Pagi yang cerah, aku dan Indah menyempatkan untuk membeli sarapan di dekat pasar. Menu nasi soto dipilih sebagai mengawali hari ini. Nasi yang mengepul dengan toping irisan daging sapi, seledri, kecambah, serta ditaburi bawang goreng yang melimpah kemudian disiram dengan kuah kaldu yang sangat harum, kurasa akan menggugah selera dan bisa memulihkan tenaga yang keluar setelah bekerja semalaman.
"Mbak, aku minta sambelnya dong." Aku menyodorkan mangkuk yang berisi sambal pada Indah, sementara tangan kananku memeras potongan jeruk nipis ke dalam soto agar kuah kaldunya mempunyai cita rasa asem seger. Segelas teh manis hangat pun siap menjadi pelepas dahaga. Mata yang tadinya mengantuk berubah menjadi segar.
"Ndah, kita bungkusin soto buat nenek ya."
Gadis itu justru tertawa mendengar ucapanku. Aku yang terheran karena menurutku tidak ada yang salah dari pertanyaanku. "Malah ngakak. Memangnya niatku salah ya?"
"Bukan salah, Mbakyu." Indah menjawab sembari tersenyum.
"Lah terus?"
"Coba bayangin kalau Mbah Utiku makan daging. Kapan selesainya coba? Bisa kali besok saat gajah bertelur baru selesai. Dia kan sudah tidak punya gigi. Cuma amuk-amuk tidak kemakan." Tawa itu kembali meledak, bukan hanya Indah tapi aku pun tertawa membayangkan nenek yang terus bergulat untuk mengunyah daging.
"Astagfirullah, Malin Kundang kita ini, menertawakan orang sepuh."
"Habis kamu juga sih, Mbak Hanna. Membuat otakku traveling membayangkan hal-hal seperti itu." Indah berucap sembari memegang perutnya yang mungkin kaku karena tertawa terbahak-bahak.
"Ya sudah, kita bungkus buat bapak dan ibu saja. Aku ke sana dulu, mau pesan."
Dengan menenteng satu bungkus soto serta beberapa potong tempe mendoan, aku dan Indah pulang. Aku meletakkan soto daging sapi ke panci kecil sementara Indah menata mendoan di piring. Bapak dan Ibu sudah tidak ada di rumah, mereka sudah berangkat untuk bekerja.
"Mbak, kayanya sotonya nanti yang makan kita juga. Makanya tadi aku ragu pas mau beli. Karena bapak dan ibu terkadang itu, pagi-pagi sekali sudah berangkat kerja."
"Ya sudah, anggap saja ini meringankan beban kita. Nanti kita bangun tidur pasti lapar, jadi tidak perlu keluar lagi untuk mencari makan."
"Ngomong-ngomong soal tidur. Indah mau ke kamar dulu. Mata sudah berat kayak dilem." Gadis itu menguap lebar sementara mataku dari tadi mencari sosok nenek yang tidak terlihat.
"Ndah, nenekmu dimana?"
"Palingan di kamar, Mbak. Coba aku lihat dulu. Biasanya juga ibu sudah meletakkan bubur nasi di meja yang ada di dalam kamar uti."
"Iya kamu lihat dulu keadaan nenek." Gadis itu beranjak meninggalkanku. Aku masih sibuk mencuci beberapa piring yang mungkin ditinggalkan dengan terburu-buru, terlihat dari sisa makanan di piring kaca itu. Tidak berapa lama, Indah kembali ke dapur serta memberitahu neneknya tengah menjalankan salat Duha.
"Tapi tadi Indah sempat lihat di meja uti ada bungkusan bubur." Setelah lega bahwa nenek baik-baik saja, aku dan Indah memutuskan untuk segera beristirahat karena dari tadi tubuhku sudah memberiku sinyal agar sesegera mungkin beristirahat.
Indah yang sudah berjalan duluan sudah terlihat terlelap sembari memeluk guling. Aku menyusul Indah di alam mimpi.
Sayup kudengar suara senandung tanpa lirik. Semakin lama semakin jelas dan keras terdengar jelas. Segera aku mencari dimanakah senandung tanpa lirik itu berasal. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Aku hendak membalikkan badan saat seorang wanita dengan wajah bersimbah darah tengah menggendong seorang bayi sembari bersenandung, seolah tengah menidurkan dingin.
"Hanna, sini duduk!" Wanita itu menatapku tajam sembari memamerkan mulutnya yang penuh belatung.
"Astagfirullah!" Saking takutnya aku berlari meninggalkan tempat itu sembari berteriak-teriak minta tolong.
"Mbak! Mbak Hanna, bangun!" Aku merasa bahwa ada yang tengah menggoyangkan bahuku.
"Mbak Hanna!" Entah untuk ke berapa kalinya panggilan itu kembali terngiang. Perlahan kubuka mataku, dengan harapan yang kulihat bukanlah makhluk menyeramkan.
"Mbak!"
Untunglah yang kulihat pada saat mataku terbuka sepenuhnya adalah wajah cemas milik Indah. Tiba-tiba dia pun memelukku erat.
"Mbak, kamu kenapa? Aku dengar Mbak Hanna tidur sembari berteriak minta tolong. Makanya aku bangunin kamu, Mbak."
"Ta-tadi aku mimpi buruk, dikejar-kejar oleh hantu yang wajahnya rusak."
Indah menyodorkan segelas air putih untuk aku minum agar jantung yang tadi berdetak begitu cepat kembali normal lagi.
Aku melirik jam dinding bermotif hello kitty, rupanya ini sudah hampir memasuki salat Zuhur. Meski mata ini masih berat tetap aku paksakan bangun untuk menunaikan ibadah salat. Dalam sujudku, aku meminta perlindungan kepada Sang Kuasa agar aku dijauhkan dari teror makhluk tak kasat mata lagi. Aku mulai lelah dengan gangguan demi gangguan yang harus aku hadapi setiap harinya terus menyerangku.
"Mbak, tadi di pabrik sepertinya ada penampakan lagi ya, pas lagi di kamar mandi lobi?" tanya Indah ketika kami makan siang.
Aku menceritakan apa yang aku alami di kamar mandi dengan sangat detail. Mendengar itu Indah menganga.
"Mbak, kamu yang kuat ya. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku yang ada di posisimu, Mbak. Aku tidak akan sekuat kamu. Aku pasti memilih pulang kampung saja agar makhluk itu tidak mengikuti lagi."
"Aku ingin, sangat ingin. Tapi..." Mataku menerawang jauh ke depan. Mataku berkaca-kaca jika mengingat tujuan berada di tempat ini dan jauh dari keluarga.
Suara notifikasi menandakan ada sebuah pesan masuk. Aku meraih ponselku rupanya Mbak Arum mengirimi pesan agar aku menyempatkan waktu untuk menelepon bapak yang saat ini tengah merindukan aku, anak bungsunya. Memang sejak teror yang silih berganti, aku tidak menghubungi mereka. Padahal tujuan utamaku adalah menyenangkan hati bapakku juga keluargaku.
Dengan cepat, aku langsung menelepon bapak untuk sedikit mengobati kerinduan yang membuncah. Cukup lama saling bercerita, hanya saja aku tidak memberitahu perihal teror yang harus aku hadapi, aku tidak ingin menambah beban pikirannya.
Setelah berbincang dengan bapak, aku bersama Indah bahu-membahu membersihkan rumah. Saat itulah Intan dan Wulan terlihat datang bertamu.
"Hanna, apa kamu tidak merindukan kami?" tanya Wulan sembari memelukku erat. Dia tidak peduli kondisiku yang bercucuran keringat serta tubuh yang penuh debu.
"Sepertinya kita mulai dilupakan, Lan," sambung Intan dengan nada ketusnya. Aku paham keduanya tidak bermaksud serius ataupun marah padaku tapi tetap saja aku menjelaskan duduk permasalahannya.
"Jujur, aku mulai lelah dengan teror yang selalu datang. Andai kata benar, hantu itu meminta pertolongan agar kasus pembunuhan itu dibongkar siapa saja tersangkanya yang sangat keji itu. Lalu dari mana aku harus memulainya, sementara polisi saja yang alat-alatnya canggih, mereka menyerah karena tidak bisa menguak siapa dalang dan apa motifnya."
Kedua wanita yang usianya sebaya denganku ini memelukku lebih erat seolah ingin menguatkanku.
"Aku tidak diajak pelukan ya? Mentang-mentang paling kecil jadi tidak dianggap."
Tawa itu berderai karena Indah memasang wajah yang cemberut karena merasa diasingkan oleh kami bertiga. Aku menarik tangan mungilnya dan aku dekap erat gadis yang begitu baik hatinya karena menampungku di sini dan memberiku rasa aman.
"Tan, ngomong-ngomong tadi pagi aku ke kamarmu, sepertinya sedang ada tamu ya? Kalau dari sepatu yang ada di luar kamar, itu punya seorang pria?" tanyaku pada Intan yang tengah bersenda gurau.
"Ta-tamu? Memangnya tadi pagi kamu terima tamu, Tan? Siapa?" Wulan pun memburu Intan yang tampak kelabakan karena banyaknya pertanyaan yang aku dan Wulan lontarkan.
"A-anu, tadi itu pacarku."
"Kok aku tidak tau kalau kamu sudah punya pacar?"
"Kami baru pacaran resmi beberapa bulan yang lalu. Nanti suatu saat akan aku kenalkan pada kalian."
Aku jadi ingat bahwa aku harus menasihati Intan agar tidak semakin jatuh ke dalam lubang kesalahan, tapi rasanya saat ini tidak tepat untuk mengatakannya.
Di tengah pembicaraan hangat, nenek muncul, dengan bergantian kami mencium tangan nenek.
"Kalian ini bersahabat?"
"Iya, Nek. Kami berteman baik."
"Ingat dalam sebuah hubungan apapun jangan pernah ada pengkhianatan di antara kalian." Kami berempat hanya mengangguk perlahan mendengar ucapan nenek yang tiba-tiba saja menyinggung sebuah pengkhianatan dan sebuah hubungan. Satu hal yang tidak aku mengerti, nenek berkata demikian sembari menatap tajam ke arah Intan.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Wildan Ranadhan
duh....jngan2 si intan malah selingkuh SM suaminya Wulan..
2023-02-06
0
YT FiksiChannel
curiga aku kalau Hanna ini anaknya penghuni kos yang terbunuh itu
2023-01-23
1
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
warning tuh buat Intan
2023-01-21
5