Mataku terbelalak menatap dia yang sedang berdiri di depan pintu. Wanita tanpa kepala itu ada di sana, berdiri tegak sementara tangan kanannya menenteng kepalanya dan tangan kirinya berkacak pinggang.
"Hi-hi-hi, Hanna, aku tau kamu masih bangun. Ayo, sini tolong aku."
Aku memejamkan mata dan berdoa semampu yang aku bisa. Terus aku menggumamkan ayat-ayat Al-Qur'an yang kuingat. Entah berapa lama tawa itu terdengar kemudian menghilang dan pintu yang tadinya terbuka lalu tertutup kembali.
Aku mencoba membuka mataku perlahan, untung saja makhluk mengerikan itu sudah pergi. Perlahan aku bangun dan mengambil air minum. Baru seteguk air membasahi tenggorokanku, tiba-tiba saja angin berhembus dengan kuat padahal jendela dan pintu tertutup rapat. Aku sampai tersedak karena hal itu.
Pintu itu kembali terbuka lebar. Jantungku rasanya semakin kencang ketika menyadari sebuah kepala menggelinding menuju ke arahku. Gelas yang aku pegang terlempar ke sembarang arah.
"Aku tau kamu masih bangun, Hanna. Ayo, kita kembali." Wajah yang hancur itu menampilkan senyum yang mengerikan. Darah pun berceceran di lantai.
"Ti-tidak! Pergi!" Aku berusaha menghalau kepala yang terus menggelinding dan semakin mendekatiku.
"Tolong! Intan! Wulan! Tolong aku!" Aku berusaha membangunkan kedua temanku tapi mereka tetap tertidur pulas, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal aku tengah ketakutan karena terus didatangi hantu mengerikan itu.
"Diam! Sekarang kembali ke tempat asal kita!" Jika tadi kepala itu terlihat tertawa, kini wajah yang hampir seluruh bagiannya terkelupas itu menunjukkan kemarahan. Matanya yang menjuntai semakin menyala.
Hantu wanita tanpa kepala itu masuk perlahan. Tubuhku yang semula baik-baik saja, tiba-tiba saja berubah lemas dan tidak berdaya. Lidahku pun kelu tidak mampu lagi berucap.
Perlahan tangan yang dipenuhi belatung menyeret tubuhku tanpa bisa aku melawan. Sementara tangan kirinya menyeretku, tangan kanannya memungut kepala yang terus menerus tertawa. Aku bisa merasakan tubuhku sakit harus turun tangga dengan diseret. Kepalaku berkali-kali harus beradu dengan lantai. Rasanya aku ingin berteriak dan melawan tapi tidak berdaya. Tubuhku yang lemas dibanting oleh makhluk itu ke kasur. Di kamar yang mengerikan ini kembali kulihat kepala yang tergantung di kipas. Jika kemarin aku melihat kepala itu diam saja, kini kepala itu berputar sembari terus tertawa mengerikan.
Tubuhku pun berlumuran darah karena darah kepala itu terus terciprat bagai sedang mandi darah. Bau anyir tentu saja begitu menyengat seolah memanggil para belatung untuk mendekat.
"Aaarg! Tolong!" Teriakanku melolong memohon agar wanita mengerikan itu menghentikan aksinya. Namun, makhluk itu tentu saja tidak menghiraukan ketakutanku justru dia semakin kencang tertawanya. Semuanya kembali gelap.
Mataku mulai terbuka saat kurasa seseorang tengah mengguncang bahuku. Lebih baik aku tidak membuka mataku karena aku takut dia adalah tubuh wanita tanpa kepala yang menyeretku semalam.
"Han, bangun! Bagaimana ini, Tan? Apa Hanna pingsan?" Samar aku mendengar suara yang tidak asing untukku.
"Aduh, coba ini kamu olesi minyak kayu putih." Bau minyak yang kuat membuatku membuka mata. Untunglah yang di hadapanku adalah dua teman baruku. Wulan membantuku untuk duduk.
Mataku menelisik ruangan di sekitarku. Ini benar kamarku, apa itu artinya kejadian semalam itu benar. Hantu itu datang dan menyeretku. Aku menatap tangan dan badanku, aku masih mengenakan baju Intan, baju yang sama dengan yang kukenakan sebelum tragedi itu. Aku ingat semalam hantu kepala itu mengucuriku dengan darahnya yang anyir, tapi kenapa sekarang baju ini bersih seolah peristiwa semalam hanya mimpi. Namun, jika ini hanya mimpi lalu bagaimana bisa aku berada di kamarku sendiri.
"Mbak Intan, bagaimana keadaan Mbak Hanna?" Aku melirik Ibu Wati masuk ke kamarku dengan tergopoh-gopoh dan membawa segelas air teh. Wanita paruh baya itu mengangsurkan gelas itu ke tangan Intan.
"Minum dulu, Han. Lihat badanmu basah kuyup karena keringat dingin." Aku memeluk tubuh temanku dengan gemetar, aku takut makhluk itu kembali datang.
"Tenang dulu, Han. Kenapa kamu gemetar seperti ini? Kenapa pula kamu tiba-tiba kembali ke kamarmu tanpa bilang. Kami kuatir terjadi apa-apa denganmu."
"Ha-hantu itu datang ke atas dan menyeretku ke bawah. A-aku takut, Tan."
Aku menumpahkan air mata di bahu sahabatku itu. Perlahan tangan lembutnya mengusap punggungku dan membuat sedikit ketenangan dalam hati.
"Makhluk apa, Mbak?" Semalam saya lihat Mbak Hanna jalan turun ke kamar, bahkan saya sempat menyapa tapi Mbak Hanna diam saja."
"Ta-tapi, semalam hantu itu datang dan menyeretku. Kepalaku beberapa kali terantuk anak tangga, juga makhluk itu terus membasahiku dengan darahnya. Tapi kenapa sekarang aku baik-baik saja. Apa semalam hanya sebuah mimpi buruk tapi jika itu hanya sebuah mimpi, mengapa terasa sangat nyata. Tan, aku ta-takut." Tangisku semakin pecah, aku tidak mengerti dengan semua yang terjadi.
"Sudah, Han. Mungkin semalam kamu mengalami gangguan jalan sambil tidur. Sama seperti adikku dulu juga ada yang seperti itu. Awalnya tidur di kamar, tau-tau jalan sendiri ke kamar mandi ketika dia masih tidur. Namanya kalau tidak salah Somnambulisme." Wulan pun berusaha membuatku percaya kejadian ganjil ini hanyalah sebuah gangguan tidur saja. Entahlah, semakin aku berusaha mempercayai ucapan orang, aku semakin bingung. Rasa sakit di kepalaku semakin terasa berdenyut dan tidak tertahankan.
"Sudah, pada keluar dulu saja, biarkan Hanna istirahat." Intan mengahalau Ibu Wati juga beberapa orang yang berkumpul di kamarku. Hanya tersisa dua orang teman baruku itu.
"Han, kamu tenang ya."
"Aku takut, Lan." Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutku. Kedua sahabatku dengan telaten menghiburku. Saat ketakutanku mulai berkurang, aku menyadari harus segera bekerja. Awalnya Intan melarangku karena kondisiku yang belum stabil.
"Tapi, Tan, ini hari keduaku bekerja. Rasanya tidak patut jika aku harus libur. Lagi pula di tempat kerjaku nanti semoga saja aku bisa lupa akan mimpi burukku semalam."
Wulan dan Intan mengikuti mauku. Bahkan Wulan yang kebagian masuk siang memaksa untuk mengantar sampai ke pabrik. Aku hendak menolaknya karena jarak ini, indekos dan pabrik sangat dekat tapi ibu satu anak itu keras kepala. Dia juga yang membelikanku makanan untuk sarapan. Aku bersyukur meski baru sehari mengenalnya Wulan dan Intan sudah seperti keluarga baru bagiku.
Aku langsung mandi dengan cepat karena bayang-bayang gayung yang berubah menjadi potongan kepala semalam masih terekam jelas di benakku. Lagi pula kamar mandi yang seharusnya dingin terasa sangat panas saat aku di dalamnya, seperti ada dia yang terlihat tinggal di sana.
"Siap. Aku berangkat kerja dulu ya, Tan." Aku berpamitan pada sahabatku yang sedang bermain ponsel di depan kamarku.
"Han, kamu mau berangkat kerja sekarang? Dengan penampilan seperti ini?" Wajah ayunya berkerut.
"Iya, memangnya kenapa?"
"Pucat banget seperti orang yang lagi sakit. Sini deket aku!" Tangannya melambai, memintaku mendekat padanya. Sementara tangannya yang lain merogoh tas kecilnya. "Merem!" perintahnya lagi. Aku mengikuti perintahnya karena aku tau Intan adalah wanita yang sedikit galak dan cerewet. Rupanya wanita itu menyapu wajahku dengan bedak serta mengoleskan lipstik ke bibirku.
"Nah, gini kan cantik!" Aku tanya menggaruk kepalaku berharap wajahku tidak seperti orang yang hendak pergi hajatan. Nanti saja aku hapus saat sudah di pabrik, ini sudah waktunya aku berangkat. Aku hendak menutup pintu kamar ketika sepasang wajah mengerikan melongok ke arahku dari kamar mandi serta memamerkan gigi hitam dan runcingnya.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Yuli Eka Puji R
pulang kamoung aja han minta di rupiah ehh salah ruqiyah biar ga di ganggu lagian km juga ga ada perjanjian sm setan akan mudah mengusirnya
2023-06-26
0
사랑의 여신 ^^
Klo aq jd hanah,, udah kabur ga mw lg masuk kamar itu....
2023-01-10
1