15

23:00.

Avisa langsung maju menepis kesalahpaham itu.

“Avisa.”, katanya.

“Oh maaf maaf.”, sahut mas Indra.

“Maaf mas, aku anter dia dulu.”, kata Biru sungkan.

“Kenapa buru-buru?”

“Udah malem mas.”

“Ajak masuk dulu.”

Biru yang sangat menghormati mas Indrapun tidak dapat menolaknya. Dengan terpaksa ia mengajak Avisa masuk ke ruangannya. Biru tidak akan membiarkan Avisa ikut berkumpul di ruang pameran dan menyebarkan berita yang aneh-aneh.

Kriiinnnggg.... Sebuah panggilan masuk ke hp Biru.

“Halo?”

“Bro! Tadi gue lu tinggalin! Si Avisa udah ngirim alamat, eh kalian nggak ada! Kalian kemana sih, heran gue!”, teriak Arif tanpa putus.

“Galeri.”, jawab Biru singkat dan langsung menutup sambungan teleponnya.

Biru melihat Avisa yang dengan tenang berkeliling ruangan melihat satu per satu lukisan yang belum ia publikasikan. Lalu berhenti di depan salah satu lukisan.

“Gue nggak suka yang ini.”, celetuknya yang langsung mengambil kuas dan mencelupkannya ke tinta hitam lalu mencoret lukisan tersebut.

Biru yang melihat itu sontak berlari dan mencengkeram tangan Avisa yang akan mencoret lebih banyak lagi. Lukisan yang berjudul 'langit’ itu menggambarkan seluruh perasaan sukanya pada Mega.

“Lu gila!”, bentaknya.

“Lu masih mau nyimpen lukisan ini? Setelah semua yang terjadi?”

Biru terdiam, perlahan melepas cengkeramannya dari tangan Avisa.

“Kalau bikin bahagia, kita berhak nyiptain atau nyimpen yang indah-indah. Tapi kalau bikin sakit, kita juga berhak menghancurkannya.”, kata Avisa yang lanjut mencoret lukisan tadi.

Biru hanya diam melihat. Sejenak mengingat perasaan indah yang dulu mendasari terciptanya lukisan ini.

Tak lama Arif datang dan membuka pintu dengan keras.

“Dasar penghianaaaatttt!!!”, teriak Arif.

Ia menutup mulutnya saat sadar bahwa Avisa sedang berada di ruangan itu bersama Biru. Avisa yang melihat itu langsung memelototinya. Dengan sisa rasa malu yang di miliki, Arif melangkah mundur dan hendak menutup pintu. Namun Biru menyadarinya.

“Mau kemana lu?”, tanya Biru yang mulai berpaling dari ‘langit’nya yang kini penuh dengan coretan hitam.

Arif cengengesan. Tidak jadi keluar ruangan. Ia masuk kembali dan menutup pintu.

“Lu makan apa sih Rif? Hobi banget teriak-teriak.”, Avisa membuka pembicaraan.

“Hehe... Eh, lu kok belum pulang? Anak cewek keluar sama cowok sampe malem. Mau jadi apa?”, goda Arif.

“Mau jadi istrinya lah. Sirik banget lu jadi jomblo.”

Avisa jika di gabung dengan Arif maka akan menjadi mesin pembicara yang tidak ada matinya.

“Haa... Mulai.”, kata Biru menghela nafas panjang.

Biru perlahan lupa dengan rasa sakit di hatinya.

“Darimana lu Rif?”

“Dari tempat yang lu kasih alamatnya tadi. Gila lu ya. Gue udah kesana, cuma ada dua sejoli lagi pelukan. Lu nggak lihat tuh motor butut gue udah hampir meregang nyawa?”

Mendengar kata ‘pelukan’ dari cerita Arif membuat Avisa melirik pelan pada Biru yang hanya diam berpura-pura tidak mendengarkan.

“Pelukan?”, tanya Avisa memperjelas.

Arif mulai menyadari bahwa saat itu mulutnya sudah lepas kendali. Sesegera mungkin ia mengganti arah pembicaraan mereka.

“Eh lu laper nggak sih?”, tanya Arif.

“Pelukannya mesra nggak?”

Arif mulai panik menghadapi kelakuan Avisa. Tapi tiba-tiba Biru bersuara.

“Gue udah denger. Nggak usah di ulang-ulang.”, katanya sambil berjalan keluar ruangan.

Avisa tersenyum penuh kemenangan

“Lu nih hobi banget bikin Biru ngamuk.”, kaata Arif.

“Biarin.”

“Biar apa?”

“Biar dia cepet lupa sama Mega terus cepet jadi punya gue. Lu banyak tanya ya? Udah tau juga.”, cerocos Avisa.

“Ya lu sabar kek. Orang baru aja putus udah di cepet-cepetin aja.”, kata Arif tak kalah nyerocos.

“Tahu darimana lu mereka putus?”

“Kalau belum putus, nggak mungkin Mega mau di peluk-peluk cowok lain. Biarpun hatinya terbagi dua tapi Mega tuh orangnya sangat bisa menghargai pasangannya.”

“Sok tahu.”, ucap Avisa jengkel.

“Tahu lah. Gue tahu semua yang mereka rasain.”

“Dukun lu?”

Biru masuk ke dalam ruangan sambil membawa tiga cangkir kopi lalu menatap tajam pada keduanya. Menghentikan obrolan mereka yang tidak akan ada habisnya.

“Wauw, berasa tamu gue.”, kata Avisa.

“Emang lu tamu. Lu cantik tapi sableng ya.”, hardik Arif.

“Kalian nggak bisa diem?”, ucap Biru dengan kepala yang sudah mulai mengurat, kesal.

“Nggak.”, jawab Arif dan Avisa secara bersamaan.

Biru semakin kesal sedang kedua mesin pembicara di hadapannya malah tertawa kompak.

“Eh kalian pada bisa main kartu?”, tanya Avisa.

“Bisa dong.”, jawab Arif.

“Main yuk.”

“Cepet pulang sana.”, usir Biru.

“Takut lu?”

Mendengar pertanyaan Avisa, Biru merasa tertantang. Entah bagaimana sistemnya namun bersama Avisa, Biru menjadi tidak seperti biasanya.

Tengah malam itu mereka bertiga bermain kartu, menyeruput kopi dan tertawa bersama. Hingga tak terasa jam dinding sudah menunjuk angka 3. Arif mulai tertidur dan di susul oleh Biru.

“Gue nggak bakal biarin lu terluka lagi.”, bisik Avisa di hadapan Biru yang sudah terpejam.

Avisa pergi tanpa berpamitan pada mereka. Tanpa ia sadari ternyata Biru mendengar ucapannya barusan. Biru membuka matanya yang sejak tadi ia paksa untuk menutup dan diam menatap Avisa yang masih terlihat dari sela-sela pintu yang akan ia tutup. Anehnya, tubuhnya spontan bangun dan bergegas menahan gagang pintu. Avisa yang kaget langsung menoleh. Mereka saling pandang dengan gagang pintu sebagai pegangannya.

“Gue anter.”, kata Biru yang langsung berjalan keluar mendahului Avisa.

Avisa mengikuti Biru tanpa berkaata apapun. Seluruh penghuni galeri sudah tidur, tak terkecuali mas Indra. Ia tertidur di sebuah sofa di ruang pameran, Biru mematikan lampu yang masih menyala lalu bergegas keluar.

Di perjalanan, Biru dan Avisa hanya saling diam. Bahkan Avisa yang selalu bertingkah tidak terdengar suaranya sedikitpun. Sampai mereka tiba di depan sebuah gerbang besar dengan rumah yang megah. Sebagai manusia normal, Biru takjub melihatnya.

“Kenapa? Lu suka rumah ini?”, Avisa bertanya dengan nada yang tidak enak di dengar.

Biru menatapnya. Terlihat jelas bahwa ia tidak suka jika orang lain hanya fokus pada hartanya.

“Gue pulang dulu.”, pamit Biru sambil turun dari motor.

“Mau jalan?”

“Gue telepon Arif biar dia jemput gue.”

“Bawa aja motornya. Besok jemput gue.”

Tanpa merespon perkataan Avisa, Biru menyalakan motor dan langsung pergi begitu saja. Avisa melihat Biru yang semakin menjauh dengan senyuman cerah di wajahnya. Setelah Biru taak terlihat lagi, Avisa baru membuka pagar dan masuk ke dalam rumah.

“Dari mana lu?”, tanya Jingga mengagetkan Avisa yang sedang menutup pintu.

“Kaget gue!”, teriaknya.

“Kok gue nggak denger suara motor lu?”

“Lagian ngapain sih lu jam segini masih bangun?”

“Vi!”, bentak Jingga yang mulai kesal pada Avisa.

“Apa?”, teriak Avisa membentak balik dan menatap tajam pada Jingga.

Jingga menghela nafas panjang.

“Biar gimanapun lu adik gue. Kita disini cuma berdua. Gue berhak bertanggungjawab atas elu.”

Avisa masih menatap tajam pada Jingga lalu pergi begitu saja menuju kamarnya di lantai dua.

“Abis dari galerinya Biru. Motor gue suruh bawa dia soalnya dia tadi nganter gue.”, terang Avisa sebelum menutup pintu kamarnya.

Jingga yang masih berdiri di ruang tamu lalu kembali ke kamarnya dengan perasaan lega karena adiknya mau berkata terus terang padanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!