Wajah yang serupa denganku itu terlihat terus tertawa. Membuka mulutnya lebar-lebar walau tidak terdengar suaranya. Dia memamerkan deretan gigi yang hitam dan juga runcing.
Perlahan wajahnya yang sangat mirip denganku mendekat ke cermin. Mata ini terbelalak saat wajah itu semakin dekat bahkan sebagian wajahnya menyembul menembus cermin. Ingin rasanya aku berteriak minta tolong tapi lidah kelu tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Pemikiranku pun entah kenapa jadi kosong seperti ini, mungkin karena ketakutan serta keterkejutan sudah merajai.
Kakiku pun rasanya berat dan kaku tidak bisa bergerak, padahal aku ingin sekali lari dari tatapan menyeramkan wanita dari cermin itu.
Tangan wanita itu kehitaman dengan kuku yang sangat panjang serta kotor penuh dengan lumpur. Awalnya tangan itu seolah membelai wajahku dari balik cermin. Namun, perlahan tapi pasti tangan itu mulai menembus cermin.
Awalnya hanya ujung jarinya saja, sekarang tangannya sampai ke sikunya mulai keluar menerobos cermin, seolah cermin hanyalah plastik bening yang terbentang. Dua tangan perlahan mendekati leherku seolah ingin mencekikku. Air mata dan keringat dingin ini terus bercucuran membayangkan apakah mungkin inilah akhir hidupku.
Aku ingin menghindar dari sentuhan tangan yang pergelangannya terlihat melepuh tapi tubuhku rasanya kaku dan tidak bisa bergerak. Harapanku ini semuanya bayangan semu belaka memudar, ketika tangan nan mengerikan dan menjijikkan itu mulai menyentuh kulitku. Mataku terpejam karena ketakutan serta kukunya membelai rambutku kemudian wajah dan leherku. Dingin dan mencekam seperti pisau tajam yang ditempelkan di kulit serta siap merobek apa yang ada di depannya.
"La... La... La" Senandung lembut keluar dari mulut wanita itu. Entah kenapa aku seperti tidak asing dengan nada dari senandung tanpa lirik itu. Hatiku juga merasa sedikit tenang. Aku rasanya tidak asing dengan nada-nada yang membentuk sebuah harmoni tapi entahlah.
Pintu kamar mandi terdengar dibuka, membuatku spontan menoleh ke arah pintu. Rupanya Indah masuk sembari mengucek matanya. Semoga saja dia melihat makhluk yang keluar dari cermin itu dan segera menolongku.
"Mbak Hanna, ngapain di sini? Indah kira tadi tidur." Gadis itu menutup mulutnya setelah menguap cukup keras dan lebar.
"A-anu, i-itu," ujarku sembari menunjuk ke arah cermin besar di belakangku.
"Anu apa sih, Mbak?"
"I-itu. Seseorang menerobos cermin."
"Di cermin tidak ada apa-apa kecuali bayangan kita berdua."
Aku segera menoleh ke cermin, memang benar kata Indah tidak ada apapun di sana. Lalu kemana perginya wanita yang mirip denganku itu? Aku menelisik ruangan ini, memang tidak ada siapa pun kecuali kami berdua. Saking penasaran, aku pun mencoba menyentuh dan mengetuk cermin untuk memastikan keasliannya. Aku tidak habis pikir kenapa bisa wanita tadi menembus cermin yang keras ini.
"Ndah, keluar saja, yuk! Nanti aku ceritakan semua di luar saja." Aku menarik tangan Indah.
"Tunggu, Mbak. Aku mau pipis dulu. Tunggu ya jangan kemana-mana." Indah segera masuk ke salah satu kamar mandi dan menyalakan keran. Samar aku mendengar kembali suara lirih seseorang menyenandungkan nada yang sama dengan yang dinyanyikan wanita tadi. Setelah itu aku melihat sekelebat bayangan hitam melintas.
"Indah! Cepet! Aku takut!" Aku mengetuk kamar mandi dengan keras agar Indah segera keluar. "Indah!"
"Ada apa, Mbak? Lihat nih, resletingku saja belum sepenuhnya naik," ujarnya sembari membetulkan celana dan penampilannya.
"I-itu tadi. Dia datang lagi. Ayo, kita keluar saja." Aku menarik tangan Indah untuk segera ke lobi bergabung dengan teman-teman yang lain.
Bel panjang bergema, sebagai tanda para pekerja harus kembali pada pekerjaannya masing-masing. Hal ini pula yang memaksaku untuk menunda memberi tau hal yang baru saja terjadi.
"Mbak tadi mau cerita apa? Kamu bahkan sampai keluar keringat dingin seperti ini."
"Nanti saja di rumah, Ndah."
Suara mesin jahit mulai menderu di seluruh ruangan ini. Dengan tangan yang kadang gemetar aku melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Namun, tetap saja bayang tentang wajah tadi seolah enggan beranjak dari pelupuk mata.
"Han!" Aku terkejut ketika seorang menepuk pundakku.
"A-ada apa?" tanyaku tergagap saat menatap bahwa Mbak Juniyati sudah ada di depanku dan menenteng selembar kain yang hampir menjadi sebuah baju yang siap dipakai.
"Ini sudah sesuai sama aturan belum?" Tanpa banyak bicara lagi, diangsurkannya kain itu di pangkuanku. Perlahan aku teliti, sejauh pengamatanku semuanya sudah dikerjakan sangat rapi. Bahkan untuk bagian label lurus dan sesuai aturan.
"Semuanya sudah bagus, Mbak," ucapku sembari mengembalikan hasil kerja kerasnya.
"Oke, Han, jangan suka melamun saat bekerja. Selain takut pekerjaanmu tidak selesai, takut juga kalau terjadi sesuatu yang di luar kendali kita."
Aku hanya mengangguk karena menyadari omongan si senior memang benar adanya. "Maaf, Mbak. Hanna akan berusaha untuk lebih baik lagi."
Juniyati hanya melempar senyum kemudian berlalu meninggalkanku. Aku kembali menenggelamkan diri dengan pekerjaan yang rasa-rasanya tidak pernah selesai. Aku menepis bayang-bayang mengerikan dengan melantunkan doa. Mungkin aku diganggu oleh makhluk tak kasat mata karena aku kerap melamun dan pikiranku sering kosong.
Waktu berjalan sedikit lebih cepat saat hati ini mulai tenang. Tanpa terasa sudah saatnya aku pulang. Setelah sedikit berbincang dengan QC yang masuk pagi, aku dan Indah juga yang lain mulai meninggalkan gedung dan kembali ke rumah masing-masing.
"Ndah, mampir ke indekosku dulu ya," ajakku ketika kuda besi Indah melaju keluar dari area pabrik yang sangat besar.
"Mau ngapain, Mbak? Mau ketemu hantu yang ada di kamarmu?"
"Asem, enak aja. Aku mau ambil beberapa baju dan detergen. Nanti sore mau nyuci baju."
"Timbang detergen doang kan bisa beli di warung Mbah Parno, samping rumahku."
"Namanya pemborosan kalau masih ada terus beli lagi."
Motor matic Indah sudah memasuki area parkir indekos yang cukup luas. Hanya ada beberapa motor yang terparkir, salah satunya motor Intan karena setauku dia ada di kamarnya. Gadis itu bertukar sift, jadi hari ini ia masuk sore.
"Mbak, aku bantu apa?" tanya Indah saat aku tengah memasukkan beberapa barang pribadi ke ransel.
"Tidak usah. Ini sudah selesai kok."
"Mbak, sebenarnya tadi di toilet Mbak Hanna lihat apa sih? Sampai keringat dingin."
"Nanti saja di rumah kamu aku ceritanya. Jangan di kamar ini. Aku mau ke atas, ke kamarnya Intan. Ikut atau mau di sini?"
"Ikut, aku tidak mau lama-lama di sini sendirian. Serem."
Aku mengayunkan langkah menaiki tangga menuju lantai tiga. Setiba di kamar nomor 35 itu aku sedikit terkejut karena di depan pintu ada sepasang sepatu. Jika dilihat dari ukurannya sepertinya itu bukan sepatu Intan dan Wulan yang kakinya berukuran 37. Dilihat dari warna serta modelnya tidak salah lagi pasti pemiliknya seorang pria.
Aku hendak mengetuk pintu kamar Intan. Namun, aku mengurungkan karena samar aku mendengar ******* yang berasal dari dalam kamar Intan. Aku memang belum menikah tapi aku bisa menebak apa yang terjadi di dalam kamar. Tidak mungkin tidak terjadi apapun saat dua manusia dewasa yang berlainan jenis berada dalam kamar yang terkunci dan tertutup rapat.
"Ndah, sepertinya Intan sedang ada tamu. Lebih baik aku nanti pamitnya lewat telepon saja."
Perlahan aku menuruni tangga, sementara pikiranku tengah penuh dengan rencana, bagaimana membuat Intan sadar bahwa yang dilakukan saat ini yakni bercinta dengan pria bukan muhrim adalah perbuatan zina dan dosa besar tentunya.
Namun, rencana tinggal rencana. Keberanianku untuk menasihati Intan menghilang mana kala mengingat aku baru beberapa hari mengenalnya. Aku takut dia tersinggung nantinya. Kata orang menasihati orang yang sedang jatuh cinta sepertinya akan sia-sia. Hanya masuk lewat telinga kanan dan langsung keluar telinga kiri.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments