"Tidak ada siapa-siapa, Mbah." Indah menggandeng wanita itu dengan lembut dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Aku hanya mengekorinya. Sambutan keluarga Indah begitu hangat, meski begitu aku masih penasaran dengan ucapan neneknya Indah tadi. Sebenarnya siapa yang dia lihat, semoga saja bukan hantu di kamarku atau hantu muka rata tadi.
"Han, kamu itu aslinya dari mana?" tanya Bu Yuni—ibunya Indah—saat kami tengah menyantap makan malam.
"Saya asli Ungaran, Bu."
"Oalah, ibu juga punya teman rumahnya di sana tapi ibu tidak tau nama desanya." Ibunya Indah tersenyum lebar. Wanita yang begitu persis seperti ibuku. Ah, aku jadi rindu ibuku.
"Han, terus selama ini kamu tinggalnya dimana?"
"Saya tinggal di indekos yang ada di belakang pabrik, Pak."
Bapaknya Indah yang bertubuh sedikit gemuk itu mengernyitkan dahi sebentar. "Belakang pabrikmu? Sama warung kopinya Mbah Surono, mananya?"
"Mmm, Hanna tidak tau, Pak. Cuma Hanna itu tinggal di indekos yang warnanya ijo..."
"Yang dulu katanya ada pembunuhan itu lo, Pak. Makanya Mbak Hanna aku ajak ke sini itu biar tidak digangguin sama makhluk astral yang usil itu."
"Apa? Hanna itu penghuni kos-kosan terkutuk itu? Bener itu, Hanna?" Aku terkejut mengapa ibunya Indah begitu terkejut sampai bertanya dengan nada yang begitu tinggi.
"Iya betul, Bu. Saya tidak tau kalau tempat itu angker. Karena bagi saya yang mencoba mengadu nasib di sini tempat tinggal seadanya sudah cukup." Wanita yang tadinya anggun itu kini berubah menjadi masam. Dia mengajak Indah juga suaminya untuk masuk ke dalam kamar sebentar. Entah apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Namun, sepertinya ibunya Indah tidak setuju aku berada di rumah ini.
"Pak, apa bapak lupa dengan desas-desus yang sudah santer terdengar sejak pembunuhan itu setiap penghuni kamar itu satu demi satu menjadi korban. Ada yang gila, ada yang hilang, bahkan ada yang matinya tidak wajar!" Suara ibunya Indah jelas cukup terdengar dari luar. Aku merasa tidak enak jika kehadiranku rupanya membuat perdebatan dari keluarga ini. Apa lebih baik aku kembali ke indekosku saja.
"Bu, kasihan Mbak Hanna karena selalu diteror sama hantu yang ada di kamarnya. Dulu kita tidak bisa bantu Mbak Gayatri karena terlalu takut sama kabar burung sampai akhirnya dia hilang tanpa jejak. Sekarang kita harus bantu Mbak Hanna, Bu." Terdengar suara Indah diiringi suara tangisan.
"Tapi, Nduk. Ibumu benar. Lagi pula belajar dari kasus Gayatri, Melati yang niatnya baik menolong Gayatri agar tidak semakin gila, eh pas di perjalanan jemput kena musibah. Lebih baik, Nduk, kamu jangan melibatkan diri dengan makhluk tak kasat mata itu. Kami hanya punya kamu."
Aku tidak sanggup mendengar perdebatan keluarga ini. Rasanya memang seharusnya aku kembali ke indekosku. Biarlah aku menghadapi makhluk yang usil itu asal bukan ketentraman rumah orang. Aku memilih duduk di teras agar tidak mendengar kata demi kata yang terucap.
Angin sepoi menerpa tubuhku begitu dingin. "Ayo, pulang." Aku terkesiap mendengar suara bisikan yang terdengar begitu dekat dj telinga kiriku padahal tidak ada siapa pun di dekatku. Bulu kudukku merinding seketika. Apa makhluk itu mengikutiku sampai sini. Apa dia yang dilihat oleh neneknya Indah tadi. Banyaknya pertanyaan yang berputar di kepala membuatku begitu pening hingga aku memijit pelipisku.
"Nduk, kenapa duduk di luar? Anginnya kenceng tidak bagus untuk kesehatanmu."
"Sebentar, Mbah. Saya gerah."
"Yaudah, kamu jangan dekat-dekat sama temanmu itu. Dia itu jahat dan matanya merah seperti darah, sepertinya dia adalah orang yang haus darah."
Aku hanya tersenyum tipis meski tidak bisa aku pungkiri hati ini begitu gentar karena neneknya Indah kembali mengatakan bahwa ada orang lain yang dia lihat berada di dekatku. Sepeninggal nenek, aku berusaha melawan rasa takutku dengan mendengungkan ayat-ayat suci serta berdoa agar dalam lindungan-Nya. Rasa berat di tengkuk yang tadi sempat aku rasakan mulai mereda.
"Mbak, kenapa duduk di sini?" Aku menoleh ke sumber suara, rupanya Indah yang ada di sampingku.
"Indah, aku balik saja. Aku..."
"Balik kemana?"
"Ke kosku saja. Aku tidak enak sama orang tuamu."
"A-apa artinya Mbak dengar semua?" Aku menggeleng karena kenyataannya memang aku hanya mendengar sebagian tapi bukankah itu inti permasalahan ini.
"Mbak, orang tuaku mengijinkanmu tinggal di sini. Tadi mereka hanya takut nasibku sama dengan Mbak Melati, sepupuku. Besok aku akan ceritakan kepadamu, Mbak. Masuk yuk. Kita istirahat di kamarku."
Ketika aku masuk rumah, aku tidak menemukan orang tua Indah, menurutnya ayah dan ibunya sudah beristirahat di kamar. Aku merebahkan diriku di kasur Indah yang empuk jauh berbeda dengan yang ada di kamar indekosku apalagi kamar Intan dan Wulan yang keras dan sudah kempes.
"Mbak, maaf ya atas ucapan orang tuaku tadi. Sebenarnya mereka baik tapi kejadian yang dialami Mbak Melati yang membuat mereka kuatir dan dilanda ketakutan yang berlebihan."
"Memangnya apa hubungannya Melati, sepupumu itu denganku?"
"Mbak Melati itu temannya Mbak Gayatri, gadis yang hilang di kamarmu, Mbak."
"Lalu?"
Indah menceritakan bahwa Melati dan Gayatri adalah rekan kerja, sama seperti aku dan Indah. Keduanya tinggal dalam satu kamar. Namun, saat itu Melati tidak diperpanjang kontrak kerjanya. Cukup lama Melati tinggal dan biaya hidupnya ditanggung oleh Gayatri. Merasa tidak enak, dia memutuskan mencari pekerjaan tapi karena menjelang lebaran tentu akan sangat sulit mendapatkannya. Untunglah ada sebuah perusahaan yang menerimanya hanya saja letaknya berbeda kota. Hal ini membuat Melati harus berpisah dengan sahabatnya.
Gayatri yang kesulitan keuangan saat itu karena ibunya harus bolak-balik ke rumah sakit, mencari indekos yang lebih terjangkau di kantongnya. Tanpa meminta pertimbangan dari Melati, Gayatri pindah ke tempat yang sekarang aku tempati. Teror demi teror dialami gadis yang saat itu baru berusia dua puluh tahun itu. Saat Melati menjumpai sahabatnya dan mendengar keadaan sahabatnya, dia berniat mengajak sang sahabat pindah bekerja di tempatnya. Melati juga sempat meminta tolong pada ayahnya Indah agar sementara waktu Gayatri tinggal di rumah Indah agar tidak selalu diteror. Namun, mungkin karena keluarga Indah takut kena imbas, mereka menolak mentah-mentah. Gayatri yang tidak enak dengan pertengkaran Melati dan pamannya memutuskan kembali ke indekosnya tanpa berpamitan. Melati pun berniat mengajak Gayatri ke indekosnya saja sembari nanti dia membantu Gayatri mendapat pekerjaan.
Tawaran Melati ditolak oleh sahabatnya itu. Gayatri saat itu sangat membutuhkan uang, dia harus tetap bekerja. Keduanya sepakat jika lamaran kerja Gayatri diterima, baru dia akan pindah ke indekos yang ditempati Melati. Namun, rencana itu hanyalah menjadi wacana yang tidak pernah jadi kenyataan. Pada perjalanan Melati menuju tempat tinggalnya, gadis itu mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya. Selang dua minggu kemudian tersiar kabar bahwa Gayatri hilang.
"Jadi orang tuamu takut kamu mengalami hal yang sama dengan Melati?" Indah hanya mengangguk. Aku bisa memaklumi ketakutan orang tua Indah ditambah lagi Indah adalah anak tunggal mereka.
"Lalu, kamu sendiri mengapa tetap membantuku padahal sudah ada bukti kalau orang yang berusaha membantu penghuni kamarku akan terkena musibah bahkan bisa merenggut nyawa?"
"Mbak, hidup dan mati kita sudah ditakdirkan. Kejadian yang menimpa Mbak Melati sama teror hantu di kamarku itu menurutku hanya pas-pasan saja."
"Tapi..."
"Sudah, Mbak. Jangan dipikirkan. Lebih baik kita istirahat saja sekarang."
Aku terdiam saat Indah menyelimuti dirinya. Di saat keheningan malam mulai membekap alam, pikiranku justru tengah berkelana entah kemana. Banyak yang sedang aku pikirkan, segala teror yang aku alami beberapa hari ini. Tentang Melati dan sahabatnya, Gayatri yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak bagai hilang ditelan bumi. Aku pun meresahkan keselamatan teman-temanku. Bagaimana jika benar bahwa sosok astral penghuni kamarku juga akan mencelakai teman-temanku, Indah, Intan, dan Wulan. Aku tidak akan memaafkan diriku jika itu benar-benar terjadi.
Aku teringat pesan mendiang ibuku. Dia pernah menasihatiku agar jangan terlalu memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Ya, lebih baik seperti itu. Aku masih sangat muda jika harus terbebani dengan hal-hal yang belum terjadi. Aku memejamkan mata agar bisa beristirahat tapi tetap saja bayang-bayang hantu kepala, hantu muka rata, dan hantu-hantu yang sempat aku temui terus terlihat seolah mereka sedang bermain di pelupuk mata. Mungkin karena kondisiku yang sudah lelah bekerja, sedikit banyak membantuku untuk tidur walau hanya sejenak.
Rasanya baru saja aku terlelap, azan Subuh sudah berkumandang. Perlahan aku membangunkan Indah yang nampaknya masih sangat pulas.
"Indah, bangun yuk. Sudah azan Subuh," bisikku sembari mengguncang bahunya pelan. Perlahan gadis itu membuka matanya.
"Mbak, duluan ambil wudhu habis itu aku. Nanti kita salat berjamaah saja ya, Mbak," ujarnya sembari mengucek kedua matanya.
"Ya, tapi letak kamar mandinya dimana?"
"Di belakang rumah"
Aku mengikuti petunjuk dari si empunya rumah. Di belakang rumah terdapat sumur tua yang sudah ditutup papan sebagian lubangnya, sumur yang pada zaman dulu hanya dimiliki orang-orang tertentu, mengingat untuk biaya pembuatan sumur sangat mahal. Terkadang dalam satu kampung hanya terdapat sebuah sumur yang digunakan bersama-sama. Sekarang hampir setiap rumah sudah membuat sumur sendiri dan bukan sumur kerek tapi menggunakan mesin pompa air.
Setelah wudhu kembali, aku masuk ke kamar. Untung saja semalam aku masih sempat membawa mukenah sebelum kabur dari indekos. Cukup lama aku bersimpuh dan melantunkan banyak doa.
"Mbak, habis ini kita jalan-jalan sekitar sini, yuk. Sekalian mampir ke pasar. Soalnya aku disuruh ibu belanja nih." ujar Indah yang sedari tadi sudah selesai salat dan berdoa ketika aku melipat mukenah.
"Iya, aku belum pernah jalan-jalan di sekitar sini juga."
Dengan berjalan kaki, aku dan Indah menuju pasar yang tidak terlalu besar ini. Beberapa sayur di sini jauh lebih murah dari kota asalku, tapi ada juga yang lebih mahal. Setelah dirasa sudah membeli semua keperluan dapur kami kembali.
"Nduk, Han, kami minta maaf soal sikap kami semalam ya." Ucapan ibunya Indah saat aku membantu di dapur membuatku sedikit bingung.
"Harusnya Hanna yang minta maaf sama ibu, karena kehadiran saya mengganggu ketenangan rumah ini. Insyaallah nanti siang Hanna akan kembali, Bu."
"Jangan kemana-mana, Nduk." Suara yang sedikit bergetar mengejutkan kami sampai menoleh ke arah sumber suara. Rupanya nenek masuk ke dapur yang masih beralaskan tanah itu dengan tertatih. Matanya tetap tajam meski wajahnya penuh kerutan.
"Hati-hati, Bu. Duduk sini dulu." Ibunya Indah menarik kursi san memapah nenek untuk duduk di kursi dari rotan itu.
"Nduk, temanmu yang mukanya jelek itu sepertinya tidak baik. Semalam saja mau masuk rumah tanpa permisi. Untung ada sapu lidi, aku pukul terus dia pergi. Udah mukanya jelek pasti hatinya jelek, tidak ada pilihannya."
Aku dan Indah saling berpandangan, dari semalam nenek selalu menyinggung perempuan buruk rupa yang bersama kami.
"Ya sudah, Bu. Yang penting dia sudah pergi kan." Nenek hanya mengangguk kemudian bangkit berdiri.
"Mau pergi kemana?" tanya ibunya Indah.
"Mau nyapu teras." Nenek berjalan meninggalkan dapur, sementara aku sibuk dengan pertanyaan yang terus berputar di kepala.
"Indah, dari semalam nenekmu selalu menyebut ada wanita lain yang bersama kita. Apakah nenekmu bisa melihat mereka yang tidak kasat mata?" tanyaku setengah berbisik pada Indah yang tengah mengiris bawang.
"Entahlah, tapi setahuku dari dulu Mbah Uti memang selalu menceritakan hal-hal yang di luar nalar."
"Jangan-jangan yang dilihat nenekmu itu adalah hantu yang ada di kamarku. Lalu, apa itu artinya hantu itu mengikutiku terus?" Aku mengusap tengkukku yang mulai merinding.
"Bisa jadi, Mbak."
"Kalian berdua itu bisik-bisik bicara tentang apa?" pertanyaan dari Bu Yuni yang sedang menggoreng tempe itu membuatku terkejut.
"Mmm, i-itu a-anu, Bu, kami lagi..."
"Lagi cerita yang dilihat sama Mbah Uti, Bu. Kami pikir itu hantu yang suka meneror Mbak Hanna." Bu Yuni menghela napas panjangnya kemudian mengangkat tempe yang sudah matang itu lalu dimatikannya kompor. Wanita yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu duduk di kursi rotan.
"Mbah Uti memang diberi kelebihan bisa melihat mereka yang beda dunia dengan kita. Semua itu hasil tirakat beliau saat masih muda. Semalam Mbah Uti juga yang meyakinkan bapak untuk menerima Hanna di rumah ini. Han, Ndah, kalian harus berhati-hati kata Mbah Uti, makhluk itu mengincar Hanna. Sebenarnya tujuannya baik untuk menguak kasus pembunuhan dua puluh tahun lalu. Karena menurut Mbah Uti hanya Hanna yang bisa mengungkapkannya."
Aku? Kenapa aku yang harus mengungkap misteri kematian yang bahkan saat kejadian itu terjadi usiaku saat masih beberapa bulan. Dari mana aku akan memulainya sementara polisi saja menyerah saat menangani kasus ini. Semuanya seperti abu-abu tanpa ada petunjuk apa pun yang bisa digunakan sebagai petunjuk.
Aku mendengkus kasar serta mengacak rambutku perlahan.
"Mbak, sudah. Jangan terlalu dipikirkan dulu. Nanti pasti akan ada jalan untuk mengungkap semua."
"Entahlah, aku ragu. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak ada jawabannya."
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
oowwh.. Hanna jd yg terpilih
2023-01-20
4
Sulasih Ni Putu
Astaga nek Uti masa demit digebukin pake sapu sih 😂 tambah bikin penasaran aja. SEMANGAT up nya kak!!! kutungguin
2022-11-18
20