Misteri Kamar 13
Aroma busuk menguar dan menusuk hidung, semakin kuat bahkan sampai perut semua orang rasanya ingin mengeluarkan semua isinya ketika pintu kamar yang telah lama terkunci itu dibuka dengan paksa.
"Astaga!" jeritan otomatis keluar dari setiap mulut yang ada di sana saat mata mereka menangkap hal mengerikan yang ada di kamar bernomor tiga belas.
Seorang wanita kepalanya tergantung pada kipas yang menempel di langit-langit kamar. Sementara tubuhnya yang sudah tercabik-cabik teronggok begitu saja di lantai. Lantai kamar yang seharusnya berwarna putih kini berubah kecokelatan karena darah yang telah mengering. Bukan hanya itu, banyak belatung yang mulai menggerogoti kepala dan tubuh wanita itu.
"Adakah yang mengenal siapa wanita ini?"
Semua penghuni indekos menggelengkan kepalanya. Tidak ada yang tau siapa wanita yang mayatnya begitu mengerikan ini. Seorang polisi yang tadi mendobrak pintu kamar segera menghubungi rekannya untuk meminta bantuan.
"Saya ingin bertemu pemilik dan penanggung jawab tempat ini." Polisi muda itu mengedarkan pandangan kepada setiap orang yang ada di indekos yang dominan berwarna hijau itu. Semua orang terdiam dan menunduk tanpa berani menatap mata elang pria berpangkat Brigadir itu. "Saya juga minta keterangan beberapa orang, termasuk kalian yang tinggal berdekatan dengan kamar ini."
"Jangan ada yang masuk ke sini agar tidak ada barang bukti yang hilang."
Minggu pagi yang tragis, ditemukan mayat tanpa identitas dalam kondisi mengenaskan. Polisi terus mengusut kasus ini, namun tidak berhasil mengungkap identitas korban karena wajah wanita itu yang hancur dan sidik jari pun telah rusak serta siapa dalang pembunuhan itu tidak terungkap, semua orang ada di tempatnya masing-masing saat kejadian.
Pada akhirnya kasus ini dihentikan apalagi tidak ada satu pun yang melaporkan telah kehilangan keluarganya.
......................
Mentari menyengat menyapaku sejak pertama kali aku menjejakkan kaki di kota asing ini. Langkah kakiku terseok karena harus menjinjing tas besar serta kardus yang berisi beberapa bahan makanan mentah.
Sesekali aku melirik sobekan kertas yang berisi alamat indekos yang kutulis sendiri. Bangunan berwarna hijau itu tepat ada di depanku. Sebagian cat mulai terkelupas di beberapa bagian dinding bangunan ini, warnanya pun mulai memudar, entah berapa lama bangunan ini tidak dicat ulang oleh pemiliknya.
Aku mengetuk gerbang besi yang sudah berkarat itu perlahan. Setelah cukup lama aku menunggu, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Wanita itu menenteng kain pel saat keluar.
"Ada apa?" Ucapan wanita itu terhenti saat melihatku yang membawa tas besar, "Mbak Hanna?"
"Iya, Bu. Saya Hanna, yang mau tinggal di sini."
"Oh, iya. Silakan masuk, Mbak."
Wati, nama wanita itu. Dia adalah orang yang diberi amanah oleh pemilik indekos untuk membersihkan bangunan ini. Wanita itu mengajak aku ke kamar yang akan aku tempati nantinya. Kamar bernomor tiga belas yang letaknya ada di paling ujung bangunan tiga lantai ini.
"Ini kamarnya sudah dibersihkan dan siap ditempati." Wanita itu membuka pintu kamar. Aku cukup terkesan dengan kamar ini, ternyata meski bangunan ini tampak kusam di luar ternyata sangat berbeda jauh dari kamar ini. Dinding dalam kamar seperti baru dicat ulang. Aroma lavender yang menenangkan menguar begitu pintu terbuka. Lantai kamar juga ternyata berbeda dari yang di luar. Jika di luar menggunakan keramik putih, di dalam kamar keramik berwarna biru yang menyejukkan.
"Semoga betah ya, Mbak. Ini kuncinya, kalau perlu apa-apa datang aja ke kamar saya di lantai dua."
Aku mulai memasuki kamar yang cukup lega dan memiliki kamar mandi di dalamnya. Aku menata baju di lemari kecil yang disediakan oleh pemilik indekos. Aku akan beristirahat sebentar sebelum nanti sore berkenalan dengan penghuni lain.
Aku merebahkan tubuh di atas matras yang kelihatannya juga masih baru ini. Ibu Wati benar, kamar ini langsung bisa ditempati karena sebelum kedatanganku sudah disapu dan dipel sampai kinclong.
Rasanya baru saja aku terlelap, sudah terdengar suara azan Asar dari masjid yang mungkin letaknya tidak terlalu jauh dari bangunan ini. Aku bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibanku. Entah mengapa kamarku tiba-tiba berubah pengap dan panas padahal biasa saja. Keringatku sampai menetes saat aku menunaikan ibadahku. Ketika sudah selesai, kamarku berubah menjadi biasa. Tidak ada rasa panas dan pengap lagi.
Aku melipat sajadah berwarna biru pemberian ibuku beberapa bulan yang lalu, tepat sehari sebelum dia kembali ke hadapan Sang Pencipta.
"Nduk, seberat apa pun jalan kehidupanmu nanti. Ingatlah ada tempatmu untuk mengadu. Bersimpuh lah beralaskan ini. "Ibu berucap sembari menepuk sajadah yang baru dibelinya. Air mataku menggenang setiap mengingat ibuku.
Suara deru motor yang memasuki pekarangan membuatku segera menyeka air mata. Itu pasti suara motor penghuni yang lain. Aku keluar kamar untuk menyapa mereka. Namun, aku bisa melihat keterkejutan di wajah mereka saat aku keluar kamar.
"Hah! Itu kamar ada yang menempati?" Dua gadis yang mengenakan baju yang sama itu saling pandang. Sepertinya mereka pekerja di pabrik yang sama. Aku mengayunkan langkah untuk mendekati mereka sembari tersenyum.
"Assalamualaikum, perkenalkan saya Hanna, penghuni baru di kamar tiga belas," ujarku sembari mengulurkan tangan kepada seorang gadis yang bahkan belum melepas helm nya karena matanya terus mengawasiku.
"Wa-waalaikumsalam, a-aku Wulan." Gadis itu tergugup saat menjawabku bahkan uluran tanganku dibalas setelah rekannya menyentuh bahu gadis itu. Tangan dan pandanganku kini tertuju pada gadis lain.
"Aku Intan. Kamu baru pindah?"
"Iya, saya dari Ungaran. Saya mau kerja di pabrik tidak jauh dari sini. Kalian kerja dimana?"
"Kami kerja di pabrik obat."
Setelah cukup lama mengobrol di depan pekarangan, aku meminta mereka untuk mampir ke kamarku karena aku ingin mereka mencicipi tahu bakso khas Ungaran yang dibuat oleh kakakku. Wajah Wulan tampak memucat saat aku menawari untuk itu, sementara Intan langsung menolak.
"Kapan-kapan saja kita mampir atau kamu saja yang main ke kamarku. Kamarku ada di lantai tiga nomor 35."
"Iya, Han. Sekarang saja ikut kami naik." Wulan yang tadinya diam dan kaku ikut bersuara. Sepertinya mereka tulus mengajakku, jadi aku bergegas mengambil sekotak oleh-oleh untuk dimakan bersama dengan teman-teman baruku.
Aku duduk di kamar mereka. Kamar mereka berukuran sama dengan kamarku hanya saja terlihat lebih kusam. Dindingnya seperti luar bangunan ini berwarna hijau dan sedikit terkelupas. Mungkin di lantai ini harganya jauh lebih murah dari kamarku jadi sengaja tidak dirawat.
"Kalian tinggal berdua di kamar ini?" tanyaku pada keduanya saat kami bersantai di kamar mereka.
"Ya, untuk menekan biaya hidup di kota yang serba mahal ini. Apalagi aku harus ngirim uang untuk biaya sekolah anakku di kampung, "ujar Wulan sembari mencomot tahu bakso.
"Lho, bukannya indekos di sini murah ya. Kamarku per tahunnya hanya dua jutaan."
"Tentu saja kamarmu murah meriah begitu. Orang kamarmu berhantu." Aku menatap Intan yang kesakitan karena dicubit lengannya oleh Wulan setelah mengucapkan hal itu.
"Berhantu?"
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Binti Asril Lubis
kosan yang pernah ditemukan orang bunuh diri, biasanya langsung sepi. gak ada yang mau tinggal disitu, gratis sekalipun. kalo yang ini beda ya..
2023-03-28
1
Rafa Retha
woii....team per-horor-an
Aq dah di sini
dimana kalian @Andini Andana .. @Ai Emy Ningrum 🌸💮 ??
katanya Aq di suruh masuk
2023-01-21
5
YT FiksiChannel
👻
2023-01-19
1