Aku terdiam, mungkinkah pindah ke rumah Indah adalah sebuah solusi untuk menghindar dari teror itu atau hanya akan menambah masalah baru saja. Intan dan Wulan yang selama tinggal di situ saja baik-baik tapi kemudian setelah bertemu denganku mereka mengalami hal mistis.
"Mbak, jangan banyak berpikir. Nanti aku akan minta ijin ke orang tuaku. Setelah itu aku akan menjemputmu dan tinggal di rumahku."
"Ta-tapi..."
"Sudah, jangan pakai tapi. Ini permintaan adik pada kakaknya. Sudah, kita balik ke gedung waktu istirahat hampir habis. Daripada nanti kita telat terus kena omel si singa pabrik."
"Si-singa pabrik? Memangnya pemilik pabrik kita pelihara singa? Serem amat." Aku bergidik ngeri karena membayangkan jika ada singa yang berkeliaran. Indah justru tertawa terbahak melihat reaksiku.
"Iya, singanya itu suka menerkam pekerja di sini." Gadis itu tertawa sampai terbatuk-batuk.
"Kamu kenapa malah ketawa?"
"Habisnya kamu lucu, Mbak. Ya kali di pabrik ada hewan singa." Aku mengernyit mulai berpikir singa tapi bukan hewan lalu apa yang dimaksud oleh Indah.
"Mbak Hanna mau tau singanya pabrik?" Aku menganggukkan kepala dengan cepat sembari mataku jelalatan, menelisik sekitarku dengan waspada takut-takut singa itu tiba-tiba menerkamku.
"Mbak Hanna nengok ke kiri. Lihat ada singa sedang menatap mangsanya di pinggir kolam." Mataku tertuju ke arah yang dikatakan Indah tapi aku tidak menemukan singa atau apapun. Hanya ada Bu Ning yang tengah memarahi salah satu bawahannya. Astaga, apa singa pabrik yang dimaksud oleh Indah adalah ini. Aku menoleh ke arah gadis yang tengah menahan tawa dengan membekap mulutnya itu.
"Dasar kamu. Menjuluki orang seenak hatimu." Aku mencubit kecil lengan Indah sampai dia meringis kesakitan.
"Tapi bener kan, Mbak. Lihat gayanya si mbok yang berkacak pinggang dan memasang tampang garangnya. Apalagi matanya melotot seperti itu."
"Sudah, ayo balik ke gedung. Nanti kelamaan gibah terus, kita yang diterkam juga." Aku menyeret gadis yang sudah aku anggap sebagai adikku sendiri. Diselingi tawa dan canda membuat langkah ini terasa ringan.
Pekerjaan yang terus berdatangan membuatku harus bekerja lebih keras. Tanpa terasa saat aza magrib berkumandang baru selesai tugasku. Jika di konveksi rumahan hal seperti ini tidak akan dihitung lembur karena sistem borongan. Namun, di pabrik sebesar ini lebih tertib dan menjamin hak pegawainya.
Aku dan beberapa rekan kerjaku keluar gedung saat hari sudah mulai gelap. Suasana gedung tua ini semakin seram karena gedung yang ada di depan gelap gulita. Aku mempercepat langkahku agar segera keluar dari komplek industri yang terkenal angker ini.
"Mbak, kamu siap-siap ya. Habis Isya aku jemput kamu. Sementara kami tinggal di rumahku."
"Tidak perlu. Aku tidur di kamarnya temanku saja."
"Di sana masih tidak aman kan, Mbak? Sudah, pokoknya nanti aku jemput."
Gadis itu meninggalkanku untuk segera pulang ke rumahnya. Aku bersyukur dikelilingi orang-orang baik di kota yang asing ini. Jika Intan dan Wulan kebaikannya bisa aku maklumi karena kami sama-sama anak perantauan. Datang kemari membawa sejuta harapan untuk memperbaiki perekonomian. Sedangkan Indah, dia adalah gadis asli daerah ini, sifatnya riang serta baik kepadaku.
Dengan sedikit gemetar aku membuka pintu kamar yang baru beberapa hari ditempati. Untunglah tidak ada hal aneh yang terjadi tapi tetap saja aku tidak bisa berlama-lama di dalam kamar. Bayangan hantu kepala itu terus terbayang. Aku takut jika tiba-tiba dia muncul seperti yang sudah-sudah. Namun, sampai azan Isya bergaung semuanya baik-baik saja.
Ponselku tiba-tiba bergetar tanda ada pesan yang masuk. Rupanya Intan, dia memberi kabar bahwa malam ini dia tidak akan pulang karena ada acara keluarga di kotanya, jadi selepas kerja tadi dia langsung pulang ke Wonogiri, daerah asalnya. Aku menghembuskan napas membaca pesan Intan yang begitu panjang, itu artinya malam ini aku akan tinggal di kamar sendirian sampai Wulan pulang tengah malam ini.
Tidak lama sebuah pesan lagi masuk. Wulan mengabarkan saat ini dia sudah ada di Sragen karena tadi sore mendapat kabar putrinya masuk rumah sakit. Wulan meninggalkan kunci kamar di bawah keset kamarnya. Sederet pesan dari Wulan membuatku tersenyum getir karena ini artinya malam ini aku akan sendirian. Tapi bagaimana jika hantu itu datang dan menerorku lagi. Pada siapa lagi aku akan meminta pertolongan, ditambah lagi malam ini rasanya percuma jika harus tidur di kamar mereka, saat ada mereka saja hantu itu bisa membawaku turun.
Ponselku untuk kesekian kalinya bergetar, rupanya Indah menghubungiku.
"Assalamualaikum," sapaku kepada gadis yang tersambung melalui panggilan video.
"Waalaikumsalam." Gadis itu melambaikan tangan serta memamerkan senyum manisnya. Indah tampak masih mengenakan baju seragam kerjanya hanya bedanya hijab putih yang tadinya menutupi rambutnya sudah terlepas. Sekarang tampak rambut panjang dan ikalnya tergerai begitu saja, bahkan sebagian menutupi wajahnya yang manis.
"Ada apa? Tumben telepon?"
"Mbak Hanna sudah siap-siap kan?" Aku mengernyitkan dahi menanggapi pertanyaannya.
"Siap-siap untuk apa?"
Gadis itu tampak menepuk jidatnya mendengar aku yang justru bertanya kembali padanya. "Hadeh, Mbak Hanna itu lupa ya, aku ngajak Mbak Hanna sementara nginap di rumahku dulu. Aku juga sudah izin sama bapak dan ibuku, mereka hilang setuju dan mengizinkan."
"Tidak perlu repot-repot. Mbak tidak mau merepotkan kamu atau keluargamu. Lagi pula di sini ada orang banyak."
"Udah, Mbak Hanna jangan kebanyakan ngeyel. Indah tidak mau Mbak Hanna diteror terus sama hantu yang bersemayam di kamarmu itu. Habis ini Indah mau mandi dulu, setelah itu Indah jemput ya."
"Tapi..." Belum sempat menyelesaikan kalimatku, terdengar dari seberang sana seseorang memanggil nama Indah. Dengan terburu Indah berpamitan dan menutup telepon tanpa sempat mendengar aku membalas salam perpisahan.
"Waalaikumsalam," ucapku lirih. Aku meletakkan ponsel di lantai kamar yang sedikit berdebu karena dari kemarin belum tersentuh sapu sama sekali. Rasanya aku ingin membersihkan kamar ini tapi aku urungkan karena teringat kejadian beberapa hari lalu saat aku menyapu di malam hari, ada kejadian yang mengerikan lagi. Aku bergidik sendiri bila mengingat itu.
Sepuluh menit di kamarku sendiri kenapa rasanya sangat lama, bagaimana jika harus semalaman sendiri dengan bayangan-bayangan teror sepanjang malam. Tidak, sepertinya aku tidak sanggup. Apakah lebih baik aku terima saja tawaran Indah untuk sementara menginap di sana, tapi apakah nanti tidak akan jadi beban untuknya. Di tengah kebimbangan hatiku, tiba-tiba saja pintu kamar mandi yang tadi terbuka ditutup dengan keras sampai aku terperanjat dibuatnya. Tidak lama setelah itu terdengar suara keran air terbuka dan terdengar suara guyuran air seperti ada seseorang yang tengah mandi. Di dalam sana juga terdengar suara wanita yang tengah berdendang.
"Astagfirullah. Aku harus segera keluar," ucapku lirih. Dengan tangan yang gemetar, aku meraih tas ranselku yang memang sudah aku isi dengan beberapa potong baju. Aku bergegas keluar kamar dan mengunci kamar. Aku tidak ingin ada hal buruk lagi.
Untuk sekarang ini lebih baik memang aku terima saja tawaran Indah untuk tinggal di rumahnya. Lagi pula besok senin sampai satu minggu ke depan, aku bekerja sift malam. Tidak perlu kuatir akan teror hantu itu karena aku akan di kamar ini saat hari sudah terang.
"Mbak Hanna, mau kemana? Kok bawa ransel segala. Mau mudik?" tanya Bu Wati yang baru saja masuk gerbang dengan menenteng sebuah plastik hitam.
"A-anu, i-ni saya mau ke rumah temen, Bu." Wanita yang rambutnya berhias uban itu hanya mengangguk kemudian berpamitan akan kembali ke kamarnya. Sebelum wanita itu melangkah, dia sempat menanyakan kamarku apakah sudah dikunci agar tidak ada pencuri gang masuk ke kamar.
"Sudah, Bu. Saya permisi dulu ya, Bu, soalnya teman saya sudah ada di depan." Aku memilih segera keluar, entah kenapa jika malam hari wanita itu terlihat tidak bersahabat.
"Mbak, jangan melakukan hal-hal di luar norma ya. Mbak Hanna harus ingat bahwa ke kota ini untuk mencari nafkah bukan untuk belajar maksiat." Aku hanya tersenyum tipis.
"Insyaallah, Mbak. Terima kasih sudah diingatkan, semoga sampai selamanya saya bisa jaga diri. Assalamualaikum."
Aku mengayunkan kaki keluar dari gerbang yang sebagian berkarat ini. Aku memilih berjalan menuju gerai martabak bangka yang berjarak beberapa meter saja. Aku memesan satu kotak martabak manis rasa cokelat keju sebagai buah tangan untuk keluarga Indah, rasanya tidak enak menginap di sana dengan tangan kosong.
"Mbak, tidak takut tinggal di situ?" tiba-tiba penjual martabak menanyaiku.
"Memangnya ada apa ya, Pak? Saya orang baru di sini jadi tidak tau apa-apa."
Pria itu bercerita panjang lebar sembari tangannya terus bekerja menyiapkan pesananku. Menurut penjual martabak yang sudah lima tahun mangkal tidak jauh dari indekosku, banyak kejadian yang tidak masuk diakal terjadi.
"Dulu pas awal saya jualan di sini, ada saja gangguannya. Pernah ada perempuan yang pesan martabak cokelat keju terus karena katanya kebelet pipis, dia minta untuk saya antar ke dalam, disuruh antar ke kamar nomor tiga belas. Pas saya cari di dalam ternyata kamarnya sudah lama kosong."
"Terus martabaknya bagaimana, Pak?"
"Nah itu yang jadi masalah, Mbak. Saya bawa lagi martabaknya terus saya berikan sama orang gelandangan yang suka lewat daerah sini. Eh pas menjelang saya tutup, Mbaknya tadi datang tapi..."
"Tapi apa, Pak?"
"Tapi mukanya rata, Mbak."
Saat pesananku selesai dikemas, pria itu menyerahkannya padaku. Aku membekap mulutku agar tidak teriak karena wanita yang tengah dibicarakan itu tampak berdiri tepat di belakang si bapak yang menghadapku. Untung saja tepat saat itu, suara klakson motor membuatku menoleh, rupanya Indah sudah sampai untuk menjemputku. Sekilas aku melirik lagi ke belakang penjual martabak itu dan ternyata hantu muka rata itu sudah menghilang.
"Mbak Hanna, sudah lama nunggunya?" Aku menggeleng kemudian segera duduk dibonceng Indah yang tidak mengenakan helm.
"Cepat jalan, Ndah. Aku takut hantu itu mengikuti kita." Aku meminta Indah segera pergi dari tempat ini karena aku tidak ingin melihat hal yang aneh-aneh lagi di sini.
Sepanjang perjalanan ke rumah Indah, aku diam saja karena masih takut membayangkan hantu muka rata itu. Rasanya aku pernah bertemu dengannya. Oh ya aku ingat, bukankah dia hantu yang sama dengan yang pernah aku jumpai keluar dari kamar mandi itu. Aku hanya bisa berdoa semoga nanti di rumah Indah tidak ada gangguan berarti.
"Mbak, kita mampir beli uritan goreng dekat pasar langganan ibuku dulu ya." Aku hanya mengangguk kebetulan perutku keroncongan. Cukup lama aku dan Indah membelah jalanan yang ramai kendaraan berlalu-lalang itu.
"Kalau malam daerah sini ternyata ramai ya?"
"Tiap malam ramai, Mbak. Soalnya kawasan ini kan banyak pabrik. Pabrik tempat kita kerja saja karyawannya ribuan. Belum lagi itu ada pabrik obat yang tidak kalah besar. Kawasan ini banyak pabrik jadi tidak heran kalau malam minggu banyak pekerja yang sejenak melepas penatnya dengan nongkrong di daerah sini." Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Indah yang memang orang asli daerah sini. Motor matic Indah berhenti di sebuah warung tenda yang cukup ramai pembeli.
Cukup lama aku menunggu. Indah memesan tiga porsi uritan ayam goreng. Kami kembali memacu kuda besi untuk kembali ke rumah Indah. Hidungku tiba-tiba saja mencium bau yang sangat mengganguku. Baunya asam sangat mirip dengan bau kalajengking setelah dibunuh.
"Ndah, ini bau apa sih?"
"Ini limbah pabrik tekstil yang berdiri kokoh di sisi kita. Baunya memang seperti ini kalau lewat daerah sini."
Perjalananku dan Indah dipenuhi dengan canda tawa. Tanpa terasa sampailah kami ke sebuah rumah joglo yang cukup luas halamannya. Kedatangan kami disambut oleh seorang nenek yang jalannya membungkuk.
"Ini Mbah putriku, Mbak." Segera setelah aku mengucapkan salam, aku meraih tangan yang penuh keriput itu.
"Ini siapa?" tanyanya sembari mengelus rambutku.
"Ini Mbak Hanna, temannya Indah, Mbah." Wanita renta itu hanya mengangguk.
"Lah, yang satu lagi siapa? Kok mukanya sama, apa kembar, Nduk?" Aku dan Indah saling pandang. Selain si Mbah hanya ada aku dan Intan, tidak ada orang lain lagi. Lalu siapa yang disebut neneknya Indah mirip denganku.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
YT FiksiChannel
Curiga gw ama lubang
2023-01-23
1
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
naah kaann.. hantunya ngikutin ke rumah Indah 😱🙈
2023-01-20
4