"Namanya Giselle Oliver, anak angkat dari keluarga Oliver yang enam bulan lalu ramai diperbincangkan," jelas seorang asisten kepercayaan di sebuah perusahaan kosmetik yang sedang melejit omsetnya. Asisten itu menunjuk sosok Giselle yang kini sedang asik menyanyi untuk menghibur para pengunjung kafe.
Laki-laki tampan dengan setelan jas yang sedang duduk di salah satu kursi kafe itu mengarahkan mata tajamnya pada Giselle. Gadis itu masih terlihat muda, wajahnya cantik oriental, kulitnya putih dan saat tersenyum tampak sangat menawan. Selain itu suaranya merdu, jika Giselle mengikuti ajang pencarian bakat menyanyi ia rasa Giselle akan lolos.
Keluarga Oliver memang sempat menghiasi berita televisi beberapa bulan lalu karena kecelakaan mengerikan. Saat itu orang tua Giselle hendak pergi ke luar kota, namun di tengah jalan mobil orang tua Giselle ditabrak oleh truk tronton hingga Ayah Giselle meninggal di tempat, sedangkan saat ini Ibunda Giselle sedang koma di rumah sakit.
Sudah enam bulan ini Ibunda Giselle tidak sadarkan diri. Karena tidak ada yang mengurus bisnis keluarga Oliver, kekayaan yang dimiliki keluarga Oliver pun merosot. Tak hanya itu, pinjaman uang di bank membuat semua aset di sita termasuk rumah mewah yang selama ini Giselle huni.
Hal itu membuat Giselle kewalahan, apalagi tagihan rumah sakit terus menghantui hidupnya sehingga ia bekerja keras untuk membayar tagihan itu mulai dari menjadi penyanyi dari kafe ke kafe, menjadi pacar sewaan, sampai menjadi pekerja paruh waktu di beberapa tempat.
"Bukannya dia ada saudara?" tanya CEO muda yang bernama lengkap Edward Van Lewis itu kepada asisten kepercayaannya.
"Ada, namanya Yohan," jawab Nicolas atau biasa dipanggil Nico. "Tapi saudaranya lepas tangan, jadi yang mengurus semua kekacauan keluarga Oliver adalah dia," jelasnya lagi sambil menunjuk dengan mata.
Edward masih mengamati sosok Giselle yang kini sedang asik mengajak pengunjung kafe untuk menyanyi bersamanya.
"Gimana, bos?" tanya Nico lagi.
Nico sebenarnya kewalahan mengurus kemauan Edward yang sudah satu bulan ini meminta tolong padanya untuk dicarikan seorang calon istri dengan begitu banyak kriteria. Setiap hari Nico selalu menunjukkan gadis-gadis yang ia rasa cocok dengan Edward, mulai dari yang berkarier, pengusaha, hingga anak kuliahan seperti Giselle yang memiliki banyak kegiatan.
"Maksud kamu, kamu suruh saya untuk menikahi anak kuliahan seperti dia?" tanya Edward balik pada Nico.
Nico mengangguk. "Dia bentar lagi lulus kuliah kok bos, dia udah semester enam."
Edward menghela napas. "Umur saya sudah tiga puluh, dia masih belasan tahun!"
"Salah bos, umurnya udah dua puluh satu apa dua puluh dua gitu." Nico membela diri.
"Sama saja! Terlalu jauh beda umurnya dengan saya!" omel Edward.
"Kan bos bilang yang penting umurnya udah boleh untuk menikah," balas Nico.
Edward memicingkan mata elangnya pada Nico. Andai mereka tidak berada di tempat umum melainkan di ruangan pribadinya, pasti Edward sudah melempar buku ke arah Nico.
"Cari yang lain!" tegas Edward.
Nicolas menggerutu dalam hati.
"Kamu pasti sedang ngedumel kan?" terka Edward, si tampan dengan sifat cuek dan dingin itu.
"Tau aja bos, dukun ya?"
"Nicolas!"
Nico mengunci mulutnya.
Meski Edward adalah bosnya, di luar pekerjaan Nico dan Edward adalah sahabat karib. Setelah lulus kuliah beberapa tahun lalu, Nico sengaja Edward pekerjaan karena menurut Edward hanya Nico yang bisa ia percaya sebagai asisten pribadinya. Meski Nico agak lola dan tak sepandai dirinya, Nico adalah orang yang jujur dan ia percaya tak akan menusuknya dari belakang.
Karena kedekatan Edward dan Nico yang ke mana-mana berdua dan Edward yang tak kunjung menikah meski usianya sudah matang, Edward dan Nico kerap diterpa gosip sebagai penyuka sesama jenis.
Munculnya gosip itu ditambah ancaman dari keluarganya yang akan mengeluarkan Edward dari kartu keluarga jika tidak juga menikah pada tahun ini membuat Edward memutuskan untuk menikah secara terpaksa.
Yah, dan di tengah keributan antara Edward dan Nico, sesuatu pun terjadi di depan sana. Di saat Giselle sedang asik mengajak pengunjung kafe bercanda, seorang laki-laki yang tak lain adalah Yohan; kakak angkat Giselle, tiba-tiba datang dan membuat keributan.
Yohan menarik paksa Giselle untuk ikut dengannya.
Sadar diri Giselle tidak mau membuat kafe yang memperkerjakannya semakin ramai karena ulah kakaknya, ia mengikuti langkah Yohan usai pamit dari panggung. Kejadian itu membuat semua mata mengarah pada mereka.
Keluar dari kafe dan masuk di area parkiran, Giselle menghentikan langkahnya. Matanya menyorot tajam ke arah Yohan dengan tatapan penuh kebencian dan dendam.
"Mau lo apa?" tanyanya tak tahu takut.
"Ikut gue aja, nanti lo tahu sendiri," ujar Yohan mencoba menariknya kembali, namun Giselle menepis tangan itu.
"Lo mau jual gue lagi?" tanyanya penuh kemarahan.
Yohan tertawa kecil lalu mengacak-acak rambut panjang Giselle. "Udah gede adek gue, udah pinter. Dulu pas lo diangkat sama nyokap bokap gue, lo cuman anak ingusan."
Giselle menahan rasa kesalnya, ia hanya bisa menatap Yohan dengan bola mata yang menanamkan kemarahan.
"Gue nggak jual lo sebenernya, gue cuman jodohin lo aja," jelas Yohan. "Ini temen gue tuh anaknya konglemerat, dia nyari pacar dan janji akan bayar perhari kalau gue ngenalin lo ke dia."
"Gue nggak mau!"
"Giselle sayang, lo nggak usah munafik. Bukannya lo sendiri jual jasa sewa pacar selama ini dan klien lo banyak banget. Anggap aja temen gue ini sama kaya gitu."
"Gue emang jadi pacar sewaan, tapi khusus buat orang-orang yang lagi wisuda! Bukan buat om-om kaya hidung belang!" terangnya.
Ini sudah kesekian kalinya Yohan memperkenalkannya secara paksa dengan teman-teman Yohan. Pertama Yohan memperkenalkannya dengan pria beristri yang minta kencan satu malam, ke dua Yohan mencoba menjualnya pada kakek tua renta dengan harta melimpah tapi masih cari pasangan, dan sekarang entah siapa lagi orang yang hendak membelinya.
"Giselle, lo jangan sia-siain kecantikan lo cuman buat nyanyi di kafe. Pergunain dong semaksimal mungkin, dengan begitu lo juga dapat banyak duit buat bayar pengobatan Mama."
Giselle menyumpah komat-kamit untuk Yohan dalam hati.
Selama tinggal bersama keluarga Oliver, Yohan memang tidak pernah menganggapnya sebagai keluarga. Sejak ia diangkat jadi anak keluarga Oliver, Yohan selalu merundung dan menyuruh-nyuruhnya layaknya pembantu saat orang tuanya tidak ada. Yohan memang sangat jahat kepadanya, tetapi orang tua angkatnya begitu baik dan tidak pernah memperlakukannya berbda. Oleh karena itu Giselle bisa menahan rasa marahnya pada Yohan, karena kebaikan orang tua angkatnya selama ini.
Tetapi kali ini, Giselle rasa Yohan sudah sangat keterlaluan. Jangan kan menangis saat Ayahnya meninggal dan Ibunya masuk rumah sakit, Yohan malah menjadi-jadi. Hidup berfoya-foya dengan sisa uang di rekeningnya yang ada, tidak menjenguk Ibunya sama sekali, bahkan kini berniat untuk menjualnya agar mendapatkan untung.
Air mata gadis itu tiba-tiba menitik. Ia menahan isak tangisnya.
"Udah nggak usah cengeng, yuk gue kenalin sama jodoh lo pilihan gue," ujarnya kembali hendak menarik tangan Giselle, namun ponsel Giselle berdering dari dalam saku celana yang digunakannya.
Giselle menepis tangan Yohan, meraih ponselnya. Detak jantungnya semakin cepat saat melihat siapa yang menelponnya.
Ia mengangkat panggilan dari rumah sakit di malam hari dan mencoba baik-baik saja.
"Iya suster, ada apa?" tanyanya tegar.
"Mbak bisa ke sini sekarang? Kondisi Ibu Rosa menurun," jelas perawat di rumah sakit sana.
"Yaudah saya ke rumah sakit sekarang!"
Tanpa pikir panjang, Giselle berlari meninggalkan Yohan ke arah motor bebeknya yang terparkir.
"Giselle! Giselle!" panggil Yohan saat gadis itu berkendara menjauh darinya. "Ash sial!" umpat Yohan. "Awas aja lo ketemu gue lagi, gue seret paksa lo."
TITTT.
Klakson mobil membuat Yohan terkejut ditambah sentrong lampu yang menyilaukan mata Yohan.
Tampak dari luar mobil Yohan menatap mobil dengan marah.
"Tabrak aja," ujar Edward yang ada di dalam mobil itu.
"Gila bos, masuk penjara saya yang ada," sahut Nico.
Edward kembali menghela napasnya. Bagi Edward yang sudah menguping pembicaraan kakak beradik itu, manusia seperti Yohan tak pantas hidup. Lebih baik dimusnahkan secepat mungkin agar tidak merugikan orang lain.
"Yaudah, ikutin dia," suruh Edward lagi.
"Siapa?"
"Ya itu siapa lagi, bocah barusan."
"Giselle?"
Edward melayangkan tatapan kesal pada Nico yang pura-pura polas.
Nico kembali menginjak pedal gas mobil. "Kata nggak mau sama bocah kuliahan, eh sekarang disuruh ngikutin," katanya nyinyir agar sengaja didengar oleh Edward.
"Gue pecat lo kalau ngeledek gue!" ancam Edward, mulai keluar jati dirinya sebagai sahabat saat ia rasa jam kerjanya telah berakhir.
"Pecat aja gue, nanti nggak ada lagi yang bisa setulus gue buat layanin bos sepemarah lo," balas Nico.
"Udah deh jalan, nggak usah kebanyakan omong lo jadi cowok!"
Nico menjalankan mobil yang dikendarainya. Meski di matanya Giselle sudah tidak tampak di depan, Nico yang memang sudah lama mencari tahu tentang Giselle sebelum menunjukkan pada Edward sudah tahu arah tujuan Giselle pergi.
Berkendara sekitar lima belas menit, dua laki-laki bertubuh tinggi itu menginjakkan kaki di rumah sakit. Bahkan Nico tidak bertanya di mana kamar Ibunda Giselle yang bernama Rosa itu di rawat, Nico sudah tahu tempatnya.
Nico memandu di depan sedangkan Edward mengikutinya sambil celingak-celinguk melihat keramaian rumah sakit. Langkah Edward dan Nico terhenti di depan pintu. Laki-laki tampan itu mengintip sosok Giselle dari balik kaca pintu yang kecil.
Tampak gadis itu sedang memegang tangan Ibu Rosa saat seorang dokter menjelaskan apa yang terjadi beberapa saat lalu. Tak lama ia mengintip, dokter itu meninggalkan ruangan, membuat Edward dan Nico kabur seperti pencuri. Usai dokter itu pergi, mereka berdua kembali mengintip apa yang Giselle lakukan.
Kini di mata Edward, gadis itu terlihat menangis sambil membelai rambut Ibunya. Sedangkan Nico yang berhati Hello Kitty, hanya melihat Giselle menangis membuat bola matanya ikut berair hingga menitik.
"Hiks, kasihan banget nasibnya," ujar Nico. "Masih muda tapi hidupnya berat banget. Hiks ...."
Edward melongo saat mengalihkan pandangannya pada Nico. Edward memang terharu, tetapi ia tak sampai menangis. Edward memberikan sapu tangannya kepada Nico.
Nico menggunakan sapu tangan itu untuk menghapus air matanya yang berjatuhan. "Udah deh nggak usah jaim, lo nikahin aja dia kasihan banget dia. Hitung-hitung lo selamatin nyawanya dari kakaknya yang brengsek itu."
"Lo merintah gue?"
"Iya gue merintah lo!" bentak Nico.
"Lo!" Edward kesal lagi, rasanya ingin memberi pelajaran pada Nico. "Oke gue maafin lo karena ini di luar jam kerja. Btw, itu sapu tangan bekas ingus.”
”Sial!” Nico menjauhkan cepat sapu tangan tersebut dari wajahnya, membuat Edward terkekeh puas.
Edward kembali mengalihkan pandangannya pada dalam kamar rawat itu. Saat ia mengalihkan tatapannya, betapa terkejutnya ia karena yang ia lihat adalah wajah Giselle.
Giselle berdiri di balik pintu dengan tatapan maut pada Edward dan Nico. Gadis itu membuka pintu kamar, melangkah maju hingga membuat Edward dan Nico mundur.
"Kalian siapa? Kenapa dari tadi kalian ngintip di sini?" tanyanya galak.
Edward diam seribu bahasa. Begitu juga dengan Nico.
"Kalian siapa?!" tanyanya semakin galak.
- - -
bantu support ya 💕
"Em kami ... kami kenal dengan Ibu Rosa, kami ingin menjenguk," jawab Nico asal.
Melihat kebohongan Nico, Edward hanya geleng-geleng kepala. Sedangkan Giselle mengangkat alisnya antara percaya dan tidak percaya. Ia pikir mana mungkin Ibunya bisa punya kenalan dengan dua laki-laki muda seperti yang ada di depannya. Seingatnya Ibunya hanya punya teman arisan satu komplek.
"Beneran, kami teman Ibu Rosa," tambah Nico mencoba meyakinkan gadis itu.
Hanya dengan melihat wajah Nico yang meyakinkan, Giselle yang memang memiliki sifat polos itu menghilangkan kecurigaannya. Wajahnya yang tadi bertanya-tanya kini tersenyum.
"Syukurlah," kata Giselle sambil tersenyum haru. "Masih ada yang peduli sama Mama."
Nico tercekat, ia tak percaya gadis kuliahan di depannya percaya pada kebohongannya.
"Yuk, yuk masuk!" ajak Giselle.
Namun sebelum masuk ke kamar rawat, Edward berdiri di ambang pintu dan menghalangi jalannya.
Nico memberi aba-aba agar Edward minggir, tetapi Edward tidak menghiraukannya.
"Maaf kita bukan teman Ibu kamu," kata Edward kemudian.
Nico menepuk dahi. Amat merepotkan baginya karena memang Edward terlalu jujur dan kaku sebagai seorang laki-laki.
"Terus? Katanya teman sekarang kok ...." Giselle semakin bingung dibuatnya.
"Saya ke sini untuk menawarkan kamu sebagai istri saya. Saya mau mengajak kamu menikah," jelas Edward tanpa basa-basi.
"WHAT?!" Bola mata Giselle hampir keluar.
Nico tak bisa berkata apa-apa lagi. Semua rencananya gagal untuk mendekatkan Giselle dan Edward. Nico hanya bisa mengelus dada.
"Oh tapi tenang saja, kita tidak benar-benar menikah. Kita menikah kontrak," tambah Edward, seperti sedang presentasi kerja. "Selain itu sebagai istri kontrak, saya akan bayar kamu setiap bulan. Anggap saja kamu sedang bekerja sebagai istri saya."
PLAK!
Edward bungkam saat tangan gadis di depannya itu tiba-tiba menampar wajah tampannya. Rasanya hendak membalas, tapi ia sadar gadis muda di depannya bukanlah lawannya.
Nico menengahi Edward dan Giselle, ia takut dua orang itu semakin ribut di rumah sakit. Yang ada Nico yang paling dirugikan karena harus mengurus ke duanya.
"Jadi kamu laki-laki yang mau dikenalkan sama Yohan?" tanya Giselle, tatapan matanya begitu mematikan.
"Bu ... bukan, dia bukan laki-laki itu," sahut Nico yang sadar Edward sudah naik pitam karena sebelumnya tidak ada yang berani menampar Edward. Baru kali ini Edward merasa harga dirinya jatuh.
"Jangan pernah ikutin aku lagi," pinta Giselle. "Aku nggak butuh menikah dengan orang rendahan seperti kamu!"
"Iya-iya, maaf ya Giselle ...," ujar Nico lagi, mendorong-dorong tubuh Edward untuk pergi dari tempat itu sedangkan Giselle masih menatap Edward dengan tatapan marah, begitu juga sebaliknya. "Pergi kalian!"
"Ayo, ayo pergi!" tarik Nico pada Edward.
...****************...
Edward mencoba menahan amarahnya saat di dalam mobil menuju kembali ke rumah. Emosinya meledak di dalam hati, namun tidak bisa ia ungkapkan apalagi ia utarakan.
Berkali-kali ia menghela napas, bahkan ia sampai membeli minuman manis untuk memperbaiki mood-nya. Tetapi tatapan penuh marah, tamparan, dan kata-kata menyakitkan Giselle masih saja bernaung di hatinya.
"Gue udah nggak tahu mau gimana ke elo," ujar Nico tiba-tiba sambil menyetir di tengah gelapnya malam.
"Emang salah gue di mana? Harusnya lo yang tampar, lo udah bohongin dia!" Edward masih tak mengerti letak kesalahannya. Ia rasa Nico yang salah bukan dia.
"Duh bro! Susah punya teman kaku kaya lo tuh," omel Nico. "Oke gue salah udah bohongin dia, tapi itu salah satu strategi buat deketin dia."
"...."
"Bro, Giselle itu bukan cewek nakal, jelas dia marah ke elo karena tiba-tiba lo ajak dia nikah. Mana mau cewek baik-baik kaya dia nikah sama orang nggak jelas asal-usulnya. Ngerti kan lo maksud gue?"
Edward mencoba memahami maksud dari Nicolas.
"Lah elo, kenal dia enggak tiba-tiba ngajak nikah terus nawarin gaji. Udah kaya om-om pedofil lo yang ada."
Edward memicingkan matanya pada Nico. Jika Nico sedang tidak menyetir, Edward pasti sudah menghantamnya.
"Lagian gue bingung sama lo, katanya tadi nggak mau sama bocah kuliahan eh tiba-tiba nyosor aja ngajak dia nikah."
Laki-laki itu terdiam sebentar.
Benar yang Nico katakan. Giselle memang cantik, tetapi beberapa wanita lain yang sebelumnya Nico kenalkan padanya bahkan ada yang lebih cantik, seksi, mandiri, dan dewasa seumurannya. Tetapi entah kenapa, tiba-tiba saja Edward mengajak gadis itu menikah?
Kenapa? Ada apa? Apa jangan-jangan Edward merasa iba? Tidak mungkin, Edward adalah sosok laki-laki yang tak mudah goyah jika berurusan dengan hati. Atau mungkin karena melihat Ibunda Giselle membuatnya teringat akan Oma di rumah, Oma yang sudah sakit-sakitan dan mengancamnya akan mencoret namanya dari kartu keluarga? Edward sendiri bingung, mengapa ajakan itu keluar secepat kilat.
"Ini udah akhir tahun, dua bulan lagi berakhir. Kalau kebanyakan nyari, nggak dapat-dapat gue yang ada," jawab Edward asal.
"Yaudah pilih aja yang sebelum-sebelumnya."
"...."
"Menurut gue yang lumayan pas sama lo tu si Niken, tuh pegawai bank yang hobi main TikTok."
Edward hanya diam mendengarkan.
"Atau si Salsa, yang body-nya bahenol kaya gitar Spanyol. Beuh, gue jamin lo puas kalau nikah sama dia," jelas Nico sambil cengar-cengir.
Edward kembali mengalihkan tatapannya pada Nico. "Gue nikah kontrak, bukan nikah beneran."
"Iye-iye. Sewot banget lo."
"Nico, udah deh mulai besok lo nggak usah kerja. Gue pecat lo."
Nico langsung membungkam mulutnya.
...****************...
Dengan langkah tergesa-gesa gadis itu masuk ke sebuah gedung kampusnya yang kini sedang melangsungkan sebuah acara Beauty Class. Peserta yang mendaftar jumlahnya lebih dari seratus orang, hingga tak heran jika kondisi gedung begitu ramai.
*Tidak hanya melangsungkan Beauty Class*, tetapi juga ada pameran dari hasil karya mahasiswa yang di jual di pinggiran secara berjejer mulai dari produk tas, dompet, sandal, dan lainnya. Sedangkan di gedung bagian tengah ada kursi berjejer untuk acara Beauty Class.
"Rame banget, tumben padahal biasanya nggak sampai seratus peserta," ujar Giselle saat tiba di gedung dan berdiri bersebelahan dengan Shania, sahabatnya di kampus.
"Yaiyalah kan kali ini brand-nya Van Luice," sahut Shania sambil merapikan meja registrasi.
"Emang Van Luice sebagus itu?"
*Shania mengangguk. "Banget, nih skincare* gue sampai make up gue merk Van Luice semua," ujarnya menunjukkan riasan tipis wajahnya. "Udah gitu hari ini CEO-nya bakal kasih sambutan, makanya banyak yang nggak sabar."
"Nggak sabar gimana?" tanya gadis polos itu.
Shania berdecak pinggang. "Giselle, lo pasti nggak tau kan kalau CEO-nya Van Luice itu wajahnya setampan malaikat?"
"Emang lo pernah lihat malaikat?"
Shania menghela napas. "Tahu ah, intinya ganteng banget."
"Ganteng mana sama Morgan?" tanya Giselle sambil senyum-senyum sendiri saat melihat kehadiran Morgan dan sedang berjalan ke arah mereka.
Shania mengalihkan pandangannya juga pada kedatangan Morgan. "Sama gantengnya sih, tapi menurut gue gantengnya CEO-nya Van Luice itu lebih nggak masuk akal."
Morgan tampak tersenyum menyapa orang-orang yang sedang bekerja keras hingga ia sampai di tempat Giselle dan Shania berdiri.
Morgan juga salah satu sahabat baik Giselle selain Shania. Awal masuk kampus, Giselle sempat jatuh hati kepada Morgan. Selain karena Morgan tampan, dia juga memiliki etika yang baik. Hanya saja saat itu dan sampai sekarang Morgan sudah memiliki pacar.
*"*Kalian nanti jadi role model ya, jangan lupa," ujar Morgan.
Giselle dan Shania mengangguk bersamaan.
"Eh, abang lo kemarin telpon gue dua hari berturut-turut," ujar Shania sambil menyikut lengan Giselle. "Dia marah-marah karena nggak bisa nemuin lo."
Giselle hanya tertawa kecil. "Kan udah gue bilang lo block nomornya."
"Udah pea! Dia hubungin lewat Instagram!" terang Shania. "Kenapa lagi sih? Dia mau jodoh-jodohin lo lagi?"
"Bukan dijodohin, tapi gue di jual ke om-om," terang Giselle.
Spontan wajah Morgan jadi keheranan. Selama ini ia tidak tahu menahu dengan dengan hal itu meski Giselle adalah sahabatnya. Akhir-akhir ini memang Morgan begitu sibuk mengurus dirinya sendiri yang terlalu aktif di kampus sehingga jarang berkumpul dengan Giselle dan Shania.
"Maksud lo apa?" tanya Morgan.
"Iya gue mau di jual ke om-om biar dia dapat duit. Gila kan abang gue?" ucap Giselle pada Morgan.
Morgan menghela napas-nya. Tak ia sangka kehidupan Giselle yang dulu serba kecukupan dan mewah seperti putri kerajaan kini berubah sedrastis ini. "Lo temuin gue sama abang lo, biar gue yang bicara sama dia."
"Ckckck ... Morgan, boro-boro elo yang bicara. Gue yang udah satu atap belasan tahun sama dia aja dia nggak peduli."
"Seenggaknya ada yang lindungin elo, Giselle." Tatapan Morgan penuh makna.
Giselle terdiam, ia juga menatap laki-laki yang ada di depannya itu.
"Gue sahabat lo, gue bisa lindungin lo."
Shania senyum-senyum sendiri, ia merasa seperti sedang menonton drama Korea.
Giselle mengangguk. "Iya kapan-kapan gue ...."
"Lo sekarang tinggal di mana?" potong Morgan, ingin lebih tahu.
"Di panti asuhan waktu dia kecil," jawab Shania. "Karena cuman di situ tempat yang aman buat sahabat gue yang cakep ini tinggal biar nggak di kejar sama abangnya yang mata duitan itu."
Giselle menundukkan kepalanya, ia kembali menata yang berserakan di meja. Sedangkan Morgan menatapnya pilu, ia menyesal beberapa bulan ini tidak perhatian pada sahabatnya yang ia anggap sedang kesusahan.
"Giselle, bisa bicara berdua?" tanya Morgan.
Giselle mengangguk.
Mereka pergi ke luar gedung, meninggalkan sebentar Shania yang masih sibuk akan pekerjaannya.
Mereka berdua menghentikan langkah di taman kampus belakang gedung. Gedung kampus mereka memang dikelilingi oleh taman yang asri, namun yang paling ramai adalah taman di samping kiri dan dan kanan sedangkan taman depan dan belakang tidak seramai itu.
"Maaf," ujar Morgan tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya.
"Kenapa?" tanya polos Giselle.
"Gue terlalu sibuk sampai nggak tahu kalau lo ngalamin ini."
Senyum Giselle mengambang. "It's not a problem, Morgan."
"Giselle ... kalau lo butuh bantuan, lo bisa kabarin gue. Gue pasti bantu lo."
Giselle mengangguk dan masih mengambangkan senyumnya.
Tiba-tiba Morgan membawa tubuh gadis yang lebih pendek darinya itu ke dalam sebuah pelukan.
Giselle tercekat, meski mereka sudah berteman sejak masuk ke kampus dan ini sudah tahun ke tiga, baru kali ini Morgan memeluknya. Jantung Giselle berdetak kencang dibuatnya.
Tanpa mereka sadari dari kejauhan ada yang memperhatikan mereka, tak lain adalah tamu undagan yang sedang ditunggu-tunggu oleh para mahasiswi yaitu pemilik brand Van Luice yang tak lain bernama Edward Van Lewis.
"Bos, itu Giselle kan?" ujar Nico, memperhatikan secara seksama.
Sedangkan Edward ikut memperhatikan. Ia juga yakin gadis yang sedang berpelukan itu adalah Giselle, seorang gadis yang sudah menampar wajah tampannya sekitar tiga hari lalu.
"Cowoknya apa ya? Tapi setahu saya dia nggak punya pacar kok," terka Nico. "Benar deh, dia jomblo statusnya."
"Mau di jomblo mau dia punya pacar itu urusan dia," ujar Edward, melangkahkan kakinya pergi untuk masuk ke ruang tunggu yang sudah disediakan oleh panitia penyelenggara.
Nico & Edward (in frame)
Gedung mulai dipenuhi oleh peserta sebelum acara di mulai pukul sebelas siang. Panitia penyelenggara memulai acara sesuai dengan rundown, tepat pukul sebelas sang MC mulai membuka acara yang tentunya di sambut meriah oleh para peserta.
MC langganan kampus yang berasal dari mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi itu cuap-cuap dengan lihainya, mulai dari memperkenalkan brand Van Luice dan MUA utama yang akan memandu para peserta.
Giselle dan Shania yang berada di belakang panggung ikut tertawa mendengar candaan-candaan dari sang MC itu saat ia mengajak bercanda para peserta. Sedangkan Morgan sebagai ketua pelaksana terlihat begitu sibuk, ia jalan ke sana ke sini memberi perintah pada panitia yang lain karena kali ini tamu undangan yang tak lain adalah Edward Van Lewis bukan sembarang tamu.
Tak seberapa lama MC menyampaikan rundown acara pada peserta, Edward mulai melangkahkan kakinya masuk di area belakang panggung.
Bola mata Giselle membelalak, sedangkan Shania klepek-klepek karena kehadiaran itu.
"Argh, ganteng banget," bisik Shania sambil mencubiti lengan Giselle.
Edward menatap Giselle sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke lain arah dengan begitu cueknya. Berbeda dengan Nicolas, ia menyapa Giselle dengan amat ramah membuat Shania keheranan.
"Hai, apa kabar?" sapa Nico.
"Sel! Lo kenal?" kepo Shania, menarik-narik lengannya.
Giselle menjawab sapaan Nico dengan sedikit senyum di wajahnya.
"Giselle! Lo kok bisa kenal?" tanya Shania lagi.
"Sst, nanti gue ceritain," jawabnya sambil memberi aba-aba diam.
Di saat itu juga sang MC mempersilahkan CEO brand ternama Van Luice naik ke atas panggung.
Dengan gagah dan manly Edward naik ke panggung, meski ia tak tersenyum sama sekali semua peserta termasuk para panitia langsung heboh seperti menyambut artis idola mereka. Bahkan para peserta langsung mengarahkan ponsel mereka untuk merekam adanya Edward saat ini.
Giselle rasa dia akan seheboh para peserta juga jika yang naik ke atas panggung adalah BTS atau NCT.
"Iya perkenalkan saya Edward Van Lewis, pemilik brand Van Luice," ujarnya seramah mungkin dibalik suaranya yang begitu dalam.
"Kami nggak nanya, kami sudah tahu!" sorak para peserta heboh.
"Jadi hari ini memang kampus kalian sengaja menawarkan kerja sama dengan brand kita, maka dari itu hari ini saya juga akan memberikan beberapa produk secara gratis untuk para peserta."
Jepret, jepret, jepret.
"Seperti yang kalian ketahui, Van Luice sudah berjalan selama tiga belas tahun dan tetap menjadi brand teratas di tengah ketatnya persaingan. Mulai dari make up, skincare, dan rencananya kami juga akan memperbanyak gerai khusus Van Luice tentunya dengan harga yang bersahabat dengan kantong kalian."
Prok-prok-prok.
*Semua peserta bertepuk tangan, membuat senyum Edward sedikit mengambang. Edward terus memberikan sambutan hingga waktu menjukkan sesi acara demo make up* yang mana role modelnya adalah Giselle dan Shania.
*Dua mahasiswi itu naik ke panggung, duduk di kursi yang disediakan. Masing-masing MUA mulai mengoleskan make up* demi make up di wajah dua remaja itu. Para peserta bisa melihat dengan jelas karena di dalam gedung sudah ada beberapa LCD dan televisi yang terpasang.
Saat para MUA menyulap wajah dua gadis itu, sesekali Edward menjelaskan apa saja keunggulan produk dari Van Luice mulai dari bahan yang terbuat alami, daya tahan produk, dan lainnya.
Edward mengamati Giselle dan Shania bergantian. Ia akui kemampuan MUA andalan perusahaannya sehandal itu, bisa menyulap wajah siapa saja sesuai karakternya.
Wajah Shania usai di make up tampak begitu memukau, sesuai dengan karakter Shania yang sedikit bad girl. Berbeda dengan Shania, wajah Giselle di make up tipis dengan warna dominan pink-peach sesuai karakter Giselle yang periang.
Para peserta mulai mengaplikasikan make up yang sudah tersedia di meja mereka pada wajah mereka masing-masing sambil di pandu beberapa beauty advisor yang berkeliling di setiap meja.
Acara yang memakan waktu kurang lebih tiga jam itu berlangsung ramai dan menyenangkan. Di akhir acara para peserta tampak foto bersama dengan yang lain, sayangnya Edward melarikan diri terlebih dahulu ke belakang panggung karena ia sebenarnya tidak terlalu suka di foto.
"Tawaran itu masih berlaku," ujar Edward tiba-tiba kepada Giselle yang juga ada di belakang panggung sambil menghapus make up tipisnya.
Giselle tak bertanya, ia hanya melirik Edward dari cermin.
"Tentang pernikahan kontrak," tambah Edward. Ia berani menjelaskan karena hanya ada dia, Giselle dan Nico. Shania sudah pergi terlebih dahulu karena ada urusan.
"Gila ya? Gue masih kuliah mana mau nikah sama om-om," celetuk Giselle tiba-tiba.
Edward menghela nafasnya. "Umur saya baru aja tiga puluh, belum om-om."
"Walau bukan om-om juga gue nggak mau nikah," jelasnya.
"Kamu nolak saya?" tanya Edward tak percaya. "Saya, saya tampan lho."
Spontan Giselle tertawa kecil. "Terus? Terus kenapa kalau tampan?"
"Saya tampan, saya kaya raya, kenapa kamu nolak saya?"
Nico yang ada di belakang sambil berjaga memantau orang agar tidak masuk hanya bisa tertawa kecil agar Edward tak mendengarnya.
"Okeh kamu tampan, kamu kaya raya ... terus kenapa mau nikahin saya? Kan pasti banyak yang mau sama sugar daddy."
*"Hufth." Edward kembali menghela napasnya. "Saya masih single*, bukan sugar daddy."
Giselle semakin lihai mengejek laki-laki yang tidak ia kenal itu.
"Seperti yang kamu tahu, bahkan mahasiswi di sini banyak yang mengidolakan saya. Harusnya kamu bersyukur saya ajak nikah."
"Alasan kamu ajak akh nikah apa?" tanya Giselle, membalik tubuhnya agar bisa menatap langsung laki-laki narsis tersebut.
Belum Edward menjelaskan, Nico memberi aba-aba bahwa ada beberapa petugas yang akan masuk sehingga Edward memilih bungkam dan tak menjawab pertanyaan Giselle.
Giselle pun tak ambil pusing, meski ia bingung kenapa Edward mengajaknya menikah kontrak padahal mereka tidak saling mengenal, ia tidak terlalu penasaran.
...****************...
"Apaan sih!" protes Giselle ketika seorang pria yang kini ada didekatnga menarik lengannya.
Giselle menepis tangan itu.
"Dia emang gitu, jaim gitu," ujar Yohan yang sudah dengan lancangnya membawa seorang pria ke kampus Giselle.
Teriknya sinar matahari membuat emosi Giselle semakin meledak. Bisa-bisanya di saat ia masih bertugas di penutupan acara kampus kakaknya itu malah menyuruhnya bertemu. Jika tidak bertemu, Yohan mengancam akan membuat ulah di acara yang diselenggarakan itu.
Mau tak mau akhirnya Giselle keluar dan menemui Yohan yang ternyata membawa seorang pria hidung belang, pria yang sejak tadi menatapnya dengan penuh rasa tertarik.
"Nggak usah marah-marah gitu, ini loh kakak bawain calon pendamping kamu," ujarnya sambil merangkul pundak gadis itu.
"Hai, gue Tomi udah diceritain sama abang lo nih kalau dia punya adik jomblo, jadi gue minta kenalin," jelas pria itu.
"Ya kali gue mau sama om-om kaya lo!" protes Giselle, menjauhkan tangan Yohan dari pundaknya dan menatap kesal pada Tomi.
Mendengar jawaban tidak enak dari Giselle, Tomi hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya.
"Sel, jaga omongan lo jangan hancurin bisnis gue," ancam Yohan. "Dia bukan pria sembarangan!"
"Siapa suruh lo jual gue ke dia! Siapa elo berani jual hidup gue?" omel Giselle tak tahu takut sama sekali.
"Giselle!"
Tomi tertawa melihat tingkah kakak beradik itu.
Melihat tawa Tomi, Giselle makin murka. "Om-om kaya lo tu mending tobat, ingat sama kematian! Umur tinggal sejengkal aja masih berani-beraninya ngajak gue kenalan!"
"Lo bilang apa?" tanya Tomi mulai kesal karena perkataan gadis itu.
"Kamu nanya?" ejek Giselle, ia sengaja agar pria hidung belang itu tidak tertarik padanya.
Tomi emosi, ia menarik kerah pakaian Giselle hingga sedikit berjinjit. Melihat kejadian itu, beberapa orang di sekitar mulai berbisik keheranan.
"Apa? Mau marah? Mau tampar? Silahkan! Daripada gue punya hubungan sama om-om jelek genit kaya lo mending lo tampar gue!" tantang Giselle.
Yohan hanya diam dan melihat, ia sudah tidak heran dengan sikap Giselle yang suka menantang akhir-akhir ini. Padahal dulu sebelum orang tuanya kecelakaan, Giselle tak berani sama sekali melawannya.
Tomi yang hendak menampar Giselle menahan amarahnya, ia sadar beberapa orang sedang merekam mereka dan bisa-bisa ia berurusan dengan polisi jika memang menyakiti gadis yang ada di depannya itu.
Senyum licik Giselle membuat Tomi semakin marah, tidak menampar Giselle, Tomi malah mendorong gadis itu dengan kencang sambil meredam amarahnya.
Brak.
Giselle mundur dan terjatuh di paving kampus, tak sengaja saat ia terjatuh tubuhnya menabrak kaki seseorang yang ternyata sejak tadi mengamatinya. Giselle mendongakkan wajahnya, betapa terkejutnya ia saat ternyata yang berdiri menahan tubuhnya adalah Edward Van Lewis.
Edward menatap Giselle sebentar, tiba-tiba dengan manly-nya ia membantu Giselle berdiri. Saat berdiri, Nico langsung bergegas membantu mengamankan Giselle sedangkan Edward melangkahkan kakinya maju ke arah Yohan dan Tomi.
Melihat wajah Yohan dan Tomi yang tampak tak berdosa, membuat Edward ingin sekali mengepalkan tangannya lalu menghajar wajah para lelaki sok tampan di depannya. Hanya saja ia sadar, di sini ia datang sebagai tamu yang memberikan contoh pada para mahasiswa, tidak mungkin ia malah membuat onar meski hatinya sedang sangat kesal melihat perlakuan kasar para lelaki itu.
Edward memang begitu, ia pemarah dan tempramen dalam segala hal, apalagi menyangkut tata krama. Jangankan melihat seorang perempuan di perlakukan kasar, melihat hewan di aniyaya manusia saja membuatnya sangat geram.
"Siapa lo? Mau sok jadi pahlawan?" tanya Tomi sok jagoan seperti hedak mengajak ribut.
Mendengar pertanyaan receh Tomi, Edward langsung memasang senyum piciknya. "Kalian nggaktahu siapa saya?" tanyanya garang. "Yang jelas saya akan memproses lewat jalur hukum karena kalian sudah mengganggu calon istri saya."
Giselle dan Nico menganga secara bersamaan, begitu juga dengan Yohan dan orang-orang yang mendengar.
"Sebenarnya saya ingin sekali menghajar wajah kalian yang polos ini, tapi saya rasa lebih baik kalian dibuat jera oleh hukum daripada saya repot-repot mengotori tangan saya."
"Tch." Tomi tertawa terbahak-bahak. "Lapor aja silahkan, gue pasti bebas mau lo laporin kaya gimana aja," katanya dengan bangga.
Edward mengeluarkan kartu namanya, ia memberikan kartu namanya kepada Tomi. Tomi yang baru saja membaca langsung membelalak.
"Va ... Van ... Lewis?" ujar Tomi mulai gemetar. Para pengusaha pasti mengenal keluarga konglemerat itu, termasuk Tomi. Meski Tomi memang bisa dibilang pria berduit, keluarga Van Lewis masih jauh di atasnya.
Yohan pun begitu, ia sedikit tahu tentang keluarga Van Lewis karena saat hidup Ayah sempat bercerita padanya jika sudah lulus kuliah ia akan di masukkan dalam salah satu perusahaan milik keluarga Van Lewis, meski fakatanya sekarang ia hanyalah pengangguran yang menghabiskan sisa tabungannya yang ada.
"So ... ri," ujar Tomi menundukkan kepalanya. "Maaf, saya nggak tahu kalau dia calon istri anda." Tomi melirik ke arah Yohan. "Karena dia bilang adiknya jomblo cantik cari jodoh, jadi saya kira itu benar."
Yohan masih hening, tak bisa berkata apa-apa selain kebingungan dengan semua ini. Edward tak merespon Tomi, saat ia membalikkan tubuhnya Tomi malah berjalan terlebih dahulu melewatinya dan menghampiri Giselle yang kini sedang dijaga oleh Nicolas.
"Sori, please sori!" ujar Tomi pada Giselle dengan tatapan penuh ketakutan. "Maaf gue udah dorong lo!"
"Jangan sentuh-sentuh nyonya gue!" timpal Nico, masih menjadi penengah Giselle dan Tomi.
"Giselle, gue janji sumpah nggak akan ganggu lo lagi! Gue kaya gini karena udah bayar dp ke abang lo tuh Yohan! Katanya kalau gue bayar dp, gue bisa milikin lo," jelas Tomi lagi sambil menunjuk Yohan.
Mendengar penjelasan Tomi, Edward makin geram pada Yohan. Edward hanya bisa melayangkan tatapan murkanya pada Yohan.
"Giselle, please maafin .... Giselle! Giselle Oliver!" panggil Tomi saat Giselle pergi menjauh darinya.
Nico mengikuti Giselle sesuai perintah Edward, sedangkan Edward masih berada di antara Yohan dan Tomi. Tomi tanpa henti meminta ampun pada Edward yang kini berhadapan dengan Yohan.
"Lo kakaknya Giselle, bisa-bisanya lo jual adik lo sendiri," ujar Edward, gaya bahasa formalnya mulai menghilang.
"Sori, gue nggak tahu kalau ternyata adik gue sangat membanggakan. Gue nggak tahu adik gue bisa dapat calon suami kaya elo," katanya sumringah. Senyum dan tatapan Yohan membuat Edward semakin kesal dan kesal. "Gue sangat bersyukur punya saudara ipar kaya lo, kita harap kita bisa akur!" Yohan seperti tak terjadi apa pun, menepuk pundak Edward.
"Walau lo keluarga Giselle, gue nggak akan sudi anggap lo sebagai bagian dari keluarga gue," jelas Edward, menghentikan senyum Yohan. "Sekali lagi gue tahu lo ganggu calon istri gue, gue nggak akan sesabar ini."
Yohan terdiam.
"Bahkan sekali aja lo tunjukkin muka lo di hadapan dia, lo bakal terima akibatnya. Jangan lo anggap remeh ancaman gue, karena Giselle selalu dalam pengawasan gue," terang Edward sambil menunjuk-nujuk tubuh Yohan dengan jari tangannya.
Edward membalikkan tubuhnya, ia berjalan menjauh meninggalkan Yohan dan Tomi yang kini menangis sesunggukkan.
Mendengar ancaman Edward, membuat Yohan semakin terhina. Rasanya ia semakin ingin memberi pelajaran pada adik angkatnya itu dengan cara apa saja.
”Sialan lo Giselle, ternyata selama ini lo pacaran sama dia. Pantas aja sikap lo jadi sok berani dan suka ngelawan gue,” gumam Yohan. “Ck, lihat aja nanti.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!