Bagian 17: Pengkhianat

Pagi yang cerah, aku dan Indah menyempatkan untuk membeli sarapan di dekat pasar. Menu nasi soto dipilih sebagai mengawali hari ini. Nasi yang mengepul dengan toping irisan daging sapi, seledri, kecambah, serta ditaburi bawang goreng yang melimpah kemudian disiram dengan kuah kaldu yang sangat harum, kurasa akan menggugah selera dan bisa memulihkan tenaga yang keluar setelah bekerja semalaman.

"Mbak, aku minta sambelnya dong." Aku menyodorkan mangkuk yang berisi sambal pada Indah, sementara tangan kananku memeras potongan jeruk nipis ke dalam soto agar kuah kaldunya mempunyai cita rasa asem seger. Segelas teh manis hangat pun siap menjadi pelepas dahaga. Mata yang tadinya mengantuk berubah menjadi segar.

"Ndah, kita bungkusin soto buat nenek ya."

Gadis itu justru tertawa mendengar ucapanku. Aku yang terheran karena menurutku tidak ada yang salah dari pertanyaanku. "Malah ngakak. Memangnya niatku salah ya?"

"Bukan salah, Mbakyu." Indah menjawab sembari tersenyum.

"Lah terus?"

"Coba bayangin kalau Mbah Utiku makan daging. Kapan selesainya coba? Bisa kali besok saat gajah bertelur baru selesai. Dia kan sudah tidak punya gigi. Cuma amuk-amuk tidak kemakan." Tawa itu kembali meledak, bukan hanya Indah tapi aku pun tertawa membayangkan nenek yang terus bergulat untuk mengunyah daging.

"Astagfirullah, Malin Kundang kita ini, menertawakan orang sepuh."

"Habis kamu juga sih, Mbak Hanna. Membuat otakku traveling membayangkan hal-hal seperti itu." Indah berucap sembari memegang perutnya yang mungkin kaku karena tertawa terbahak-bahak.

"Ya sudah, kita bungkus buat bapak dan ibu saja. Aku ke sana dulu, mau pesan."

Dengan menenteng satu bungkus soto serta beberapa potong tempe mendoan, aku dan Indah pulang. Aku meletakkan soto daging sapi ke panci kecil sementara Indah menata mendoan di piring. Bapak dan Ibu sudah tidak ada di rumah, mereka sudah berangkat untuk bekerja.

"Mbak, kayanya sotonya nanti yang makan kita juga. Makanya tadi aku ragu pas mau beli. Karena bapak dan ibu terkadang itu, pagi-pagi sekali sudah berangkat kerja."

"Ya sudah, anggap saja ini meringankan beban kita. Nanti kita bangun tidur pasti lapar, jadi tidak perlu keluar lagi untuk mencari makan."

"Ngomong-ngomong soal tidur. Indah mau ke kamar dulu. Mata sudah berat kayak dilem." Gadis itu menguap lebar sementara mataku dari tadi mencari sosok nenek yang tidak terlihat.

"Ndah, nenekmu dimana?"

"Palingan di kamar, Mbak. Coba aku lihat dulu. Biasanya juga ibu sudah meletakkan bubur nasi di meja yang ada di dalam kamar uti."

"Iya kamu lihat dulu keadaan nenek." Gadis itu beranjak meninggalkanku. Aku masih sibuk mencuci beberapa piring yang mungkin ditinggalkan dengan terburu-buru, terlihat dari sisa makanan di piring kaca itu. Tidak berapa lama, Indah kembali ke dapur serta memberitahu neneknya tengah menjalankan salat Duha.

"Tapi tadi Indah sempat lihat di meja uti ada bungkusan bubur." Setelah lega bahwa nenek baik-baik saja, aku dan Indah memutuskan untuk segera beristirahat karena dari tadi tubuhku sudah memberiku sinyal agar sesegera mungkin beristirahat.

Indah yang sudah berjalan duluan sudah terlihat terlelap sembari memeluk guling. Aku menyusul Indah di alam mimpi.

Sayup kudengar suara senandung tanpa lirik. Semakin lama semakin jelas dan keras terdengar jelas. Segera aku mencari dimanakah senandung tanpa lirik itu berasal. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Aku hendak membalikkan badan saat seorang wanita dengan wajah bersimbah darah tengah menggendong seorang bayi sembari bersenandung, seolah tengah menidurkan dingin.

"Hanna, sini duduk!" Wanita itu menatapku tajam sembari memamerkan mulutnya yang penuh belatung.

"Astagfirullah!" Saking takutnya aku berlari meninggalkan tempat itu sembari berteriak-teriak minta tolong.

"Mbak! Mbak Hanna, bangun!" Aku merasa bahwa ada yang tengah menggoyangkan bahuku.

"Mbak Hanna!" Entah untuk ke berapa kalinya panggilan itu kembali terngiang. Perlahan kubuka mataku, dengan harapan yang kulihat bukanlah makhluk menyeramkan.

"Mbak!"

Untunglah yang kulihat pada saat mataku terbuka sepenuhnya adalah wajah cemas milik Indah. Tiba-tiba dia pun memelukku erat.

"Mbak, kamu kenapa? Aku dengar Mbak Hanna tidur sembari berteriak minta tolong. Makanya aku bangunin kamu, Mbak."

"Ta-tadi aku mimpi buruk, dikejar-kejar oleh hantu yang wajahnya rusak."

Indah menyodorkan segelas air putih untuk aku minum agar jantung yang tadi berdetak begitu cepat kembali normal lagi.

Aku melirik jam dinding bermotif hello kitty, rupanya ini sudah hampir memasuki salat Zuhur. Meski mata ini masih berat tetap aku paksakan bangun untuk menunaikan ibadah salat. Dalam sujudku, aku meminta perlindungan kepada Sang Kuasa agar aku dijauhkan dari teror makhluk tak kasat mata lagi. Aku mulai lelah dengan gangguan demi gangguan yang harus aku hadapi setiap harinya terus menyerangku.

"Mbak, tadi di pabrik sepertinya ada penampakan lagi ya, pas lagi di kamar mandi lobi?" tanya Indah ketika kami makan siang.

Aku menceritakan apa yang aku alami di kamar mandi dengan sangat detail. Mendengar itu Indah menganga.

"Mbak, kamu yang kuat ya. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku yang ada di posisimu, Mbak. Aku tidak akan sekuat kamu. Aku pasti memilih pulang kampung saja agar makhluk itu tidak mengikuti lagi."

"Aku ingin, sangat ingin. Tapi..." Mataku menerawang jauh ke depan. Mataku berkaca-kaca jika mengingat tujuan berada di tempat ini dan jauh dari keluarga.

Suara notifikasi menandakan ada sebuah pesan masuk. Aku meraih ponselku rupanya Mbak Arum mengirimi pesan agar aku menyempatkan waktu untuk menelepon bapak yang saat ini tengah merindukan aku, anak bungsunya. Memang sejak teror yang silih berganti, aku tidak menghubungi mereka. Padahal tujuan utamaku adalah menyenangkan hati bapakku juga keluargaku.

Dengan cepat, aku langsung menelepon bapak untuk sedikit mengobati kerinduan yang membuncah. Cukup lama saling bercerita, hanya saja aku tidak memberitahu perihal teror yang harus aku hadapi, aku tidak ingin menambah beban pikirannya.

Setelah berbincang dengan bapak, aku bersama Indah bahu-membahu membersihkan rumah. Saat itulah Intan dan Wulan terlihat datang bertamu.

"Hanna, apa kamu tidak merindukan kami?" tanya Wulan sembari memelukku erat. Dia tidak peduli kondisiku yang bercucuran keringat serta tubuh yang penuh debu.

"Sepertinya kita mulai dilupakan, Lan," sambung Intan dengan nada ketusnya. Aku paham keduanya tidak bermaksud serius ataupun marah padaku tapi tetap saja aku menjelaskan duduk permasalahannya.

"Jujur, aku mulai lelah dengan teror yang selalu datang. Andai kata benar, hantu itu meminta pertolongan agar kasus pembunuhan itu dibongkar siapa saja tersangkanya yang sangat keji itu. Lalu dari mana aku harus memulainya, sementara polisi saja yang alat-alatnya canggih, mereka menyerah karena tidak bisa menguak siapa dalang dan apa motifnya."

Kedua wanita yang usianya sebaya denganku ini memelukku lebih erat seolah ingin menguatkanku.

"Aku tidak diajak pelukan ya? Mentang-mentang paling kecil jadi tidak dianggap."

Tawa itu berderai karena Indah memasang wajah yang cemberut karena merasa diasingkan oleh kami bertiga. Aku menarik tangan mungilnya dan aku dekap erat gadis yang begitu baik hatinya karena menampungku di sini dan memberiku rasa aman.

"Tan, ngomong-ngomong tadi pagi aku ke kamarmu, sepertinya sedang ada tamu ya? Kalau dari sepatu yang ada di luar kamar, itu punya seorang pria?" tanyaku pada Intan yang tengah bersenda gurau.

"Ta-tamu? Memangnya tadi pagi kamu terima tamu, Tan? Siapa?" Wulan pun memburu Intan yang tampak kelabakan karena banyaknya pertanyaan yang aku dan Wulan lontarkan.

"A-anu, tadi itu pacarku."

"Kok aku tidak tau kalau kamu sudah punya pacar?"

"Kami baru pacaran resmi beberapa bulan yang lalu. Nanti suatu saat akan aku kenalkan pada kalian."

Aku jadi ingat bahwa aku harus menasihati Intan agar tidak semakin jatuh ke dalam lubang kesalahan, tapi rasanya saat ini tidak tepat untuk mengatakannya.

Di tengah pembicaraan hangat, nenek muncul, dengan bergantian kami mencium tangan nenek.

"Kalian ini bersahabat?"

"Iya, Nek. Kami berteman baik."

"Ingat dalam sebuah hubungan apapun jangan pernah ada pengkhianatan di antara kalian." Kami berempat hanya mengangguk perlahan mendengar ucapan nenek yang tiba-tiba saja menyinggung sebuah pengkhianatan dan sebuah hubungan. Satu hal yang tidak aku mengerti, nenek berkata demikian sembari menatap tajam ke arah Intan.

...----------------...

...--bersambung--...

Terpopuler

Comments

Wildan Ranadhan

Wildan Ranadhan

duh....jngan2 si intan malah selingkuh SM suaminya Wulan..

2023-02-06

0

YT FiksiChannel

YT FiksiChannel

curiga aku kalau Hanna ini anaknya penghuni kos yang terbunuh itu

2023-01-23

1

Andini Andana

Andini Andana

warning tuh buat Intan

2023-01-21

5

lihat semua
Episodes
1 Bagian 1: Penemuan Mayat Mengerikan
2 Bagian 2: Wajah Yang Terekam Kamera
3 Bagian 3: Teror Malam Pertama
4 Bagian 4: Teror Hantu Kepala
5 Bagian 5: Kasus yang Tidak Selesai
6 Bagian 6: Dia Terus Mengikuti
7 Bagian 7: Korban Kamar Tiga Belas
8 Bagian 8: Dia yang Menyerupaiku
9 Bagian 9: Makanan dari Dunia Lain
10 Bagian 10: Angkringan Tak Kasat Mata
11 Bagian 11: Hantu Muka Rata
12 Bagian 12: Misteri Hilangnya Gayatri
13 Bagian 13: Terjebak di Makam Keramat
14 Bagian 14: Ada Apa di Gedung Itu?
15 Bagian 15: Ada Pocong!
16 Bagian 16: Senandung dari Dunia Lain
17 Bagian 17: Pengkhianat
18 Bagian 18: Siapa Kekasihmu?
19 Bagian 19: Teror Wanita Tanpa Rupa
20 Bagian 20: Cuekin Hantunya
21 Bagian 21: Kesurupan Massal
22 Bagian 22: Akibat Melanggar Peraturan
23 Bagian 23: Senandung Itu Kembali
24 Bagian 24: Finger Print
25 Bagian 25: Teror Hantu Ada Dimana Saja
26 Bagian 26: Kunti Ganjen
27 Bagian 27: Menunggu Sebuah Jawaban
28 Bagian 28: Pengkhianatan yang Terkuak
29 Bagian 29: Promo Diaper
30 Bagian 30: Ayam Cemani
31 Bagian 31: Mencuri Dengar
32 Bagian 32: Bunga Kantil
33 Bagian 33: Bubur Mie
34 Bagian 34: Kejutan!!
35 Bagian 35: Bedak Pelet
36 Bagian 36: Balas Dendam
37 Bagian 37: Gayatri Adalah...
38 Bagian 38: Rayuan si Cemeng
39 Bagian 39: Pergi ke Masa Lalu
40 Bagian 40: Kecantikan Gayatri
41 Bagian 41 : Ritual Pengusiran atau Pengundang
42 Bagian 42 : Amarah yang Membakar
43 Bagian 43: Dendam Gayatri
44 Bagian 44: Selendang sang Penari
45 Bagian 45: Saksi Penemuan Mayat
46 Perjanjian Siren karya baru Parasian
47 Bagian 46: Kutukan si Penari
48 Bagian 47: Wulan Terkunci di Kamar 13
49 Bagian 48: Kotak si Penari
50 Bagian 49: Kesakitan Intan
51 Bagian 50: Nyawa Pengganti
52 Bagian 51: Dia Meninggal!
53 Bagian 52: Upaya Memulihkan Wulan
54 Bagian 53: Selendang Hijau Sang Penari
55 Bagian 54: Percobaan Bunuh Diri
56 Bagian 55: Riwayat Misteri Kamar 13
57 Bagian 56: Pengantin Baru
58 Bagian 57: Janji Setia
59 Bagian 58: Ajakan Rujuk
60 Bagian 59: Diari
61 Bagian 60: Budak Sang Penari
62 Bagian 61: Rombongan Penari yang Mengerikan
63 Bagian 62: Dia yang Tidur di Kasurku
64 Bagian 63: Tamu Tidak Diundang
65 Bagian 64: Pembohong
66 Bagian 65: Kadal Comberan
67 Bagian 66: Tumbal Pesugihan
68 Bagian 67: Cemburu Itu Ada
69 Bagian 68: Buku Catatan
70 Bagian 69: Wanita di Rel Kereta Api
71 Bagian 70: Jadian
72 Bagian 71: Teror Intan
73 Bagian 72: Terjebak di Kampung Gaib Lagi
74 Bagian 73: Wanita yang Serupa Denganku
75 Bagian 74: Mimpi Buruk
76 Bagian 75: Identitas Pemilik Indekos
77 Bagian 76: Sop Buntut atau Jari Manusia
78 Bagian 77 : Tumbal Penglaris
79 Bagian 78: Pria Misterius
80 Bagian 79: Pemilik Indekos
81 Bagian 80: Kolam Maut
82 Bagian 81: Upaya Pembunuhan
83 Bagian 82: Topi si Penyerang
84 Bagian 83 : Madu Mongso
85 Bagian 84: Cerita Masa Lalu
86 Bagian 85 : Mimpi Kematian
87 Bagian 86: Pemanggilan Sebagai Saksi
88 Bagian 87: Harus Berani
89 Bagian 88: Musibah Menimpa Ridwan
Episodes

Updated 89 Episodes

1
Bagian 1: Penemuan Mayat Mengerikan
2
Bagian 2: Wajah Yang Terekam Kamera
3
Bagian 3: Teror Malam Pertama
4
Bagian 4: Teror Hantu Kepala
5
Bagian 5: Kasus yang Tidak Selesai
6
Bagian 6: Dia Terus Mengikuti
7
Bagian 7: Korban Kamar Tiga Belas
8
Bagian 8: Dia yang Menyerupaiku
9
Bagian 9: Makanan dari Dunia Lain
10
Bagian 10: Angkringan Tak Kasat Mata
11
Bagian 11: Hantu Muka Rata
12
Bagian 12: Misteri Hilangnya Gayatri
13
Bagian 13: Terjebak di Makam Keramat
14
Bagian 14: Ada Apa di Gedung Itu?
15
Bagian 15: Ada Pocong!
16
Bagian 16: Senandung dari Dunia Lain
17
Bagian 17: Pengkhianat
18
Bagian 18: Siapa Kekasihmu?
19
Bagian 19: Teror Wanita Tanpa Rupa
20
Bagian 20: Cuekin Hantunya
21
Bagian 21: Kesurupan Massal
22
Bagian 22: Akibat Melanggar Peraturan
23
Bagian 23: Senandung Itu Kembali
24
Bagian 24: Finger Print
25
Bagian 25: Teror Hantu Ada Dimana Saja
26
Bagian 26: Kunti Ganjen
27
Bagian 27: Menunggu Sebuah Jawaban
28
Bagian 28: Pengkhianatan yang Terkuak
29
Bagian 29: Promo Diaper
30
Bagian 30: Ayam Cemani
31
Bagian 31: Mencuri Dengar
32
Bagian 32: Bunga Kantil
33
Bagian 33: Bubur Mie
34
Bagian 34: Kejutan!!
35
Bagian 35: Bedak Pelet
36
Bagian 36: Balas Dendam
37
Bagian 37: Gayatri Adalah...
38
Bagian 38: Rayuan si Cemeng
39
Bagian 39: Pergi ke Masa Lalu
40
Bagian 40: Kecantikan Gayatri
41
Bagian 41 : Ritual Pengusiran atau Pengundang
42
Bagian 42 : Amarah yang Membakar
43
Bagian 43: Dendam Gayatri
44
Bagian 44: Selendang sang Penari
45
Bagian 45: Saksi Penemuan Mayat
46
Perjanjian Siren karya baru Parasian
47
Bagian 46: Kutukan si Penari
48
Bagian 47: Wulan Terkunci di Kamar 13
49
Bagian 48: Kotak si Penari
50
Bagian 49: Kesakitan Intan
51
Bagian 50: Nyawa Pengganti
52
Bagian 51: Dia Meninggal!
53
Bagian 52: Upaya Memulihkan Wulan
54
Bagian 53: Selendang Hijau Sang Penari
55
Bagian 54: Percobaan Bunuh Diri
56
Bagian 55: Riwayat Misteri Kamar 13
57
Bagian 56: Pengantin Baru
58
Bagian 57: Janji Setia
59
Bagian 58: Ajakan Rujuk
60
Bagian 59: Diari
61
Bagian 60: Budak Sang Penari
62
Bagian 61: Rombongan Penari yang Mengerikan
63
Bagian 62: Dia yang Tidur di Kasurku
64
Bagian 63: Tamu Tidak Diundang
65
Bagian 64: Pembohong
66
Bagian 65: Kadal Comberan
67
Bagian 66: Tumbal Pesugihan
68
Bagian 67: Cemburu Itu Ada
69
Bagian 68: Buku Catatan
70
Bagian 69: Wanita di Rel Kereta Api
71
Bagian 70: Jadian
72
Bagian 71: Teror Intan
73
Bagian 72: Terjebak di Kampung Gaib Lagi
74
Bagian 73: Wanita yang Serupa Denganku
75
Bagian 74: Mimpi Buruk
76
Bagian 75: Identitas Pemilik Indekos
77
Bagian 76: Sop Buntut atau Jari Manusia
78
Bagian 77 : Tumbal Penglaris
79
Bagian 78: Pria Misterius
80
Bagian 79: Pemilik Indekos
81
Bagian 80: Kolam Maut
82
Bagian 81: Upaya Pembunuhan
83
Bagian 82: Topi si Penyerang
84
Bagian 83 : Madu Mongso
85
Bagian 84: Cerita Masa Lalu
86
Bagian 85 : Mimpi Kematian
87
Bagian 86: Pemanggilan Sebagai Saksi
88
Bagian 87: Harus Berani
89
Bagian 88: Musibah Menimpa Ridwan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!