sebagai jawaban, itulah jawaban Nai bu," ucap Naifa akhirnya. Pasrah.

Karena ia tahu, keinginan Ibu Nuri jelas menjadikan dirinya sebagai menantu. Entah apapun alasannya.

"Benarkah Nai?!" Ibu Nuri menoleh ke arahnya, Naifa mengangguk. "Terimakasih Nai," ibu Nuri lantas memeluk sayang calon menantunya itu.

Flashback off

Nai mendongak dan menghapus air matanya, "Yah ... aku pamit ya, sudah terlalu lama Nai di sini, Nai nggak mau kalau Rara sampai menyusul ke sini," ucapnya yang lantas beranjak dari sana.

Nai mendengar suara orang membersihkan makam, jadi ia segera bangun sebelum orang-orang melihatnya dengan aneh karena berbicara dan menangis sendirian di samping makam.

Sudah saatnya ia kembali menjadi Nai yang dewasa, yang akan menerima segala bentuk rasa dalam hidupnya. Bersiap untuk mejalani hidup yang entah lah, setelah ini. Nai mencoba tersenyum lebar seperti biasa saat berpapasan dengan orang-orang. Melupakan hati yang belum siap untuk segala sesuatunya. Mungkin akan buruk, atau sebaliknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!