Candra Kirana
Kiran tiba-tiba jalan keluar dari jalur pendakian, meninggalkan jalan kecil yang lebarnya tak lebih dari satu meter dan turun ke arah lembah. Langkahnya tergesa menerabas belukar dan tempat miring ke arah bunga abadi yang sangat menarik perhatian. Edelweis.
"Jangan petik edelweisnya, Ran!" ujar Septi mengingatkan. "Kena undang-undang konservasi kita nanti woi …!"
"Iya, biar bukan mapala aku juga tau soal itu, aku cuma mau lihat dari dekat. Ini bagus banget, Sep! Belum pernah lihat yang warnanya ungu begini. Rimbun banget lagi pohonnya!" seru Kiran menanggapi peringatan dari sahabatnya.
"Kamu kalau mau edelweis beli aja yang hasil budidaya warga, sama-sama abadi!"
"Emang yang budidaya ada yang warnanya ungu begini? Paling juga kuning!" timpal Kiran tak percaya. "Kamu tenang aja deh, aku lebih suka menikmati keindahan bunga ini dari atas gunung begini daripada dibawa pulang, yang ada nanti jadi bunga kering!"
"Aku juga sebenarnya heran kenapa orang suka menyimpan edelweis di kamar sebagai bunga kering!" Septi bergumam setuju.
Kiran menukas, "Mungkin karena ini bunga abadi. Kamu tau kan mitosnya kalau dikasih bunga ini kisah cinta dua manusia juga bakal abadi."
"Prettttt! mana ada kisah cinta abadi? Semua pasti terpisah oleh maut." Septi masih menunggu Kiran memperhatikan bunga-bunga yang didominasi warna ungu dari jalur pendakian.
Mereka tidak hanya berdua, tapi bertiga dengan Surya, pacar Septi. Pendakian dadakan itu dilakukan memang atas kehendak Kiran, yang ingin melampiaskan sakit hati dan kecewanya karena diputuskan Dodi, dengan cara tinggal di gunung selama beberapa hari. Tepatnya seminggu.
Dodi, pemuda yang sudah menjalin hubungan setahun lebih dengannya itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak, sulit dihubungi apalagi ditemukan. Setelah seminggu melakukan penyelidikan, Kiran baru tau kalau pacarnya sudah jalan dengan cewek lain yang lebih segalanya dibanding dirinya.
Tak ada pembicaraan panjang, pacar sialannya itu langsung memutuskan hubungan dan meminta Kiran untuk tidak mencarinya lagi begitu mereka bertatap muka. Benar-benar pengecut berkedok malaikat.
"Bukan oleh maut, tapi oleh pelakor!" kata Kiran sebal. Dia merasa hanya dimanfaatkan uangnya oleh pemuda brengsek yang baru saja jadi mantannya. "Tuh buktinya Dodol … baru liat cewek semokan dikit dah main putusin aku! Nggak ada dikit aja mikirin perasaan aku!"
Kiran memilah beberapa warna bunga yang bercampur dengan indahnya, antara merah muda dan ungu, dengan perasaan gembira. Pilihannya untuk naik gunung sudah tepat. Pemandangan indah tersaji di depan mata, dua sahabat dekatnya menemani, dan yang paling penting setelah ini dia bisa berteriak sesuka hati memaki Dodi.
Setelah puas membelai kelopak-kelopak kecil berwarna ungu itu, Kiran tersenyum sendiri. Dia berbicara lirih, "Aku juga ingin memiliki cinta abadi, pasangan abadi seperti yang ada di mitos-mitos itu."
Baru mau melangkah meninggalkan bunga-bunga indah di depannya, Kiran melihat sesuatu yang berkilau di dekat pangkal pohon edelweis yang masuk ke tanah. Kiran berjongkok untuk mengambil benda bundar itu. Sebuah koin. Kiran mengelapnya dengan cara menggosok ke celana, mengamati sebentar lalu memasukkannya ke dalam kantong jaket.
"Ambil apa kamu, Ran?" tanya Septi curiga. Dia melihat sahabatnya memungut sesuatu dari tanah dan menyimpannya. "Kamu tau, kita nggak boleh bawa apa-apa dari gunung, kan?"
Kiran berjalan santai ke arah Septi, "Iya … aku juga tau soal itu, nggak usah diingetin! Nggak semua anak geologi cinta mati sama batu-batuan trus main bawa pulang semua batu bagus yang ada di gunung. Aku tadi cuma nemu koin, tau koin kan kamu? Itu juga pasti orang iseng yang buang, buat ngelempar kupu-kupu atau sengaja ganggu serangga yang lagi dating! Maksudku skidipapap."
"Koin?" tanya Septi dan Surya bersamaan.
"Ya koin, dan kita bertiga tau kalau koin itu bisa dianggap sampah di gunung, bukan sesuatu yang alami terbentuk dari alam, jadi misal aku ambil koin itu sama sekali nggak salah, anggep aja bersih-bersih lokasi!" jelas Kiran acuh, menepuk kantong jaket tempat dia menyimpan koin lalu berjalan mendahului dua sejoli yang sudah jadi sahabatnya sejak SMA.
Tidak ada yang menyangkal, apa yang diucapkan Kiran memang benar. Septi dan Surya juga kadang membawa turun benda-benda seperti itu untuk dibuang di bawah saat turun, selain sampah plastik dan kaleng tentunya.
Surya yang berjalan paling belakang bersuara tegas, "Sebentar lagi pos tiga, kita jadi buka tenda dimana, Ran?"
Kiran berpikir sejenak sebelum menjawab, "Naik dikit lagi, aku mau kita camping dekat dengan pinggiran gunung, pokoknya tempat yang kelihatan pemandangan awannya ada di bawah kita!"
"Negeri atas awan itu hampir pos empat, apa nggak terlalu dingin? Di sana kamu juga nggak bisa lihat matahari terbit!" timpal Surya dengan ekspresi tak nyaman.
Tempat pilihan Kiran terlalu terbuka, tenda mereka bisa disapu angin dari arah lembah, jika terjadi hujan badai pun sulit untuk mempertahankan tenda tetap berdiri. Belum lagi Kiran berencana tinggal beberapa hari, udara terlalu beku dan kabut di lokasi itu bisa dibilang tebal dan abadi.
"Aku bisa lari ke puncak kalau mau lihat matahari terbit nanti, tapi rasanya nggak perlu sih, udah sering! Aku cuma mau menikmati salah satu senja paling mempesona di sini, saat matahari masuk ke dalam gumpalan awan dan warnanya memijar menjadi kemerahan. Silau man …!" Kiran terkikik saat mengucapkan dua kata terakhir.
Ini memang bukan pendakian pertama Kiran. Bahkan, dalam setahun terakhir Kiran sudah mendaki gunung itu sebanyak tiga kali. Jalur yang dipilih pun tidak berubah, karena selain landai, jalur pilihan Kiran paling ramah untuk pemula. Yah, meskipun harus dilalui dengan waktu tempuh lebih lama dari pada jalur lain, karena jalur spesial itu setengahnya memutari gunung.
Kiran tidak tergabung dalam organisasi pecinta alam seperti dua temannya. Tempat kuliahnya tidak menyediakan unit kegiatan mahasiswa seperti itu. Tapi sebagai mantan sispala (siswa pecinta alam) saat SMA, Kiran masih mencintai dunia petualangan berbau gunung hutan.
Walaupun ada wadah untuk kegiatan alam terbuka bersama anak geologi dan pertambangan di kampus, Kiran tidak tertarik. Kiran merasa jiwanya tidak sama dengan mereka. Kiran lebih merasa bebas dengan anak-anak yang tergabung dengan organisasi pecinta alam karena latar belakang hobi, bukan karena jurusan akademik yang sama.
"Kabut mulai turun, jangan jauh-jauh ya, jarak pandang nggak sampai tiga meter." Surya mengingatkan Kiran yang ada di depan.
Septi menanggapi, "Biasanya jam segini cerah! Iya nggak sih?"
"Hm … iya, senyap juga. Kemana ya burung-burung yang biasanya berisik?" tanya Kiran menghentikan langkah sebentar untuk mengambil nafas. "Kok sepi banget!"
Surya mengamati sekitar, ke arah hamparan edelweis dan bunga-bunga gunung yang sedang mekar. Tidak ada satu serangga ataupun kupu-kupu yang hinggap di sana.
Sebagai petualang, insting alam Surya bekerja cepat. Dua hewan itu pasti bersembunyi karena adanya perubahan cuaca. "Mungkin akan ada badai."
Kiran mengedikkan bahu, ekspresinya biasa saja. Badai gunung sudah pernah dilaluinya dua kali. "Ya, angin juga berhembus ke timur. Semoga tidak terlalu buruk, ayo cari tempat ngecamp yang nyaman! Negeri atas awan sudah dekat!"
Kabut turun semakin banyak, menemani tiga pendaki yang berjalan tergesa untuk mencapai titik tujuan. Kiran berjalan paling depan sebagai leader. Tepat di belakangnya satu sosok mengikuti, seperti bayangan, putih serupa awan. Timbul tenggelam di antara pekatnya kabut yang juga berwarna putih.
"Kiran, Kiran …! Tunggu, kamu nggak boleh jauh-jauh!" seru Surya berusaha mengejar sahabatnya. Kepanikan melanda Surya sesaat setelah melihat sosok di belakang Kiran.
"Sur, tunggu aku!" teriak Septi tak kalah panik, kalut dan takut. "Jangan tinggalin aku, please!"
Surya berhenti, "Sep kamu lihat bayangan putih di belakang Kiran tadi?"
Nafas Septi hampir putus, tangannya mengusap tengkuk yang sedang merinding. "Iya aku lihat, itu bukan orang, kan? Kita nggak denger langkahnya, kan? Sepi banget kok dari tadi."
"Aku juga nggak tau itu apa! Masa iya kabut bisa bergerak seperti orang, jalannya pun persis di belakang Kiran. Ayo mikir aku harus gimana ini, Sep? Kiran udah jauh, kalau aku kejar dia, kamu yang bakal ketinggalan! Sama berbahayanya," dengus Surya dengan raut frustasi.
Septi menimpali, "Kiran kok cepet banget jalannya, dipanggil juga diam aja? Aneh!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
mama aya
aku mampir kak al
2024-10-30
1
Mia Roses
Kangen kiran, mampir lg ah...
2023-09-15
1
Tita Puspita Dewi
hadiroh
2022-12-15
0