Seharian ini aku menikmati waktu bersama keluarga Indah yang sangat hangat. Bu Yuni bahkan berkata aku sudah dianggap sebagai putri sulungnya. Kehangatan keluarga yang sudah lama aku rindukan sejak kepergian ibuku untuk selamanya.
"Indah, kamu harus belajar masak sama Hanna. Ini lo tahu bakso buatan Hanna enak banget." Bapaknya Indah memujiku sembari melahap tahu bakso yang aku buat sebagai teman cemilan di sore hari yang cerah ini.
"Iya, nanti Indah belajar."
"Eh jangan deh," ucap bapak buru-buru meralat ucapannya. "Kamu jangan belajar masak. Kamu masak air saja gosong, Ndah."
Aku hanya tersenyum ketika Indah memasang wajah cemberut karena ejekan yang dilemparkan ayahnya.
"Hoo, ibu juga ngeri kalau membayangkan Indah yang masak. Bisa-bisa semuanya ikut gosong."
"Tidak mau. Aku tidak mau bantu di dapur lagi. Biar ibu ngomel sepanjang kereta api, Indah tetep tidak mau terjun ke dapur. Mendingan Indah mainan ponsel saja seharian. Malah enak, soalnya tinggal makan dan terima beres."
Tawa berderai bergema di teras rumah yang asri itu saat Indah memajukan bibirnya sebagai pertanda dia sedang merajuk akibat terus menjadi bulan-bulanan orang tuanya.
Tawa canda keluarga kecil ini membuat waktu cepat sekali berlalu. Tanpa terasa azan Magrib berkumandang, bergantian kami mengambil wudhu kemudian menjalankan salat berjamaah. Aku jadi merindukan suasana rumah Ungaran. Dulu setiap kali setelah salat, aku dan Mbak Arum bergantian setor hapalan pada bapak. Jika bacaan kami ada yang salah selalu dibenarkan tapi bila kami berusaha mangkir maka tidak segan ada sapu melayang di betis dan itu pasti menyisakan luka memar kebiruan dan sensasi nyeri selama beberapa hari.
Doa yang terbaik aku lantunkan agar Sang Pencipta melindungi keluargaku yang jauh di sana. Aku pun meminta perlindungan agar makhluk tidak kasat mata itu berhenti menerorku.
Malam yang terang dengan bulan yang membulat sempurna serta bintang-bintang juga bertaburan menghiasi langit. Ayahnya Indah berpamitan akan keluar sebentar karena ada rapat bapak-bapak di balai pertemuan warga. Sementara Bu Yuni yang berprofesi sebagai guru SD tampak sibuk mempersiapkan materi mengajarnya esok hari. Selepas salat Isya, aku memilih duduk di teras bersama Indah sembari bercerita tentang banyak hal.
"Mbak, usia Mbak Hanna itu sebenarnya berapa tahun sih? Soalnya kemarin aku sama remen satu line-ku berdebat. Masa dia bilang Mbak palingan baru lulus tahun ini sepertiku."
"Usiaku hampir 21 tahun. Menurutmu sendiri usiaku berapa?"
"Paling hanya beda setahun denganku, sembilan belas tahunan lah."
"Enggak sekalian ngira Mbak ini anak lima belas tahun saja?"
Banyak cerita yang kami bagi berdua karena usia kami tidak terpaut jauh juga, jadi pembicaraan kami lebih nyambung. Aku berusaha tidak membahas tentang indekos yang aku tinggali karena takut nanti dia yang tak kasat mata tiba-tiba muncul karena merasa terpanggil.
"Mbak, aku haus nih gara-gara tertawa terus. Aku ke dalam sebentar ya, mau ambil minum."
"Iya. Sekalian ambilin Mbak ya."
"Siap, komandan." Gadis itu mengangkat tangannya ke dahi, seperti seorang prajurit yang bersikap hormat kepada komandannya. Tingkahnya yang sangat konyol itu sukses membuatku tertawa terpingkal-pingkal bahkan perutku rasanya sampai sakit.
"Indah, sudah ah. Ketawa terus kering gigiku." Gadis itu melangkah seperti pasukan baris-berbaris masuk ke rumah. Tawaku baru berhenti saat angin bertiup kencang menerpa wajah. Aku melirik jam tangan yang melingkar di tangan kiri, rupanya ini sudah hampir jam dua belas malam. Tawa dan canda rupanya membuat kami lupa akan waktu. Aku mengusap kedua telapak tangan agar kehangatannya menjalar di tubuhku. Aku hendak beranjak dari teras ketika tiba-tiba saja Indah keluar dari rumah.
"Sudah, Ndah?" Gadis itu diam saja justru dia melangkah terus menuju halaman. Bukankah tadi Indah mau mengambil minum tapi sekarang dia keluar dengan tangan kosong dan main pergi begitu saja.
"Indah!" Aku memanggil gadis berambut panjang dan tergerai itu, tapi bukankah tadi Indah mengikat rambutnya.
"Indah, kamu mau kemana? Ini sudah malam lo!" Aku memanggilnya lagi, tapi Indah tidak mengacuhkan aku. Dia terus berjalan. Kini gadis itu hampir keluar dari pekarangan rumah. Aku bangkit berdiri kemudian berlari kecil untuk menyusulnya. Namun, langkahnya lebar dan semakin cepat membuatku jauh tertinggal di belakang.
Aku mempercepat lariku agar segera bisa menyusulnya. Sebenarnya Indah itu mau kemana, lagi pula ini hampir tengah malam.
Perkampungan di daerah ini memang cukup padat penduduk tapi malam ini sepertinya semua sudah terlelap karena tidak ada satu pun orang yang terlihat di sepanjang jalan. Mataku terus menatap Indah berusaha tidak kehilangan jejaknya karena Indah berjalan melalui gang-gang sempit. Beberapa kali aku berteriak memanggilnya tapi gadis itu seolah tidak mendengar bahkan menoleh ke arahku pun tidak. Langkah Indah terhenti di depan gapura besar. Dia terlihat berhenti mematung sembari menatap gapura besar.
"Indah, tunggu!" Aku berlari kencang mendekatinya. Jarak antara aku dan Indah kini begitu dekat. Aneh sekali dia seperti tidak mendengar panggilanku. Tinggal beberapa langkah lagi aku sudah bisa menyentuhnya. Namun, yang terjadi gadis itu justru berlari masuk jauh ke dalam. Indah melesat dengan cepat sampai membuatku tertegun sejenak karena terkejut. Baru kali ini aku lihat orang berlari sekencang itu.
Mataku terpaku di depan gapura yang terlihat kusam dan tidak terawat itu, tulisannya pun menggunakan aksara jawa yang tentu saja tidak dapat aku baca. Mengapa tidak ada penerangan sedikitpun di sini.
Angin bertiup kencang ketika kakiku melangkah masuk ke dalam. Hawa yang berbeda menusuk kulit ini, rasanya sangat dingin. Mataku menelisik sekitar berharap bisa menemukan Indah tapi aku tidak menemukan apa pun. Kakiku terus masuk semakin jauh ke dalam perkampungan yang asing ini.
Kampung ini sangat sunyi. Jarak antara rumah ke rumah yang lain cukup jauh, semuanya dibatasi dengan rumpun bambu. Satu hal lagi yang cukup mengherankan, sepertinya kampung ini, saluran listrik belum ada. Karena di depan rumah-rumah yang aku lalui hanya ada obor. Jalanan kampung pun masih tanah dan bebatuan kecil membentuk jalan setapak.
Sunyi seperti tidak ada tanda kehidupan di sini. Bahkan tidak ada suara apa pun. Bahkan hewan kecil seperti jangkrik atau nyamuk aku belum mendengar dan menjumpainya. Mataku membulat karena setelah cukup lama berkeliling tanpa ada kejelasan. Aku melihat dari kejauhan cahaya yang cukup besar. Aku berjalan mendekati itu. Siapa tau Indah ada di sana.
Semakin dekat aku dengan cahaya terang itu, semakin jelas aku bisa melihat cahaya itu berasal dari ratusan obor yang dibawa sekerumunan orang. Aku mendekati rombongan itu dan mencari sosok Indah. Mataku menelisik satu per satu orang yang tengah berkumpul itu. Semuanya diam dan tertunduk meski di tengah kerumunan itu terdapat pertunjukan seni tari meski tanpa musik yang mengiringi.
Mataku akhirnya menemukan sosok yang aku cari, hal itu membuat senyumku terkembang. Indah rupanya ada di antara para pembawa obor. Aku menghampirinya segera.
"Indah!" panggilku sembari memegang bahu gadis itu. Indah diam saja dan terus menunduk serta rambutnya yang tergerai sebagian menutup wajah cantiknya.
"Indah! Ayo, pulang. Sudah tengah malam ini." Indah tetap diam seperti tidak mendengar suaraku. Aku sudah tidak sabar entah kenapa hatiku disergap rasa takut walau akan di tengah keramaian seperti ini. Aku mengguncangkan bahu gadis berusia delapan belas tahun itu sedikit kencang.
"Indah, cepet. Ini bulu kudukku merinding semua," bisikku di telinganya.
"Hmm." Apa ini, kenapa suara Indah berubah. Perlahan Indah menoleh ke arahku.
"Astaga!" Betapa terkejutnya aku, wajah gadis yang biasa putih kemerahan kini berubah pucat, matanya pun merah dengan tajam menatapku sejenak kemudian kembali menunduk. Aku mundur sedikit. Pasti ini ada yang tidak beres dengan rombongan ini. Mataku kembali meneliti wajah-wajah yang tengah memegang obor itu. Semuanya berwajah pucat, matanya merah, bibir mereka terlihat berkomat-kamit tidak jelas seperti tengah merapal mantra.
Gadis-gadis penari itu kini tampak menegakkan kepala, matanya yang merah menatapku dalam. Wajah mereka yang semula ayu meski pucat, perlahan mulai berubah memerah semakin merah kemudian kulit wajah terkelupas dan penuh darah. Namun, tidak ada ekspresi kesakitan pada wajah mereka. Sudah pasti ini mereka bukan manusia, tapi Indah apakah dia juga salah satu dari para dedemit itu.
"Hi-hi-hi, selamat datang, Hanna!" Tiba-tiba saja sebuah suara nyaring yang cukup memekakkan telinga kudengar entah berasal dari mana. Aku sangat mengenal suara mengerikan itu karena beberapa kali dia datang. Benar saja kepala wanita itu berterbangan di atasku.
"Astaga!" Tanpa berpikir panjang aku segera berlari menuju luar kampung asing dan aneh ini. Suara tawa hantu kepala itu masih menggema di sekitarku. Aku sudah tidak punya banyak waktu lagi untuk menoleh ke arah hantu itu. Cukup lama aku berlari tapi aku tidak juga menemukan gapura tempat pertama kali aku masuk tadi. Sepertinya aku sudah cukup jauh karena suara tawa itu sudah menghilang.
Aku duduk di sebuah batu besar yang ada di pinggir jalan sembari memikirkan dimana jalan keluarnya. Tiba-tiba saja pundakku ada yang menyentuh, aku langsung berdiri dan menoleh untuk melihat siapa itu. Apakah dia salah satu dari dedemit itu atau bahkan tubuh hantu itu.
"Nduk, kamu ngapain ada di sini? Seperti orang bingung." Aku bisa bernapas lega karena yang ada di depanku sepertinya manusia biasa sepertiku. Wanita itu berusia sudah cukup sepuh, mengenakan kebaya berwarna coklat muda serta kain jarik.
"A-anu, saya mau pulang, Nek. Tapi dari tadi tidak ketemu jalan pulang. Sebenarnya ini tempat apa, Nek? Tadi saya ketemu..."
"Sudah, kamu ikut nenek ke dalam dulu. Nanti lanjut cerita lagi."
Wanita itu menggandengku untuk masuk ke rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu, sama seperti rumah-rumah uang sempat aku lihat tadi. Ada keraguan dan ketakutan tapi juga ada kedamaian yang datang bersamaan saat tangan penuh kerutan itu menyentuh kulitku dan terasa sangat dingin.
"Jangan takut. Panggil saja saya, Simbok." Aku berjalan bersebelahan dengan wanita yang rambutnya hampir semuanya sudah memutih itu. Aku memasuki rumah yang sangat remang itu. Di dalam rumah itu tampak berantakan dan penuh debu seperti sudah sangat lama tidak dibersihkan.
"Simbok, apakah anda tinggal di rumah ini sendiri?" Wanita itu mengangguk sembari duduk di kursi goyang yang sudah reot.
"Mbok, bolehkah Hanna bantu bersihkan rumah ini?" Selain risih, dalam hatiku juga timbul rasa iba serta prihatin atas keadaan rumah simbok. Rasanya tidak mungkin tubuh serenta itu bisa membersihkan rumah sendirian apalagi banyak sarang laba-laba yang ada di atas atap rumah sederhana dan berlantaikan tanah itu.
"Apa rumah ini buruk ya?"
"Bukan begitu, tapi setau Hanna kebersihan merupakan sebagian dari iman. Hanna ingin membantu saja, itu jika diizinkan."
"Ya sudah, lakukan sesukamu. Anggap saja rumah sendiri." Wanita itu tampak memejamkan matanya. Perlahan aku membersihkan rumah ini. Aneh, walau aku menyapu dengan sapu ijuk tidak ada debu beterbangan seperti yang biasa terjadi. Perlahan aku menata meja dan kursi yang telah lapuk serta dimakan rayap itu. Langit-langit rumah sudah tidak ada lagi sarang laba-laba yang menggantung.
"Nduk, sudah selesai bersih-bersihnya?"
"Sebentar lagi, Mbok. Dari tadi nyari pengki tidak ketemu."
"Biarkan di pojokan situ saja. Ayo, kita makan dulu." Aku cukup terkejut karena di meja tiba-tiba ada berbagai makanan tersaji."
"Mbok, kapan makanan ini ada di sini? Perasaan tadi meja ini kosong melompong."
"Jangan terlalu dipikirkan, makan saja apa yang ada. Makanlah yang banyak, Nduk." Meski sedikit bingung dengan keadaan ini, rasa lapar terus saja menyerang. Aku menyendok nasi dan mengambil sayur bayam juga sambal.
"Ini lauknya dimakan," ujar Simbok sembari meletakkan sepotong ayam goreng ke dalam piring yang terbuat dari seng itu.
"Terima kasih." Seperti biasanya aku selalu mengucapkan basmalah serta berdoa sebelum makan. Begitu aku mengucapkan kata 'amin', sesuatu yang aneh terjadi. Meja dan makanan itu lenyap tanpa bekas berganti batu nisan yang sudah retak di semua bagian. Jika tadi aku ada di dalam rumah simbok yang berdinding anyaman bambu, kini aku terkurung dalam sebuah pagar tinggi yang mengelilingi makam tadi. Mataku membulat ketika aku baca papan nisan yang hurufnya mulai memudar itu.
"Nyai Sukarti alias Simbok, meninggal tahun 1942," aku mengeja perlahan. Aku membekap mulutku berusaha tenang dan mencerna apa yang terjadi.
Mataku menelisik sekitar tempatku. Nyatanya saat ini aku bukan berada di perkampungan yang gelap dan sepi tapi aku ada di komplek pemakaman. Matahari pun mulai menampakkan dirinya. Bagaimana bisa seperti ini, lagi dan lagi aku tidak dapat menemukan jawaban semua ini. Aku harus segera keluar dari pemakaman ini dan memberitahu keluarga Indah bahwa Indah yang tiba-tiba saja bertingkah seperti hantu atau kah dia memang hantu yang menyerupai Indah.
"Tolong!" Aku berteriak dengan kencang ketika aku melihat ada rombongan yang tengah lewat tak jauh dari makam ini.
"Tolong saya!" Aku melambaikan tangan berharap orang-orang itu melihat keberadaanku. Untung saja salah satu dari mereka melihatku, mereka berlarian untuk membantuku keluar dari makam itu. Mereka terpaksa merusak gembok yang sudah berkarat itu agar bisa membebaskanku.
"Alhamdulillah!" seru semua orang saat aku keluar dari tempat menyeramkan itu.
"Mbak, ini diminum dulu biar tenang." Seorang wanita paruh baya menyodorkan sebotol air mineral. Dengan sekali tenggak, aku menghabiskan sebotol air ukuran 600ml sampai tandas tanpa sisa meski hanya tetes. Napasku masih memburu karena masih syok. Semua yang terjadi itu begitu cepat dan membingungkan. Setelah aku bisa mengatur napas, seorang pria menghampiriku.
"Mbak, bukannya yang tinggal di indekos ngeri itu kan?"
"I-iya, Pak. Dari mana bapak tau?"
"Waktu itu kami yang menolongmu di jalan samping makam ini. Sekarang kenapa bisa kamu terjebak di makam keramat ini?"
"Makam keramat?"
"Iya, ini adalah makam simbok salah satu juru kunci makam ini. Dari zaman tanah ini masih dikuasai orang-orang Belanda. Banyak pejuang yang dimakamkan di sekitar sini."
Aku hanya mengangguk lemah, wanita yang tadi mengangsurkan air telah duduk di sisi kananku. "Kabarnya di sini pula tempat pihak kepolisian menguburkan jasad wanita yang terbunuh itu. Tanpa nama dan juga tanpa papan penanda seperti pada umumnya, seperti menguburkan hewan saja tanpa tata cara yang semestinya. Itu juga yang mungkin membuat arwah wanita itu terus mengusik ketenangan orang terkhusus yang tinggal di kamar tempat dia dibantai dengan kejam," ujar wanita itu sembari menitikkan air mata.
"Apakah ibu tau kejadian dua puluh tahun lalu?"
"Aku memang tidak melihat secara langsung, Nduk. Karena orang tuaku tidak mengizinkan aku melihatnya. Beberapa temanku yang melihat langsung menceritakan kondisi mayat memang sangat tragis. Siapapun pembunuhnya bisa aku pastikan mereka binatang berkedok sebagai manusia."
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Yuli Eka Puji R
ternyata bloon juga ya si hanna
2023-06-27
0
Yuli Eka Puji R
lah ibunya guru anaknya malah jd karyawan pabrik, kenapa ga di sekolahkan tinggi"
2023-06-27
0
Herry Ruslim
lanjut terus
2022-11-20
1