Aroma busuk menguar dan menusuk hidung, semakin kuat bahkan sampai perut semua orang rasanya ingin mengeluarkan semua isinya ketika pintu kamar yang telah lama terkunci itu dibuka dengan paksa.
"Astaga!" jeritan otomatis keluar dari setiap mulut yang ada di sana saat mata mereka menangkap hal mengerikan yang ada di kamar bernomor tiga belas.
Seorang wanita kepalanya tergantung pada kipas yang menempel di langit-langit kamar. Sementara tubuhnya yang sudah tercabik-cabik teronggok begitu saja di lantai. Lantai kamar yang seharusnya berwarna putih kini berubah kecokelatan karena darah yang telah mengering. Bukan hanya itu, banyak belatung yang mulai menggerogoti kepala dan tubuh wanita itu.
"Adakah yang mengenal siapa wanita ini?"
Semua penghuni indekos menggelengkan kepalanya. Tidak ada yang tau siapa wanita yang mayatnya begitu mengerikan ini. Seorang polisi yang tadi mendobrak pintu kamar segera menghubungi rekannya untuk meminta bantuan.
"Saya ingin bertemu pemilik dan penanggung jawab tempat ini." Polisi muda itu mengedarkan pandangan kepada setiap orang yang ada di indekos yang dominan berwarna hijau itu. Semua orang terdiam dan menunduk tanpa berani menatap mata elang pria berpangkat Brigadir itu. "Saya juga minta keterangan beberapa orang, termasuk kalian yang tinggal berdekatan dengan kamar ini."
"Jangan ada yang masuk ke sini agar tidak ada barang bukti yang hilang."
Minggu pagi yang tragis, ditemukan mayat tanpa identitas dalam kondisi mengenaskan. Polisi terus mengusut kasus ini, namun tidak berhasil mengungkap identitas korban karena wajah wanita itu yang hancur dan sidik jari pun telah rusak serta siapa dalang pembunuhan itu tidak terungkap, semua orang ada di tempatnya masing-masing saat kejadian.
Pada akhirnya kasus ini dihentikan apalagi tidak ada satu pun yang melaporkan telah kehilangan keluarganya.
......................
Mentari menyengat menyapaku sejak pertama kali aku menjejakkan kaki di kota asing ini. Langkah kakiku terseok karena harus menjinjing tas besar serta kardus yang berisi beberapa bahan makanan mentah.
Sesekali aku melirik sobekan kertas yang berisi alamat indekos yang kutulis sendiri. Bangunan berwarna hijau itu tepat ada di depanku. Sebagian cat mulai terkelupas di beberapa bagian dinding bangunan ini, warnanya pun mulai memudar, entah berapa lama bangunan ini tidak dicat ulang oleh pemiliknya.
Aku mengetuk gerbang besi yang sudah berkarat itu perlahan. Setelah cukup lama aku menunggu, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Wanita itu menenteng kain pel saat keluar.
"Ada apa?" Ucapan wanita itu terhenti saat melihatku yang membawa tas besar, "Mbak Hanna?"
"Iya, Bu. Saya Hanna, yang mau tinggal di sini."
"Oh, iya. Silakan masuk, Mbak."
Wati, nama wanita itu. Dia adalah orang yang diberi amanah oleh pemilik indekos untuk membersihkan bangunan ini. Wanita itu mengajak aku ke kamar yang akan aku tempati nantinya. Kamar bernomor tiga belas yang letaknya ada di paling ujung bangunan tiga lantai ini.
"Ini kamarnya sudah dibersihkan dan siap ditempati." Wanita itu membuka pintu kamar. Aku cukup terkesan dengan kamar ini, ternyata meski bangunan ini tampak kusam di luar ternyata sangat berbeda jauh dari kamar ini. Dinding dalam kamar seperti baru dicat ulang. Aroma lavender yang menenangkan menguar begitu pintu terbuka. Lantai kamar juga ternyata berbeda dari yang di luar. Jika di luar menggunakan keramik putih, di dalam kamar keramik berwarna biru yang menyejukkan.
"Semoga betah ya, Mbak. Ini kuncinya, kalau perlu apa-apa datang aja ke kamar saya di lantai dua."
Aku mulai memasuki kamar yang cukup lega dan memiliki kamar mandi di dalamnya. Aku menata baju di lemari kecil yang disediakan oleh pemilik indekos. Aku akan beristirahat sebentar sebelum nanti sore berkenalan dengan penghuni lain.
Aku merebahkan tubuh di atas matras yang kelihatannya juga masih baru ini. Ibu Wati benar, kamar ini langsung bisa ditempati karena sebelum kedatanganku sudah disapu dan dipel sampai kinclong.
Rasanya baru saja aku terlelap, sudah terdengar suara azan Asar dari masjid yang mungkin letaknya tidak terlalu jauh dari bangunan ini. Aku bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibanku. Entah mengapa kamarku tiba-tiba berubah pengap dan panas padahal biasa saja. Keringatku sampai menetes saat aku menunaikan ibadahku. Ketika sudah selesai, kamarku berubah menjadi biasa. Tidak ada rasa panas dan pengap lagi.
Aku melipat sajadah berwarna biru pemberian ibuku beberapa bulan yang lalu, tepat sehari sebelum dia kembali ke hadapan Sang Pencipta.
"Nduk, seberat apa pun jalan kehidupanmu nanti. Ingatlah ada tempatmu untuk mengadu. Bersimpuh lah beralaskan ini. "Ibu berucap sembari menepuk sajadah yang baru dibelinya. Air mataku menggenang setiap mengingat ibuku.
Suara deru motor yang memasuki pekarangan membuatku segera menyeka air mata. Itu pasti suara motor penghuni yang lain. Aku keluar kamar untuk menyapa mereka. Namun, aku bisa melihat keterkejutan di wajah mereka saat aku keluar kamar.
"Hah! Itu kamar ada yang menempati?" Dua gadis yang mengenakan baju yang sama itu saling pandang. Sepertinya mereka pekerja di pabrik yang sama. Aku mengayunkan langkah untuk mendekati mereka sembari tersenyum.
"Assalamualaikum, perkenalkan saya Hanna, penghuni baru di kamar tiga belas," ujarku sembari mengulurkan tangan kepada seorang gadis yang bahkan belum melepas helm nya karena matanya terus mengawasiku.
"Wa-waalaikumsalam, a-aku Wulan." Gadis itu tergugup saat menjawabku bahkan uluran tanganku dibalas setelah rekannya menyentuh bahu gadis itu. Tangan dan pandanganku kini tertuju pada gadis lain.
"Aku Intan. Kamu baru pindah?"
"Iya, saya dari Ungaran. Saya mau kerja di pabrik tidak jauh dari sini. Kalian kerja dimana?"
"Kami kerja di pabrik obat."
Setelah cukup lama mengobrol di depan pekarangan, aku meminta mereka untuk mampir ke kamarku karena aku ingin mereka mencicipi tahu bakso khas Ungaran yang dibuat oleh kakakku. Wajah Wulan tampak memucat saat aku menawari untuk itu, sementara Intan langsung menolak.
"Kapan-kapan saja kita mampir atau kamu saja yang main ke kamarku. Kamarku ada di lantai tiga nomor 35."
"Iya, Han. Sekarang saja ikut kami naik." Wulan yang tadinya diam dan kaku ikut bersuara. Sepertinya mereka tulus mengajakku, jadi aku bergegas mengambil sekotak oleh-oleh untuk dimakan bersama dengan teman-teman baruku.
Aku duduk di kamar mereka. Kamar mereka berukuran sama dengan kamarku hanya saja terlihat lebih kusam. Dindingnya seperti luar bangunan ini berwarna hijau dan sedikit terkelupas. Mungkin di lantai ini harganya jauh lebih murah dari kamarku jadi sengaja tidak dirawat.
"Kalian tinggal berdua di kamar ini?" tanyaku pada keduanya saat kami bersantai di kamar mereka.
"Ya, untuk menekan biaya hidup di kota yang serba mahal ini. Apalagi aku harus ngirim uang untuk biaya sekolah anakku di kampung, "ujar Wulan sembari mencomot tahu bakso.
"Lho, bukannya indekos di sini murah ya. Kamarku per tahunnya hanya dua jutaan."
"Tentu saja kamarmu murah meriah begitu. Orang kamarmu berhantu." Aku menatap Intan yang kesakitan karena dicubit lengannya oleh Wulan setelah mengucapkan hal itu.
"Berhantu?"
...----------------...
...--bersambung--...
Aku semakin kebingungan dengan sikap dua teman baruku yang terlihat saling menyalahkan itu.
"Hantu apa?"
"Mmm, gini, Han. Jadi selama setahun kami di sini banyak sekali kabar burung tentang hantu yang menempati kamar nomor tiga belas. Banyak orang yang tergiur menempati kamar itu karena pemilik indekos menawarkan dengan harga sangat murah tapi penghuni kamar itu hanya sanggup bertahan tidak lebih dari tiga malam saja." Wulan bercerita sembari memainkan ujung bajunya.
"Pemilik tempat ini juga berlaku curang, jika di kamarmu dia menarik uang sekali setahun padahal di kamar lain, kami bayarnya per bulan." Intan melanjutkan cerita Wulan yang baru sepotong.
Aku menghela napas panjang untuk menetralkan jantungku yang berdegup kencang karena cerita yang baru saja aku dengar.
"Dulunya kata warga sekitar sini, ada seorang gadis yang mayatnya ditemukan dalam kondisi mengerikan di kamar yang kamu tempati itu. Tapi orang-orang itu enggan menceritakan detailnya karena masih terbayang mungkin."
"Sudah jangan bahas itu lagi. Kali ini kita berharap saja hantu itu tidak akan menggangu Hanna dan dia sudah pindah dari kamar itu. Eh, aku tadi di pabrik download drama korea. Kata teman satu mesinku bagus." Intan berusaha mengalihkan pembicaraan kami ke hal lain. Tangan gadis berambut sebahu itu meraih ponselnya yang tadinya diletakkan begitu saja di atas meja kecil.
"Han, kamu mau kerja di mana sih terus dari mana tau tentang indekos ini?" tanya Wulan saat Intan sibuk mencari drama korea yang ada di ponselnya.
"Di garmen depan gang itu. Kebetulan aku lihat iklan lowongan pekerjaan di sosial media jadi aku melamar lewat online. Saat aku dapat kabar diterima, buru-buru aku mencari informasi mengenai indekos yang dekat dan murah. Kebetulan banget, ada yang pasang iklan soal kamar kosong dengan harga yang relatif murah. Ya sudah aku hubungi dan setelah bicara aku ambil deh. Aku tidak tau ada cerita seram di balik tempat ini."
Selama drama korea tayang, aku tidak terlalu menikmati alur ceritanya, pikiranku terganggu dengan cerita sadis yang pernah terjadi di kamar yang baru aku tempati beberapa jam lalu. "Tan, lalu sebenarnya siapa wanita itu?"
Intan yang tengah fokus pada drama korea sepertinya tidak mendengar pertanyaanku. Dia dan Wulan tampak larut dapam cerita yang diperankan oleh Song Hye Kyo itu. Sementara aku sama sekali tidak bisa fokus, memilih memainkan ponselku. Azan Magrib berkumandang membuat kami bertiga berhenti dari kegiatan masing-masing.
"Aku turun dulu ya. Mau salat sekalian menyiapkan keperluanku besok," pamitku pada dua temanku.
"Hati-hati, Han. Kalau kamu takut di kamar langsung naik saja. Tidur sama kita di sini." Intan menatap wajahku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.
"Terima kasih. Semoga nanti di kamarku tidak terjadi apa-apa." Aku bergegas meninggalkan kamar mereka. Beberapa kamar yang ada di lantai tiga sudah menyala lampunya sebagai pertanda para penghuninya sudah kembali. Besok saja aku akan berkenalan dengan yang lain.
Turun ke lantai dua, hanya ada tiga kamar yang lampunya menyala. Aku juga berpapasan dengan Mbak Wati yang hendak ke kamar, kebetulan lantai dua ini khusus untuk kamar yang kamar mandinya di luar.
"Mbak," sapaku ramah. Wanita paruh baya itu tersenyum kemudian segera masuk ke kamar. Berjalan menuju diiringi suara azan yang berkumandang membuatku tenang. Tepat aku ada akan turun, suara azan berhenti.
Tiba-tiba saja aroma wangi bunga begitu menyengat hidung. Mataku terus menatap seorang wanita menggunakan gaun seperti gamis putih yang telah kusam perlahan naik ke atas tangga. Wajahnya menunduk tertutup oleh rambut panjangnya yang terjuntai. Ada sedikit merasa takut saat menatap sosoknya. Pikiran burukku segera aku tepis, aku berpikir paling dia adalah salah satu penghuni indekos ini.
Aku dan perempuan itu berada di anak tangga yang sama saat aku berusaha menyapanya.
"Mbak, baru pulang kerja? Perkenalkan nama saya Hanna. Saya..." Wanita itu terus berlalu tanpa memedulikan tanganku yang terulur. Aku memilih segera mempercepat langkahku turun, selain karena malu tapi ada kengerian sampai bulu kudukku berdiri saat berdekatan dengan wanita itu. Belum sampai aku di anak tangga terakhir, aku menoleh ke belakang tapi wanita itu sudah tidak ada. Cepat sekali dia menghilang.
Aku membuka kunci kamarku, begitu pintu terbuka bau anyir menyeruak dari dalam hampir membuat aku mengeluarkan isi perutku. Seketika aku ingat dengan pewangi ruangan yang ada di jendela kamarku. Sebelum pamit tadi, Mbak Wati berpesan jika ada bau tidak sedap semprot dengan pewangi karena pewangi ruangan ini adalah bonus bagi setiap penghuni baru. Aku menyemprotkan ke segala arah meski bau anyir tidak hilang sepenuhnya, tapi setidaknya wangi lavender cukup menyamarkan bau busuk yang entah dari mana itu.
Dengan sedikit menahan napas, aku menjalankan kewajibanku. Sama seperti saat salat Asar, ruangan ini berubah menjadi panas dan gerah. Padahal di luar angin tengah bertiup kencang.
"Berhenti!" Mataku terbelalak ketika tiba-tiba saja terdengar sebuah bisikan dengan suara serak, begitu dekat di sebelah kiriku saat aku tengah bersujud. Meski bulu kuduk berdiri karena rasanya seseorang tengah meniupiku, tidak boleh aku biarkan itu mengusik ibadahku. Dalam hati, aku terus berdoa semoga bisa melalui saat mendebarkan ini tanpa meninggalkan kewajiban yang tengah aku jalankan. Sebisa mungkin aku melawan rasa takutku.
Usai salat, suasana kamar ini kembali seperti sedia kala. Tenang dan tidak panas. Aku meraih ponselku untuk menghubungi keluargaku satu-satunya, yaitu bapak. Pasti beliau mencemaskanku karena setibanya di kota ini, aku tidak memberi kabar. Aku mencari kontak yang aku beri nama, 'Bapak RT O3'. Setelah cukup lama aku menunggu, akhirnya panggilanku diterima. Bukannya menanyakan kabar putrinya, bapakku justru marah karena aku menghubunginya bukan di saat yang tepat.
"Heh, apa kamu itu sudah lupa sama didikan bapa dan ibumu? Selepas magrib baca Qur'an. Jangan main handphone terus" Wajahnya yang berhias kumis tampak memasang wajah angker. Begitulah bapakku selalu keras dalam bidan pendidikan terlebih soal agama, tidak ada kata nanti dan toleransi.
"Hanna sudah salat, Pak. Sudah mengaji juga. I-ini mau memberi kabar kalau Hanna sudah sampai di sini dengan selamat."
"Alhamdulillah," ucap bapak sembari membetulkan pecinya yang miring tadi.
"Bapak sudah makan?" Pria paruh baya itu tampak mengusap kelopak matanya meski hanya melalui sambungan video call, aku bisa melihat air mata yang sedari tadi ditahannya agar tidak mengalir. "Bapak cengeng. Belum ada sehari ditinggal Hanna keluar kota sudah menangis," ejekku padanya tidak dijawab, bapak justru tampak sesenggukan sembari menatapku. Tentu saja hal ini juga membuatku berderai air mata. Apalagi ini kali pertama aku jauh dari beliau selain. Selain itu, ibu baru saja berpulang beberapa bulan lalu.
"Ini ada apa, ya? Bapak malah menangis terus kaya anak kecil." Suara seorang perempuan yang sangat aku kenal terdengar dari seberang. Bapak menyerahkan ponselnya ke wanita itu tampak dari perubahan gambar yang aku lihat.
"Oalah, Han. Bagaimana kamu sudah sampai di tempat barumu?"
"Sudah, Mbak. Alhamdulillah. Besok pagi Hanna sudah mulai training di pabrik. Minta doanya ya, Mbak."
"Selalu, Nduk. Doa bapak dan mbakmu selalu ada untukmu. Oh iya, Masmu juga mendukungmu."
"Terima kasih ya, Mbak. Sudah mau berkorban menjaga bapak sementara aku di sini. Nanti kalau sudah mapan, Hanna mau ajak bapak tinggal di sini."
Kakak perempuanku satu-satunya itu hanya tersenyum mendengar impianku yang saat ini terlihat masih sangat jauh. "Kalau bapak mau meninggalkan rumah ini sudah dari dulu aku boyong ke Jakarta, Nduk. Tau sendiri bapak setiap diajak ke Jakarta pasti sebelum berangkat selalu sakit."
"Mungkin karena di rumah itu tersimpan banyak kenangan ibu, Mbak." Kakakku mengangguk.
"Kamu di sana sudah punya teman kan, Han?"
"Iya, Mbak. Dua orang tapi kamarnya di atas. Kalau yang satu lantai sama aku belum ada, Mbak."
"Lah itu yang di sampingmu itu siapa? Temanmu yang dari lantai atas?"
"Te-teman? Teman yang mana, dari tadi Hanna sendirian, Mbak."
...----------------...
...--bersambung--...
Rasa penasaran tentang siapa sosok yang dilihat Mbak Arum di sampingku selama kami berbincang belum terjawab. Sambungan telepon antara aku dan orang rumah tiba-tiba saja terputus. Sinyal full, paket data juga masih banyak, apa mungkin di tempat Bapak sedang ada masalah.
Bulu kudukku merinding saat pertanyaan Mbak Arum terngiang. Siapa yang sebenarnya dia lihat. Padahal sudah jelas aku di kamar ini seorang diri. Ah sudahlah, lebih baik aku mengisi perut dengan nasi putih dan serundeng bekal yang aku bawa dari Ungaran tadi, semoga saja masih enak.
Jarak antara Solo dan Ungaran tidak terlalu jauh juga, seharusnya nasi dan lauknya masih layak makan. Aku bernapas lega karena bekalku masih bisa digunakan untuk mengganjal perutku. Aku harus menekan biaya hidup sehemat mungkin. Karena uang yang aku bawa harus cukup sampai waktu gajian tiba. Aku tersenyum menertawakan diriku yang sudah memikirkan gaji padahal kerja saja belum.
Saat aku tengah menyantap makanan, tiba-tiba saja serundeng yang terbuat dari parutan kelapa itu bergerak-gerak. Segera aku menyendok serundeng yang seolah bergerak itu. Aku mempertajam indera penglihatanku agar bisa melihat dengan jelas.
"Astagfirullah!" Aku melempar piring yang tengah kupegang hingga isinya berserakan mengotori lantai kamarku. Jantungku hampir saja berhenti berdegup setelah memastikan serundeng yang aku makan bukanlah parutan kelapa tapi belatung yang masih hidup.
Rasanya tidak mungkin serundeng itu berbelatung. Mbak Arum baru memasaknya semalam tapi dari mana hewan yang menjijikkan itu datang. Anehnya setelah nasi dan serundeng itu berserakan ke tanah para belatung itu pun lenyap. Dengan jijik aku membersihkan bekas nasi yang berserakan, takut kalau hewan kecil itu datang lagi. Perlahan aku menyapu kamar meski langit sudah gelap.
"Jangan menyapu di malam hari kalau tidak mau ada musibah." Aku mendengar suara yang terbawa angin, entah siapa yang mengucapkannya. Meski hatiku gentar pada suara yang entah dari mana itu tetap saja aku melanjutkan pekerjaanku menyapu dan membuang kotoran di tong sampah yang letaknya di depan pintu kamarku. Rasanya tidak mungkin membiarkan kamarku kotor, bisa-bisa mengundang semut di kamarku.
Saat aku ada di luar kamar, tiba-tiba saja pintu kamarku tertutup dan menimbulkan suara yang cukup keras seperti ada yang membanting pintu dengan kemarahan padahal saat ini tidak ada angin yang bertiup. Aku berusaha menenangkan hatiku meski terkejut dan takut. Aku berharap semua itu terjadi akibat tiupan angin.
Segera aku buka pintu kamar karena sedari tadi aku merasa ada yang tengah mengawasi gerak-gerikku padahal tidak ada aktivitas dari penghuni yang lain.
Aku melanjutkan aktivitasku dengan memilih baju pertama yang akan aku kenakan besok hari. Aku harus tampil rapi dan sempurna di hari pertama kerja. Tidak boleh ada yang salah. Aku memilih kemeja warna biru muda dan celana kain warna hitam. Setelah itu, aku menyetrika baju dan celana yang telah kupilih kemudian kugantungkan di capstock yang tersedia di balik pintu kamarku.
Aku memutuskan untuk tidur agar esok hari saat kerja kondisiku dapat prima. Entah berapa lama aku terlelap, tiba-tiba saja wajahku basah seperti ada yang memercikkan air. Di dalam keadaan mata tertutup aku mengusap air yang membasahi wajah. Apa mungkin ada kebocoran di langit-langit tapi bukankah tepat di atas kamarku adalah kamar juga. Jadi, mana mungkin ada kebocoran.
Perlahan aku membuka mataku, samar aku melihat di langit-langit kamarku berputar kipas angin. Pantas saja kamar ini sejuk rupanya ada dua kipas angin sebagai fasilitasnya tapi bukankah tadi siang hanya ada kipas yang menempel di dinding, lalu siapa yang memasangnya atau mungkin tadi aku tidak memerhatikan karena sibuk mengobrol dengan Ibu Wati.
Di saat kesadaranku hampir pulih, mataku menangkap sesuatu yang janggal di kipas angin. Ada sesuatu yang menggantung di sana. Wujudnya menyerupai kepala yang sudah tertebas, pada bagian lehernya terus mengucurkan darah.
"Aaargh!" Mataku semakin terbelalak saat menyadari yang aku kira itu air rupanya darah telah menciprati wajah bahkan badanku. Sontak aku berdiri dan hendak berlari keluar untuk meminta pertolongan seseorang. Namun, langkahku terhenti ketika pintu kamar mandi terbuka, sesosok wanita berwajah rata dan berbaju putih dengan bercak kecoklatan keluar dari sana. Perlahan mendekat ke arahku. Aku ingin berteriak agar seseorang menolongku tapi kerongkonganku seperti tercekat.
Wanita itu semakin dekat, dadaku semakin sesak. Setelah itu gelap dan tidak ada kurasakan apa pun. Mungkin inilah yang dinamakan pingsan.
Entah berapa lama aku tidak sadar hingga aku merasa seseorang menepuk pipiku perlahan. Mataku memicing takut hal yang mengerikan seperti tadi terulang. Hatiku lega, saat kipas di langit-langit kamarku sudah lenyap karena memang tidak ada. Aku merapatkan selimut yang sempat tersingkap sedikit. Sepertinya kejadian yang aku alami tadi juga hanya mimpi buruk. Karena kalau nyata harusnya aku tidur tepat di dekat pintu. Saat ini aku sudah ada di kasur serta tidak ada darah di wajahku.
Aku memindahkan posisi tidurku menghadap ke arah dinding kamar. Mataku yang masih samar-samar menangkap ada sesuatu di depanku. Putih dan panjang, mungkin ini guling. Rasa kantukku membuatku lupa bahwa kamar ini tidak ada guling yang disediakan. Aku memeluk guling itu untuk mengusir hawa dingin yang menyeruak. Tapi tunggu, kenapa saat tanganku menyentuhnya benda itu terasa sangat dingin.
Mataku mengerjap untuk memastikan benda yang tengah kupeluk itu.
"Aaargh! Apa ini? Kenapa ada tubuh tanpa busana dan penuh luka di kamarku? Di-dia juga tidak berkepala!"
Sontak aku bangkit berdiri dan segera lari tunggang-langgang langsung meninggalkan kamarku. Aku harus mencari pertolongan tapi semua kamar di lantai satu dalam keadaan gelap seperti tidak ada kehidupan. Oh iya, aku tau harus ke mana. Segera aku berlari menuju tangga untuk ke kamar Intan dan Wulan. Aku harus meminta bantuan ke mereka.
Dengan terengah-engah aku berlari menaiki tangga. Apa ini? Kenapa tidak juga sampai di ujung tangga? Padahal sepertinya aku sudah menaiki banyak tangga.
"Bu Wati! Wulan! Intan! Tolong aku!" Tidak ada seorang pun yang terlihat di ujung sana. Di tengah usahaku untuk sampai di ujung tangga, indera pendengaranku menangkap suara tangisan. Saat aku menoleh ke belakang, terlihat sesosok wanita berbaju putih serta rambut panjang dan gimbal tengah merayap perlahan naik tangga sembari menangis. Kakiku yang semula terus berlari kini hanya kaku seolah terpaku oleh anak tangga.
"Tidak! Lepaskan!" Aku berteriak ketakutan saat tangan dengan kuku panjang dan hitam itu mencengkeram pergelangan kakiku. Wajah wanita itu mendongak ke arahku. Matanya merah menyala dengan darah terus meleleh dari sudut mata. Bibirnya yang hitam dan lebar menyeringai memamerkan gigi runcing serta mulutnya penuh dengan belatung.
"Lepaskan aku! Jangan ganggu aku!" Teriakanku begitu keras tapi sepertinya tidak ada yang mendengar. Di saat kakiku dalam cengkeraman wanita mengerikan itu, dari arah atas terdengar suara seperti benda jatuh. Mataku terbelalak dan napasku juga tercekat. Bagaimana tidak? Sebuah kepala dengan rambut panjang menggelinding seperti bola menuju ke arahku. Kepala itu berhenti tepat di depanku, menatapku dengan tajam. Wajahnya hancur dan ada beberapa belatung yang terlihat menggerogoti potongan kepala itu.
...----------------...
...--bersambung--...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!