"Argh!" teriakku sekencang-kencangnya. Indah langsung menoleh ke arahku. Bukan hanya Indah, beberapa teman yang kebetulan satu sift denganku ikut berkerumun mendekatiku.
"Ada apa, Mbak?"
"U
"I-itu," ucapku sembari menutup mataku karena takut sosok hantu yang paling aku takuti sejak lama masih ada di sana.
"Itu apa, Mbak? Jangan bikin kita penasaran." Seorang gadis lain mencoba bertanya padaku.
"I-itu, di gedung spinning a-ada po-pocong," ucapku tergagap. Sementara tanganku mengarah ke jendela tempat pocong tadi berdiri tegap dengan wajah yang menghitam serta kapas yang menyumbat hidungnya. Ada lelehan merah yang keluar dari sudut matanya. Bibirnya yang hitam tersenyum menyeringai memamerkan giginya yang hitam dan runcing. Dari mulutnya meleleh air liur tapi bukan air liur yang bening seperti pada umumnya manusia seperti kita. Air liur itu berwarna kehitaman juga bercampur warna merah.
"Mana, Mbak? Di sana tidak ada apa-apa?"
Perlahan aku membuka mataku. Dengan keberanian yang nyaris sirna aku mengarahkan pandangan ke jendela tempat dimana makhluk mengerikan itu menampakkan dirinya kepadaku. Jendela yang tadinya terang benderang sudah menjadi gelap gulita. Tidak ada apapun yang terlihat di sana. Setidaknya aku bisa bernapas lega karena hantu itu sudah pergi.
"Di-dimana hantu tadi? Kenapa se-sekarang hilang? Tadi dia ada, berdiri tepat di situ,Ndah."
"Tenang, Mbak Hanna jangan takut ada Indah di sini. Indah kan sudah janji buat jagain Mbak Hanna." Indah mengusap punggungku berusaha menenangkan hatiku.
"Istigfar, Mbak," bisiknya lembut karena tangan dan kakiku sedari tadi tidak berhenti gemetar. Bagaimana tidak, seumur hidup baru kali ini aku melihat pocong dalam dunia nyata. Selama ini hanya dalam film atau pun dalam mimpi seramku.
"Astagfirullah." Begitu kalimat istigfar terlontar dari mulutku, kaki dan tangan ini seketika berhenti bergetar.
"Ndah, kita masuk yuk! Aku takut kalau pocong itu terlihat lagi."
"Ya sudah, ayo." Dengan lembut tangannya menggandengku untuk masuk ke dalam gedung produksi.
Namun beberapa langkah aku meninggalkan kerumunan orang itu, aku bisa mendengar perbincangan beberapa orang yang tadi sempat mengerumuniku.
"Kamu percaya tidak sama penampakan yang dilihat mbak itu?"
"Entahlah. Percaya tidak percayalah. Ya kita tau gedung itu memang menyeramkan tapi kenapa hanya dia yang melihatnya?"
"Mungkin yang bisa melihat seperti itu tergantung berat tidaknya dosa."
"Iya kah? Masa seperti itu. Kalau begitu yang bisa lihat hak begituan dosanya yang banyak apa yang sedikit?"
"Entahlah, lebih banyak mungkin."
Tawa mereka bergema, menggoreskan luka yang begitu dalam. Aku tau mereka hanya bercanda tapi tetap saja harusnya mereka lebih bijak dalam berucap. Aku melihat tangan Indah terkepal erat, pasti dia pun tersinggung dengan kelakar orang-orang yang menganggap kejadian mengerikan itu hanyalah sebuah lelucon.
"Mbak, kupingku panas. Pengen ngelabrak orang-orang itu," ujar Indah lirih. Aku mengusap bahunya dengan lembut.
"Yang tenang. Biarkan orang berucap apapun. Berdoa saja agar mereka dijauhkan dari hal-hal gaib seperti ini." Jika tadi Indah yang buru-buru mengajakku masuk, sekarang gantian aku yang memintanya untuk bergegas masuk ke gedung produksi.
Suara mesin jahit bersatu padu di dalam gedung bagai lantunan lagu yang syahdu. Karena suara inilah yang nantinya akan mengantar setiap pemegangnya pulang membawa uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga masing-masing.
Aku melakukan tugasku sebaik mungkin, berusaha tidak ada kesalahan-kesalahan yang aku perbuat meski itu hanya sedikit. Terkadang aku harus memberi arahan pada beberapa operator yang melakukan kesalahan. Aku berusaha melakukannya selembut mungkin dan tidak melukai perasaan orang. Ada beberapa pekerja yang dengan lapang dada dan ramah menerima kritikan dariku. Namun, ada pula mereka yang tidak suka dengan apa yang sudah aku katakan kepada mereka. Mereka menganggap aku hanyalah anak baru yang tidak seharusnya mengatur mereka.
"Ribet banget sih. Ini cuma miring sedikit tidak terlalu kentara. Biasanya juga Mbak Wanti tidak mengapa tetap saja diluluskan tapi kenapa kamu tidak?"
"Mbak, ini masalahnya posisi label sangat terlihat kalau tidak rata. Jarak antara kiri dan kanan juga jauh berbeda. Lebih baik diperbaiki dari sekarang dari pada nanti ketika sudah selesai semua dan hasil produksi kita seperti ini, semua kerja meras kita ini akan percuma karena sudah pasti ditolak atasan."
"Anak baru saja songong," ucap wanita itu lirih tapi tetap saja terdengar. Ingin rasanya membalas ucapannya itu tapi panggilan dari seorang pekerja di line yang lain membuatku menunda menyelesaikan masalah ini.
"Ada apa, Mbak?"
"Mbak Hanna, ucapannya Juniyati jangan diambil hati ya. Dia memang di line itu terkenal sok senior. Mentang-mentang karyawan lama di sini."
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi rekan satu line Indah. "Kalau senior harusnya sudah tau semua aturan dan standar yang berlaku di garmen ini. Apalagi hal sederhana seperti pasang label pada produk. Semuanya ada ketentuan yang sangat detail dan sudah tercantum di buku SOP."
"Mau bagaimana lagi, Mbak. Mbak Wanti saja sudah menyerah kalau berurusan sama Juniyati."
"Mbak Wanti itu QC yang biasa line mereka?"
"Iya, Mbak. Kalau kebagian satu sift sama mereka suka kesel sendiri. Jangankan QC, itu supervisor pernah dilalap sama dia."
Aku mengerutkan kening, bagaimana bisa seorang karyawan biasa justru berani pada atasannya. "Memangnya dia yang punya pabrik ini sampai supervisor takut sama dia?" bisikku pada Indah. Indah menggelengkan kepala, ini justru membuatku semakin bingung. Lalu apa yang ditakutkan orang-orang dari perempuan yang mungkin usianya baru kepala tiga itu.
"Dia itu istrinya kepala keamanan juga di pabrik ini. Dulu ada staf yang mengatur wanita itu di depan umum entah karena apa. Besoknya dapat kabar staf itu dipukuli oleh orang tidak dikenal. Orang-orang percaya bahwa itu pasti orang suruhannya Juniyati."
Miris juga mendengar cerita kearoganan orang yang seharusnya menjaga keamanan pabrik justru menebar teror.
"Pokoknya kalau kesalahannya tidak fatal jangan ditegur ya, Mbak. Kalau misal dia salah, minta tolong ke Linda saja untuk memperbaikinya." Indah menunjuk seorang gadis yang bersimpuh di lantai serta tengah memotong sisa benang yang menjuntai dari baju yang sudah selesai dijahit. Aku mengangguk perlahan dan kembali ke meja untuk melanjutkan pekerjaanku lagi.
Di tengah deru mesin jahit yang bersahutan, ada tawa dan canda yang terdengar dilontarkan bergantian untuk menghilangkan rasa kantuk yang mulai menyerang. Musik dangdut yang sengaja dipasang agar menambah semangat, rasanya cukup membantu para pekerja tidak terhanyut dalam kantuk. Sesekali terdengar semuanya serempak bernyanyi bersama meski tangan-tangan tidak berhenti berkarya. Tanpa terasa bel tanda istirahat berdering. Semua orang segera mematikan mesinnya dan berhamburan keluar.
Duduk bersila di lobi gedung, masing-masing dengan kegiatannya. Ada yang makan sambil bermain ponsel. Ada yang tengah menyeruput kopi dan ada yang memilih merebahkan badannya di sembarang tempat. Untuk ke kantin tidak memungkinkan selain kondisinya gelap gulita, di sana juga tidak ada yang jual apapun. Mereka berjualan hanya saat pagi dan siang hari saja Sementara itu aku dan Indah memilih makan nasi kucing yang kami beli di angkringan dekat rumah Indah sebelum tadi berangkat kerja. Nasi satu bungkus sudah membuatku kenyang apalagi aku memang tidak pernah makan malam di jam seperti ini, jam tiga pagi. Usai makan, aku melihat hampir semua orang merebahkan dirinya dan berusaha tidur walau sejenak untuk memulihkan tenaga.
Aku akan tidur ketika tiba-tiba rasa ingin buang air kecil membuatku terbangun dan segera berlari ke kamar mandi. Kamar mandi di sini memang sedikit kotor karena pekerja cleaning service yang sangat terbatas, jadi terkadang membersihkannya pun asal-asalan.
Aroma tembakau menguar ketika aku membuka pintu ruangan yang berisi empat toilet itu. Di salah satu toilet terlihat asap membumbung. Aku tau dari baunya saja sudah menduga bahwa ada seseorang tengah merokok di sana. Dengan cepat aku membuang hajatku. Namun, aneh begitu aku keluar, asap itu sudah hilang dan pintu kamar mandi juga terbuka. Tidak ada tanda-tanda ada orang di sini selain aku. Ada rasa takut yang menyergap tapi tidak, aku harus bisa melawan rasa ini.
Aku melantunkan salawat dengan lirih agar sedikit mengurai rasa takut yang sempat mendera. Aku menatap pantulan diriku yang terpampang di cermin besar, nampak mataku memerah dan berkantung seperti panda, mungkin mengantuk apalagi selama hidup baru kali ini merasakan bekerja di malam hari.
Aku membasuh wajah dengan air, saat air itu menyentuh kulitku rasanya benar-benar dingin. Senyumku terkembang, rupanya upayaku agar kembali segar berhasil.
Ponselku berdering menandakan ada sebuah panggilan masuk. Begitu aku mengeluarkan dari saku celanaku, deringnya berhenti bahkan layar ponselku mati. Ah, aku baru ingat tadi, bukankah ponselku dalam keadaan mati, jadi rasanya tidak mungkin ada seseorang yang berhasil menghubungiku.
Mataku kembali menatap pantulan diriku. Tiba-tiba saja wajahku yang hanya diam. Namun, begitu aku menatap sosok itu lebih teliti dia tersenyum semakin lama semakin lebar dan menyeramkan.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
YT FiksiChannel
curiga gw ama nasi kucing.
2023-01-23
0