NovelToon NovelToon

Candra Kirana

Liontin Bulan

Kiran tiba-tiba jalan keluar dari jalur pendakian, meninggalkan jalan kecil yang lebarnya tak lebih dari satu meter dan turun ke arah lembah. Langkahnya tergesa menerabas belukar dan tempat miring ke arah bunga abadi yang sangat menarik perhatian. Edelweis.

"Jangan petik edelweisnya, Ran!" ujar Septi mengingatkan. "Kena undang-undang konservasi kita nanti woi …!"

"Iya, biar bukan mapala aku juga tau soal itu, aku cuma mau lihat dari dekat. Ini bagus banget, Sep! Belum pernah lihat yang warnanya ungu begini. Rimbun banget lagi pohonnya!" seru Kiran menanggapi peringatan dari sahabatnya.

"Kamu kalau mau edelweis beli aja yang hasil budidaya warga, sama-sama abadi!"

"Emang yang budidaya ada yang warnanya ungu begini? Paling juga kuning!" timpal Kiran tak percaya. "Kamu tenang aja deh, aku lebih suka menikmati keindahan bunga ini dari atas gunung begini daripada dibawa pulang, yang ada nanti jadi bunga kering!"

"Aku juga sebenarnya heran kenapa orang suka menyimpan edelweis di kamar sebagai bunga kering!" Septi bergumam setuju.

Kiran menukas, "Mungkin karena ini bunga abadi. Kamu tau kan mitosnya kalau dikasih bunga ini kisah cinta dua manusia juga bakal abadi."

"Prettttt! mana ada kisah cinta abadi? Semua pasti terpisah oleh maut." Septi masih menunggu Kiran memperhatikan bunga-bunga yang didominasi warna ungu dari jalur pendakian.

Mereka tidak hanya berdua, tapi bertiga dengan Surya, pacar Septi. Pendakian dadakan itu dilakukan memang atas kehendak Kiran, yang ingin melampiaskan sakit hati dan kecewanya karena diputuskan Dodi, dengan cara tinggal di gunung selama beberapa hari. Tepatnya seminggu.

Dodi, pemuda yang sudah menjalin hubungan setahun lebih dengannya itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak, sulit dihubungi apalagi ditemukan. Setelah seminggu melakukan penyelidikan, Kiran baru tau kalau pacarnya sudah jalan dengan cewek lain yang lebih segalanya dibanding dirinya.

Tak ada pembicaraan panjang, pacar sialannya itu langsung memutuskan hubungan dan meminta Kiran untuk tidak mencarinya lagi begitu mereka bertatap muka. Benar-benar pengecut berkedok malaikat.

"Bukan oleh maut, tapi oleh pelakor!" kata Kiran sebal. Dia merasa hanya dimanfaatkan uangnya oleh pemuda brengsek yang baru saja jadi mantannya. "Tuh buktinya Dodol … baru liat cewek semokan dikit dah main putusin aku! Nggak ada dikit aja mikirin perasaan aku!"

Kiran memilah beberapa warna bunga yang bercampur dengan indahnya, antara merah muda dan ungu, dengan perasaan gembira. Pilihannya untuk naik gunung sudah tepat. Pemandangan indah tersaji di depan mata, dua sahabat dekatnya menemani, dan yang paling penting setelah ini dia bisa berteriak sesuka hati memaki Dodi.

Setelah puas membelai kelopak-kelopak kecil berwarna ungu itu, Kiran tersenyum sendiri. Dia berbicara lirih, "Aku juga ingin memiliki cinta abadi, pasangan abadi seperti yang ada di mitos-mitos itu."

Baru mau melangkah meninggalkan bunga-bunga indah di depannya, Kiran melihat sesuatu yang berkilau di dekat pangkal pohon edelweis yang masuk ke tanah. Kiran berjongkok untuk mengambil benda bundar itu. Sebuah koin. Kiran mengelapnya dengan cara menggosok ke celana, mengamati sebentar lalu memasukkannya ke dalam kantong jaket.

"Ambil apa kamu, Ran?" tanya Septi curiga. Dia melihat sahabatnya memungut sesuatu dari tanah dan menyimpannya. "Kamu tau, kita nggak boleh bawa apa-apa dari gunung, kan?"

Kiran berjalan santai ke arah Septi, "Iya … aku juga tau soal itu, nggak usah diingetin! Nggak semua anak geologi cinta mati sama batu-batuan trus main bawa pulang semua batu bagus yang ada di gunung. Aku tadi cuma nemu koin, tau koin kan kamu? Itu juga pasti orang iseng yang buang, buat ngelempar kupu-kupu atau sengaja ganggu serangga yang lagi dating! Maksudku skidipapap."

"Koin?" tanya Septi dan Surya bersamaan.

"Ya koin, dan kita bertiga tau kalau koin itu bisa dianggap sampah di gunung, bukan sesuatu yang alami terbentuk dari alam, jadi misal aku ambil koin itu sama sekali nggak salah, anggep aja bersih-bersih lokasi!" jelas Kiran acuh, menepuk kantong jaket tempat dia menyimpan koin lalu berjalan mendahului dua sejoli yang sudah jadi sahabatnya sejak SMA.

Tidak ada yang menyangkal, apa yang diucapkan Kiran memang benar. Septi dan Surya juga kadang membawa turun benda-benda seperti itu untuk dibuang di bawah saat turun, selain sampah plastik dan kaleng tentunya.

Surya yang berjalan paling belakang bersuara tegas, "Sebentar lagi pos tiga, kita jadi buka tenda dimana, Ran?"

Kiran berpikir sejenak sebelum menjawab, "Naik dikit lagi, aku mau kita camping dekat dengan pinggiran gunung, pokoknya tempat yang kelihatan pemandangan awannya ada di bawah kita!"

"Negeri atas awan itu hampir pos empat, apa nggak terlalu dingin? Di sana kamu juga nggak bisa lihat matahari terbit!" timpal Surya dengan ekspresi tak nyaman.

Tempat pilihan Kiran terlalu terbuka, tenda mereka bisa disapu angin dari arah lembah, jika terjadi hujan badai pun sulit untuk mempertahankan tenda tetap berdiri. Belum lagi Kiran berencana tinggal beberapa hari, udara terlalu beku dan kabut di lokasi itu bisa dibilang tebal dan abadi.

"Aku bisa lari ke puncak kalau mau lihat matahari terbit nanti, tapi rasanya nggak perlu sih, udah sering! Aku cuma mau menikmati salah satu senja paling mempesona di sini, saat matahari masuk ke dalam gumpalan awan dan warnanya memijar menjadi kemerahan. Silau man …!" Kiran terkikik saat mengucapkan dua kata terakhir.

Ini memang bukan pendakian pertama Kiran. Bahkan, dalam setahun terakhir Kiran sudah mendaki gunung itu sebanyak tiga kali. Jalur yang dipilih pun tidak berubah, karena selain landai, jalur pilihan Kiran paling ramah untuk pemula. Yah, meskipun harus dilalui dengan waktu tempuh lebih lama dari pada jalur lain, karena jalur spesial itu setengahnya memutari gunung.

Kiran tidak tergabung dalam organisasi pecinta alam seperti dua temannya. Tempat kuliahnya tidak menyediakan unit kegiatan mahasiswa seperti itu. Tapi sebagai mantan sispala (siswa pecinta alam) saat SMA, Kiran masih mencintai dunia petualangan berbau gunung hutan.

Walaupun ada wadah untuk kegiatan alam terbuka bersama anak geologi dan pertambangan di kampus, Kiran tidak tertarik. Kiran merasa jiwanya tidak sama dengan mereka. Kiran lebih merasa bebas dengan anak-anak yang tergabung dengan organisasi pecinta alam karena latar belakang hobi, bukan karena jurusan akademik yang sama.

"Kabut mulai turun, jangan jauh-jauh ya, jarak pandang nggak sampai tiga meter." Surya mengingatkan Kiran yang ada di depan.

Septi menanggapi, "Biasanya jam segini cerah! Iya nggak sih?"

"Hm … iya, senyap juga. Kemana ya burung-burung yang biasanya berisik?" tanya Kiran menghentikan langkah sebentar untuk mengambil nafas. "Kok sepi banget!"

Surya mengamati sekitar, ke arah hamparan edelweis dan bunga-bunga gunung yang sedang mekar. Tidak ada satu serangga ataupun kupu-kupu yang hinggap di sana.

Sebagai petualang, insting alam Surya bekerja cepat. Dua hewan itu pasti bersembunyi karena adanya perubahan cuaca. "Mungkin akan ada badai."

Kiran mengedikkan bahu, ekspresinya biasa saja. Badai gunung sudah pernah dilaluinya dua kali. "Ya, angin juga berhembus ke timur. Semoga tidak terlalu buruk, ayo cari tempat ngecamp yang nyaman! Negeri atas awan sudah dekat!"

Kabut turun semakin banyak, menemani tiga pendaki yang berjalan tergesa untuk mencapai titik tujuan. Kiran berjalan paling depan sebagai leader. Tepat di belakangnya satu sosok mengikuti, seperti bayangan, putih serupa awan. Timbul tenggelam di antara pekatnya kabut yang juga berwarna putih.

"Kiran, Kiran …! Tunggu, kamu nggak boleh jauh-jauh!" seru Surya berusaha mengejar sahabatnya. Kepanikan melanda Surya sesaat setelah melihat sosok di belakang Kiran.

"Sur, tunggu aku!" teriak Septi tak kalah panik, kalut dan takut. "Jangan tinggalin aku, please!"

Surya berhenti, "Sep kamu lihat bayangan putih di belakang Kiran tadi?"

Nafas Septi hampir putus, tangannya mengusap tengkuk yang sedang merinding. "Iya aku lihat, itu bukan orang, kan? Kita nggak denger langkahnya, kan? Sepi banget kok dari tadi."

"Aku juga nggak tau itu apa! Masa iya kabut bisa bergerak seperti orang, jalannya pun persis di belakang Kiran. Ayo mikir aku harus gimana ini, Sep? Kiran udah jauh, kalau aku kejar dia, kamu yang bakal ketinggalan! Sama berbahayanya," dengus Surya dengan raut frustasi.

Septi menimpali, "Kiran kok cepet banget jalannya, dipanggil juga diam aja? Aneh!"

***

Candra Kirana

Negeri atas awan yang dimaksud Kiran adalah lautan awan yang tersebar merata di sekitar pos empat. Di bawah kaki yang menapaki kemiringan gunung, gumpalan-gumpalan putih seperti kapas itu membentang sampai batas cakrawala. Membentuk kasur raksasa yang sepertinya sangat empuk dan nyaman untuk ditiduri.

Kiran selalu berdecak kagum saat sampai di lokasi favoritnya. Hamparan edelweis di kaki, sementara awan berarak ada di depan mata. Udara dingin bertiup ringan, kabut menipis dan matahari sore hampir jatuh di posisi terbaiknya.

Surga serasa ada di tempat itu, dan Kiran bukan hanya terpesona, tapi terhipnotis oleh keindahan alam yang tiada duanya. Kiran terkagum-kagum dengan apa yang tertangkap oleh matanya.

Selanjutnya, misi harus dijalankan untuk melegakan sesak yang menghimpit dari sejak beberapa hari lalu. Kiran ingin melepaskan bebannya di tempat itu dengan berteriak sepuas mungkin.

"Dodi … aku benci kamu!" Suara Kiran menggema sebentar sebelum hilang ditiup angin.

"Aku benci Dodi …! Aku benci Dodi! Mati aja kamu Dodol! Dasar pecundang! Bab1, anj*ng … aku sumpahin kamu nggak bahagia seumur hidup!"

Kutukan, sumpah serapah kotor, makian sekebon binatang masih terdengar dari mulut Kiran. Emosinya ditumpahkan dengan memaki matahari yang bersinar indah di depannya. Cahayanya nyata mengubah hamparan awan putih menjadi merah jingga. Senja indah yang belum rusak oleh tangan manusia.

"Aku benci kamu, Dodi!"

Akhirnya kata terakhir yang keluar hanya berupa bisikan, serta air mata yang menggenang di sudut mata. Tidak menetes karena Kiran menahannya, pantang menangisi pemuda yang sudah sangat menyakiti hatinya itu.

Surya dan Septi muncul saat Kiran sudah selesai dengan misinya, yaitu berteriak bebas mengumpat mantannya. Dua sahabat itu tersenyum, Kiran pasti kuat menghadapi sakit hatinya.

Suara yang terdengar tadi saat mereka masih di bawah menunjukkan semua emosi Kiran sudah tumpah di tempatnya. Biasanya Kiran akan membaik setelah aksi ekstrimnya berakhir.

Ekstrim? Ya, dua kali Kiran menyendiri di gunung selama seminggu untuk menyelesaikan persoalan hatinya. Kali ini pun Septi dan Surya hanya mengantar, mungkin menemani selama satu hari. Setelah mereka berdua kembali dari puncak, Kiran akan ditinggalkan sendiri.

Mungkin Surya dan Septi akan kembali naik jika Kiran butuh logistik tambahan atau minta ditemani. Sahabat mereka memang unik, dan juga sedikit aneh. Selalu memilih gunung untuk mencairkan masalah, seperti pertapa yang butuh ketenangan untuk memanjatkan doa.

"Udah dapat tempat ngecamp?" tanya Septi begitu sampai di sebelah Kiran. Ikut menikmati senja yang hampir hilang dimakan batas cakrawala. "Kamu nggak apa-apa, Ran?"

"Hm, di situ aja! Ada lahan baru seluas tiga tenda, kayaknya ada yang baru saja merusak alam untuk buka tenda, mereka membabat beberapa pohon kecil dan juga semak, ada bekas api unggun juga, tapi agak banyak sampah bekas mie instan sama botol minum."

"Huh, kenapa masih banyak saja pendaki nggak punya otak yang bertingkah kampungan seperti itu!" gerutu Septi kesal. Langkahnya menuju tempat yang ditunjuk Kiran. "Ngomong-ngomong kamu main ngilang kayak setan aja tadi, nggak nunggu aku sama Surya. Dipanggil juga nggak nyaut!"

Surya merangkul Septi agar tidak membahas hal itu lebih dulu. "Ayo kita buka tenda aja biar cepat istirahat, aku lapar!"

Bersama Surya, Septi membereskan bekas kekacauan yang ditinggalkan entah siapa di sana. Semua sampah dimasukkan dalam satu kantong plastik besar untuk dibawa turun esok hari.

Tak lama, dua tenda dome sudah didirikan, Septi mulai memasak di depan tenda. Surya mengumpulkan bekas sisa kayu api unggun yang masih lumayan banyak, menumpuknya di tempat yang sama agar bisa dipakai untuk menghangatkan badan nanti malam. Doa mereka hanya satu, semoga tidak hujan.

Kabut dan cuaca yang diprediksi buruk nyatanya tidak berarti apa-apa. Malam yang kian gelap menampakkan langit semakin cerah, kabut tipis dan udara yang tidak begitu dingin. Kiran masuk ke dalam tendanya dan menata perlengkapan tidur.

Kiran mengamati koin yang ditemukannya sore tadi. Jika diperhatikan lebih teliti, koin itu tidak seperti mata uang, tidak ada nominal yang tertera. Koin bulat itu lebih mirip seperti gambar bulan, dengan beberapa simbol yang melingkar penuh dan juga lubang kecil sebagai gantungan. Persis seperti liontin berbentuk bulan purnama.

Otak Kiran bekerja, dia melepas kalung dari tali prusik kecil yang dipakainya, lalu memasang liontin itu dan menggantung kembali di leher jenjangnya. Sama sekali tidak mencolok, umum seperti kalung yang biasa dipakai anak muda petualang pecinta alam.

Kiran menoleh ke belakang, tengkuknya meremang tiba-tiba. Ada udara hangat yang dihembus ke lehernya, seperti tiupan seseorang dari jarak dekat.

Gadis itu mengabaikan apa yang baru saja dirasakannya, dia beranjak meninggalkan tenda untuk membantu Septi memasak. Takut dengan sesuatu yang mistis bukanlah ciri dari seorang Kiran.

"Masak apa, Sep? Sorry kalau aku tadi jalannya kecepatan, tapi sumpah aku nggak dengar panggilan kalian."

"Masak nasi aja, lauk kita banyak, tinggal angetin. Kamu mau rendang apa opor?" tanya Septi. "Suara Surya sampai habis itu gara-gara neriakin kamu."

"Rendang enak itu, Sayang! Sama sambel goreng ati!" Surya inisiatif menjawab.

Kiran menatap Septi skeptis, "Aku serius nggak denger suara Surya, Sep! Aku pikir kalian jalan pas di belakangku, soalnya aku dengar suara nafas megap-megapmu!"

"Sudahlah, mungkin memang cuma salah paham," ucap Surya menengahi.

Waktu bergulir cepat, api unggun kecil menemani mereka bertiga selama satu jam. Hingga akhirnya Septi dan Surya memutuskan untuk masuk ke dalam tenda untuk istirahat. Sebelum pukul tiga mereka berdua berencana naik ke puncak untuk memburu matahari terbit.

Kiran termangu sendiri, di depan tenda, di dekat api yang sebagian besar sudah berupa bara. Kabut mulai pekat dan udara juga terjun ke titik beku. Dua rombongan pendaki yang lewat enggan untuk mampir meski sudah ditawari kopi gratis olehnya.

"Kayaknya pagi rame di puncak!" gumam Kiran pada dirinya sendiri. Tangannya cekatan memilah kayu bekas bakaran kemarin dan meletakkan di api unggun yang semakin kecil.

Pukul dua dini hari, Surya dan Septi berangkat menyusul pendaki terakhir yang berhenti sebentar untuk istirahat di dekat api unggun. Kiran harusnya pergi tidur, tapi rasa kantuk tak kunjung datang, masih teringat mantan dan banyaknya rasa sakit yang ditinggalkan.

Menikmati kesendirian adalah cara Kiran menyembuhkan diri. Butuh setidaknya lima hari untuk melepaskan seluruh penat hatinya. Dia selalu menganggap gunung adalah obat untuk semua sakitnya. Dinginnya, sunyinya, indahnya … semua disukai Kiran.

"Ehm … kok melamun, Mbak?" Satu sosok pendaki muncul dari bawah dengan nafas sedikit memburu. Berdiri tak jauh dari api unggun dengan tas ransel besar berwarna hitam. Kabut yang pekat sedikit menyamarkan kehadirannya.

Kiran menoleh dan tersenyum ramah, dia benar-benar tidak mendengar suara langkah kaki sebelum pemuda itu muncul. "Iya, mau ke puncak sekarang, Mas? Rame di atas udahan! Ada tiga rombongan baru lewat."

"Belum tau mau ke puncak apa nggak … agak capek," jawab pemuda itu mengatur nafas. Botol minum dikeluarkan setelah menurunkan ransel, lalu pemuda itu berjalan lebih dekat ke arah Kiran. "Istirahat di sini sebentar, boleh?"

"Bolehlah, silakan! Mas sendirian aja?" tanya Kiran sopan sambil mengamati wajah pemuda yang diperkirakan berumur 25 tahun itu.

Tampilannya seperti petualang umumnya, jaket flanel kotak-kotak warna merah hitam, celana lapangan dengan banyak saku, sepatu trekking, tak lupa bandana yang diikat dikepala, menutupi telinga.

Macho adalah kesan pertama yang dilihat Kiran dari sosok itu.

"Iya sendiri, lagi pingin menyendiri. Mbak berapa orang?" tunjuk pemuda itu pada tenda yang sebelumnya ditempati Surya dan Septi.

Kiran menjawab, "Oh, dua teman saya baru saja naik, maklum pemburu sunrise puncak gunung."

"Mbak nggak ikut muncak? Konon pemandangan matahari terbit gunung ini adalah salah satu yang terindah dan terbaik."

Dengan gelengan ringan Kiran menjawab, "Besok mungkin, puncak juga nggak bakal pindah kemana-mana, udah pernah muncak juga beberapa kali sebelum ini."

Pemuda itu tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Iya bener banget. Ohya, nama saya Candra. Mbaknya siapa?"

Kiran menyambut uluran tangan pemuda itu, terasa sangat dingin dalam jabatan eratnya. "Kirana …."

Mereka saling bertatapan sebentar. Kiran memutuskan pandangan lebih dulu. Dia segera melihat api unggun setelah degup jantungnya mendadak melonjak dua kali lebih cepat.

Mata pemuda itu … tidak bisa Kiran jelaskan, Kiran merasa ada yang asing, tidak biasa dan tidak pernah ditemuinya pada pria manapun. Maniknya segelap jelaga, seperti lorong hitam kecil tanpa ujung dalam remangnya purnama.

"Nama kita memiliki arti yang sama, kok bisa ya?" Candra menunjuk langit berawan hitam yang bersinarkan bulan penuh di baliknya. Cahaya temaram menyinari wajahnya saat mendongak.

"Bulan." Mereka bicara bersamaan dan kembali bersirobok mata. Kiran tersenyum, tangannya reflek saling menggosok untuk menghalau dingin.

"Dingin ya? Mau kopi?" tanya Candra ramah. Dua tangannya dengan cekatan mengeluarkan perlengkapan memasak. Tak lama, dua gelas kopi hitam tersaji di depan mereka. "Ayo mumpung masih panas!"

Kiran mengambil gelasnya, menghirup aroma kopi yang wanginya sangat tidak biasa. Hampir mirip dengan bau wangi pandan, tapi setengahnya juga berbau melati, atau mungkin kenanga?

Sedikit ganjil dari semua aroma kopi yang pernah diminumnya. Namun, Kiran penasaran dan ingin segera mencicipinya.

Kiran menyeruput satu teguk, lalu ....

***

Kopi dan Jagung

Satu hal yang dirasakan Kiran saat meneguk kopi buatan Candra adalah tersiksa. Rasa pahitnya tidak bisa diterima lidah Kiran. Bahkan dari semua kopi tanpa gula yang pernah diminumnya, belum ada yang rasanya seberat itu. Kopi buatan Candra rasa getirnya sungguh menyakitkan. Tidak salah jika dia memuntahkan cairan hitam itu di tegukan pertama.

"Maaf," kata Kiran tak enak hati. Rasa penasaran membuatnya mengulang menyeruput kopi tersebut.

Kali ini, dengan mata setengah melotot, Kiran berusaha keras menelan cairan hitam pekat yang sudah ada di mulutnya. Butuh beberapa detik untuk menetralisir rasa pahit dan tidak nyaman yang ditimbulkan oleh kopi yang tak seberapa banyak jumlahnya itu. Kiran bahkan memejamkan mata sesaat karena serangan sesak yang tiba-tiba.

Kiran masih menatap gelasnya dengan ekspresi tak percaya hingga nafasnya kembali lega.

Detik berikutnya kepala Kiran terasa pusing, matanya sedikit buram saat menatap Candra yang tersenyum manis padanya. Kiran mengerjap beberapa kali untuk mendapatkan fokus penglihatan, hingga harus menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan untuk mengurangi beban berat di kepalanya.

Setelah beberapa waktu, Kiran juga tersenyum manis, perasaan tak nyamannya menghilang, berganti dengan sensasi yang setara dengan rasa suka terhadap kopi itu. Kiran mendekatkan gelas kopinya ke bibir, meniup-niup sebentar agar tidak terlalu panas, lalu kembali menyeruputnya.

Kali ini rasanya menakjubkan. Jika dibandingkan dengan semua kopi yang pernah disesap Kiran, kopi buatan Candra menduduki peringkat pertama. Enak, manis, kental dengan sejuta kenikmatan yang tak pernah didapat Kiran sebelumnya.

"Gila, kopinya bisa seenak ini ya, Mas? Eh … aku panggil kamu apa nih, langsung nama? Keliatannya kita seumur." Kiran tak berhenti menghirup aroma kopi dari gelasnya sambil terus menyeruput sedikit demi sedikit.

"Iya panggil nama aja biar akrab. Aku kira tadi kamu nggak doyan kopi hitam, soalnya ekspresi kamu kayak gimana gitu pas minum!" ujar Candra meringis bersalah.

Anehnya Kiran lupa rasa pertama dari kopi yang sempat membuatnya sesak nafas. "Masa sih, enak kok … enak banget malahan! Merk apa sih kopinya, biar aku bisa beli nanti buat di kost. Biasanya aku emang nggak minum kopi hitam, tapi ini bisa jadi pengecualian."

“Nggak ada di pasaran, ini kopi racikan keluarga, jadi ya kamu nggak bakal nemuin kopi itu di pasaran, selain dari aku tentunya! Tapi nggak semua orang bisa minum kopi keras buatan keluargaku loh, apalagi cewek!”

Dengan tawa meremehkan Kiran menukas, “Aku termasuk pecinta kopi, jadi lidahku mudah beradaptasi. Kalau kamu nggak keberatan aku beli deh!”

Candra tertawa mendengar nada sombong gadis di depannya, “Kamu nggak takut kecanduan? Bukan kopi biasa soalnya."

"Justru rasanya yang luar biasa ini makanya aku tertarik. Tapi ngomong-ngomong kamu pendaki dari mana sih? Mapala bukan, dari klub pecinta alam apa freelance?"

Sebelum menjawab, Candra menatap Kiran lama. "Freelance."

"Sering kesini?" Kiran tak bisa menghentikan matanya untuk melihat wajah pemuda itu lebih jelas. Jarak duduk mereka tak begitu jauh, tapi entah mengapa wajah Candra tidak bisa terlihat jelas, seolah selalu ada kabut tipis yang menyamarkannya.

"Begitulah, aku lumayan hafal jalur-jalur pendakian gunung ini karena seringnya berada di sini."

Kiran bertepuk tangan kecil untuk memuji, "Wow hebat banget, emangnya rumah kamu dimana?"

"Masih kawasan lereng gunung ini juga, nggak jauh!"

"Kamu juga sering ndaki sendiri?" tanya Kiran penasaran.

"Iya aku lebih suka naik sendiri, tapi kalau sekarang suka berdua karena ada teman mengobrol! Aku buka tenda di sini ya, kayaknya mau hujan kabut bentar lagi!"

Kiran berdiri untuk membantu, "Nggak perlu minta izin kali, gunung ini bukan milikku pribadi!"

Candra mengeluarkan seluruh isi ranselnya, menata tempat di sebelah tenda Kiran dan mulai mendirikan tenda dengan bantuan Kiran, dan juga memasang perlengkapan tidurnya. "Ya nanti nggak enak ganggu kenyamanan kamu sama teman-temanmu!"

"Ih, ya nggak lah! Ngomong-ngomong kamu naik sendiri tapi bawaannya banyak banget, emang mau nginep berapa hari di sini sampe tas penuh gitu?"

"Belum ada rencana mau berapa hari, ini kebanyakan cuma bahan makanan kok. Eh, aku bawa jagung dari bawah, kita bakar aja ya buat isi perut!"

Satu plastik hitam besar dikeluarkan Candra dari dalam tenda, dia mengambil beberapa isinya dan langsung membuat persiapan pembakaran di atas bara api unggun.

Kiran melihat dengan takjub, "Niat bener kamu mau weekend di gunung sampai bawa sekantong jagung!"

"Loh ini nggak seberapa banyak, aku pernah bawa satu karung. Aku sengaja buka perapian trus mulai bakar-bakar, nawarin setiap pendaki yang naik kayak orang jualan. Jagung mas … jagung mbak, jagung, jagung!" Candra terkikik menirukan pedagang asongan yang biasa ada di terminal saat menawarkan minuman.

"Wah, langsung ramai dong. Nggak bayangin kamu langsung diserbu pendaki trus makan jagung bersama sambil ngopi!"

Candra seketika memasang wajah muram, suaranya terdengar masam saat memberikan penjelasan. "Boro-boro mereka mau mampir gabung, malah ada yang langsung lari kebirit-birit. Padahal aku sampai teriak gini, gratis mas, gratis mbak jagungnya … gratisan ini alias nggak usah bayar!"

Kiran menertawakan ketidakberuntungan Candra. "Mungkin dikira bukan pendaki betulan kali, Can! Atau mereka takut diracun, dibuat nggak sadar trus kamu rampok setelah makan jagung bakaran kamu."

Tanpa tersinggung, Candra tertawa geli. "Mungkin juga, namanya juga orang belum kenal."

Aroma jagung bakar merebak memenuhi area camping, Candra mengoleskan bumbu berwarna kekuningan seperti mentega sebagai sentuhan akhir. Kirana benar-benar dibuat lapar oleh pemandangan di depannya.

Candra terlihat ahli membolak balik jagung di atas bara agar mendapatkan tingkat kematangan yang pas, tidak mentah atau terlalu gosong. "Kamu mau rasa asin apa manis, Kirana?"

"Aku biasa dipanggil Kiran saja. Coba yang manis dulu deh … tapi aku mau yang asin juga. Eh beneran kamu kayak penjual aja sampai nawarin beberapa rasa jagungnya!" ujar Kiran terkikik-kikik. "Kalau jualan di alun-alun pasti banyak cewek yang antri beli nih."

Kiran hampir memuji kalau penjualnya tampan pasti dagangan laku keras. Tapi benarkah Candra berwajah tampan? Sedari tadi Kiran tidak mendapatkan kejelasan bentuk wajahnya. Kata tampan itu muncul hanya dari suara pikirannya.

Sekali lagi Kiran mencoba memperhatikan wajah Candra yang sedang menunduk mengurusi jagung bakar. Sepertinya memang tampan, pikir Kiran gemas. Cahaya bulan yang tertutup awan hitam semakin menghalangi pandangannya.

Kiran berjanji akan melihatnya lebih jeli saat pagi, memotretnya jika perlu.

"Nih udah mateng!" Candra menyodorkan satu jagung rasa manis.

Kiran dengan tak sabar meniup jagung beraroma madu cengkeh itu. Mencicipi setelah agak dingin. Namun, sensasi terbakar di tenggorokan sangat terasa saat Kiran berusaha menelannya. Air mata Kiran sampai keluar karena saking panasnya. Bukan karena jagung itu baru saja dibakar, tapi panas melebihi rasa pedas yang pernah dimakannya. "Aduh …!"

"Pelan-pelan, masih panas ini!" Candra mendekat, mengusap punggung Kiran untuk mengurangi sensasi tidak enak, sedikit memijat leher belakang Kiran agar lebih membantu.

Hawa dingin dari tangan Candra meresap ke kulit Kiran. Terlalu dingin untuk tangan manusia, tapi bisa saja hal itu terjadi karena terpengaruh udara gunung yang membekukan tulang. Apalagi mereka berdua tidak memakai sarung tangan.

Selanjutnya acara makan jagung berdua menjadi lebih nikmat setelah Kiran terbiasa dengan rasanya. Bukan lagi panas, tapi gurih manis dan Kiran suka. "Enak banget!”

Kiran menghabiskan tiga dan Candra dua. Kiran meminta dua lagi untuk temannya yang langsung dibakarkan Candra dengan senang hati. "Besok aku bawain lagi kalau masih mau!"

"Loh kamu mau turun trus naik lagi gitu?"

Candra terkekeh, "Iya juga, kan capek kalau naik turun dalam satu hari. Atau kamu mau ikut ke rumahku buat ambil jagungnya?"

"Kapan-kapan aja, Can! Ini juga udah cukup. Kamu naik nggak nih, udah mau pagi loh!" Kiran melirik arlojinya sekilas. Hampir pukul empat. Dari sejak ada Candra belum ada lagi pendaki yang naik ke puncak, padahal biasanya semakin pagi semakin banyak.

"Kamu ngantuk ya?" tanya Candra lirih. Dia juga menyadari hari hampir pagi.

Kiran mengangguk, entah mengapa matanya mendadak sulit terbuka. Rasa kantuk menyerang tanpa bisa ditahan.

Kiran jatuh tertidur begitu saja di depan Candra, tanpa alasan yang jelas. Kiran bahkan belum sempat cari tau soal parfum Candra yang mengganggu penciumannya.

Dari tadi, hidung kecilnya kembang kempis menghirup aroma wangi serupa dupa, tapi Kiran selalu saja lupa saat akan menanyakannya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!