Bagian 14: Ada Apa di Gedung Itu?

Mentari yang mulai menyinari bumi serta udara pagi yang masih segar setidaknya cukup menenangkan hati setelah semalam terjebak di desa gaib. Langkah kakiku berayun beriringan dengan langkah beberapa orang yang bersedia mengantarku kembali ke indekosku karena untuk kembali ke rumah Indah, aku tidak hapal alamat bahkan jalan menuju rumahnya.

Dari kejauhan aku melihat indekosku banyak orang berkerumun. Entah ada kejadian apa di sana.

"Ada apa ini, Mbak?" tanyaku pada orang-orang yang berkumpul di sana.

"A-anu, Mbak. Ada yang hilang lagi di indekos ini."

"Hilang? Siapa yang hilang? Bukankah jika ada yang hilang itu penghuni kamar tiga belas? Tapi..."

"Iya, Mbak. Katanya semalam penghuni kamar itu pulang, terus sampai sekarang tidak keluar kamar."

Tentu saja aku terkejut dengan penuturan orang yang sepertinya bukan penghuni indekos ini. "Tapi, Pak. Saya ini penghuni kamar tiga belas. Saya tidak hilang! Sudah, saya mau lihat keadaan di dalam."

Aku menerobos kerumunan orang yang tengah berkumpul di depan gerbang. Sementara itu di depan kamarku terlihat ada beberapa orang yang berkumpul, bahkan Indah terlihat meraung-raung. Sementara Intan dan Wulan menangis tersedu. "Harusnya semalam aku tidak menuruti maumu untuk kembali ke kamar terkutuk ini, Mbak. Harusnya aku memaksamu untuk tinggal di rumahku."

Aku semakin tidak paham dengan keadaan ini setelah aku mendengar racauan Indah, gadis yang kulihat kemarin ada dalam rombongan para dedemit itu.

"Indah! Ada apa ini? Ke..."

Melihat kedatanganku membuat Indah berlari menyongsong serta memelukku. "Mbak, kamu kemana? Aku pikir aku akan kehilanganmu seperti hilangnya Mbak Gayatri. Aku pikir makhluk jahat itu membawamu ke dunianya."

"Hanna, kamu kemana saja? Kami kuatir sejak tadi. Kamu baik-baik saja kan?" Wulan menatapku dari ujung rambut sampai ke ujung kakiku.

"Aku baik-baik saja. Aku justru bingung kenapa semuanya berkumpul di sini."

Aku memandang semua orang yang ada di indekosku. Mereka semua menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Pria yang menolongku sepertinya mengerti kebingunganku, dengan lembut dia meminta semua warga yang berkerumun membubarkan diri.

"Mbak, kami pamit ya. Semoga kamu selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Kalau butuh bantuan, silakan hubungi saya. Rumah saya ada di ujung gang ini."

Selepas kepergian para warga juga penghuni indekos yang lain, kami berempat memutuskan untuk berbincang di kamar Intan.

"Mbak, kamu sebenarnya kenapa tiba-tiba semalam maksa balik ke sini? Kamarmu itu berhantu, Mbak. Terus kamu dari mana kenapa tiba-tiba dari luar?"

"Bagaimana mungkin terjadi? Aku bahkan semalam tidak kemari. Semalam aku mengikutimu yang tiba-tiba saja pergi, sampai pada akhirnya aku tersesat di sebuah kampung yang penuh misteri. Di sana aku dikejar hantu kepala lalu singgah di rumah simbok. Saat hendak menyantap makanan yang disajikan oleh simbok, tiba-tiba saja semua berubah. Aku tidak sedang dalam rumah yang sederhana itu, tapi aku terkurung di makam yang dikelilingi pagar teralis tinggi hinga orang-orang tadi menolongku."

Intan, Wulan, dan Indah saling pandang saat mendengar ceritaku. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini. Ketiganya terdiam seperti kebingungan.

"Ka-kalau begitu, siapa yang aku antar ke sini tengah malam kemarin? Siapa yang aku bonceng jika itu bukan kamu, Mbak?" Mata Indah kini tertuju pada Wulan. "Mbak Wulan, bagaimana ini?" Indah terlihat mengusap tengkuknya.

"Aku juga bingung, Ndah. Ini kenapa jadi merinding begini?" Wulan menunjukkan tangannya yang memang terlihat merinding.

"Terus kalau semalam kamu tidak pulang, siapa yang makan mie rebusku?"

Ucapan teman-temanku bagai puzzle yang sangat rumit untuk aku susun. Aku tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi semalaman selama aku tersesat di kampung dedemit itu. "Adakah di antara kalian yang mau menjelaskan kepadaku?" tanyaku sembari memandang ketiga perempuan yang duduk bertopang dagu di hadapanku. Ketiganya tampak saling menatap dan memberi kode satu sama lain.

"Biar aku dulu saja yang cerita, Mbak. Karena kejadian ganjil ini dimulai dari rumahku." Akhirnya Indah membuka suara setelah cukup lama keheningan membekap kamar yang catnya memudar itu. Indah terdengar mendengkus serta membuang napas dengan kasar.

"Jadi begini, Mbak. Ingat tidak saat aku pamit masuk ke rumah untuk mengambil minum untuk kita?"

"Iya, aku ingat. Karena tidak lama setelah itu kamu keluar dengan tangan hampa lalu berlari hingga masuk ke kampung mengerikan itu."

Gadis manis itu menggelengkan kepala. "Itu bukan aku, Mbak. Karena aku keluar rumah membawa dua gelas air putih dan sebungkus keripik pisang, tapi Mbak Hanna tidak ada di teras. Pas aku cari ke dalam rumah tidak ada. Aku lari keluar rumah ternyata Mbak lagi jalan, entah mau kemana."

"Terus?"

"Nah, Indah kejar. Pas aku tanya katanya Mbak Hanna mau pulang. Aku berusaha bujuk agar besok saja karena sudah malam. Eh, Mbak Hanna malah bentak aku. Terus aku minta Mbak Hanna buat nunggu dulu, biar aku antar pakai motor. Sampai di sini, tanpa berucap Mbak Hanna masuk kamar sambil banting pintu. Aku sedih, Mbak. Kenapa Mbak Hanna kasar banget."

Melihat Indah yang bercerita sembari meneteskan air mata membuatku merasa bersalah, meski pada kenyataannya semua itu di luar kuasaku karena sosok yang ditemui Indah, bukanlah diriku yang sebenarnya. Dia hanya jin yang menyerupai diriku. Aku merengkuh tubuh mungilnya ke dalam pelukan.

"Maaf ya, sudah menyakiti hatimu."

Dengan segera Indah mengusap air matanya. Gadis itu menggeleng kuat. "Itu bukan salah Mbak Hanna. Penghuni kamarmu saja yang suka usil."

"Hush, jangan sembarangan bicara. Takutnya hantu itu nanti juga mengganggumu." Wulan mengingatkan Indah agar menjaga ucapannya.

"Astagfirullah. Amit-amit jabang bayi."

"Terus bagaimana, Ndah, setelah itu apa yang terjadi?" Aku memburu Indah dengan rasa penasaran yang teramat membuncah.

"Aku mau pulang saat berpapasan sama Mbak Wulan yang baru masuk gerbang. Setelah berbincang sebentar, aku pulang sembari menitipkan kamu."

Aku tersenyum pada gadis muda itu, meski sudah dibentak oleh dia yang serupa denganku tetap saja berhati baik dan mengkhawatirkan keadaanku.

"Nah, setelah Indah pulang. Aku samperin kamu, Han, ke kamarmu. Aku mau mengajak kamu tidur di kamarku karena aku takut kalau kamu diteror oleh hantu. Eh ternyata malah yang di kamar itu adalah hantu. Untung dia menolak dengan alasan capek. Kalau mau malah jadi berabe. Ya kali, kita sekasur sama hantu."

Wulan tertawa kecil seolah ingin mencairkan suasana yang sedari tadi memang sangat tegang dan penuh dengan ketakutan. Tawa yang berderai untuk sejenak membuat kami terbebas dari rasa takut.

"Yang masih jadi pertanyaan. Hantu itu ternyata doyan banget makan mie rebus. Dua kali lo dia minta dimasakin mie rebus." Intan berucap sembari tersenyum. Tadi memang dia sempat bercerita semalam dia pulang sekitar jam dua malam atau selisih satu jam setelah kedatangan Wulan.

Saat Intan datang dia melihatku nampak duduk di depan pintu sembari bertopang dagu. Intan segera menghampiriku dan menawarkan membuat mie rebus. Intan melihat jelas aku tersenyum saat mendengarnya.

"Tapi senyumanmu itu tidak seperti biasanya, Han. Senyumnya itu senyum menyeringai dan sedikit mengerikan. Bahkan aku sempat berkelakar bahwa senyummu mirip Kunti. Lalu kami tertawa sedikit melengking dan berkata 'apa tawaku sudah mirip?' Andai kata aku tau bahwa dia itu memang bukan kamu, bisa mati berdiri aku." Intan bercerita dengan penuh penekanan.

Untuk sejenak kesunyian kembali menerpa kami berempat. Saling terdiam dan sibuk dengan pemikiran bahkan mungkin pengalaman mistis yang baru kami alami masing-masing.

"Lalu mengapa tadi kalian pikir aku hilang?"

"Jadi tadi aku disuruh Mbah Uti, Mbak, buat jemput kamu. Tapi pas aku ke sini kamu tidak ada. Bahkan Bu Wati yang baru kembali dari rumah saudaranya sampai membuka pintu kamarmu dengan kunci cadangan, tapi tidak ada siapa pun di dalam. Aku takut, Mbak. Kejadian yang dialami Mbak Gayatri terulang lagi." Gadis itu beringsut mendekat dan memelukku erat. Wulan dan Intan menyusul serta ikut mendekapku erat.

"Syukurlah, Han. Kamu baik-baik saja."

Setelah pertemuan yang mengharukan itu. Kami berempat memutuskan untuk tidur di kamar Intan meski saling berhimpitan untuk menjaga kondisi tubuh sebagai persiapan nanti malam kami harus kerja sift malam.

Tidur yang pulas setelah kejadian tak masuk akal yang menguras energi bisa dikatakan cukup membantu untuk pemulihan fisik. Azan Zuhur berkumandang, memaksa mataku terbuka. Rasa malas sejenak menyergap tapi sekelebatan sosok bapak dengan sapunya terbayang di benak. Ucapannya ketika aku bermalas-malasan pun terngiang.

"Tidak salat, sapu melayang!"

Aku segera terbangun dan tersenyum sendiri. Meski jauh dari bapak tapi perintah dan ancamannya menancap di benak. Ingin rasanya membangunkan ketiga sahabat di tempat perantauan ini, tapi melihat ketiganya yang begitu nyenyak membuatku tidak tega. Lebih baik nanti saja aku bangunkan selepas salat. Aku bergegas mengambil air wudhu untuk menyucikan diri ini. Saat hendak menggelar sajadah baru kusadari kamar Intan tidak muat karena untuk tidur sahabat-sahabatku saja kami harus saling berhimpitan.

Aku berpikir keras dimana harus aku menjalani kewajibanku ini. Apa aku harus salat di kamarku, tapi ada ketakutan menyeruak hebat saat membayangkan hantu-hantu yang terus-menerus meneror itu.

Aku menghela napas panjang, sepertinya aku memang tidak ada pilihan lain selain beribadah di kamar yang sudah termasyhur akan keangkerannya itu. Untuk ibadah di kamar Bu Wati juga rasanya tidak enak hati. Aku takut mengganggu aktivitasnya.

Aku memantapkan hati untuk menuruni tangga dan memasuki kamar yang aku sewa beberapa hari lalu. Aku ingat betul hari pertama saat aku menjalankan kewajibanku saja ada hawa panas di kamar ini, lalu bagaimana sekarang. Ah, semoga baik-baik saja.

Perlahan aku membuka kamarku. Aku membiarkan pintu tetap terbuka agar udara pengap yang terjebak di dalam kamar berukuran 3x3 meter itu berganti dengan udara yang baru dan lebih segar. Aku membuka tirai yang menutupi jendela dengan tangan gemetar karena dari jendela inilah hantu kepala itu sempat menampakkan diri ketika aku tengah melakukan panggilan video dengan Intan.

Kamar ini keadaannya tidak ada yang berubah dari terakhir kali aku di sini. Bahkan handuk yang sempat jatuh di lantai kamar mandi masih terhampar di sana. Tidak ada yang berbeda sedikit pun. Hanya saja yang sedikit aneh, lantai kamar mandi yang terlihat basah seperti baru saja digunakan tapi airnya pun tidak membasahi handuk. Ah, entahlah.

Aku membasahi kain pel yang ada di sudut kamar mandi. Perlahan aku membersihkan kamar ini dengan harapan jika kamar ini bersih juga, tidak pengap, maka makhluk halus enggan bersemayam di sini. Konon mereka sangat suka tinggal di tempat yang kotor dan juga lembab.

Keringat mulai membanjiri tubuhku karena kegiatanku siang ini. Beberapa kali penghuni kamar yang lain menyapaku dan sedikit berbincang denganku. Rata-rata mendoakan semoga aku betah dan tidak diganggu lagi oleh makhluk tidak kasat mata.

"Makasih ya, Mbak. Semoga saja setelah ini tidak ada lagi kejadian-kejadian yang aneh dan membuat tidak nyaman para penghuni yang lain. Amiinn."

Aku membentangkan sajadah untuk bersiap menghadap Sang Pencipta dan meminta perlindungan-Nya. Hawa panas mulai menyergap ketika takbir aku kumandangkan perlahan. Padahal pintu dan jendela sengaja aku buka lebar, angin juga sedari tadi sepoi menyapa. Aku berusaha tidak mempedulikan perubahan hawa ini.

Ketika sujud gangguan mulai semakin kencang. Suara keran air terbuka dan air bergemericik padahal jelas tidak ada siapa pun. Ketika salam terucap, di belakangku terdengar suara berdebuk seperti ada benda jatuh. Dalam gemetar dan ketakutan, aku berusaha tetap menguatkan hati untuk terus berdoa.

Lagi dan lagi ketika doa selesai terucap, hawa kamar itu berubah seperti seharusnya. Aku hendak melipat sajadah saat tiba-tiba Indah ada di depan pintu kamarku.

"Alhamdulillah, aku kira Mbak Hanna dibawa hantu itu lagi," ujar Indah dengan napas yang terdengar tersengal. Keringat pun mengucur dari dahi gadis itu.

"Kamu habis lari-lari, Ndah?"

"Iya, Mbak. Aku kuatir sama kamu karena begitu bangun tidur kamu tidak ada."

"Terima kasih sudah mengkuatirkan aku, Ndah." Aku memeluk tubuh mungilnya dengan lembut.

Langit gelap dengan berhias bintang-bintang yang berpijar, aku sudah ada di rumah orang tua Indah. Karena Wulan dan Intan masuk sift sore, jadi keduanya tidak mau mengambil risiko dengan meninggalkan aku sendiri. Mereka tidak mau terjadi sesuatu padaku akibat gangguan pata makhluk tak kasat mata.

"Mbak Hanna, sudah siap berangkat?"

"Ya sudahlah, Ndah. Kamu itu yang dari tadi mutar-mutar ke sana kemari." Aku tersenyum kecil melihat gadis yang mengenakan jaket tebal berwarna merah itu. Indah menggaruk kepalanya serta wajahnya bersemu merah mungkin karena malu.

"Lah itu tadi, jaketku terselip, Mbak. Jaket ketemu eh kaus kakiku gantian yang hilang."

"Ya sudah. Ini sudah lengkap belum kebutuhanmu? Bantal, guling, kasur, apa semuanya sudah dibawa?"

"Aku mau kerja, Mbak. Enggak pindah tidur." Wajahmu yang cemberut membuatku tertawa geli.

Setelah berpamitan dengan orang tua Indah juga neneknya, aku dan Indah berboncengan menuju garmen tempatku mencari rejeki. Indah sengaja memutar jalan agar kami tidak melewati indekosku. Di pabrik yang sangat besar ini, malam-malam begini suasana terasa begitu menyeramkan. Gelap gulita, hanya ada beberapa lampu yang menyala. Apalagi di parkiran khusus karyawan yang tempatnya bersebelahan dengan gedung spinning, rasanya siapa pun tidak akan betah berlama-lama di sana.

Mataku terbelalak saat di salah satu jendela yang terdapat pada lantai dua gedung spinning, terlihat sebuah lampu menyala terang. Bukankah kata Indah kemarin di gedung itu ada pantangan bahwa tidak boleh ada lampu yang menyala di sana.

"Ndah, Indah. Lihat deh itu gedung spinning kenapa terang begitu?" tanyaku pada Indah yang tengah menyisir rambutnya.

"Tidak mungkin, Mbak. Di gedung itu kan ada pantangan bahwa tidak boleh ada lampu yang menyala," jawab Indah tanpa sedikit pun menoleh ke arahku. Matanya terus menatap kaca spion motornya.

"Lihat dulu!" Aku menarik tangan Indah agar menurutiku melihat lampu di gedung spinning yang terus berkedip.

"Mana sih, Mbak?"

"Itu yang di lantai dua, jendela nomor tiga."

"Mana? Itu gelap banget lo, Mbak."

Apalagi ini? Padahal mataku menangkap cahaya yang berpendar, kenapa Indah tidak bisa melihat. Mataku membulat saat tiba-tiba sesosok seperti pocong berdiri tegap di balik jendela gedung spinning.

...----------------...

...--bersambung--...

Terpopuler

Comments

Yuli Eka Puji R

Yuli Eka Puji R

mensucikan diri bukan menyucikan diri

2023-06-27

0

사랑의 여신 ^^

사랑의 여신 ^^

Maaf thor.. Tp agak gimana pas baca ruangan kamarnya ga muat buat sholat,, sisa 3 org cewe yg tidur masa iya penuh sekamar.. kecil banget dong kamarnya..
Sholat ga perlu ruangan yg luas kok.. asal bs sujud aman mah nyempil" jg..
Eh tp ni novel horror ya.?!! klo ga gitu ga jalan ceritanya.. 🤣🤣🤣
yaudah deh.. lanjut thor.. semangat.. 🤭🤭

2023-03-04

0

Andini Andana

Andini Andana

keren juga si Hanna ini thor, punya mental kuat, walopun trs di ganggu

2023-01-21

4

lihat semua
Episodes
1 Bagian 1: Penemuan Mayat Mengerikan
2 Bagian 2: Wajah Yang Terekam Kamera
3 Bagian 3: Teror Malam Pertama
4 Bagian 4: Teror Hantu Kepala
5 Bagian 5: Kasus yang Tidak Selesai
6 Bagian 6: Dia Terus Mengikuti
7 Bagian 7: Korban Kamar Tiga Belas
8 Bagian 8: Dia yang Menyerupaiku
9 Bagian 9: Makanan dari Dunia Lain
10 Bagian 10: Angkringan Tak Kasat Mata
11 Bagian 11: Hantu Muka Rata
12 Bagian 12: Misteri Hilangnya Gayatri
13 Bagian 13: Terjebak di Makam Keramat
14 Bagian 14: Ada Apa di Gedung Itu?
15 Bagian 15: Ada Pocong!
16 Bagian 16: Senandung dari Dunia Lain
17 Bagian 17: Pengkhianat
18 Bagian 18: Siapa Kekasihmu?
19 Bagian 19: Teror Wanita Tanpa Rupa
20 Bagian 20: Cuekin Hantunya
21 Bagian 21: Kesurupan Massal
22 Bagian 22: Akibat Melanggar Peraturan
23 Bagian 23: Senandung Itu Kembali
24 Bagian 24: Finger Print
25 Bagian 25: Teror Hantu Ada Dimana Saja
26 Bagian 26: Kunti Ganjen
27 Bagian 27: Menunggu Sebuah Jawaban
28 Bagian 28: Pengkhianatan yang Terkuak
29 Bagian 29: Promo Diaper
30 Bagian 30: Ayam Cemani
31 Bagian 31: Mencuri Dengar
32 Bagian 32: Bunga Kantil
33 Bagian 33: Bubur Mie
34 Bagian 34: Kejutan!!
35 Bagian 35: Bedak Pelet
36 Bagian 36: Balas Dendam
37 Bagian 37: Gayatri Adalah...
38 Bagian 38: Rayuan si Cemeng
39 Bagian 39: Pergi ke Masa Lalu
40 Bagian 40: Kecantikan Gayatri
41 Bagian 41 : Ritual Pengusiran atau Pengundang
42 Bagian 42 : Amarah yang Membakar
43 Bagian 43: Dendam Gayatri
44 Bagian 44: Selendang sang Penari
45 Bagian 45: Saksi Penemuan Mayat
46 Perjanjian Siren karya baru Parasian
47 Bagian 46: Kutukan si Penari
48 Bagian 47: Wulan Terkunci di Kamar 13
49 Bagian 48: Kotak si Penari
50 Bagian 49: Kesakitan Intan
51 Bagian 50: Nyawa Pengganti
52 Bagian 51: Dia Meninggal!
53 Bagian 52: Upaya Memulihkan Wulan
54 Bagian 53: Selendang Hijau Sang Penari
55 Bagian 54: Percobaan Bunuh Diri
56 Bagian 55: Riwayat Misteri Kamar 13
57 Bagian 56: Pengantin Baru
58 Bagian 57: Janji Setia
59 Bagian 58: Ajakan Rujuk
60 Bagian 59: Diari
61 Bagian 60: Budak Sang Penari
62 Bagian 61: Rombongan Penari yang Mengerikan
63 Bagian 62: Dia yang Tidur di Kasurku
64 Bagian 63: Tamu Tidak Diundang
65 Bagian 64: Pembohong
66 Bagian 65: Kadal Comberan
67 Bagian 66: Tumbal Pesugihan
68 Bagian 67: Cemburu Itu Ada
69 Bagian 68: Buku Catatan
70 Bagian 69: Wanita di Rel Kereta Api
71 Bagian 70: Jadian
72 Bagian 71: Teror Intan
73 Bagian 72: Terjebak di Kampung Gaib Lagi
74 Bagian 73: Wanita yang Serupa Denganku
75 Bagian 74: Mimpi Buruk
76 Bagian 75: Identitas Pemilik Indekos
77 Bagian 76: Sop Buntut atau Jari Manusia
78 Bagian 77 : Tumbal Penglaris
79 Bagian 78: Pria Misterius
80 Bagian 79: Pemilik Indekos
81 Bagian 80: Kolam Maut
82 Bagian 81: Upaya Pembunuhan
83 Bagian 82: Topi si Penyerang
84 Bagian 83 : Madu Mongso
85 Bagian 84: Cerita Masa Lalu
86 Bagian 85 : Mimpi Kematian
87 Bagian 86: Pemanggilan Sebagai Saksi
88 Bagian 87: Harus Berani
89 Bagian 88: Musibah Menimpa Ridwan
Episodes

Updated 89 Episodes

1
Bagian 1: Penemuan Mayat Mengerikan
2
Bagian 2: Wajah Yang Terekam Kamera
3
Bagian 3: Teror Malam Pertama
4
Bagian 4: Teror Hantu Kepala
5
Bagian 5: Kasus yang Tidak Selesai
6
Bagian 6: Dia Terus Mengikuti
7
Bagian 7: Korban Kamar Tiga Belas
8
Bagian 8: Dia yang Menyerupaiku
9
Bagian 9: Makanan dari Dunia Lain
10
Bagian 10: Angkringan Tak Kasat Mata
11
Bagian 11: Hantu Muka Rata
12
Bagian 12: Misteri Hilangnya Gayatri
13
Bagian 13: Terjebak di Makam Keramat
14
Bagian 14: Ada Apa di Gedung Itu?
15
Bagian 15: Ada Pocong!
16
Bagian 16: Senandung dari Dunia Lain
17
Bagian 17: Pengkhianat
18
Bagian 18: Siapa Kekasihmu?
19
Bagian 19: Teror Wanita Tanpa Rupa
20
Bagian 20: Cuekin Hantunya
21
Bagian 21: Kesurupan Massal
22
Bagian 22: Akibat Melanggar Peraturan
23
Bagian 23: Senandung Itu Kembali
24
Bagian 24: Finger Print
25
Bagian 25: Teror Hantu Ada Dimana Saja
26
Bagian 26: Kunti Ganjen
27
Bagian 27: Menunggu Sebuah Jawaban
28
Bagian 28: Pengkhianatan yang Terkuak
29
Bagian 29: Promo Diaper
30
Bagian 30: Ayam Cemani
31
Bagian 31: Mencuri Dengar
32
Bagian 32: Bunga Kantil
33
Bagian 33: Bubur Mie
34
Bagian 34: Kejutan!!
35
Bagian 35: Bedak Pelet
36
Bagian 36: Balas Dendam
37
Bagian 37: Gayatri Adalah...
38
Bagian 38: Rayuan si Cemeng
39
Bagian 39: Pergi ke Masa Lalu
40
Bagian 40: Kecantikan Gayatri
41
Bagian 41 : Ritual Pengusiran atau Pengundang
42
Bagian 42 : Amarah yang Membakar
43
Bagian 43: Dendam Gayatri
44
Bagian 44: Selendang sang Penari
45
Bagian 45: Saksi Penemuan Mayat
46
Perjanjian Siren karya baru Parasian
47
Bagian 46: Kutukan si Penari
48
Bagian 47: Wulan Terkunci di Kamar 13
49
Bagian 48: Kotak si Penari
50
Bagian 49: Kesakitan Intan
51
Bagian 50: Nyawa Pengganti
52
Bagian 51: Dia Meninggal!
53
Bagian 52: Upaya Memulihkan Wulan
54
Bagian 53: Selendang Hijau Sang Penari
55
Bagian 54: Percobaan Bunuh Diri
56
Bagian 55: Riwayat Misteri Kamar 13
57
Bagian 56: Pengantin Baru
58
Bagian 57: Janji Setia
59
Bagian 58: Ajakan Rujuk
60
Bagian 59: Diari
61
Bagian 60: Budak Sang Penari
62
Bagian 61: Rombongan Penari yang Mengerikan
63
Bagian 62: Dia yang Tidur di Kasurku
64
Bagian 63: Tamu Tidak Diundang
65
Bagian 64: Pembohong
66
Bagian 65: Kadal Comberan
67
Bagian 66: Tumbal Pesugihan
68
Bagian 67: Cemburu Itu Ada
69
Bagian 68: Buku Catatan
70
Bagian 69: Wanita di Rel Kereta Api
71
Bagian 70: Jadian
72
Bagian 71: Teror Intan
73
Bagian 72: Terjebak di Kampung Gaib Lagi
74
Bagian 73: Wanita yang Serupa Denganku
75
Bagian 74: Mimpi Buruk
76
Bagian 75: Identitas Pemilik Indekos
77
Bagian 76: Sop Buntut atau Jari Manusia
78
Bagian 77 : Tumbal Penglaris
79
Bagian 78: Pria Misterius
80
Bagian 79: Pemilik Indekos
81
Bagian 80: Kolam Maut
82
Bagian 81: Upaya Pembunuhan
83
Bagian 82: Topi si Penyerang
84
Bagian 83 : Madu Mongso
85
Bagian 84: Cerita Masa Lalu
86
Bagian 85 : Mimpi Kematian
87
Bagian 86: Pemanggilan Sebagai Saksi
88
Bagian 87: Harus Berani
89
Bagian 88: Musibah Menimpa Ridwan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!