Bagian 10: Angkringan Tak Kasat Mata

Aku menatap dengan bingung pada pertanyaan yang diajukan oleh pria yang menepuk bahuku. Rupanya mereka ada tiga orang pria usianya mungkin sebaya dengan bapak.

"Mbak! Jangan bengong di tempat angker seperti ini!"

"Saya tidak bengong hanya berpikir keras. Mengapa bapak-bapak bertanya saya sedang ada di kuburan? Saya ini sedang makan di angkringan lo. Ini nasinya." Aku mengacungkan nasi yang ada di tanganku. Ketiga pria itu tampak saling memandang dan berbisik.

"Mbak, coba kamu mengucapkan istigfar. Insyaallah mata anda akan terbuka lebar setelah itu."

Meski banyak pertanyaan di kepalaku, aku mengucapkan kalimat istigfar. Seusai aku membacanya tiba-tiba saja suasana angkringan yang tadinya terang dan ramai pengunjung berubah menjadi gelap.

"Lo, kemana perginya orang-orang tadi lalu kenapa sekarang sangat gelap?"

"Perhatikan baik-baik, Mbak sedang ada dimana? Bro, tolong senteri lokasi sekitar." Mataku terbelalak karena semua tempat yang diterangi oleh senter adalah batu-batu nisan yang berjejer.

"Ke-kenapa bisa seperti ini? Ta-tadi saya sedang ada di angkringan. Ini nasinya bahkan ada di tanganku." Mendengar ucapanku pria itu menyinari piring yang aku pegang. Aku melemparkan benda yang kukira makanan tadi setelah tau bahwa itu bukan piring berisi nasi melainkan pecahan genteng yang atasnya diletakkan daun jati serta tanah merah dan dipenuhi cacing serta bertaburan bunga kering dan bunga kamboja yang mekar. Tubuhku bergetar hebat karena ketakutan.

"Mbak, rumahnya mana biar kami antar?"

Aku ingin menolak bantuan mereka karena tidak nyaman harus berjalan dengan pria yang sama sekali tidak aku kenal. Namun, aku juga tidak mungkin pulang ke rumah sendirian, selain tidak tau arah jalan pulang, aku pun takut akan bertemu makhluk tidak kasat mata.

"Terima kasih, Pak," ucapku singkat. Saat pada akhirnya aku menyetujui usulan mereka.

"Mbak, tinggal dimana?"

"Tempatnya Bu Wati, Pak." Aku menjawab itu karena indekosku itu tidak mempunyai plang nama.

"Ibu Wati? Yang mana?"

"Yang di gang belakangnya pabrik garmen, nomor empat." Raut wajah yang terlihat terkejut tidak bisa mereka sembunyikan.

"Ja-jadi mbak ini tinggalnya di sana. Pantas saja mengalami hal-hal mistis. Jangan-jangan tinggal di kamar tiga belas ya?"

Jika tadi mereka yang terkejut, kini giliran aku yang terperangah dengan ucapan mereka. Sebegitu angkernya tempat itu karena hampir semua orang menjadikannya buah bibir.

"I-iya, Pak. Memangnya ada apa ya? Memang ada yang terjadi pada penghuni kamar itu?"

"Semua penghuni di sana mengalami nasib buruk, Mbak. Kalau saran saya mending mbak segera cari kontrakan lain ketimbang selalu dihantui."

Seorang pria yang berjalan di depanku tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arahku. "Mbak, lebih baik kamu turuti saja permainan penunggu kamar itu. Karena percuma kamu pergi pun akan selalu dikejar dan dia akan selalu berhasil menggangu orang yang diincarnya."

Mata pria itu tajam menatapku. "Ta-tapi, Pak, bagaimana saya bisa membantunya? Saya tidak tau menahu tentang dia."

Keheningan kembali menyelimutiku dan orang-orang yang sudi mengantarku. Aku hendak membuka gerbang tapi ternyata sudah digembok lagi. Mungkin Bu Wati yang menguncinya karena seingatku tadi saat aku keluar, gerbang ini terbuka lebar.

Aku mengetuk dengan sedikit lebih keras agar Bu Wati atau penghuni lain terbangun dan membukakan pintu. Cukup lama aku menunggu, pintu dibuka oleh Bu Wati yang masih setengah mengantuk. Setelah aku mengucapkan terima kasih pada bapak-bapak itu aku segera masuk ke dalam.

"Mbak Hanna dari mana sih? Jam segini baru pulang."

"Ta-tadi itu, Bu. Saya cari makan di luar terus kesasar jadi minta bapak-bapak yang tadi itu untuk mengantar ke sini."

"Mbak Hanna keluar lewat mana? Kan gerbangnya selalu saya kunci setelah jam dua belas malam dan tidak ada yang punya kunci cadangan."

"Ta-tadi sekitar jam setengah dua sih, Bu. Gerbangnya masih terbuka kok," ujarku sembari mengingat waktu Wulan jadi-jadian itu mengajakku keluar.

"Yo, tidak mungkin. Tadi saya habis mengunci langsung tidur. Atau jangan-jangan Mbak Hanna punya kekuatan super yang bisa menembus dinding." Aku menggeleng karena semua yang terjadi ini masih membingungkan aku. Dari Wulan yang ternyata bukan Wulan, lalu hantu di angkringan sampai makanan yang tersaji di sana. Jika makanannya ternyata adalah tanah lalu teh panas yang satu gelas telah aku tandas kan itu sebenarnya air apa. Perutku merasa mual mengingat itu.

"Mbak Hanna, silakan masuk kamar. Saya mau naik ke atas dulu soalnya saya mau melanjutkan bertemu dengan Pak Pardi dulu." Wanita paruh baya itu hendak meninggalkanku. Namun, buru-buru aku mencegahnya.

"Mas Pardi itu siapa, Mbak? Suaminya ya? Apa suaminya sedang ada di sini?" tanyaku penasaran karena yang aku tau Bu Wati adalah seorang janda tanpa anak.

"Bukan, Mbak. Mas Pardi itu... Ah, jadi malu ngomongnya," ujarnya sambil menutup mulutnya, "dia itu pangeran berkuda putih saya alias kalau kata anak muda sekarang itu pacar halu." Bu Wati tersenyum tersipu malu.

"Pacar halu kok namanya Pardi, Bu? Kenapa tidak sekalian Lee Min Ho atau Kim Taehyun atau siapa gitu yang keren dan ganteng." Aku tertawa kecil sejenak melupakan hal yang menakutkan.

"Wah, saya tidak tau siapa itu yung-yung itu. Mending membayangkan Mas Pardi. Dia itu tidak kalah gantengnya dengan artis yang sering main sinetron itu. Mas Pardi itu kalau difoto mirip sama itu lo, Mbak, artis Taiwan yang namanya Jerry Yan."

Aku hanya tertawa kecil mendengar celoteh wanita yang mungkin seusia mendiang ibuku. Ternyata tidak hanya anak muda saja yang punya pacar halu tapi golongan wanita setengah baya pun sama.

"Mbak, saya naik dulu ya," pamit Bu Wati.

"Tunggu, Bu. Hanna ikut naik ke atas ya. Hanna mau ke kamarnya Intan."

Aku dan Bu Wati berjalan beriringan. Rasa takut itu selalu datang saat aku ada di tangga, bayangan teror itu terus hadir. Untung saja tidak terjadi apa-apa. Saat harus berpisah dengan penjaga indekos itu mulai timbul ketakutan, akankah di tangga menuju lantai tiga hantu itu kembali menampakkan wujudnya yang mengerikan, semoga saja ketakutanku tidak terjadi. Aku berlari kecil saat menaiki tangga sembari terus melantunkan salawat dan doa agar tidak diganggu lagi. Untunglah tidak terjadi hal-hal aneh.

"Tan! Bukain pintu dong!" Perlahan aku mengetuk pintu kamar sahabatku. Tidak lama Intan membuka pintu kamar dengan setengah mengantuk, tentu saja ini masih sangat larut.

"Masuk, Han. Kamu dari mana sih? Kapan kamu keluar kamarnya perasaan tadi tiduran di sampingku."

Aku segera masuk kamar sebelum aku menjawab pertanyaan yang diajukan Intan. Segera aku mengunci pintu dan menarik Intan ke kasur.

"Wu-wulan. Di-dia berubah jadi hantu," ujarku dengan terbata. Aku ingin menceritakan kejadian yang baru aku alami. Tiba-tiba saja selimut tersingkap. Wulan mengerjapkan matanya ke arahku.

"Hmm, aku kenapa?" tanyanya setengah sadar rupanya dia sempat mendengar ucapanku. Bohong jika aku bilang aku percaya sepenuhnya bahwa dua orang di hadapanku adalah dua sahabatku. Untuk memastikannya aku mencubit pipi mereka satu per satu. Mereka mengaduh kemudian membalasku dengan toyoran karena tingkahku yang mungkin aneh.

"Jadi tadi aku kebangun terus kamu, Lan, ngajak aku keluar cari makan."

Aku menceritakan kejadian mengerikan sampai akhirnya aku kembali ke kamar ini.

"Kamu baik-baik saja kan, Han? Hantu itu tidak mencelakakan kamu kan?" Intan dan Wulan memelukku erat.

"Alhamdulillah, aku sejauh ini baik-baik saja hanya agak takut sama orang. Aku takut itu hantu yang menyerupai manusia."

Mataku menangkap ada gelagat yang aneh dari dua sahabatku. Mereka terlihat saling pandang dan seperti ada yang mereka sembunyikan. Aku menyentuh bahu keduanya, "ada apa?"

"Mmm, kalau kamu di luar lalu tadi siapa yang kami berdua temui di kamarmu?"

Wulan menceritakan bahwa saat keluar dari kamar mandi, dia tidak melihatku berada di kamar, dia tidak melihatku berada di kamar. Segera dia membangunkan Intan untuk mencariku ke bawah. Saat mendekati kamar, mereka melihatku duduk sendiri di depan pintu.

"Nah, pas aku tegur kamu, katanya kamu gerah tidur bertiga di ruangan yang sangat sempit, jadi kamu turun ke bawah. Aku tanya apa kamu tidak takut di kamar sendiri. Kamu diam saja terus pamit mau tidur dulu."

"Aku sempat kesal sama kamu, Han. Soalnya ditanya baik-baik malah jawabannya ketus, apalagi pas nutup pintu dengan sedikit dibanting," imbuh Intan dengan berapi-api. "Tapi setelah sekarang tau kalau itu bukan kamu, kesalku reda berganti rasa takut sekarang." Intan meremas tanganku.

Aku, Wulan, dan Intan tidak lagi bisa memejamkan mata karena hal yang baru saja kami alami. "Lan, apa penghuni kamarku yang sebelumnya juga mengalami hal menyeramkan ini?"

"Aku tidak tau pastinya, soalnya orang itu pindah setelah menempati kamarmu hanya satu malam. Pagi harinya dia pamit tanpa cerita apa-apa."

Kami bertiga menghabiskan sisa malam ini dengan bercerita dan bercanda agar sedikit lebih tenang. Tanpa disadari azan subuh sudah terdengar di telinga, sementara mata ini tidak juga mau terpejam. Bergantian aku dan Intan melaksanakan salat, sementara Wulan yang sedang halangan memilih meringkuk di balik selimut.

"Tan, kepalaku pusing banget. Kayanya perlu rebahan bentar deh. Biar nanti kerjanya juga enak."

Sebelum tidur aku pastikan memasang alarm agar tidak kesiangan. Saat Intan dan Wulan mulai terdengar mendengkur, aku tidak bisa tidur, rupa hantu yang terus menerorku seolah tidak ingin lepas dari pelupuk mata.

Alarm berbunyi sebagai pertanda harus segera bersiap ke tempat kerja. Aku membangunkan Intan yang juga masuk pagi.

"Tan, udah jam enam, bangun! Aku mandi duluan ya," ujarku sembari mengalungkan handuk, sementara Intan masih menggeliat-geliat.

Di kamar mandi masih terbayang peristiwa saat gayung berubah menjadi kepala, membuatku sedikit ketakutan. Namun, ingatanku akan kewajibanku membuatku melawannya dan segera mandi. Air dingin membasahi tubuhku dan membuat kulitku merinding kedinginan. Tentu saja badanku menggigil, karena malam tadi aku tidur hanya sekejap saja.

"Tan, aku ke bawah sekalian berangkat kerja dulu ya," pamitku pada Intan yang gantian berjibaku dengan dinginnya air.

"Perlu ditemani tidak?"

Intan membuatku terkejut karena tiba-tiba melongokkan kepala dari pintu yang terbuka sedikit. Aku menggeleng, rasanya akan baik-baik saja ke kamarku sendiri di hari yang sudah terang benderang ini.

"Yakin?" tanyanya sembari mengusap rambut yang penuh busa sampo.

"Yakin, sudah terang begini. Hantu kan keluarnya malam."

"Ya sudah hati-hati, Han." Aku mengangguk dan bergegas keluar kamar setelah pintu kamar mandi ditutup kembali oleh Intan. Beberapa kamar terlihat juga sudah ada yang mulai beraktivitas. Aku sempat menyapa beberapa di antaranya. Namun, tanggapan mereka dingin. Ah sudahlah, lebih baik aku segera turun dan masuk ke kamarku.

Aku membuka pintu kamar yang semalam aku tinggalkan begitu saja. Kondisinya masih sama seperti semalam. Sedikit berantakan. Segera aku mengganti bajuku dengan seragam yang baru diberikan oleh pabrik kemarin. Setelah memantaskan diri sejenak melalui layar ponsel, segera aku mengayunkan kaki menuju pabrik tempat kerjaku.

Seperti sebuah kebetulan Indah lewat, kali ini dia berjalan kaki sama seperti pertama kali aku berkenalan dengannya.

"Mbak, semalem ada yang menggangu tidak?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Salam dulu, Cah Ayu." Indah meringis kecil kemudian mengucapkan salam tanpa membiarkan aku menjawab, gadis itu kembali merepet dengan pertanyaan-pertanyaan padaku.

"Tunggu dong, aku jawab dulu salammu. Waalaikumsalam," ujarku sembari mengusap rambut yang dicat warna biru itu.

"Jadi gimana, Mbak?"

"Apanya?"

"I-itu hantunya menampakkan diri?"

"Ohh, tidak cuma menampakkan tapi meneror. Nanti saja jam istirahat aku ceritain semua. Ini kita harus cepat karena sudah hampir telat kita." Aku dan Indah mempercepat langkah kaki.

Keringatku menetes liar. Bagaimana tidak, saat di gerbang waktu yang kumiliki untuk sampai ke gedung hanya dua menit yang tersisa, memaksaku dan Indah berlari. Napasku terengah ketika menempelkan jari untuk presensi.

"Han, kamu kenapa? Sampai ngos-ngosan seperti dikejar anjing saja." Bu Ning, rupanya memperhatikanku yang tengah menaruh tas di lemari.

"Hampir terlambat, Bu."

Besok-besok walau rumahmu dekat mesti harus lebih pagi berangkatnya. Oh iya, hari ini jadwal buat rolling sift sudah keluar ya."

"Oh iya, Bu. Mohon maaf kalau saya mau lihat jadwal dimana, Bu?"

Wanita paruh baya itu menunjuk papan yang ada di samping lemari. Setelah mengucapkan terima kasih, aku berjalan mendekati papan nama. Menemukan namaku memang cukup mudah karena posisiku sebagai QC tidak terlalu banyak nama yang harus aku lewati. Ini dia ada namaku. Mulai besok senin dan satu minggu ke depan aku mendapat jatah sift malam. Meski takut, ini lebih baik agar tidak diteror oleh hantu yang ada di kamarku itu.

"Han, kamu tidak apa-apa kan masuk malam? Soalnya seharusnya anak baru sepertimu belum dirolling, tapi saya pikir kerja kamu bagus dan personel QC yang sangat terbatas jadi namamu ikut saya rolling."

Aku hanya tersenyum dan bersiap memulai pekerjaanku karena aku melihat sudah ada beberapa pekerja yang mulai menghidupkan mesinnya. Dibantu oleh Bu Ning, aku mempersiapkan semua bahan-bahan kain yang masuk dan harus dikerjakan para tim produksi.

Hari ini meski harus bekerja dalam keadaan kurang tidur dan kepala yang sangat pening, nyatanya tidak membuat kinerjaku turun. Bersyukur tidak ada kendala yang berarti seharian ini hanya terkadang mata ini berat sekali.

Saking terlalu dalam pekerjaan, aku tidak menyadari bel tanda istirahat sudah berbunyi sedari tadi. Kalau saja Indah tidak mendatangiku dan mengajakku untuk makan, aku pasti masih sibuk dengan pekerjaanku.

"Mbak, ayo ke kantin," ajak Indah, "tidak usah paksa kerja."

"Sebentar." Buru-buru aku meletakkan semua peralatan kerjaku.

Aku keluar gedung bersama Indah berjalan beriringan menuju gedung kantin.

"Mbak, cerita dong. Teror yang kamu rasakan itu seperti apa? Selama ini kan Indah cuma denger dari cerita orang, mumpung ini kamu yang ngalamin sendiri memang seseram apa?"

Aku menceritakan semua kejadian yang aku alami selama beberapa hari tinggal di tempat itu. Indah tidak berhenti mengusap tengkuknya.

"Mbak, tidak takut? Aku yang dengar saja serem lo." Gadis itu menggeser duduknya dari yang semula ada di hadapanku, kini berpindah ke sebelahku. Tangannya yang kecil mengusap lenganku.

"Aku tentu saja ketakutan bahkan sampai sekarang aku sama sekali tidak tidur karena setiap membuka mata selalu wajah mengerikan itu muncul dengan tawanya yang menyeringai lebar."

"Mbak, pindah saja dari sana."

"Rasanya percuma, kemarin aku tidur di kamar temanku saja tiba-tiba sudah pindah ke kamar itu."

"Kamar itu memang terkutuk. Begini saja, Mbak Hanna tinggal di rumahku saja. Orang tuaku pasti setuju." Aku hanya diam tidak bereaksi dengan tawarannya karena aku bingung dengan semua yang terjadi.

"Mbak, jangan sampai terlambat dan kamu akan jadi korban selanjutnya."

...----------------...

...--bersambung--...

Terpopuler

Comments

YT FiksiChannel

YT FiksiChannel

curiga gw Ama Wulan

2023-01-21

1

Herry Ruslim

Herry Ruslim

cari kek ustad,atau pak haji,bloon emang lu Han...

2022-11-20

1

lihat semua
Episodes
1 Bagian 1: Penemuan Mayat Mengerikan
2 Bagian 2: Wajah Yang Terekam Kamera
3 Bagian 3: Teror Malam Pertama
4 Bagian 4: Teror Hantu Kepala
5 Bagian 5: Kasus yang Tidak Selesai
6 Bagian 6: Dia Terus Mengikuti
7 Bagian 7: Korban Kamar Tiga Belas
8 Bagian 8: Dia yang Menyerupaiku
9 Bagian 9: Makanan dari Dunia Lain
10 Bagian 10: Angkringan Tak Kasat Mata
11 Bagian 11: Hantu Muka Rata
12 Bagian 12: Misteri Hilangnya Gayatri
13 Bagian 13: Terjebak di Makam Keramat
14 Bagian 14: Ada Apa di Gedung Itu?
15 Bagian 15: Ada Pocong!
16 Bagian 16: Senandung dari Dunia Lain
17 Bagian 17: Pengkhianat
18 Bagian 18: Siapa Kekasihmu?
19 Bagian 19: Teror Wanita Tanpa Rupa
20 Bagian 20: Cuekin Hantunya
21 Bagian 21: Kesurupan Massal
22 Bagian 22: Akibat Melanggar Peraturan
23 Bagian 23: Senandung Itu Kembali
24 Bagian 24: Finger Print
25 Bagian 25: Teror Hantu Ada Dimana Saja
26 Bagian 26: Kunti Ganjen
27 Bagian 27: Menunggu Sebuah Jawaban
28 Bagian 28: Pengkhianatan yang Terkuak
29 Bagian 29: Promo Diaper
30 Bagian 30: Ayam Cemani
31 Bagian 31: Mencuri Dengar
32 Bagian 32: Bunga Kantil
33 Bagian 33: Bubur Mie
34 Bagian 34: Kejutan!!
35 Bagian 35: Bedak Pelet
36 Bagian 36: Balas Dendam
37 Bagian 37: Gayatri Adalah...
38 Bagian 38: Rayuan si Cemeng
39 Bagian 39: Pergi ke Masa Lalu
40 Bagian 40: Kecantikan Gayatri
41 Bagian 41 : Ritual Pengusiran atau Pengundang
42 Bagian 42 : Amarah yang Membakar
43 Bagian 43: Dendam Gayatri
44 Bagian 44: Selendang sang Penari
45 Bagian 45: Saksi Penemuan Mayat
46 Perjanjian Siren karya baru Parasian
47 Bagian 46: Kutukan si Penari
48 Bagian 47: Wulan Terkunci di Kamar 13
49 Bagian 48: Kotak si Penari
50 Bagian 49: Kesakitan Intan
51 Bagian 50: Nyawa Pengganti
52 Bagian 51: Dia Meninggal!
53 Bagian 52: Upaya Memulihkan Wulan
54 Bagian 53: Selendang Hijau Sang Penari
55 Bagian 54: Percobaan Bunuh Diri
56 Bagian 55: Riwayat Misteri Kamar 13
57 Bagian 56: Pengantin Baru
58 Bagian 57: Janji Setia
59 Bagian 58: Ajakan Rujuk
60 Bagian 59: Diari
61 Bagian 60: Budak Sang Penari
62 Bagian 61: Rombongan Penari yang Mengerikan
63 Bagian 62: Dia yang Tidur di Kasurku
64 Bagian 63: Tamu Tidak Diundang
65 Bagian 64: Pembohong
66 Bagian 65: Kadal Comberan
67 Bagian 66: Tumbal Pesugihan
68 Bagian 67: Cemburu Itu Ada
69 Bagian 68: Buku Catatan
70 Bagian 69: Wanita di Rel Kereta Api
71 Bagian 70: Jadian
72 Bagian 71: Teror Intan
73 Bagian 72: Terjebak di Kampung Gaib Lagi
74 Bagian 73: Wanita yang Serupa Denganku
75 Bagian 74: Mimpi Buruk
76 Bagian 75: Identitas Pemilik Indekos
77 Bagian 76: Sop Buntut atau Jari Manusia
78 Bagian 77 : Tumbal Penglaris
79 Bagian 78: Pria Misterius
80 Bagian 79: Pemilik Indekos
81 Bagian 80: Kolam Maut
82 Bagian 81: Upaya Pembunuhan
83 Bagian 82: Topi si Penyerang
84 Bagian 83 : Madu Mongso
85 Bagian 84: Cerita Masa Lalu
86 Bagian 85 : Mimpi Kematian
87 Bagian 86: Pemanggilan Sebagai Saksi
88 Bagian 87: Harus Berani
89 Bagian 88: Musibah Menimpa Ridwan
Episodes

Updated 89 Episodes

1
Bagian 1: Penemuan Mayat Mengerikan
2
Bagian 2: Wajah Yang Terekam Kamera
3
Bagian 3: Teror Malam Pertama
4
Bagian 4: Teror Hantu Kepala
5
Bagian 5: Kasus yang Tidak Selesai
6
Bagian 6: Dia Terus Mengikuti
7
Bagian 7: Korban Kamar Tiga Belas
8
Bagian 8: Dia yang Menyerupaiku
9
Bagian 9: Makanan dari Dunia Lain
10
Bagian 10: Angkringan Tak Kasat Mata
11
Bagian 11: Hantu Muka Rata
12
Bagian 12: Misteri Hilangnya Gayatri
13
Bagian 13: Terjebak di Makam Keramat
14
Bagian 14: Ada Apa di Gedung Itu?
15
Bagian 15: Ada Pocong!
16
Bagian 16: Senandung dari Dunia Lain
17
Bagian 17: Pengkhianat
18
Bagian 18: Siapa Kekasihmu?
19
Bagian 19: Teror Wanita Tanpa Rupa
20
Bagian 20: Cuekin Hantunya
21
Bagian 21: Kesurupan Massal
22
Bagian 22: Akibat Melanggar Peraturan
23
Bagian 23: Senandung Itu Kembali
24
Bagian 24: Finger Print
25
Bagian 25: Teror Hantu Ada Dimana Saja
26
Bagian 26: Kunti Ganjen
27
Bagian 27: Menunggu Sebuah Jawaban
28
Bagian 28: Pengkhianatan yang Terkuak
29
Bagian 29: Promo Diaper
30
Bagian 30: Ayam Cemani
31
Bagian 31: Mencuri Dengar
32
Bagian 32: Bunga Kantil
33
Bagian 33: Bubur Mie
34
Bagian 34: Kejutan!!
35
Bagian 35: Bedak Pelet
36
Bagian 36: Balas Dendam
37
Bagian 37: Gayatri Adalah...
38
Bagian 38: Rayuan si Cemeng
39
Bagian 39: Pergi ke Masa Lalu
40
Bagian 40: Kecantikan Gayatri
41
Bagian 41 : Ritual Pengusiran atau Pengundang
42
Bagian 42 : Amarah yang Membakar
43
Bagian 43: Dendam Gayatri
44
Bagian 44: Selendang sang Penari
45
Bagian 45: Saksi Penemuan Mayat
46
Perjanjian Siren karya baru Parasian
47
Bagian 46: Kutukan si Penari
48
Bagian 47: Wulan Terkunci di Kamar 13
49
Bagian 48: Kotak si Penari
50
Bagian 49: Kesakitan Intan
51
Bagian 50: Nyawa Pengganti
52
Bagian 51: Dia Meninggal!
53
Bagian 52: Upaya Memulihkan Wulan
54
Bagian 53: Selendang Hijau Sang Penari
55
Bagian 54: Percobaan Bunuh Diri
56
Bagian 55: Riwayat Misteri Kamar 13
57
Bagian 56: Pengantin Baru
58
Bagian 57: Janji Setia
59
Bagian 58: Ajakan Rujuk
60
Bagian 59: Diari
61
Bagian 60: Budak Sang Penari
62
Bagian 61: Rombongan Penari yang Mengerikan
63
Bagian 62: Dia yang Tidur di Kasurku
64
Bagian 63: Tamu Tidak Diundang
65
Bagian 64: Pembohong
66
Bagian 65: Kadal Comberan
67
Bagian 66: Tumbal Pesugihan
68
Bagian 67: Cemburu Itu Ada
69
Bagian 68: Buku Catatan
70
Bagian 69: Wanita di Rel Kereta Api
71
Bagian 70: Jadian
72
Bagian 71: Teror Intan
73
Bagian 72: Terjebak di Kampung Gaib Lagi
74
Bagian 73: Wanita yang Serupa Denganku
75
Bagian 74: Mimpi Buruk
76
Bagian 75: Identitas Pemilik Indekos
77
Bagian 76: Sop Buntut atau Jari Manusia
78
Bagian 77 : Tumbal Penglaris
79
Bagian 78: Pria Misterius
80
Bagian 79: Pemilik Indekos
81
Bagian 80: Kolam Maut
82
Bagian 81: Upaya Pembunuhan
83
Bagian 82: Topi si Penyerang
84
Bagian 83 : Madu Mongso
85
Bagian 84: Cerita Masa Lalu
86
Bagian 85 : Mimpi Kematian
87
Bagian 86: Pemanggilan Sebagai Saksi
88
Bagian 87: Harus Berani
89
Bagian 88: Musibah Menimpa Ridwan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!