Biru mengaktifkan hpnya kembali. Berniat mencari hiburan disana. Namun beberapa pesan terus masuk tanpa henti.
Avisa :
Alesan
Jangan ngehindar deh!
Lu dimana?
Woy!
Avisa kembali menelepon Biru berkali-kali. Lalu mengirim sebuah foto Biru yang sedang duduk di bangkunya saat ini.
Avisa :
Ketemu
Biru menoleh kesana kemari mencari keberadaan cewek gila yang terus mengganggunya ini.
Avisa :
Nggak usah celingukan
^^^Biru :^^^
^^^Jangan ganggu gue^^^
Avisa :
Gue nggak niat ganggu kok
Lagi galau ya?
Gara-gara Mega?
^^^Biru :^^^
^^^Lu tahu Mega?^^^
Avisa :
Gue tahu semua tentang lu
Orang tua lu
Teman lu yang cuma 2 biji
Dan Mega yang sekarang udah mulai menJingga
Biru merasa sesak lagi. Tanpa sadar ia mulai membuka diri pada Avisa.
^^^Biru :^^^
^^^Menurut lu gue harus gimana?^^^
Avisa :
Lupain Mega
Sama gue saja
Hehe
^^^Biru mengirim emotikon rolling eyes.^^^
Avisa :
Lu tahu nggak apa masalah lu?
^^^Biru :^^^
Apa?
Avisa :
Lu itu ribet
Kebanyakan mikir
Kebanyakan gengsi
Tinggal bilang aja kali
^^^Biru :^^^
^^^Kalau dia nolak?^^^
Avisa :
Bi, nggak semua yang lu mau harus lu dapetin
^^^Biru :^^^
^^^Jangan panggil gue Bi^^^
Avisa :
Ok beb
^^^Biru mengirim emotikon marah.^^^
Avisa mengirim emotikon cinta.
^^^Biru :^^^
^^^Jadi gue harus ungkapin?^^^
Avisa :
Iya lah
Semakin cepat semakin baik
Daripada lu pusing sendiri
Ntar kalau di tolak, gue siap menggantikan
Avisa mengirim emotikon cium
Meskipun sebenarnya merasa risih tapi Biru menganggap saran Avisa tidak sepenuhnya buruk. Tanpa membalas lagi, Biru berlari kembali ke ruangan Arif.
Avisa :
Seenggaknya bilang makasih kek.
...***...
Setelah mendapatkan saran dari Avisa, Biru berlari kambali ke ruangan Arif. Ia membuka pintu dengan keras. Arif terkejut.
“Sat! Kaget gue bro. Lu kenapa sih?”
“Mega mana?”
“Udah pulang.”
“Dari tadi?”
“10 menit lalu mungkin.”
Biru kecewa.
“Kalau lu ada perlu sama Mega, lu pulang duluan deh bro. Gue bisa sendiri.”
“Gue sudah janji sama ibu.”
Arif tidak berkomentar, ia tahu betul bagaimana pentingnya ucapan ibu bagi Biru.
...***...
Di depan rumah Mega.
“Yah udah nyampe.”, ucap Jingga kecewa.
“Kenapa?”
“Waktu rasanya cepet banget kalau sama kamu.”
Mega tersipu.
“Mmm... Mey. Kayaknya aku harus ngomongin ini deh. Nggak bisa di tunda lagi.”
“Apa?"
“Kamu mau nggak jadi pacarku?”
Mega mematung. Jantungnya berdegup kencang.
“Mey?”
“S-sampai ketemu besok!", teriak Mega yang langsung berlari masuk ke dalam rumah.
“Imutnya.”
Jingga hanya bisa tersenyum melihat tingkah Mega. Ia lalu menyalakan motornya dan berkendara pulang.
Sementara di dalam rumah, Mega mengintipnya dari balik kelambu ruang tamu.
“Ngapain sih kak?”, tanya Bumi adik Mega yang berusia 12 tahun.
Mega yang tidak menghiraukan pertanyaan adiknya langsung berlari menuju kamar dan menutup pintu dengan terburu-buru.
“Buuu... Kakak aneh.”, teriak Bumi sambil berlari menuju kamar orangtuanya.
Di dalam kamar, Mega melemparkan tubuhnya ke atas kasur dan menutupi wajahnya dengan bantal lalu berteriak kegirangan. Ibu Mega yang sedang berjalan melewati kamarnya langsung membuka pintu, khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi pada putrinya tersebut.
“Kak? Kamu kenapa?”
Mega kaget mendengar suara ibunya lansgsung duduk dan tersipu maalu.
“Nggak apa-apa kok bu.”
“Berantem sama Biru lagi?”
Seolah sudah menjadi kebiasaan, ibu sudah hapal dengan sistem pertemanan Mega dan Biru.
“Enggak kok bu.”
“Ibu khawatir loh kak.”
“Nggak ada apa-apa kok bu. Jangan khawatir. Mega baik-baik saja.”
“Ya sudah kalau begitu. Ibu tutup lagi pintunya.”
Sebelum pintu tertutup rapat, Mega memberanikan diri untuk bertanya pada ibunya.
“Bu?”
“Ya sayang?”
“Kalau Mega pacaran, ibu keberatan nggak?”
Ibu kembali masuk ke kamar dan duduk di samping Mega. Sambil memegang tangan putrinya, ibu berkata.
"Sayang, urusan hidup kamu memang masih di tangan ibu tapi urusan hati kamu adalah sepenuhnya milikmu. Ibu percaya putri ibu ini anak yang pintar jadi pasti tahu sampai mana batasan yang harus di jaga.”
Mega yang mendengar jawaban ibu merasa terharu dan langsung memeluknya.
“Makasih ya bu.”
“Iya sayang.”
...***...
Malam harinya Biru menelepon Mega.
“Halo?”
“Halo.”, jawab Mega.
"Lagi ngapain?”
“Baca buku.”
“Udah makan?”
“Udah. Gimana Arif?”
“Kata dokter butuh istirahat 2 hari. Besok ibu yang mau jagain.”
“Udah makan lu?”
“Udah tadi.”
“Terus ini lagi ngapain?”
“Duduk-duduk saja di taman RS.”
“Ngapain?”
“Males di dalem. Bau obat.”
“Namanya juga RS. Kalau bau makanan itu namanya warung.”
“Haha... Tadi pulang jam berapa?”
“Abis lu keluar ruangan, beberapa menit gue udah pulang.”
“Kenapa buru-buru?”
“Males lihat lu marah-marah mulu.”
“Maaf.”
“Iya.”
“Besok gue mau ngomong sesuatu.”
“Ngomong saja sih. Kenapa tunggu besok.”
“Gue mau ngomong langsung.”
“Ih sok serius banget.”
“Emang serius.”
“Hmm..”
“Udah malem buruan tidur.”
“Abis ini. Masuk sana lu. Nggak dingin apa di luar sendirian?”
“Iya. Ya udah bye?”
“Bye.”
Biru berjalan masuk ke dalam ruangan dan bergegas untuk tidur. Sementara Mega yang bersiap memejamkan mata mendapatkan telepon lagi. Kali ini dari Jingga.
“Halo?”
“Hai imut.”, sahut Jingga.
“Hai.”
“Lagi apa?”
“Abis baca buku.”
“Kenapa belum tidur?”
“Ya udah aku tidur dulu ya?”
“Yaahhh kok gitu. Padahal aku ingin banget loh denger suara kamu.”, protes Jingga.
“Ya udah nanti saja tidurnya kalau gitu.”
“Mmmm... Sebenernya aku mau nagih sesuatu sih.”
“Apa?”
“Jawaban kamu.”
Mega terdiam malu.
“Halo?", Jingga memastikan Mega masih ada di seberang telepon.
“Harus sekarang ya?”
“Kalau bisa sih iya. Takutnya nanti aku nggak bisa tidur gara-gara nebak jawaban kamu.”
“Hmmm...”
“Di tolak juga nggak apa-apa kok.”
“Boleh gitu?”
“Ya meskipun nanti aku bakal patah hati sih.”
“Haha..”
“Jadi?”
“Ok.”
“Ok?”
“Iya aku mau.”
“YES!!!”, teriak Jingga kegirangan.
Mega yang mendengarnya jadi salah tingkah.
“Aku tidur dulu ya. Bye.”, kata Mega langsung menutup telepon.
Malam itu keduanya merasa sangat bahagia karena bisa saling memiliki.
...***...
Keesokan harinya Biru dengan hati yang berebar menjemput Mega di rumahnya dengan berjalan kaki seperti biasanya.
“Pagi bu.”, sapa Biru pada ibu Mega yang sedang menjemur baju.
“Pagi Biru. Mega masih di kamar kayaknya, panggil aja.”
“Iya bu.”
Biru masuk rumah dan memanggil Mega.
“Udah belum?”
Pintu kamar Mega terbuka.
“Udah nih. Lagian pagi banget sih tumben.”
“Yuk!", ajak Biru dengan senyum yang merekah sempurna.
“Bu, Mega berangkat dulu ya.”
“Iya. Hati-hati di jalan.”
“Mari bu.”
“Iya Biru.
Mereka berduapun berangkat sekolah bersama seperti biasanya. Bedanya, kali ini jantung Biru berdebar tanpa henti.
“Pulang jam berapa lu?", tanya Mega.
“Tadi jam 4. Ibu dateng di anter bapak terus gue ikut pulang sama bapak.”
“Ntar ke rumah sakit lagi dong?”
“Belum tahu.”
Sepanjang perjalanan mereka berdua hanya membicarakan hal-hal kecil seperti itu hingga tanpa sadar sudah 100 meter lagi jaarak menuju gerbang sekolah. Biru yang sudah menyimpan pertanyaannya sedari tadi mulai memberanikan diri untuk mengungkapkannya.
“Mey.”
“Apa?”
“Gue mau ngomong.”
“Oh iya lu kan kemarin bilang mau ngomong. Mau ngomong apa?”
“Mmmm...”
Belum sempat Biru menyatakan perasaannya, Jingga yang baru saja datang menghampiri mereka dengan menaiki sepeda motornya.
“Pagi imutku. Pagi bro.”
“Jangan panggil begitu dong.”, protes Mega dengan tersipu malu.
“Terus panggil apa dong? Sayang?”
Biru kaget mendengarnya. Ia menatap Mega seakan meminta penjelasan.
“Mmm... Bi. Aku jadian sama Jingga.”
“Sejak kapan?”
“Semalam bro.”, kata Jingga.
Jingga membantu Mega menjawab pertanyaan Biru yang mulai menjurus dan membuat Mega terlihat tak enak hati. Sedangkan Biru, tanpa menoleh sedikitpun masih terus menatap Mega.
“Kenapa nggak cerita?”, cecar Biru.
“Stop bro. Lu bikin Mega nggak nyaman.”
“Gue nggak ngomong sama elu!”, teriak Biru dengan tatapan tajamnya.
“Bi! Udah.”, lerai Mega.
Mega memegang tangan Biru dengan gemetar. Saat itu Biru sadar Mega takut padanya. Tanpa berkata apapun lagi Biru pergi meninggalkan mereka berdua. Bukan ke sekolah namun ke arah sebaliknya.
“Lu mau kemana Bi?”, teriak Mega yang tak di hiraukan oleh Biru.
Sejak saat itu, mereka menjalani hari dengan jalan yang berbeda. Biru tak lagi menghiraukan Mega dan lebih sering bersama Arif sedangkan Mega lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Jingga dan teman-temannya yang lain. Di titik ini Mega merasa ia bisa hidup seperti manusia pada umumnya. Berteman dengan banyak orang dan tidak ada lagi yang tiba-tiba marah tanpa sebab padanya. Apalagi Jingga adalah tipe pacar yang sangat lembut dan penyayang.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments