Dear Perfect Husband
"Namanya Giselle Oliver, anak angkat dari keluarga Oliver yang enam bulan lalu ramai diperbincangkan," jelas seorang asisten kepercayaan di sebuah perusahaan kosmetik yang sedang melejit omsetnya. Asisten itu menunjuk sosok Giselle yang kini sedang asik menyanyi untuk menghibur para pengunjung kafe.
Laki-laki tampan dengan setelan jas yang sedang duduk di salah satu kursi kafe itu mengarahkan mata tajamnya pada Giselle. Gadis itu masih terlihat muda, wajahnya cantik oriental, kulitnya putih dan saat tersenyum tampak sangat menawan. Selain itu suaranya merdu, jika Giselle mengikuti ajang pencarian bakat menyanyi ia rasa Giselle akan lolos.
Keluarga Oliver memang sempat menghiasi berita televisi beberapa bulan lalu karena kecelakaan mengerikan. Saat itu orang tua Giselle hendak pergi ke luar kota, namun di tengah jalan mobil orang tua Giselle ditabrak oleh truk tronton hingga Ayah Giselle meninggal di tempat, sedangkan saat ini Ibunda Giselle sedang koma di rumah sakit.
Sudah enam bulan ini Ibunda Giselle tidak sadarkan diri. Karena tidak ada yang mengurus bisnis keluarga Oliver, kekayaan yang dimiliki keluarga Oliver pun merosot. Tak hanya itu, pinjaman uang di bank membuat semua aset di sita termasuk rumah mewah yang selama ini Giselle huni.
Hal itu membuat Giselle kewalahan, apalagi tagihan rumah sakit terus menghantui hidupnya sehingga ia bekerja keras untuk membayar tagihan itu mulai dari menjadi penyanyi dari kafe ke kafe, menjadi pacar sewaan, sampai menjadi pekerja paruh waktu di beberapa tempat.
"Bukannya dia ada saudara?" tanya CEO muda yang bernama lengkap Edward Van Lewis itu kepada asisten kepercayaannya.
"Ada, namanya Yohan," jawab Nicolas atau biasa dipanggil Nico. "Tapi saudaranya lepas tangan, jadi yang mengurus semua kekacauan keluarga Oliver adalah dia," jelasnya lagi sambil menunjuk dengan mata.
Edward masih mengamati sosok Giselle yang kini sedang asik mengajak pengunjung kafe untuk menyanyi bersamanya.
"Gimana, bos?" tanya Nico lagi.
Nico sebenarnya kewalahan mengurus kemauan Edward yang sudah satu bulan ini meminta tolong padanya untuk dicarikan seorang calon istri dengan begitu banyak kriteria. Setiap hari Nico selalu menunjukkan gadis-gadis yang ia rasa cocok dengan Edward, mulai dari yang berkarier, pengusaha, hingga anak kuliahan seperti Giselle yang memiliki banyak kegiatan.
"Maksud kamu, kamu suruh saya untuk menikahi anak kuliahan seperti dia?" tanya Edward balik pada Nico.
Nico mengangguk. "Dia bentar lagi lulus kuliah kok bos, dia udah semester enam."
Edward menghela napas. "Umur saya sudah tiga puluh, dia masih belasan tahun!"
"Salah bos, umurnya udah dua puluh satu apa dua puluh dua gitu." Nico membela diri.
"Sama saja! Terlalu jauh beda umurnya dengan saya!" omel Edward.
"Kan bos bilang yang penting umurnya udah boleh untuk menikah," balas Nico.
Edward memicingkan mata elangnya pada Nico. Andai mereka tidak berada di tempat umum melainkan di ruangan pribadinya, pasti Edward sudah melempar buku ke arah Nico.
"Cari yang lain!" tegas Edward.
Nicolas menggerutu dalam hati.
"Kamu pasti sedang ngedumel kan?" terka Edward, si tampan dengan sifat cuek dan dingin itu.
"Tau aja bos, dukun ya?"
"Nicolas!"
Nico mengunci mulutnya.
Meski Edward adalah bosnya, di luar pekerjaan Nico dan Edward adalah sahabat karib. Setelah lulus kuliah beberapa tahun lalu, Nico sengaja Edward pekerjaan karena menurut Edward hanya Nico yang bisa ia percaya sebagai asisten pribadinya. Meski Nico agak lola dan tak sepandai dirinya, Nico adalah orang yang jujur dan ia percaya tak akan menusuknya dari belakang.
Karena kedekatan Edward dan Nico yang ke mana-mana berdua dan Edward yang tak kunjung menikah meski usianya sudah matang, Edward dan Nico kerap diterpa gosip sebagai penyuka sesama jenis.
Munculnya gosip itu ditambah ancaman dari keluarganya yang akan mengeluarkan Edward dari kartu keluarga jika tidak juga menikah pada tahun ini membuat Edward memutuskan untuk menikah secara terpaksa.
Yah, dan di tengah keributan antara Edward dan Nico, sesuatu pun terjadi di depan sana. Di saat Giselle sedang asik mengajak pengunjung kafe bercanda, seorang laki-laki yang tak lain adalah Yohan; kakak angkat Giselle, tiba-tiba datang dan membuat keributan.
Yohan menarik paksa Giselle untuk ikut dengannya.
Sadar diri Giselle tidak mau membuat kafe yang memperkerjakannya semakin ramai karena ulah kakaknya, ia mengikuti langkah Yohan usai pamit dari panggung. Kejadian itu membuat semua mata mengarah pada mereka.
Keluar dari kafe dan masuk di area parkiran, Giselle menghentikan langkahnya. Matanya menyorot tajam ke arah Yohan dengan tatapan penuh kebencian dan dendam.
"Mau lo apa?" tanyanya tak tahu takut.
"Ikut gue aja, nanti lo tahu sendiri," ujar Yohan mencoba menariknya kembali, namun Giselle menepis tangan itu.
"Lo mau jual gue lagi?" tanyanya penuh kemarahan.
Yohan tertawa kecil lalu mengacak-acak rambut panjang Giselle. "Udah gede adek gue, udah pinter. Dulu pas lo diangkat sama nyokap bokap gue, lo cuman anak ingusan."
Giselle menahan rasa kesalnya, ia hanya bisa menatap Yohan dengan bola mata yang menanamkan kemarahan.
"Gue nggak jual lo sebenernya, gue cuman jodohin lo aja," jelas Yohan. "Ini temen gue tuh anaknya konglemerat, dia nyari pacar dan janji akan bayar perhari kalau gue ngenalin lo ke dia."
"Gue nggak mau!"
"Giselle sayang, lo nggak usah munafik. Bukannya lo sendiri jual jasa sewa pacar selama ini dan klien lo banyak banget. Anggap aja temen gue ini sama kaya gitu."
"Gue emang jadi pacar sewaan, tapi khusus buat orang-orang yang lagi wisuda! Bukan buat om-om kaya hidung belang!" terangnya.
Ini sudah kesekian kalinya Yohan memperkenalkannya secara paksa dengan teman-teman Yohan. Pertama Yohan memperkenalkannya dengan pria beristri yang minta kencan satu malam, ke dua Yohan mencoba menjualnya pada kakek tua renta dengan harta melimpah tapi masih cari pasangan, dan sekarang entah siapa lagi orang yang hendak membelinya.
"Giselle, lo jangan sia-siain kecantikan lo cuman buat nyanyi di kafe. Pergunain dong semaksimal mungkin, dengan begitu lo juga dapat banyak duit buat bayar pengobatan Mama."
Giselle menyumpah komat-kamit untuk Yohan dalam hati.
Selama tinggal bersama keluarga Oliver, Yohan memang tidak pernah menganggapnya sebagai keluarga. Sejak ia diangkat jadi anak keluarga Oliver, Yohan selalu merundung dan menyuruh-nyuruhnya layaknya pembantu saat orang tuanya tidak ada. Yohan memang sangat jahat kepadanya, tetapi orang tua angkatnya begitu baik dan tidak pernah memperlakukannya berbda. Oleh karena itu Giselle bisa menahan rasa marahnya pada Yohan, karena kebaikan orang tua angkatnya selama ini.
Tetapi kali ini, Giselle rasa Yohan sudah sangat keterlaluan. Jangan kan menangis saat Ayahnya meninggal dan Ibunya masuk rumah sakit, Yohan malah menjadi-jadi. Hidup berfoya-foya dengan sisa uang di rekeningnya yang ada, tidak menjenguk Ibunya sama sekali, bahkan kini berniat untuk menjualnya agar mendapatkan untung.
Air mata gadis itu tiba-tiba menitik. Ia menahan isak tangisnya.
"Udah nggak usah cengeng, yuk gue kenalin sama jodoh lo pilihan gue," ujarnya kembali hendak menarik tangan Giselle, namun ponsel Giselle berdering dari dalam saku celana yang digunakannya.
Giselle menepis tangan Yohan, meraih ponselnya. Detak jantungnya semakin cepat saat melihat siapa yang menelponnya.
Ia mengangkat panggilan dari rumah sakit di malam hari dan mencoba baik-baik saja.
"Iya suster, ada apa?" tanyanya tegar.
"Mbak bisa ke sini sekarang? Kondisi Ibu Rosa menurun," jelas perawat di rumah sakit sana.
"Yaudah saya ke rumah sakit sekarang!"
Tanpa pikir panjang, Giselle berlari meninggalkan Yohan ke arah motor bebeknya yang terparkir.
"Giselle! Giselle!" panggil Yohan saat gadis itu berkendara menjauh darinya. "Ash sial!" umpat Yohan. "Awas aja lo ketemu gue lagi, gue seret paksa lo."
TITTT.
Klakson mobil membuat Yohan terkejut ditambah sentrong lampu yang menyilaukan mata Yohan.
Tampak dari luar mobil Yohan menatap mobil dengan marah.
"Tabrak aja," ujar Edward yang ada di dalam mobil itu.
"Gila bos, masuk penjara saya yang ada," sahut Nico.
Edward kembali menghela napasnya. Bagi Edward yang sudah menguping pembicaraan kakak beradik itu, manusia seperti Yohan tak pantas hidup. Lebih baik dimusnahkan secepat mungkin agar tidak merugikan orang lain.
"Yaudah, ikutin dia," suruh Edward lagi.
"Siapa?"
"Ya itu siapa lagi, bocah barusan."
"Giselle?"
Edward melayangkan tatapan kesal pada Nico yang pura-pura polas.
Nico kembali menginjak pedal gas mobil. "Kata nggak mau sama bocah kuliahan, eh sekarang disuruh ngikutin," katanya nyinyir agar sengaja didengar oleh Edward.
"Gue pecat lo kalau ngeledek gue!" ancam Edward, mulai keluar jati dirinya sebagai sahabat saat ia rasa jam kerjanya telah berakhir.
"Pecat aja gue, nanti nggak ada lagi yang bisa setulus gue buat layanin bos sepemarah lo," balas Nico.
"Udah deh jalan, nggak usah kebanyakan omong lo jadi cowok!"
Nico menjalankan mobil yang dikendarainya. Meski di matanya Giselle sudah tidak tampak di depan, Nico yang memang sudah lama mencari tahu tentang Giselle sebelum menunjukkan pada Edward sudah tahu arah tujuan Giselle pergi.
Berkendara sekitar lima belas menit, dua laki-laki bertubuh tinggi itu menginjakkan kaki di rumah sakit. Bahkan Nico tidak bertanya di mana kamar Ibunda Giselle yang bernama Rosa itu di rawat, Nico sudah tahu tempatnya.
Nico memandu di depan sedangkan Edward mengikutinya sambil celingak-celinguk melihat keramaian rumah sakit. Langkah Edward dan Nico terhenti di depan pintu. Laki-laki tampan itu mengintip sosok Giselle dari balik kaca pintu yang kecil.
Tampak gadis itu sedang memegang tangan Ibu Rosa saat seorang dokter menjelaskan apa yang terjadi beberapa saat lalu. Tak lama ia mengintip, dokter itu meninggalkan ruangan, membuat Edward dan Nico kabur seperti pencuri. Usai dokter itu pergi, mereka berdua kembali mengintip apa yang Giselle lakukan.
Kini di mata Edward, gadis itu terlihat menangis sambil membelai rambut Ibunya. Sedangkan Nico yang berhati Hello Kitty, hanya melihat Giselle menangis membuat bola matanya ikut berair hingga menitik.
"Hiks, kasihan banget nasibnya," ujar Nico. "Masih muda tapi hidupnya berat banget. Hiks ...."
Edward melongo saat mengalihkan pandangannya pada Nico. Edward memang terharu, tetapi ia tak sampai menangis. Edward memberikan sapu tangannya kepada Nico.
Nico menggunakan sapu tangan itu untuk menghapus air matanya yang berjatuhan. "Udah deh nggak usah jaim, lo nikahin aja dia kasihan banget dia. Hitung-hitung lo selamatin nyawanya dari kakaknya yang brengsek itu."
"Lo merintah gue?"
"Iya gue merintah lo!" bentak Nico.
"Lo!" Edward kesal lagi, rasanya ingin memberi pelajaran pada Nico. "Oke gue maafin lo karena ini di luar jam kerja. Btw, itu sapu tangan bekas ingus.”
”Sial!” Nico menjauhkan cepat sapu tangan tersebut dari wajahnya, membuat Edward terkekeh puas.
Edward kembali mengalihkan pandangannya pada dalam kamar rawat itu. Saat ia mengalihkan tatapannya, betapa terkejutnya ia karena yang ia lihat adalah wajah Giselle.
Giselle berdiri di balik pintu dengan tatapan maut pada Edward dan Nico. Gadis itu membuka pintu kamar, melangkah maju hingga membuat Edward dan Nico mundur.
"Kalian siapa? Kenapa dari tadi kalian ngintip di sini?" tanyanya galak.
Edward diam seribu bahasa. Begitu juga dengan Nico.
"Kalian siapa?!" tanyanya semakin galak.
- - -
bantu support ya 💕
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
bloompie
haesoo 😭
2022-11-18
1