Wanita tanpa rupa itu tengah duduk sembari tangannya yang hitam juga terlihat penuh luka, mengusap baju-baju yang akan diperiksa. Rekan kerjaku duduk persis di depannya yang terlihat santai, mungkin karena dia tidak melihat wanita menyeramkan itu.
Wanita itu menggesekkan kukunya yang hitam dan panjang ke meja yang dilapisi kaca sehingga menimbulkan suara berdecit yang teramat panjang, membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa ngilu. Namun, pada kenyataannya hanya aku saja yang tau keberadaan wanita itu di sana.
Aku membekap mulut agar aku tidak berteriak dan membuat kepanikan dan kehebohan di pabrik. Meski ketakutan itu merajai, tapi aku berusaha menguasai diriku. Jika aku memberitahu semua orang tentang apa yang aku lihat hanya ada dua kemungkinan yang aku terima.
Pertama, orang akan panik dan heboh. Mereka akan dilanda ketakutan pada sesuatu yang sebenarnya tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui. Sementara yang kedua adalah mungkin aku akan dianggap gila oleh sebagian orang karena mengatakan hal-hal yang tidak logis dan tidak bisa masuk ke dalam akal sehat.
Aku memilih diam, meski aku dilanda ketakutan yang sangat. Aku hanya bisa menunggu makhluk itu pergi dari meja.
Bel panjang menandakan pergantian sift sudah berdering, untungnya makhluk itu pun sudah pergi bersamaan dengan deringan yang begitu keras.
Dengan hati yang terus waspada, aku duduk di kursi yang tadinya ditempati oleh teman sesama Quality Control. Aku takut wanita tanpa rupa itu kembali datang dan mengusik lagi. Waktu berjalan begitu lambat, aku mengerjakan pekerjaan dengan bibir yang tidak henti mengucapkan doa agar tidak ada sesuatu yang buruk terjadi. Untung saja makhluk itu tidak pernah kembali lagi sampai dari bel berbunyi sebagai tanda waktunya para pekerja beristirahat.
"Mbak ayo kita makan dulu," ajak Indah. Dia menghampiriku yang masih sibuk dengan pekerjaan.
"Ayok!" Indah menggandeng tanganku, mengajakku segera keluar ke lobi. Semua pekerja duduk di lantai beserta kesibukan mereka masing-masing, ada yang memilih makan dan ada pula yang memilih tidur. Tapi ada pula yang memilih bermain ponsel. Aku dan Indah memilih makan bekal yang kami bawa tadi dari rumah. Nasi ayam rica-rica yang disiapkan oleh Bu Yuni, ibunya Indah.
"Ndah, ibumu memang pintar sekali memasak, rasa ayam rica-rica ini enak banget. Mana baik banget lagi. Aku yang cuma numpang saja diperlakukan seperti putrinya sendiri."
"Jangan bilang seperti itu, Mbak. Kata ibu, Mbak Hanna itu sudah dianggap sebagai anak sulung di keluargaku. Aku juga seneng kok ada Mbak Hanna di rumah, aku jadi ada temennya. Ibu juga tidak suka ngomel lagi sama aku karena punya temen ngobrol yang nyambung. Kalau sama aku kan, kami sering silang pendapat."
"Terima kasih ya, Ndah. Kamu dan keluarga kamu bener-bener baik sama aku. Entah bagaimana caranya nanti aku akan bisa membalas kebaikan kalian."
"Halah, kayak sama siapa saja, aku kan adiknya Mbak Hanna, jadi tidak perlu merasa tidak enak lah sama keluargaku. Bapak kan juga bilang bahwa Mbak Hanna bisa menganggap keluargaku sebagai keluargamu, Mbak."
Aku menikmati sesuap nasi yang sudah dingin dengan sepotong ayam rica-rica yang kaya akan bumbu dan rasa. Rasa manis, gurih, asin, serta pedas seolah menjadi sebuah harmoni yang indah. Rasa itu terus terasa hingga suapan terakhir.
"Mbak, Indah mau ke toilet sebentar ya." Aku hanya mengangguk sembari merebahkan tubuh yang terasa lelah ini.
"Mbak Hanna tidak ikut?"
"Enggak, aku mau rebahan saja. Jangan lama-lama ya."
Aku menutup mata sembari memeluk tubuh ini sendiri agar kehangatan menjalar. Tidur beramai-ramai di lobi tanpa alas sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bagi para buruh pabrik seperti kami ini. Kami para pekerja butuh istirahat meski waktu yang diberikan begitu terbatas.
Suasana yang ramai perlahan berubah menjadi sunyi bahkan mulai terdengar dengkuran halus di beberapa sudut. Entah mengapa walau aku berusaha tidur tapi tetap tidak bisa. Aku tetap terjaga walau sangat mengantuk. Aku memejamkan mata, tapi pikiranku melayang ke sana ke mari. Wajah bapak ibuku, kemudian kenangan masa kecilku serta kepergian ibuku beberapa bulan lalu yang sempat membuat aku dan bapak terpukul hebat. Masalah-masalah yang kami hadapi selepas kepergian ibu dan juga teror yang terus menghantuiku.
Mataku mengerjap karena seseorang tengah berdiri di depanku dengan posisi tubuh membelakangiku. Aku memang tidak melihat wajahnya, tapi jika dilihat dari postur tubuhnya, wanita itu sangat mirip dengan Indah yang mungil.
Namun, ada yang aneh darinya. Dia terlihat berjalan mengendap-endap, sesekali gadis itu menatap kiri dan kanan.
"Ndah, ada apa?" Gadis itu tampak terkejut mendengar pertanyaanku kemudian dengan cepat meninggalkan gedung ini tanpa menoleh dan menjawab pertanyaanku. Takut terjadi sesuatu pada gadis yang sudah aku anggap sebagai adik sendiri itu, aku bangun dan berjalan menyusulnya karena tidak biasanya Indah bersikap seperti ini.
Aku terus mengikuti kemana langkah Indah mengayun. Meski takut karena komplek pabrik ini sangat gelap tapi demi memastikan Indah baik-baik saja, aku melawan semua kegentaran di hati. Secara mengejutkan, dia pergi ke arah gedung spinning tapi bukankah setahuku tidak boleh ada seorang pun masuk ke gedung itu, lagi pula gedung itu biasanya kondisinya gelap gulita. Tapi mengapa malam ini sangat terang, entah ada apa ini.
Gedung spinning yang katanya dilarang menghidupkan lampu, kali ini begitu terang. Hampir semua ruangan terlihat terang benderang. Ada satu yang cukup membuatku merasa ngeri karena di situlah kemarin sesosok hantu berwujud pocong. Dia memperlihatkan kehadirannya seolah ingin diakui memang dia nyata.
Dari jendela yang sama, malam ini bukan penampakan hantu atau semacamnya. Justru terlihat beberapa orang wanita tengah mengenakan gaun-gaun indah, sementara beberapa pria nampak rapi dan berkelas dengan mengenakan setelan jas serta dasi kupu-kupu yang melingkari lehernya.
Mataku terus mengawasi Indah yang hanya berdiri di depan pintu utama gedung itu, perlahan membuka pintu dan masuk ke gedung itu. Pintu pun dia tutup perlahan, aku tidak bisa mengawasinya.
Aku melirik jam tangan hadiah dari Mbak Arum yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Aku hanya punya waktu sepuluh menit sebelum bel panjang berdering, untuk mengajak Indah kembali bekerja di gedung produksi.
Aku membuka pintu gedung spinning dan menimbulkan suara yang berdecit, mungkin pelumasnya tidak ada bahkan sebagian pintunya yang terbuat dari besi dipenuhi dengan karat. Kakiku hendak masuk ke dalam gedung yang terang itu. Namun, sebuah tangan menarikku dan menyeretku untuk menjauh.
Sebuah cubitan melayang di lengan dan membuatku mengaduh kesakitan. Sementara itu, cahaya temaram membuatku mulai mengenali siapa orang yang ada di depanku. Rupanya dia adalah Juniyati, yang usianya mungkin menginjak kepala tiga.
"Kamu kau cari masalah atau cari mati sih. Kenapa kamu masuk ke sana? Padahal kamu pasti tau larangan yang sudah beredar dari jaman dulu, bahwa tidak ada yang boleh menyalakan lampu atau beraktivitas di dalam gedung spinning. Kalau pantangan itu dilanggar akan ada hal buruk yang terjadi. Ya kalau efeknya di kamu saja, bagaimana kalau merembet ke semua orang. Mikir dong lain kali kalau bertindak." Wanita itu memarahiku seperti diri ini anak kecil yang sedang berbuat salah.
"Karena pantangan itulah aku mau masuk, Mbak. Lihat saja di gedung itu sedang ada banyak orang, sepertinya mereka tengah sibuk berpesta." Aku menunjuk jendela yang memperlihatkan dengan jelas betapa banyaknya yang tengah ada di sana. Aku pun merasa bahwa sebenarnya pantangan tentang gedung spinning hanyalah kabar bohong. Jika pantangan itu benar pasti sekarang terjadi sesuatu yang mengerikan di sana. Tapi tidak, mereka kelihatan bahagia dan tertawa tanpa beban.
"Dasar gendeng. Mana ada pesta di jam yang hampir pagi seperti ini. Gedung spinning gelap gulita begitu yang ada pesta nyamuk. Udah, ayo masuk!" Wanita itu berjalan mendahuluiku. Sementara aku terus berpikir bagaimana mengalihkan perhatian Mbak Juniyati agar aku bisa bebas dan kembali mencari Indah yang terlanjur masuk ke gedung.
Aku sudah berjanji pada bapak dan ibunya Indah bahwa aku akan menjaga Indah dengan baik. Jika Indah masuk ke gedung yang terkenal angker, aku harus memberanikan diri demi memastikan keselamatan gadis yang baik hatinya itu.
"Aduh, Mbak. Aku ke toilet dulu ya. Perutku mules banget. Mbak duluan saja ke dalamnya. Aku sudah tidak tahan, mau ke toilet luar saja," keluhku sembari meringis kesakitan dan memegangi perutku.
"Ya sudah. Tapi ingat jangan coba-coba masuk ke dalam gedung itu!" Aku hanya mengangguk dan segera terbirit-birit berlari masuk ke kamar mandi yang ada di antara gedung produksi dengan gudang bahan baku. Aku menunggu kira-kira dua menit di dalam, kemudian melongok keluar memastikan Mbak Juniyati sudah masuk ke dalam gedung.
Mataku terbelalak saat di jendela terlihat Indah tengah ditampar oleh seorang wanita bergaun merah. Tubuhnya didorong hingga menabrak jendela. Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa Indah diperlakukan buruk? Gadis itu menatapku seolah hendak meminta pertolongan. Kekerasan para wanita kelas atas pada Indah berlanjut, seseorang menjambak rambut Indah yang dikuncir kuda.
Tanganku mengepal karena amarah. Lihat saja nanti aku sudah di atas akan aku lakukan hal yang sama seperti kalian memperlakukan Indah, bisa juga kalian akan merasakan pembalasan yang lebih kejam dari yang diterima Indah.
Aku berlari secepat yang aku bisa agar segera menyelamatkan Indah. Perlahan aku membuka pintu utama gedung yang sudah penuh dengan karat itu. Bunyi berdecit panjang saat pintu aku buka perlahan.
Loh, kenapa gedung ini sangat gelap? Bukankah tadi sangat terang. Di situlah hatiku mulai gentar, tapi wajah Indah yang tadi ketakutan karena dianiaya oleh wanita-wanita di lantai atas membuatku berusaha tenang dan melanjutkan perjalanan ke atas.
Hanya dengan berbekal kamera ponsel yang membantuku mencari tangga menuju lantai dua gedung ini. Setelah sekian lama mencari, aku menemukan sebuah tangga. Tapi tunggu, sepertinya ada seseorang tengah duduk di anak tangga ketiga. Dia seorang wanita, wanita sama yang aku lihat duduk di mejaku tadi. Wanita tanpa rupa itu mengeluarkan suara menangis entah dari mana karena dia pun tidak memiliki bibir.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments