Aku terus menatap Intan yang terlihat salah tingkah ketika mendapat tatapan tajam dari nenek. Entah sebenarnya apa yang terjadi. Apa ada yang tengah disembunyikan Intan tapi aku merasa semua ini ada hubungannya dengan ******* yang aku dengar tadi pagi di kamar Intan.
Nenek kembali masuk kamar setelah berucap seperti itu. Meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak dan mungkin juga di benak teman-temanku yang lain.
"Indah kira-kira apa maksud ucapan nenekmu tadi ya? Kenapa tiada hujan tiada angin tiba-tiba beliau menyinggung soal pengkhianatan?" tanya Wulan yang rupanya penasaran serta memiliki banyak pertanyaan akibat ucapan nenek.
"Entahlah, Mbak. Kalau menurut Indah, lebih baik tidak usah dimasukkan ke hati dan terlalu dipikirkan semua ucapan Mbah Uti. Uti aku memang terkadang suka seperti ini. Datang dan memberi ceramah singkat."
"Sepertinya beliau hanya ingin kita berhati-hati. Karena sekarang pengkhianatan tidak memandang itu teman atau saudara. Pengkhianatan bisa dilakukan siapa saja, bahkan biasanya pelaku adalah orang terdekat kita."
Aku berusaha mengambil sisi baik saja. Aku melirik Intan yang tengah sibuk dengan ponselnya, sesekali dia tersenyum sendiri. Dia sepertinya berusaha menghindar dari pembicaraan kami.
"Tan, apa pendapatmu tentang pengkhianat?" Aku mencoba mencari tau jawaban dari pertanyaan yang sedari tadi terus menari di benak. Gadis itu sepertinya tengah asyik dengan dunianya sendiri.
"Tan!" panggilku sembari menyentuh bahunya. Terlihat sekali Intan terkejut dengan suaraku yang mungkin menarik dirinya untuk kembali ke dunia nyata, setelah cukup lama ada di dunia virtual.
"I-iya, ada apa, Han?" tanya Intan tergagap.
"Kamu itu kebiasaan. Kita ini sedang bahas hal yang sensitif, kamunya malah asyik sendiri." Aku mensedekapkan kedua tanganku di dada dan memasang muka tidak suka.
"Ma-maaf, tadi baru balas pesan temanku. Jadi sampai dimana pembahasan kita tadi?"
"Bukan kita, Intan, lebih tepatnya pembahasan kami. Aku, Hanna, dan Indah, sementara kamu lagi sibuk hidup di dunia mayamu itu," timpal Wulan sembari tersenyum tipis.
"Iya deh, maafin aku yang genks. Aku janji tidak akan kaya gini lagi." Gadis itu mencoba merayu aku dan Wulan dengan memeluk bahu kami. Aku memang tidak bisa marah pada gadis yang selisih usianya hanya berbeda beberapa hari saja denganku.
"Lagian, aku penasaran. Kamu lagi berbalas pesan sama siapa sih? Sampai-sampai melupakan teman-teman yang ada di sampingmu." Wulan berusaha melongok ke arah ponsel Intan. Namun, kalah cepat dengan Intan yang mendekap erat ponsel di dadanya.
"Tan, pasti itu dari pria yang berkunjung di kamarmu tadi pagi." Mendengar ucapanku, aku bisa melihat dengan jelas ada rona kemerahan di pipi wanita itu. Aku yakin seribu persen bahwa tebakanku ini tepat sasaran.
"Apaan sih, Han. Ini dari temanku, teman biasa."
"Halah, mengaku saja deh. Itu cowok siapa, bagaimana akhlaknya..." Belum selesai aku menginterogasi Intan, tiba-tiba saja Indah menyela dengan mengajukan pertanyaan yang membuatku tersenyum.
"Mbak, cowoknya ganteng tidak? Kalau ganteng, dia punya saudara cowok tidak? Indah mau dong dikenalin. Maklum jomblo menahan ini."
Spontan aku menoyor kepala yang bermahkotakan rambut yang panjang, lurus, dan terurai. "Kerja dulu yang bener. Jangan mikir pacaran apalagi menikah. Kemarin katanya kamu ingin kuliah tinggi lalu menaikkan derajat orang tuamu dulu."
"Itu yang bikin aku bingung, Mbak. Di satu sisi aku pengen kuliah terus kerja keras untuk membahagiakan keluarga, sementara di waktu yang lain punya keinginan menikah muda juga. Tapi Indah itu pengen punya suami yang bisa memenuhi kebutuhan lahir dan batin. Eh satu hal yang pasti, aku mau punya calon yang ganteng banget, paling tidak seganteng Lee Jong-suk. Ya hitung-hitung buat memperbaiki keturunan."
Indah tertawa karena kehaluan yang dia ciptakan sendiri. Aku, Wulan dan Intan pun ikut terbahak karena gadis yang paling muda di antara kami berempat itu begitu tinggi memasang standar pasangan hidup.
"Jangan terlalu tinggi melihat ke atasnya. Nanti kecengklak susah sembuhnya." Aku mengelus rambut gadis yang begitu ceria itu. Sementara kami larut dalam canda tawa, tapi Intan berdiri menjauh dari kami sembari tengah berbincang dengan seseorang melalui panggilan telepon.
Aku berusaha mencuri dengar pembicaraan keduanya tapi tidak bisa karena Intan berbicara sedikit berbisik-bisik.
"Lan, emangnya kamu tidak kenal sama pacarnya Intan?" tanyaku pada wanita yang tengah mengupas buah mangga.
"Tidak, bahkan aku pun baru tau sekarang kalau dia sudah punya pacar. Aku pun baru tau bauwa Intan kedatangan tamu seorang pria. Karena saat aku pulang ke indekos, kamar sudah sangat rapi, seperti tidak pernah ada tamu."
"Tadinya aku ingin meninta padamu untuk menasihati Intan, agar tidak mudah menyerah pada pria. Karena aku pikir kamu tau tentang hubungan Intan dan pria itu."
"Tunggu dulu, Han. Tadi apa katamu, agar tidak menyerah pada pria? Apa itu artinya kamu tau sesuatu yang terjadi pada Intan? Apa itu artinya Intan sudah..." Wulan menggantungkan ucapannya. Sepertinya dia ragu untuk menyebut hubungan yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri.
"Aku tidak tau pastinya, semuanya baru dugaanku saja. Namun, apa yang akan dilakukan dua orang dewasa berlainan jenis dalam satu kamar yang tertutup rapat. Kita semua tau yang akan terjadi di dalam tanpa perlu dijelaskan panjang lebar."
"Aku akan menasihatinya, Han. Agar tidak menyesal seperti diriku sekarang. Terburu-buru menikah untuk menutup aib karena hamil di luar nikah. Eh, sekarang ditinggal suami tanpa ada kejelasan serta nafkah untuk anak-anakku. Sekarang harus pontang-panting banting tulang demi menafkahi anakku."
"Semoga Intan mau mendengar nasihatmu."
Perbincangan selanjutnya aku tidak lagi menyinggung tentang pacar Intan, aku pikir nanti biar Wulan yang sudah dianggap kakak meski hanya terpaut beberapa bulan saja yang memberi masukan pada Intan.
"Eh, kita makan di luar yuk!" Sontak saja mata kami semuanya mengarah ke arah gadis itu. Baru saja Wulan berkeluh kesah karena uangnya habis untuk biaya hidup orang tua juga anaknya.
"Hari ini aku yang traktir kalian, sekaligus anggap saja ini PJ, pajak jadian," ujarnya sembari mengerlingkan mata.
"Ta-tapi gajian kita kan masih minggu depan. Kamu dapat uang dari mana?" tanya Wulan yang kebetulan satu pabrik dengan Intan.
"Jangan terlalu dipikirkan. Pokoknya hari ini kita seneng-seneng saja. Kita tinggal berangkat bawa badan saja. Cowokku udah pesenin tempat buat kita ngumpul. Namun, sayang dia tidak bisa datang karena sibuk banget. Dia kirim salam buat kalian."
"Dia beneran cowokmu kan, Tan? Bukan itu kan yang sering dibilang orang sugar daddy kan?" tanyaku pada Intan dengan hati-hati, takut kalau Intan tersinggung. Namun, yang terjadi adalah pertanyaan yang aku lontarkan ditanggapi dengan tawa yang lebar oleh Intan.
"Dia itu dulunya mantan pacarku saat SMA kemudian berpisah begitu saja tanpa kabar berita. Nah sekitar enam bulan lalu tanpa sengaja kami bertemu. Mulai dekat lagi saat dia sering curhat soal istrinya yang tidak lagi bisa melayani di ranjang lagi."
"Dan kamu rela membiarkan dia menikmatimu?" bisikku perlahan. Aku tidak ingin harga diri sahabatku ini terluka. Wajah Intan menjawab pertanyaan yang aku ajukan dengan rona merah membias di seluruh wajahnya.
Aku merasa semakin yakin, bahwa memang benar harus ada seseorang yang menasihati Intan agar tidak semakin terjerat dalam jeratan dosa pezina dan bisa juga label pelakor akan menghantui Intan di seumur hidupnya. Selama acara makan malam, hanya aku yang minum air putih karena masih meragukan apakah uang untuk membayar adalah hadiah seperti yang dikatakan Intan ataukah ini hasil dari sesuatu yang buruk.
Alasan sakit perut, terpaksa aku menolak sepiring steak wagyu yang menggugah selera. Steak yang disajikan oleh restoran cepat saji berkonsep food truck adalah satu-satunya steak terenak di kota ini. Hanya daging wagyu kualitas terbaik yang mereka sajikan demi kepuasan pelanggan.
Sepulang dari makan malam, aku dan Indah pulang ke rumah Indah, sementara kedua sahabatku kembali ke indekos.
"Mbak, steaknya enak banget. Kenapa kamu tidak makan?" tanya Indah yang tengah memarkirkan kendaraannya. Lagi dan lagi aku berbohong dengan mengatakan perutku yang memang sedang begah, yang aku jadikan alasan.
"Ndah, kita siap-siap kerja yuk. Tinggal sejam lagi ternyata."
Dengan cepat aku mengganti pakaian dengan seragam pabrik. Dengan penuh semangat, aku dan Indah segera berangkat ke tempat kami akan sama-sama mencari pintu rejeki.
Setiba di parkiran motor, mataku mulai waspada menelisik sekitar parkiran, tidak luput aku juga memperhatikan gedung spinning. Aku takut kejadian kemarin terulang lagi. Namun, untunglah sejauh ini tidak ada sesuatu yang buruk terjadi.
Aku masuk ke gedung, tiba-tiba saja harum bunga setaman menyeruak dan membuatku sempat bersin-bersin. Tapi di saat yang sama menimbulkan rasa takut dan kengerian sekaligus. Benar saja saat aku masuk, sesuatu berbaju putih lusuh dengan wajah yang rata duduk di atas mejaku.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments