"Jangan bercanda kamu, Han. Cepet bukain pintu. Panas tanganku pegang mangkok mie."
Aku masih tidak mengerti yang Intan katakan. "Aku masih di angkringan depan pabrik, Tan. Kalau tidak percaya, kita video call ya."
Aku mengalihkan panggilan suara menjadi panggilan video dengan menghidupkan kamera depan. Aku bisa melihat memang benar Intan tengah memegang mangkuk yang masih mengeluarkan asap. Dia pun terlihat ada di depan kamarku.
"Han, cepetan bukain pintu! Tanganku hampir mati rasa ini!"
"Tan, bagaimana aku bisa buka pintu sementara aku itu masih ada di angkringan. Nih, lihat aku masih di sini." Aku menunjukkan suasana angkringan yang tengah dipadati pengunjung. Seketika wajah Intan memucat bahkan mangkuk berisi mie rebus itu jatuh.
"Te-terus yang tadi ke atas minta mie rebus, siapa?"
Mataku terbelalak saat tiba-tiba tirai jendela kamarku tersingkap. Sebuah wajah mengerikan muncul dari dalam kamarku. Ponselku hampir terlepas karena terkejut. Tangan kiriku membekap mulut agar tidak berteriak di depan umum.
"Ada apa, Mbak?"
"Lihat!" Aku menunjuk layar ponselku agar Indah melihat sendiri penampakan yang muncul.
"Temanmu kenapa, Mbak?"
"Lihat yang ada di jendela!"
"Tidak ada apa-apa." Pandanganku kembali menatap jendela kamarku, tirainya sudah tertutup rapat. Sementara Intan masih terdiam dan kebingungan.
"Tan, kamu baik-baik saja?" Gadis itu tampak terkejut.
"Han, kamu cepet pulang ya. Langsung ke kamarku saja. Aku takut ini. Soalnya Wulan masuk sore jadinya pulang malam. Aku mau ke atas dulu."
"I-iya, aku segera pulang."
Tepat saat sambungan telepon ditutup, bakaran yang aku pesan sudah siap. Indah segera memacu kuda besinya agar aku bisa sampai dengan cepat. Dia ternyata juga mengkhawatirkan keadaan Intan yang terlihat ketakutan.
"Mbak, kamu hati-hati ya," ujar Indah saat aku sudah tiba ada di depan gerbang. Aku segera mengucapkan terima kasih padanya dan buru-buru masuk. Mataku sempat menangkap pintu kamarku terbuka tertutup sendiri padahal jelas sebelum aku berangkat sudah aku kunci. Meski ada rada takut aku memilih tidak menggubris dan langsung naik ke atas untuk memastikan keadaan Intan.
"Assalamualaikum, Tan!" Aku mengetuk pintu yang sedikit keropos itu perlahan. Tidak ada sahutan dari dalam membuatku panik. Kalau-kalau terjadi hal-hal yang buruk padanya.
"Tan, bukain pintu. Ini aku Hanna!" Kali ini aku mengetuk pintu lebih keras.
Dengan cepat pintu itu terbuka. Intan menarik tanganku masuk ke dalam kamar.
"Waalaikumsalam. Ini beneran Hanna kan?" tanyanya sambil menoel pipiku.
"Iya, ini aku, Hanna masa Paijo." Aku mencoba mencandainya agar suasana sedikit cair dan tidak terlalu tegang.
"Gila, aku bener-bener takut. Soalnya tadi ada yang minta mie rebus dan aku kira itu kamu."
"Kok bisa?"
Intan menceritakan menjelang senja, Intan menghilangkan gerah dengan mandi. Saat mandi itu pula ada yang mengetuk pintu dan meminta dibuatkan mie rebus.
"Lalu kenapa kamu mau? Kan kamu bukan kantin. Lagi pula kenapa kamu yakin kalau itu aku padahal kan kamu lagi di kamar mandi."
"Sumpah, suaranya itu mirip banget sama kamu, Han. Ya sudah, aku buatin. Pas sampai di bawah pintu kamarmu terkunci dan lampunya pun mati. Asli aku kira kamu ngerjain aku atau gimana. Apa lagi kamu aku telepon tidak diangkat. Aku kirim pesan pun tidak kamu baca. Tidak menyangka aku rupanya itu hanya makhluk halus yang menyerupai kamu. Lihat sampai sekarang aku masih merinding."
"Bagaimana mau jawab, aku kan masih kerja tadi. Ya sudah, yang penting kamu tidak apa-apa. Tan, anterin aku ambil baju ya. Aku juga ngeri kalau harus sendiri di kamarku."
Berjalan beriringan aku dan Intan turun perlahan menuju kamarku. Mulut ini tidak berhenti membaca doa agar saat berada di kamar nanti tidak ada hal yang menakutkan lagi.
Nasib baik menaungiku dan Intan, semuanya tampak tenang bahkan saat aku memasuki kamarku tidak ada aroma anyir atau hal-hal yang menakutkan. Aku mengambil apa saja yang kuperlukan untuk bekerja esok hari. Kemudian cepat-cepat kembali lagi ke kamar Intan, rasanya aku belum sanggup untuk tidur sendiri di kamar yang mencekam itu.
"Tan, apa sebelumnya kamar yang aku tempati ini pernah ada hal yang aneh seperti ini?"
"Bukan pernah tapi selalu. Makanya pemilik tempat ini selalu memasang iklan di grup-grup luar kota Solo. Menjaring orang-orang yang tidak tau tentang tempat ini."
Aku tertegun mengapa dari awal aku tidak curiga dengan tawaran indekos dengan harga jauh di bawah standar dan fasilitas yang lumayan lengkap ini.
Malam ini meski lelah, aku dan Intan sama-sama tidak bisa memejamkan mata. Masih terbayang jelas kejadian ganjil yang baru Intan alami.
Hampir tengah malam, pintu kamar terdengar diketuk. Aku dan Intan saling pandang, siapa gerangan di luar yang mengetuk pintu selarut ini. Aku dan Intan berpegangan tangan untuk saling menguatkan satu sama lain. Kami harus waspada, siapa tau yang di luar pintu adalah hantu mengerikan itu.
"Tan! Kamu sudah tidur?"
Itu suara Wulan, lega rasanya karena yang di luar adalah sahabatku. Aku hendak membukakan kunci tapi Intan mencegahku. "Kita lihat dulu, jangan-jangan itu hantu. Bukankah tadi siang dia juga menyaru jadi kamu, Han. Baiknya kita intip saja dulu untuk memastikan kalau yang di luar benar-benar Wulan."
Aku menyetujui saran Intan, semua itu untuk berjaga-jaga agar terhindar dari teror hantu tanpa kepala itu. Perlahan aku mengintip seseorang yang ada di luar. Aku perhatikan dengan seksama termasuk kakinya apakah menapak di tanah atau melayang.
"Bagaimana?"
"Sepertinya itu memang Wulan. Cepat kita bukakan pintu." Intan membuka pintu dan dengan cepat menarik tangan Wulan agar masuk ke kamar sebelum Wulan sempat mengucapkan salam. Intan langsung mengunci pintu kamar setelah memastikan tidak ada siapa-siapa lagi di luar.
"Tan, kamu kenapa seperti orang ketakutan begitu? Wajahmu juga pucat." Wulan menatap wajah Intan dengan seksama.
"A-anu, Lan. Ta-tadi...."
"Loh, kamu ada di sini, Han. Kapan naik dan masuk kamarnya? Perasaan pas aku pamit naik, kamu masuk ke kamarmu? Jangan-jangan kamu punya ilmu pindah tempat."
Aku terkejut mendengar pertanyaan Wulan. "Aku sudah dari tadi di sini, Lan."
"Ah, bercanda kamu. Orang barusan kita ngobrol di depan kamarmu. Kamu juga memberiku nasi goreng dua bungkus. Kamu habis beli nasi di warung depan situ, kan?" tanya Wulan sembari menunjukkan sebuah plastik hitam di tangan kirinya. Tentu saja aku menggeleng karena kenyataannya memang sedari pulang kerja aku dan Intan duduk di kamar.
"Terus yang tadi ngobrol sama aku, siapa?" Wulan mengusap tengkuknya, mungkin dia merasakan takut. Ketakutan yang sama dengan yang kurasakan dan Intan rasakan. Pandangan Wulan kini beralih pada Intan.
"Kita senasib, Lan. Tadi setelah Magrib seseorang mengetuk pintu, karena aku sedang mandi, aku menjawab dengan teriak dari dalam. Dia meminta tolong aku untuk membuat mie rebus. Setelah matang, tidak ada siapa-siapa dan saat aku kemar Hanna, rupanya dia masih kerja di pabriknya."
"Sebenarnya saat kamu telepon, jendela kamarku sempat terbuka dan wanita dengan wajah hancur itu sempat menampakkan dirinya. Aku diam saja karena tidak mau membuatmu ketakutan."
Akhirnya aku menceritakan kejadian tadi pada Intan dan Wulan. Tentu saja kejadian-kejadian ganjil dan menyeramkan ini membuat kami bertiga histeris. Sampai-sampai beberapa penghuni lain keluar kamar dan mengetuk pintu.
"Ma-maaf, kami baru nonton film horor." Wulan terpaksa berbohong agar tidak ada keributan di indekos kami.
Setelah suasana mulai tenang, mataku tertuju pada plastik hitam yang tadi dibawa Wulan. Katanya ini adalah pemberianku atau tepatnya makhluk yang menyerupai diriku.
"Lan, kita buka yuk. Itu bungkusan isinya apa?" Wulan menyetujui usulku, dia penasaran juga dengan isinya. Sementara Intan menutup matanya, takut kalau isi bungkusan itu sesuatu yany mengerikan.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
alena
baik jg tuh h*n*u ngasih nasgor 😅
2023-04-04
1