Bagian 12: Misteri Hilangnya Gayatri

"Tidak ada siapa-siapa, Mbah." Indah menggandeng wanita itu dengan lembut dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Aku hanya mengekorinya. Sambutan keluarga Indah begitu hangat, meski begitu aku masih penasaran dengan ucapan neneknya Indah tadi. Sebenarnya siapa yang dia lihat, semoga saja bukan hantu di kamarku atau hantu muka rata tadi.

"Han, kamu itu aslinya dari mana?" tanya Bu Yuni—ibunya Indah—saat kami tengah menyantap makan malam.

"Saya asli Ungaran, Bu."

"Oalah, ibu juga punya teman rumahnya di sana tapi ibu tidak tau nama desanya." Ibunya Indah tersenyum lebar. Wanita yang begitu persis seperti ibuku. Ah, aku jadi rindu ibuku.

"Han, terus selama ini kamu tinggalnya dimana?"

"Saya tinggal di indekos yang ada di belakang pabrik, Pak."

Bapaknya Indah yang bertubuh sedikit gemuk itu mengernyitkan dahi sebentar. "Belakang pabrikmu? Sama warung kopinya Mbah Surono, mananya?"

"Mmm, Hanna tidak tau, Pak. Cuma Hanna itu tinggal di indekos yang warnanya ijo..."

"Yang dulu katanya ada pembunuhan itu lo, Pak. Makanya Mbak Hanna aku ajak ke sini itu biar tidak digangguin sama makhluk astral yang usil itu."

"Apa? Hanna itu penghuni kos-kosan terkutuk itu? Bener itu, Hanna?" Aku terkejut mengapa ibunya Indah begitu terkejut sampai bertanya dengan nada yang begitu tinggi.

"Iya betul, Bu. Saya tidak tau kalau tempat itu angker. Karena bagi saya yang mencoba mengadu nasib di sini tempat tinggal seadanya sudah cukup." Wanita yang tadinya anggun itu kini berubah menjadi masam. Dia mengajak Indah juga suaminya untuk masuk ke dalam kamar sebentar. Entah apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Namun, sepertinya ibunya Indah tidak setuju aku berada di rumah ini.

"Pak, apa bapak lupa dengan desas-desus yang sudah santer terdengar sejak pembunuhan itu setiap penghuni kamar itu satu demi satu menjadi korban. Ada yang gila, ada yang hilang, bahkan ada yang matinya tidak wajar!" Suara ibunya Indah jelas cukup terdengar dari luar. Aku merasa tidak enak jika kehadiranku rupanya membuat perdebatan dari keluarga ini. Apa lebih baik aku kembali ke indekosku saja.

"Bu, kasihan Mbak Hanna karena selalu diteror sama hantu yang ada di kamarnya. Dulu kita tidak bisa bantu Mbak Gayatri karena terlalu takut sama kabar burung sampai akhirnya dia hilang tanpa jejak. Sekarang kita harus bantu Mbak Hanna, Bu." Terdengar suara Indah diiringi suara tangisan.

"Tapi, Nduk. Ibumu benar. Lagi pula belajar dari kasus Gayatri, Melati yang niatnya baik menolong Gayatri agar tidak semakin gila, eh pas di perjalanan jemput kena musibah. Lebih baik, Nduk, kamu jangan melibatkan diri dengan makhluk tak kasat mata itu. Kami hanya punya kamu."

Aku tidak sanggup mendengar perdebatan keluarga ini. Rasanya memang seharusnya aku kembali ke indekosku. Biarlah aku menghadapi makhluk yang usil itu asal bukan ketentraman rumah orang. Aku memilih duduk di teras agar tidak mendengar kata demi kata yang terucap.

Angin sepoi menerpa tubuhku begitu dingin. "Ayo, pulang." Aku terkesiap mendengar suara bisikan yang terdengar begitu dekat dj telinga kiriku padahal tidak ada siapa pun di dekatku. Bulu kudukku merinding seketika. Apa makhluk itu mengikutiku sampai sini. Apa dia yang dilihat oleh neneknya Indah tadi. Banyaknya pertanyaan yang berputar di kepala membuatku begitu pening hingga aku memijit pelipisku.

"Nduk, kenapa duduk di luar? Anginnya kenceng tidak bagus untuk kesehatanmu."

"Sebentar, Mbah. Saya gerah."

"Yaudah, kamu jangan dekat-dekat sama temanmu itu. Dia itu jahat dan matanya merah seperti darah, sepertinya dia adalah orang yang haus darah."

Aku hanya tersenyum tipis meski tidak bisa aku pungkiri hati ini begitu gentar karena neneknya Indah kembali mengatakan bahwa ada orang lain yang dia lihat berada di dekatku. Sepeninggal nenek, aku berusaha melawan rasa takutku dengan mendengungkan ayat-ayat suci serta berdoa agar dalam lindungan-Nya. Rasa berat di tengkuk yang tadi sempat aku rasakan mulai mereda.

"Mbak, kenapa duduk di sini?" Aku menoleh ke sumber suara, rupanya Indah yang ada di sampingku.

"Indah, aku balik saja. Aku..."

"Balik kemana?"

"Ke kosku saja. Aku tidak enak sama orang tuamu."

"A-apa artinya Mbak dengar semua?" Aku menggeleng karena kenyataannya memang aku hanya mendengar sebagian tapi bukankah itu inti permasalahan ini.

"Mbak, orang tuaku mengijinkanmu tinggal di sini. Tadi mereka hanya takut nasibku sama dengan Mbak Melati, sepupuku. Besok aku akan ceritakan kepadamu, Mbak. Masuk yuk. Kita istirahat di kamarku."

Ketika aku masuk rumah, aku tidak menemukan orang tua Indah, menurutnya ayah dan ibunya sudah beristirahat di kamar. Aku merebahkan diriku di kasur Indah yang empuk jauh berbeda dengan yang ada di kamar indekosku apalagi kamar Intan dan Wulan yang keras dan sudah kempes.

"Mbak, maaf ya atas ucapan orang tuaku tadi. Sebenarnya mereka baik tapi kejadian yang dialami Mbak Melati yang membuat mereka kuatir dan dilanda ketakutan yang berlebihan."

"Memangnya apa hubungannya Melati, sepupumu itu denganku?"

"Mbak Melati itu temannya Mbak Gayatri, gadis yang hilang di kamarmu, Mbak."

"Lalu?"

Indah menceritakan bahwa Melati dan Gayatri adalah rekan kerja, sama seperti aku dan Indah. Keduanya tinggal dalam satu kamar. Namun, saat itu Melati tidak diperpanjang kontrak kerjanya. Cukup lama Melati tinggal dan biaya hidupnya ditanggung oleh Gayatri. Merasa tidak enak, dia memutuskan mencari pekerjaan tapi karena menjelang lebaran tentu akan sangat sulit mendapatkannya. Untunglah ada sebuah perusahaan yang menerimanya hanya saja letaknya berbeda kota. Hal ini membuat Melati harus berpisah dengan sahabatnya.

Gayatri yang kesulitan keuangan saat itu karena ibunya harus bolak-balik ke rumah sakit, mencari indekos yang lebih terjangkau di kantongnya. Tanpa meminta pertimbangan dari Melati, Gayatri pindah ke tempat yang sekarang aku tempati. Teror demi teror dialami gadis yang saat itu baru berusia dua puluh tahun itu. Saat Melati menjumpai sahabatnya dan mendengar keadaan sahabatnya, dia berniat mengajak sang sahabat pindah bekerja di tempatnya. Melati juga sempat meminta tolong pada ayahnya Indah agar sementara waktu Gayatri tinggal di rumah Indah agar tidak selalu diteror. Namun, mungkin karena keluarga Indah takut kena imbas, mereka menolak mentah-mentah. Gayatri yang tidak enak dengan pertengkaran Melati dan pamannya memutuskan kembali ke indekosnya tanpa berpamitan. Melati pun berniat mengajak Gayatri ke indekosnya saja sembari nanti dia membantu Gayatri mendapat pekerjaan.

Tawaran Melati ditolak oleh sahabatnya itu. Gayatri saat itu sangat membutuhkan uang, dia harus tetap bekerja. Keduanya sepakat jika lamaran kerja Gayatri diterima, baru dia akan pindah ke indekos yang ditempati Melati. Namun, rencana itu hanyalah menjadi wacana yang tidak pernah jadi kenyataan. Pada perjalanan Melati menuju tempat tinggalnya, gadis itu mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya. Selang dua minggu kemudian tersiar kabar bahwa Gayatri hilang.

"Jadi orang tuamu takut kamu mengalami hal yang sama dengan Melati?" Indah hanya mengangguk. Aku bisa memaklumi ketakutan orang tua Indah ditambah lagi Indah adalah anak tunggal mereka.

"Lalu, kamu sendiri mengapa tetap membantuku padahal sudah ada bukti kalau orang yang berusaha membantu penghuni kamarku akan terkena musibah bahkan bisa merenggut nyawa?"

"Mbak, hidup dan mati kita sudah ditakdirkan. Kejadian yang menimpa Mbak Melati sama teror hantu di kamarku itu menurutku hanya pas-pasan saja."

"Tapi..."

"Sudah, Mbak. Jangan dipikirkan. Lebih baik kita istirahat saja sekarang."

Aku terdiam saat Indah menyelimuti dirinya. Di saat keheningan malam mulai membekap alam, pikiranku justru tengah berkelana entah kemana. Banyak yang sedang aku pikirkan, segala teror yang aku alami beberapa hari ini. Tentang Melati dan sahabatnya, Gayatri yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak bagai hilang ditelan bumi. Aku pun meresahkan keselamatan teman-temanku. Bagaimana jika benar bahwa sosok astral penghuni kamarku juga akan mencelakai teman-temanku, Indah, Intan, dan Wulan. Aku tidak akan memaafkan diriku jika itu benar-benar terjadi.

Aku teringat pesan mendiang ibuku. Dia pernah menasihatiku agar jangan terlalu memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Ya, lebih baik seperti itu. Aku masih sangat muda jika harus terbebani dengan hal-hal yang belum terjadi. Aku memejamkan mata agar bisa beristirahat tapi tetap saja bayang-bayang hantu kepala, hantu muka rata, dan hantu-hantu yang sempat aku temui terus terlihat seolah mereka sedang bermain di pelupuk mata. Mungkin karena kondisiku yang sudah lelah bekerja, sedikit banyak membantuku untuk tidur walau hanya sejenak.

Rasanya baru saja aku terlelap, azan Subuh sudah berkumandang. Perlahan aku membangunkan Indah yang nampaknya masih sangat pulas.

"Indah, bangun yuk. Sudah azan Subuh," bisikku sembari mengguncang bahunya pelan. Perlahan gadis itu membuka matanya.

"Mbak, duluan ambil wudhu habis itu aku. Nanti kita salat berjamaah saja ya, Mbak," ujarnya sembari mengucek kedua matanya.

"Ya, tapi letak kamar mandinya dimana?"

"Di belakang rumah"

Aku mengikuti petunjuk dari si empunya rumah. Di belakang rumah terdapat sumur tua yang sudah ditutup papan sebagian lubangnya, sumur yang pada zaman dulu hanya dimiliki orang-orang tertentu, mengingat untuk biaya pembuatan sumur sangat mahal. Terkadang dalam satu kampung hanya terdapat sebuah sumur yang digunakan bersama-sama. Sekarang hampir setiap rumah sudah membuat sumur sendiri dan bukan sumur kerek tapi menggunakan mesin pompa air.

Setelah wudhu kembali, aku masuk ke kamar. Untung saja semalam aku masih sempat membawa mukenah sebelum kabur dari indekos. Cukup lama aku bersimpuh dan melantunkan banyak doa.

"Mbak, habis ini kita jalan-jalan sekitar sini, yuk. Sekalian mampir ke pasar. Soalnya aku disuruh ibu belanja nih." ujar Indah yang sedari tadi sudah selesai salat dan berdoa ketika aku melipat mukenah.

"Iya, aku belum pernah jalan-jalan di sekitar sini juga."

Dengan berjalan kaki, aku dan Indah menuju pasar yang tidak terlalu besar ini. Beberapa sayur di sini jauh lebih murah dari kota asalku, tapi ada juga yang lebih mahal. Setelah dirasa sudah membeli semua keperluan dapur kami kembali.

"Nduk, Han, kami minta maaf soal sikap kami semalam ya." Ucapan ibunya Indah saat aku membantu di dapur membuatku sedikit bingung.

"Harusnya Hanna yang minta maaf sama ibu, karena kehadiran saya mengganggu ketenangan rumah ini. Insyaallah nanti siang Hanna akan kembali, Bu."

"Jangan kemana-mana, Nduk." Suara yang sedikit bergetar mengejutkan kami sampai menoleh ke arah sumber suara. Rupanya nenek masuk ke dapur yang masih beralaskan tanah itu dengan tertatih. Matanya tetap tajam meski wajahnya penuh kerutan.

"Hati-hati, Bu. Duduk sini dulu." Ibunya Indah menarik kursi san memapah nenek untuk duduk di kursi dari rotan itu.

"Nduk, temanmu yang mukanya jelek itu sepertinya tidak baik. Semalam saja mau masuk rumah tanpa permisi. Untung ada sapu lidi, aku pukul terus dia pergi. Udah mukanya jelek pasti hatinya jelek, tidak ada pilihannya."

Aku dan Indah saling berpandangan, dari semalam nenek selalu menyinggung perempuan buruk rupa yang bersama kami.

"Ya sudah, Bu. Yang penting dia sudah pergi kan." Nenek hanya mengangguk kemudian bangkit berdiri.

"Mau pergi kemana?" tanya ibunya Indah.

"Mau nyapu teras." Nenek berjalan meninggalkan dapur, sementara aku sibuk dengan pertanyaan yang terus berputar di kepala.

"Indah, dari semalam nenekmu selalu menyebut ada wanita lain yang bersama kita. Apakah nenekmu bisa melihat mereka yang tidak kasat mata?" tanyaku setengah berbisik pada Indah yang tengah mengiris bawang.

"Entahlah, tapi setahuku dari dulu Mbah Uti memang selalu menceritakan hal-hal yang di luar nalar."

"Jangan-jangan yang dilihat nenekmu itu adalah hantu yang ada di kamarku. Lalu, apa itu artinya hantu itu mengikutiku terus?" Aku mengusap tengkukku yang mulai merinding.

"Bisa jadi, Mbak."

"Kalian berdua itu bisik-bisik bicara tentang apa?" pertanyaan dari Bu Yuni yang sedang menggoreng tempe itu membuatku terkejut.

"Mmm, i-itu a-anu, Bu, kami lagi..."

"Lagi cerita yang dilihat sama Mbah Uti, Bu. Kami pikir itu hantu yang suka meneror Mbak Hanna." Bu Yuni menghela napas panjangnya kemudian mengangkat tempe yang sudah matang itu lalu dimatikannya kompor. Wanita yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu duduk di kursi rotan.

"Mbah Uti memang diberi kelebihan bisa melihat mereka yang beda dunia dengan kita. Semua itu hasil tirakat beliau saat masih muda. Semalam Mbah Uti juga yang meyakinkan bapak untuk menerima Hanna di rumah ini. Han, Ndah, kalian harus berhati-hati kata Mbah Uti, makhluk itu mengincar Hanna. Sebenarnya tujuannya baik untuk menguak kasus pembunuhan dua puluh tahun lalu. Karena menurut Mbah Uti hanya Hanna yang bisa mengungkapkannya."

Aku? Kenapa aku yang harus mengungkap misteri kematian yang bahkan saat kejadian itu terjadi usiaku saat masih beberapa bulan. Dari mana aku akan memulainya sementara polisi saja menyerah saat menangani kasus ini. Semuanya seperti abu-abu tanpa ada petunjuk apa pun yang bisa digunakan sebagai petunjuk.

Aku mendengkus kasar serta mengacak rambutku perlahan.

"Mbak, sudah. Jangan terlalu dipikirkan dulu. Nanti pasti akan ada jalan untuk mengungkap semua."

"Entahlah, aku ragu. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak ada jawabannya."

...----------------...

...--bersambung--...

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

oowwh.. Hanna jd yg terpilih

2023-01-20

4

Sulasih Ni Putu

Sulasih Ni Putu

Astaga nek Uti masa demit digebukin pake sapu sih 😂 tambah bikin penasaran aja. SEMANGAT up nya kak!!! kutungguin

2022-11-18

18

lihat semua
Episodes
1 Bagian 1: Penemuan Mayat Mengerikan
2 Bagian 2: Wajah Yang Terekam Kamera
3 Bagian 3: Teror Malam Pertama
4 Bagian 4: Teror Hantu Kepala
5 Bagian 5: Kasus yang Tidak Selesai
6 Bagian 6: Dia Terus Mengikuti
7 Bagian 7: Korban Kamar Tiga Belas
8 Bagian 8: Dia yang Menyerupaiku
9 Bagian 9: Makanan dari Dunia Lain
10 Bagian 10: Angkringan Tak Kasat Mata
11 Bagian 11: Hantu Muka Rata
12 Bagian 12: Misteri Hilangnya Gayatri
13 Bagian 13: Terjebak di Makam Keramat
14 Bagian 14: Ada Apa di Gedung Itu?
15 Bagian 15: Ada Pocong!
16 Bagian 16: Senandung dari Dunia Lain
17 Bagian 17: Pengkhianat
18 Bagian 18: Siapa Kekasihmu?
19 Bagian 19: Teror Wanita Tanpa Rupa
20 Bagian 20: Cuekin Hantunya
21 Bagian 21: Kesurupan Massal
22 Bagian 22: Akibat Melanggar Peraturan
23 Bagian 23: Senandung Itu Kembali
24 Bagian 24: Finger Print
25 Bagian 25: Teror Hantu Ada Dimana Saja
26 Bagian 26: Kunti Ganjen
27 Bagian 27: Menunggu Sebuah Jawaban
28 Bagian 28: Pengkhianatan yang Terkuak
29 Bagian 29: Promo Diaper
30 Bagian 30: Ayam Cemani
31 Bagian 31: Mencuri Dengar
32 Bagian 32: Bunga Kantil
33 Bagian 33: Bubur Mie
34 Bagian 34: Kejutan!!
35 Bagian 35: Bedak Pelet
36 Bagian 36: Balas Dendam
37 Bagian 37: Gayatri Adalah...
38 Bagian 38: Rayuan si Cemeng
39 Bagian 39: Pergi ke Masa Lalu
40 Bagian 40: Kecantikan Gayatri
41 Bagian 41 : Ritual Pengusiran atau Pengundang
42 Bagian 42 : Amarah yang Membakar
43 Bagian 43: Dendam Gayatri
44 Bagian 44: Selendang sang Penari
45 Bagian 45: Saksi Penemuan Mayat
46 Perjanjian Siren karya baru Parasian
47 Bagian 46: Kutukan si Penari
48 Bagian 47: Wulan Terkunci di Kamar 13
49 Bagian 48: Kotak si Penari
50 Bagian 49: Kesakitan Intan
51 Bagian 50: Nyawa Pengganti
52 Bagian 51: Dia Meninggal!
53 Bagian 52: Upaya Memulihkan Wulan
54 Bagian 53: Selendang Hijau Sang Penari
55 Bagian 54: Percobaan Bunuh Diri
56 Bagian 55: Riwayat Misteri Kamar 13
57 Bagian 56: Pengantin Baru
58 Bagian 57: Janji Setia
59 Bagian 58: Ajakan Rujuk
60 Bagian 59: Diari
61 Bagian 60: Budak Sang Penari
62 Bagian 61: Rombongan Penari yang Mengerikan
63 Bagian 62: Dia yang Tidur di Kasurku
64 Bagian 63: Tamu Tidak Diundang
65 Bagian 64: Pembohong
66 Bagian 65: Kadal Comberan
67 Bagian 66: Tumbal Pesugihan
68 Bagian 67: Cemburu Itu Ada
69 Bagian 68: Buku Catatan
70 Bagian 69: Wanita di Rel Kereta Api
71 Bagian 70: Jadian
72 Bagian 71: Teror Intan
73 Bagian 72: Terjebak di Kampung Gaib Lagi
74 Bagian 73: Wanita yang Serupa Denganku
75 Bagian 74: Mimpi Buruk
76 Bagian 75: Identitas Pemilik Indekos
77 Bagian 76: Sop Buntut atau Jari Manusia
78 Bagian 77 : Tumbal Penglaris
79 Bagian 78: Pria Misterius
80 Bagian 79: Pemilik Indekos
81 Bagian 80: Kolam Maut
82 Bagian 81: Upaya Pembunuhan
83 Bagian 82: Topi si Penyerang
84 Bagian 83 : Madu Mongso
85 Bagian 84: Cerita Masa Lalu
86 Bagian 85 : Mimpi Kematian
87 Bagian 86: Pemanggilan Sebagai Saksi
88 Bagian 87: Harus Berani
89 Bagian 88: Musibah Menimpa Ridwan
Episodes

Updated 89 Episodes

1
Bagian 1: Penemuan Mayat Mengerikan
2
Bagian 2: Wajah Yang Terekam Kamera
3
Bagian 3: Teror Malam Pertama
4
Bagian 4: Teror Hantu Kepala
5
Bagian 5: Kasus yang Tidak Selesai
6
Bagian 6: Dia Terus Mengikuti
7
Bagian 7: Korban Kamar Tiga Belas
8
Bagian 8: Dia yang Menyerupaiku
9
Bagian 9: Makanan dari Dunia Lain
10
Bagian 10: Angkringan Tak Kasat Mata
11
Bagian 11: Hantu Muka Rata
12
Bagian 12: Misteri Hilangnya Gayatri
13
Bagian 13: Terjebak di Makam Keramat
14
Bagian 14: Ada Apa di Gedung Itu?
15
Bagian 15: Ada Pocong!
16
Bagian 16: Senandung dari Dunia Lain
17
Bagian 17: Pengkhianat
18
Bagian 18: Siapa Kekasihmu?
19
Bagian 19: Teror Wanita Tanpa Rupa
20
Bagian 20: Cuekin Hantunya
21
Bagian 21: Kesurupan Massal
22
Bagian 22: Akibat Melanggar Peraturan
23
Bagian 23: Senandung Itu Kembali
24
Bagian 24: Finger Print
25
Bagian 25: Teror Hantu Ada Dimana Saja
26
Bagian 26: Kunti Ganjen
27
Bagian 27: Menunggu Sebuah Jawaban
28
Bagian 28: Pengkhianatan yang Terkuak
29
Bagian 29: Promo Diaper
30
Bagian 30: Ayam Cemani
31
Bagian 31: Mencuri Dengar
32
Bagian 32: Bunga Kantil
33
Bagian 33: Bubur Mie
34
Bagian 34: Kejutan!!
35
Bagian 35: Bedak Pelet
36
Bagian 36: Balas Dendam
37
Bagian 37: Gayatri Adalah...
38
Bagian 38: Rayuan si Cemeng
39
Bagian 39: Pergi ke Masa Lalu
40
Bagian 40: Kecantikan Gayatri
41
Bagian 41 : Ritual Pengusiran atau Pengundang
42
Bagian 42 : Amarah yang Membakar
43
Bagian 43: Dendam Gayatri
44
Bagian 44: Selendang sang Penari
45
Bagian 45: Saksi Penemuan Mayat
46
Perjanjian Siren karya baru Parasian
47
Bagian 46: Kutukan si Penari
48
Bagian 47: Wulan Terkunci di Kamar 13
49
Bagian 48: Kotak si Penari
50
Bagian 49: Kesakitan Intan
51
Bagian 50: Nyawa Pengganti
52
Bagian 51: Dia Meninggal!
53
Bagian 52: Upaya Memulihkan Wulan
54
Bagian 53: Selendang Hijau Sang Penari
55
Bagian 54: Percobaan Bunuh Diri
56
Bagian 55: Riwayat Misteri Kamar 13
57
Bagian 56: Pengantin Baru
58
Bagian 57: Janji Setia
59
Bagian 58: Ajakan Rujuk
60
Bagian 59: Diari
61
Bagian 60: Budak Sang Penari
62
Bagian 61: Rombongan Penari yang Mengerikan
63
Bagian 62: Dia yang Tidur di Kasurku
64
Bagian 63: Tamu Tidak Diundang
65
Bagian 64: Pembohong
66
Bagian 65: Kadal Comberan
67
Bagian 66: Tumbal Pesugihan
68
Bagian 67: Cemburu Itu Ada
69
Bagian 68: Buku Catatan
70
Bagian 69: Wanita di Rel Kereta Api
71
Bagian 70: Jadian
72
Bagian 71: Teror Intan
73
Bagian 72: Terjebak di Kampung Gaib Lagi
74
Bagian 73: Wanita yang Serupa Denganku
75
Bagian 74: Mimpi Buruk
76
Bagian 75: Identitas Pemilik Indekos
77
Bagian 76: Sop Buntut atau Jari Manusia
78
Bagian 77 : Tumbal Penglaris
79
Bagian 78: Pria Misterius
80
Bagian 79: Pemilik Indekos
81
Bagian 80: Kolam Maut
82
Bagian 81: Upaya Pembunuhan
83
Bagian 82: Topi si Penyerang
84
Bagian 83 : Madu Mongso
85
Bagian 84: Cerita Masa Lalu
86
Bagian 85 : Mimpi Kematian
87
Bagian 86: Pemanggilan Sebagai Saksi
88
Bagian 87: Harus Berani
89
Bagian 88: Musibah Menimpa Ridwan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!