Bab 18

"Bukan begitu maksud, Ayah dan Ibu, Nai ... Kita hanya tidak ingin kamu merasakan sakit yang lebih dari ini," ucap Pak Hendra.

Ibu mengurai pelukannya, mengusap air mata yang ada di pipi Naifa. Naifa lantas menunduk, "Nai tidak pernah merasa sakit Yah, bu," Naifa menoleh ke arah Ibu mertuanya. Yang lantas ia dapat melihat suaminya di gawang pintu yang terbuka. "Abang," ucap Naifa. Ibu dan Ayah menoleh ke arah di mana Naifa melihat.

Adam yang terkejut karena sang istri melihatnya hanya diam. Walaupun jujur saja dalam hatinya, rasanya ia ingin sekali berterimakasih pada istri kecilnya itu, karena sudah mempertahan kan dirinya.

"Kamu, melanggar perintah Ayah, Dam! Sudah pernah Ayah bilang bukan?! Jangan sampai kamu menyakiti Naifa?!" Ayah yang melihat putranya itu tak bisa lagi untuk menahan emosi.

Adam masuk tanpa menjawab apa yang di ucapkan sang Ayah. Sedangkan Ibu Nuri hanya bisa meneteskan air mata, melihat tingkah putranya yang semakin hari semakin menyebalkan.

Adam lantas duduk di sofa, "Ayah bilang gue jangan melukainya," ucap Adam dengan menatap wajah Naifa lekat-lekat, "dan gue tidak melukainya." Tatapan Adam masih tertuju pada gadis yang kini justru menampakan senyum manis untuknya. Ya, Adam memang tidak melukai fisik nya tapi bagiamana dengan hatinya Dam?!

"Sama, saja, Dam." Ibu Nuri memandang anaknya sedih, "tolong ... jangan buat Nai sendirian dan kesepian Dam. Ibu sama Ayah tidak ingin banyak, hanya melihatmu berjalan di atas jalan yang benar. Genggam lah tangan Naifa Dam, maka Naifa akan menunjuk kan jalannya. Dan kalian akan melewatinya bersama." Ibu Nuri me re mas - re mas tangan Naifa, tapi matanya tak lepas dari putranya itu.

Namun pandangan Adam tetap tertuju pada Naifa yang masih tersenyum manis padanya. Senyuman itu, senyuman yang seminggu ini mengganggu pikirannya. Senyuman yang berhasil membuat dirinya berada di sana, duduk menatap wajah ayu nya, mendengarkan dan menjawab apa yang orangtuanya katakan dengan suara yang bisa di bilang biasa saja, tidak membentak seperti biasanya.

Dan itu semua tidak luput dari pandangan Pak Hendra yang duduk dengan melihat setiap ekspresi dari tiga orang yang ada di sana. Pak Hendra dapat melihat dengan jelas, kalau tatapan Adam pada Naifa tidak ada kebencian sedikitpun, bahkan pandangan Adam pada istrinya itu lebih cenderung ke mendamba.

Tidak bisa di pungkiri, Naifa memang cantik terlebih lagi orangnya begitu penurut, lemah lembut tidak mungkin butuh waktu lama untuk Adam menyimpan rasa.

"Kalau gitu kita pamit," ucap Ayah setelah hening beberapa saat. Naifa menoleh ke Ayah mertuanya itu, "kenapa buru-buru Yah, sekarang Abang sudah di rumah. Ibu dan Ayah jangan dulu pulang, biar kita makan siang bersama. Nai akan masak," ucap Naifa.

"Tidak, perlu repot-repot, Nai. Biar ibu sama Ayah makan di rumah," ucap Ibu Nuri.

"Ini permintaan Nai, Bu." Dengan mengembuskan nafas pasrah Ibu Nuri akhirnya mengangguk.

Sedang Adam hanya diam tak berkutik, tak mengatakan apapun.

"Sebentar, Nai masak dulu," Naifa beranjak dari sana meninggalkan suami dan mertuanya di ruang tamu.

Adam baru saja akan beranjak, namun urung saat Ibunya kembali berbicara.

"Mau, sampai kapan Dam?!" Adam kembali duduk.

"Kamu seperti ini?! Ibu sama Ayah hampir menyerah, tapi melihat semangat Naifa, Ibu jadi punya semangat lagi. Ibu seperti tengah menunggu anak yang tengah koma, memberi bisikan apapun hanya di dengar tanpa di balas. Bahkan mungkin tidak di dengar. Dan jawaban seseorang yang koma hanya ada dua, satu pergi dan satunya lagi kembali. Ibu selalu ber-do'a Dam, agar kamu segera kembali, kembali ke dalam kehangatan keluarga, kembali ke Adam yang__"

"Cukup!!!" Suara Adam mengehentikan ucapan Ibu Nuri. "Gue mau mandi," ucap Adam dengan berdiri dari duduknya dan pergi ke kamarnya. Meninggalkan Ibunya dan Ayahnya di sana.

Pak Hendra mendekati istrinya dan memeluk istrinya itu dari samping, "biasanya Ibu yang menyuruh Ayah untuk sabar, kali ini, biarkan ayah yang menyuruh ibu untuk bersabar. Ayah yakin, ini tidak akan lama lagi." Ujar Ayah dengan memeluk erat Ibu Nuri.

***

Naifa sibuk mengeluarkan bahan-bahan masakan. Setelah seminggu ini ia begitu malas untuk masak, hari ini rasa malasnya hilang dan berganti semangat yang membara. Apalagi kini Suaminya pulang, entah suka atau tidak nanti pada masakan nya, yang jelas Naifa merasa sangat senang untuk memasak.

***

Sementara itu Adam di kamarnya tengah gundah. Ingin sekali ia mendekat dan memeluk erat sang ibu seperti dulu. Walaupun jika ada masalah ia tak pernah cerita, tapi ibunya selalu ada untuk dirinya.

Tapi kini ... ia tak bisa cerita pada siapa-siapa. Karena dirinya yang menjauh. Menjauhi orang-orang yang selalu ada untuknya.

Adam mengembuskan nafas kasar dan mengambil handuk, lebih ia mandi sebelum masakan selesai. Ia sudah sangat membenci bau dari tubuhnya saat ini.

***

Naifa masih berkutat di dapur saat Adam terlihat memasuki kamar mandi, dengan segera Naifa bertanya pada suaminya itu.

"Mmm ... Abang?!"

Adam menoleh ke arahnya, Naifa bejalan mendekat dengan senyum manis seperti biasanya. "Mmm, Abang mau mandi?!"

"Iya." Adam menatap netra Naifa yang malu-malu itu, "gadis ini, apa yang dia mau pada pemuda sialan seperti ku," sambung Adam dalam hati.

"Mau, pakai air hangat?! Biar Nai panaskan," tawar Naifa.

Adam terlihat berpikir, "boleh."

"Sebentar," Naifa kembali ke dapur untuk masak air buat suaminya mandi.

Sedangkan Adam menunggunya dari kursi makan, mengamati dengan baik apa yang di lakukan oleh istri kecil nya itu.

Naifa tidak terlihat seperti anak kecil, ia justru terlihat seperti wanita dewasa. Adam melihatnya sepenuh hati, dalam hatinya bertanya "bagaimana cara memulai hubungan dengan gadis itu?!"

Sedangkan selama ini, selain dengan Vela ia tak dekat dengan siapapun.

"Bang, airnya sudah." Adam kaget saat Naifa sudah berdiri tak jauh dari dirinya.

Adam beranjak dari kursinya dan masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Naifa yang kembali sibuk di dapur.

***

Makanan sudah siap, semua orang pun sudah duduk di kursi masing-masing di meja makan. Sedangkan untuk Pak Barjo karena tidak mau masuk saat di ajak Naifa, akhirnya Naifa mengambilkan dan di suruh untuk makan siang di ruang tamu.

Adam makan dengan diam, tapi tidak dengan ibu dan Ayah. Mereka berdua memuji masakan Naifa yang memang sangat enak. Adam pun membenarkan dalam hatinya. Pandangan Adam pun tak luput dari istrinya itu, setiap istrinya mengatakan apapun pada orangtuanya ia melihat ekspresi dari Naifa, melihat cara makan nya, yang seminggu ini ia rindukan. Lebih tepatnya melihat bibir yang selalu menyunggingkan senyum manis untuknya.

Bisakah Adam memulai semuanya dengan Naifa? Meninggalkan kehidupan kacaunya dengan Vela? Adam menggeleng samar, entahlah. Ia sendiri ingin memulai hidup yang benar dengan Naifa, tapi jujur saja untuk memulai ia tak tahu apa yang harus ia ambil di langkah pertama.

Terpopuler

Comments

Neulis Saja

Neulis Saja

Adam, you be so fool

2023-02-06

0

Noviyanti

Noviyanti

ayo dam cepat ambil keputusan.. tinggalkan saja vela

2022-12-13

1

Authophille09

Authophille09

yakin bisa dam💪

2022-12-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!