Mega Di Antara Biru Dan Jingga
...---...
Bobby Rudi Darmawan, di panggil Biru. Saat bayi, ia di temukan oleh warga yang sedang berpatroli malam. Kepala desa dan istrinya mengadopsi Biru sebagai hadiah ulang tahun pernikahan yang ke-10. Mereka mengambil keputusan itu karena sang istri tidak dapat mengandung seorang anakpun akibat sebuah kecelakaan.
Biru tahu kenyataan tentang dirinya saat berusia 7 tahun, di hari pertama masuk sekolah. Sejak saat itu, ia benci berinteraksi dengan manusia lain dan lebih suka menyendiri. Jika ada yang mendekatinya, ia akan berlaku kasar atau tidak menghiraukan mereka sama sekali. Hanya seorang gadis bernama Mega yang tidak menyerah dengan perlakuannya. Seiring berjalannya waktu, Biru justru merasa lengkap dengan adanya Mega. Mega yang hangat mampu menjadi penyeimbang untuk Biru yang begitu dingin.
...---...
“Biru!”
Langkahnya terhenti.
“Udah di bilangin berkali-kali, kalau jalan tuh lihat depan. Kebiasaan deh!”, gerutunya sambil cemberut. Imut.
“Yaaaa yaaa....”
“Ah!”, seru Mega.
“Napa?”
“Gue lupa bawa buku kimia. Gimana nih?”
“Sibuk ngomel sih.”
Mendengar perkataan Biru barusan, Mega sontak melirik tajam.
“Nih!”, ucap Biru sambil melempar buku kimia pada Mega.
Mega berjingkrak kegirangan dan langsung memeluk Biru. Membuat jantung Biru berdiskoria.
“Lu punya dua?”
“Pinjem si Arif tadi.”
“Lah terus si Arifnya?”
“Dia bolos. Mau kencan katanya.”
“Jangan ikut-ikutan ya?”
“Enggak lah.”
“Awas aja kalau ikut-ikutan!”
”Ngapain? Kan lu adanya di sekolah.”
“Ha? Lu ngomong apa?”
Mega tidak mendengar ucapan Biru karena sibuk memasukkan buku ke dalam tasnya.
“Nggaaakk… Buruan, kurang 5 menit.”
“Tumben panik?”
“Piketnya pak Bowo.”
“Ooohhh... Pantes.”
Sedikit informasi. Pak Bowo adalah guru ketertiban. Sama seperti gelarnya, ia sangat tertib dan tanpa ampun. Biru pernah berurusan dengan beliau dan membuat Mega menceramahinya selama seminggu penuh.
...***...
Di kelas XI IPA.
Kriiiiiiinnngggg... Bel berbunyi dan tak lama bu Vita, guru kimia, memasuki ruang kelas bersama seseorang.
"Beri salam.”
Mega selaku ketua kelas memberi aba-aba yang serempak di ikuti oleh seluruh siswa.
"Selamat pagi bu.”
"Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, pindahan dari kota.”
Para siswi sangat gaduh melihat murid baru ini. Hal yang lumrah terjadi pada manusia ketika ada manusia lain yang good looking di hadapan mereka.
"Silahkan memperkenalkan diri.”
“Baik bu.”
Hening seketika.
"Dasar betina.", gerutu para murid laki-laki.
"Hai. Namaku Jingga. Pindahan dari Jakarta.”
"Jingga udah punya pacar belum?”, tanya Melinda.
...---...
Melinda adalah murid populer di sekolah, anak dari pemilik pabrik rokok terbesar di kota ini. Kebanyakan wali murid di kelas ini bekerja di pabrik milik ayahnya. Karena itu ia sering berlaku seenaknya pada murid lain. Ia anak orang kaya tapi isi otaknya hanya bagaimana cara bergaya saja.
...---...
“Hmm... Belum. Mungkin bakal nemu di sini.”
“Arrrgghhhh\~\~\~\~\~", para gadis teriak kegirangan.
Biru otomatis melihat ke arah Mega yang tersenyum melihat tingkah murid baru itu.
“Karena Arif tidak masuk, Jingga sementara kamu duduk sama Biru.”
“Baik bu.”
"Nanti jam istirahat yang laki-laki tolong bantu Jingga ambil ektra meja kursi di gudang ya.”
"Baik bu.”
Kesal. Biru semakin kesal.
“Hai.”
Biru tidak menghiraukan sapaan Jingga. Namun tiba-tiba Mega melotot pada Biru, mengisyaratkan bahwa ia harus berlaku baik pada Jingga.
“Hai.”, jawab Biru.
“Baiklah anak-anak, kita lanjutkan pelajaran yang kemarin ya. Karena kemarin masih banyak yang belum mengerti, untuk mempersingkat waktu kita akan mengerjakan soal secara berkelompok. Silahkan buat kelompok dengan 5 anggota.”
Tanpa di minta, Mega akan selalu memasukkan Biru ke dalam kelompoknya. Meskipun anggota lain merasa tak nyaman dengan keberadaan Biru tapi mereka tidak dapat menolak karena satu kelompok dengan Mega adalah sebuah jackpot. Karena Mega adalah murid unggulan di sekolah ini.
Kelompok beranggotakan 5 orang sudah terbentuk. Selain Biru dan Mega, tiga lainnya adalah Desi (teman sebangku Mega), Sinta (anak ibu kantin) dan yang terakhir adalah Jingga. Lagi-lagi Biru kesal.
“Kenapa dia juga?”, tanya Biru.
“Diam!”, jawab Mega.
Biru terdiam. Desi dan Sinta cekikikan, mereka selalu puas saat Biru tidak berkutik jika berhadapan dengan Mega.
“Desi\~ Tukar kelompok dong.”, bujuk Melinda yang tiba-tiba mendatangi kelompok Mega.
“Kenapa?”, tanya Mega.
“Nggak adil dong kalau satu kelompok isinya cuma yang pinter-pinter aja. Orang bodoh kayak gue harusnya yang satu kelompok sama murid nomor 1 kayak elu.”
Sebenarnya semua sudah tahu alasan Melinda ingin berada di kelompok ini adalah Jingga.
“Nggak apa-apa Mey, aku udah ngerti kok bagian ini. Lagipula di sana ada Bagas. Dia kan juga udah bisa semua soal ini.”, kata Desi.
“Ih Desi baik deh. Makasih ya.”, ucap Melinda yang langsung menggeser bangku ke sebelah Jingga.
“Hai, aku Melinda. Panggil saja Meli.”
“Jingga.”, sahutnya dengan senyum.
Sikap ramah Jingga membuat Biru sibuk bertarung dengan pikirannya.
Teeeetttt….Teeeetttt… Sudah waktunya jam istirahat. Bu Vita mengakhiri pelajarannya. Tanpa basa-basi Biru langsung berdiri dan pergi meninggalkan kelas.
“Bi! Bantuin beres-beres dulu dong. Ih!”, teriak Mega yang tak di pedulikan.
Sebagai ketua kelas, Mega bertanggungjawab membereskan dan mengembalikan peralatan praktek.
“Lagian siapa suruh masukin dia ke kelompok ini. Ngrepotin aja.”, gerutu Melinda.
“Orang yang ngerebut tempat orang lain nggak malu ya ngomong kayak gitu?”, balas Mega sambil membereskan buku dan alat tulis.
“Udah-udah. Yang penting tugasnya selesai kan.”, ucap Sinta menengahi.
Melinda langsung pergi setelah membereskan peralatannya sementara Sinta harus segera pergi membantu ibunya berjualan.
“Kamu ke kantin dulu aja Sin, biar aku beresin sisanya. Kasian nanti bibi kuwalahan.”
“Nggak apa-apa nih?”
“Biar aku yang bantuin Mega.”, kata Jingga.
“Tuh kan. Aku udah dapat asisten. Udah pergi aja. Keburu rame kantinnya.”
“Makasih ya Mey, Ngga.”
“Sama-sama.”
Sinta bergegas pergi, menyisakan Mega dan Jingga yang sibuk membereskan peralatan kelas.
“Kamu Mega kan ya?”, tanya Jingga memecah keheningan.
“Iya.”, jawab Mega ramah.
“Mmm... Setelah ini bisa tolong kasih aku panduan tur keliling sekolah?”
“Haha... Bahasamu itu loh.”
“Abis kamu kelihatan tegang banget.”
Mega tersenyum.
“Ok setelah ini aku bakal ajak kamu keliling sekolah.”
“Terimakasih.”, ucap Jingga dengan nada yang lucu.
“Apasih.”
Hanya percakapan biasa namun Mega tak berhenti senyum di buatnya.
“Ok udah beres semua. Tujuan pertama kita adalah ruang alat praktek.”
“Siap komandan!”
Mega melaksanakan tugasnya sebagai tour guide dengan penuh senyum dan tawa. Tanpa mereka sadari, sepasang mata sedang menatap tajam penuh kekesalan dari pojok ruang kantin.
“Argh! Ngapain sih masuk sini segala!”, teriak Biru.
“Kaget bangsat! Hampir aja keselek gue.”, teriak Arif yang kaget dengan teriakan Biru.
“Arrggghhh!!!”
“Bro, aman?”
“BODO!”
Biru berjalan pergi dengan penuh kekesalan.
“Salah obat kayaknya.”, gumam Arif sambil melanjutkan makan baksonya.
Arif adalah satu-satunya teman sekolah yang dekat dengan Biru. Bukan karena Biru baik padanya tapi karena Arif adalah tipe manusia bodo amatan.
“Rif, lu nggak budeg ya?”, tanya Anto yang makan di belakang Arif.
“Si Biru? Cuekin aja. Tingkah homo sapiens lagi cemburu doang itu.”
“Tapi kenapa sampai sekarang mereka nggak pacaran aja sih?”
“Mana gue tahu. Lu pikir gue doppelgangernya si Biru.”
“Ya kali aja dia cerita.”
“Abisin aja tuh makanan daripada ngurusin si Biru lu.”
Tidak pernah sekalipun Biru cerita tentang apapun yang terjadi di hidupnya namun anehnya Arif selalu memahami situasi dan kondisi Biru. Intinya, Arif adalah teman yang peka.
...---...
Arif Narendra Putra, anak dari satu-satunya pasangan bidan dan tentara di desa ini. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Dulu ia adalah anak yang sangat congkak dan sombong. Merasa bahwa profesi orang tuanya adalah yang terbaik di desa sehingga membuatnya di benci semua orang. Bahkan saat orang tuanya meninggal, tidak ada yang mau berteman dengannya. Mereka yang sebaya dengannyapun hanya datang untuk membulinya.
Suatu ketika ia di buli dengan sangat parah. Anak-anak mendorongnya hingga tercebur ke sungai. Saat itu ia sudah menyerah dengan hidupnya namun sebuah tarikan tangan menyelamatkan hidupnya. Bisakah kau tebak siapa penyelamatnya? Ya, ia adalah Biru. Kebaikan inilah yang membuat Arif tidak pernah sekalipun merasa sakit hati dengan perlakuan Biru karena Arif sudah tahu bagaimana sejatinya Biru.
...---...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments