Sejak kepergian Arif dan Jingga, Biru selalu berusaha mengurangi kesedihan Mega. Terkadang ia tiba-tiba melucu meskipun berakhir dengan kernyitan di dahi Mega. Terkadang ia tiba-tiba datang ke rumah Mega dan mengajaknya pergi jalan-jalan di malam Minggu.
Di sisi lain, Biru yang terlihat tegarpun lama-lama merasa lelah juga namun ia tidak mampu bercerita pada ibu, bapak ataupun Mega yang sama-sama sedang merasa kehilangan. Satu-satunya orang yang terlintas di pikirannya adalah Avisa. Biru mengirim pesan padanya namun tidak ada balasan. Beberapa hari berlalu namun masih tidak ada jawaban, terkirimpun tidak. Hingga tanpa Biru sadari, ia sudah mengirim banyak pesan ke nomor Avisa namun tetap tidak ada jawaban. Hingga tak terasa satu semester sudah Biru lalui sebagai seorang mahasiswa kesenian.
...***...
15 Desember, di bawah pohon beringin di sudut kampus, Mega dan Biru sedang duduk membaca buku sambil minum es dan sesekali bercanda. Lalu tiba-tiba Mega melontarkan sebuah pertanyaan.
“Bi?”
“Hm?”
“Lu pernah suka sama gue nggak sih?”
“Ha?”
“Lu pernah suka sama gue nggak?”
Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku, Biru tersenyum.
“Di tanyain malah senyum-senyum. Jawab dong.”
“Inget pas lu ngasih tahu gue kalau lu jadian sama Jingga?”
“Inget lah. Gimana bisa lupa. Sejak itu kan lu langsung jauhin gue.”
“Lu inget gue bilang mau ngomong sesuatu?”
Mega terdiam sejenak.
“Jangan bilang saat itu lu mau ngungkapin perasaan.”
Biru mengangguk sambil masih tersenyum, merasa lucu mengingat kejadian waktu itu.
“Kalau lu?”, tanya Biru.
“Gue kenapa?”
“Pernah suka sama gue?”
“Hmm... Ternyata bersama selama 13 tahun nggak bikin kita tahu banyak tentang masing-masing ya?”
Biru menatap Mega, mengalihkan pandangannya dari buku yang sejak tadi ia baca. Saat itu Biru baru menyadari bahwa Mega pernah memiliki perasaan yang sama dengannya.
“Sejak kapan?”
“Kira-kira pas kita umur..... 14? Atau 15 ya? Waktu kita SMP kelas 2 lah. Gue masih inget waktu itu gue abis kecelakaan, kaki masih pakai gips sama perban. Tiap hari lu nyusulin gue, gendong gue ke sekolah. Gue minta ini itu lu usahain ada. Gue juga tahu lu bela-belain naik angkot ke kota buat beliin gue kue ulang tahun.”
Biru tersenyum malu.
“Terus waktu masuk SMA, banyak banget cowok yang deketin gue. Banyak rumor yang bilang mereka nyerah karena takut sama lu. Tapi sebenernya gue yang nolak mereka dari awal dan bilang gue punya elu. Mungkin gue suka sama lu jauh sebelum lu suka sama gue. Haha...”, lanjut Mega.
“Hal yang lu bilang buat lu suka sama gue tadi, gue lakuin karena gue suka sama lu.”
“Jadi dulu-duluan nih? Kalau gitu gue sejak sebelum lu suka. Lu kapan?”
Biru tersenyum lalu kembali menatap bukunya dan berkata...
“Mustahil.”
“Apanya yang mustahil?”
“Kalau lu suka sama gue sebelum gue suka sama lu, saat itu kita belum bertemu.”
Mega terskak mat oleh perkataan Biru. Meskipun begitu, Biru tidak pernah mau menyinggung soal pilihan Mega yang berpacaran dengan Jingga. Mungkin saat itu memang waktunya mereka.
“Ok deh lu menang.”
Biru tertawa mendengar jawaban Mega.
“Kalau sekarang?”, tanya Mega lagi.
Biru terdiam sejenak.
“Sekarang kenapa Mey?”
“Lu masih suka sama gue?”
“Masih.”
“Kenapa nggak pernah bilang?”
“Lu baru kehilangan Jingga, Mey.”
Biru menjawab setiap pertanyaan Mega dengan lembut.
“Lu bosen nggak sih Bi sama kita yang gini-gini aja?”
“Kenapa? Lu mau kita pacaran?”
“Boleh.”
Biru spontan menatap Mega yang terlihat serius dengan jawabannya. Padahal sebenarnya Biru bertanya hanya untuk sekedar bercanda.
“Lu serius?”, tanya Biru.
“Iya.”
Biru tidak bisa mengatakan apapun lagi. Akan tidak nyaman rasanya jika ia mengatakan bahwa pertanyaan itu hanyalah sebuah candaan. Saat ini Biru mulai merasa bingung dengan perasaannya.
Sejak saat itu mereka resmi berpaacaran.
...***...
Malam harinya di galeri, Biru hanya memegang kuasnya dan menatap kosong ke arah kanvas yang masih bersih di hadapannya. Mas Indra yang melihat itu langsung menghampirinya.
“Bi.”, panggil mas Indra sambil menepuk pundak Biru.
“Eh. Iya mas.”
“Ada apa?”
Biru terdiam sejenak lalu mulai bercerita. Sejak kepergian Arif, Biru mulai berusaha membuka diri pada orang lain.
“Aku bingung mas.”
“Kenapa?”
“Mega ngajak pacaran.”
“Kamu kan memang suka dia.”
“Justru itu mas.”
“Kamu nggak suka pacaran sama dia?”
“Menurut mas Indra aku harus bagaimana?”
“Jalani apa yang kamu yakini.”
Biru terdiam.
“Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Kalau sekarang belum ada, besok ataau lusaa pasti ketemu. Lebih baik sekarang kamu pulang saja, istirahat di rumah.”
Biru menuruti perkataan mas Indra untuk pulang ke rumah. Namun malam itu sekeras apapun usahanya, matanya tetap tidak bisa terpejam.
...***...
Hari-hari berikutnya tidak ada yang berubah. Biru tetap mengantar-jemput Mega untuk kuliah, seperti biasanya. Mereka tetap sering makan berdua, seperti biasanya. Mereka tetap jalan-jalan di malam Minggu dan lari pagi bersama di hari Minggu, seperti biasanya. Tidak ada hal yang berubah kecuali status mereka.
Sesekali sebelum tidur, Biru memikirkan hubungannya dengan Mega. Bertahun-tahun Biru menyimpan perasaan pada Mega bahkan sempat menjauh karena Mega lebih memilih Jingga. Seharusnya ia senang karena kini Mega adalah miliknya. Namun kini ia justru merasa aneh dengan dirinya sendiri karena ia tak pernah lagi berdebar seperti dulu.
...***...
Semenjak kuliah, Mega lebih memilih kos di dekat kampus karena jarak rumah dan kampus mereka cukup jauh. Sementara Biru lebih suka pulang karena takut ibu akan merasa kesepian. Sesekali ia akan tidur di galeri saat ada tugas yang harus di kerjakan sampai larut malam karena jarak galeri dan kampus hanya sekitar 30 menit saja.
Pernah beberapa kali Mega mengajak Biru untuk makan bakso di warung langganan Jingga, berharap bertemu Deni. Biru tahu akan hal itu namun tetap membiarkannya. Kini Biru mengerti apa yang dulu Jingga katakan. Bagaimana lucunya merasa menjadi selingkuhan dan pacar utamanya adalah kenangan.
...***...
31 Desember malam, Biru dan Mega sedang berada di taman kota karena Mega ingin melihat acara kembang api perayaan tahun baru.
“Masih jam 10, kita duduk sini saja dulu.”, kata Mega.
“Gimana ujiannya?”
“Haaa.. Pusing. Bu Lia nggak kira-kira kalau kasih soal.”
Mega yang dari dulu menyukai kimia tetap berada di jalurnya meskipun banyak sekali keluhan di setiap harinya.
“Lu sih penghianat. Harusnya lu juga ikut pusing sama gue.”, protes Mega.
Biru tertawa mendengar protesan Mega tersebut. Sambil menunggu tengah malam, mereka bercanda-bercanda kecil. Sampai seseorang yang familiar datang menghampiri mereka.
“Hai.”
Jingga berdiri tepat di hadapan mereka. Biru melihat ke arah Mega yang terpaku menatap Jingga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments