14

“Stop. Kayaknya kita emang harus ngobrol bertiga.”, ucap Mega pada Biru dan Jingga yang di setujui oleh keduanya.

Mereka pergi mencari tempat yang dapat di gunakan untuk berbicara dengan santai dan tenang. Akhirnya setelah beberapa menit berkendara, mereka menemukan warung kopi yang baru saja buka hari ini dan masih minim pengunjung. Mereka bertiga ngobrol di meja pojok depan sementara Avisa duduk sendiri di pojok satunya lagi.

“Sebelumnya gue mau bicara sama Biru dulu.”

“Iya Mey.”, jawab Jingga.

“Apa hubungan lu sama Avisa?”

“Lu gila Mey. Gue...”

“Gue tanya apa hubungan lu sama Avisa.”, ucap Mega dengan tegas memotong perkataan Biru.

“Nggak ada Mey.”

“Mey, jangan percaya sama Avisa. Dia itu kalau pengen sesuatu bakal nglakuin apa aja buat bisa dapetin.”, jelas Jingga.

Biru terdiam. Bingung dengan Jingga yang seakan tahu banyak tentang Avisa. Jingga menyadari hal itu.

“Gue kakaknya Avisa.”, kata Jingga.

Mulut Biru menganga tanpa aba-aba, pernyataan Jingga mengejutkannya.

***

Avisa yang sendirian dan gampang merasa bosan mendadak teringat pada Arif yang tadi di perintahkan Biru untuk mengikuti mereka. Khawatir tersesat, Avisa menelponnya.

“Halo?”

“Halo. Kalian berdua mampir kemana sih buset gue di tinggalin.”, teriak Arif.

Avisa mengorek-ngorek telinganya yang terasa hampir budeg karena teriakan Arif.

“Kalem bego!”, teriak Avisa membalas Arif.

Tiga orang yang sedang berbicara serius di seberang mendadak menoleh.

“Apa?”, tanya Avisa jutek kepada mereka.

Tak menghiraukan Avisa, mereka lanjut berbicara.

“Dimana lu?”, tanya Avisa pada Arif.

“Lu kadang-kadang kayak Biru ya. Teriak-teriak mulu.”

“Lu yang teriak duluan bego. Dimana lu?”

“Gue di galerinya Biru. Dari tadi gue telponin dia nggak di angkat-angkat.”

“Biru lagi sama pacarnya dan pacar pacarnya.”

“Ha? Lu ngomong apa sih?”

“Gue kirimin alamatnya. Cepet kesini. Bete gue di tinggal sendiri.”

“Ok ok.”

Avisa mengirimkan alamat lokasinya pada Arif dan Arif yang menerimanya langsung berangkat ke sana saat itu juga.

***

Kembali ke meja seberang. Mega, Biru dan Jingga melanjutkan obrolannya.

“Jadi dia dapet nomor gue dari elu?”, tanya Biru pada Jingga.

“Enggak.”

“Terus?”

“Lu mau bahas Avisa atau kita?”, tanya Mega kecewa.

“Maaf.”, ucap Biru.

“Bi, lu sering cerita-cerita ke dia?”

“Cuma sesekali aja Mey.”

“Sesekali yang lu bilang itu nggak pernah ke gue Bi.”

Mega merasa terhianati.

“Bi, lu beneran masih suka sama gue? Jujur.”, tanya Mega memastikan.

Biru terdiam, tidak sanggup mengungkapkan kebenarannya.

“Maaf.”

“Kalau emang udah nggak ada rasa sama gue, kenapa waktu itu lu setuju pacaran sama gue? Karena nggak mau nyakitin gue? Karena ngehibur gue? Gue nggak terhibur sama sekali Bi.”

“Terus gimana sama lu? Lu pacar gue tapi yang lu inget cuma Jingga kan? Gue juga sakit Mey.”, ucap Biru menggebu-gebu.

Mega kaget melihat Biru seperti ini. Selama ini semarah apapun Mega, sebanyak apapun kata-kata yang Mega ucapkan, Biru tidak pernah membalasnya.

“Kita tahu kita sama-sama sakit Mey. Kita akhiri di sini aja. Yang mau kalian obrolin, gue nggak perlu tahu. Gue pulang dulu.”, lanjut Biru merendahkan suaranya.

Setelah mengatakan itu, Biru berjalan menuju meja Avisa dan menyeretnya pergi. Meninggalkan Mega yang mulai tak kuasa menahan tangisnya. Lagi-lagi Jingga yang memeluknya dan tetap setia berada di sisihnya.

Tak berapa lama Arif datang dengan motor bututnya.

“Hai Bro, Mey.”, sapanya.

Mega yang sebelumnya berada di pelukan Jingga melepaskan diri.

“Hai.”, balas Jingga.

“Biru mana?”

“Barusan pergi sama adek gue.”

“Adek lu?”

“Avisa.”

“Avisa adek lu?”, teriak Arif.

“Iya.”

“Omaygaaaaddd!!!”

“Ada apa lu nyariin Biru?”

“Oh iya lupa. Ya udah gue pergi dulu ya. Nyusulin si Biru. Di sini takut ganggu. Hehe...”

Arif baru tersadar bahwa Mega sedang memalingkan muka sambil menangis.

“Lu kenapa Mey?”

“Nggak apa-apa bro. Buruan susulin si Biru. Keburu jauh.”, sahut Jingga.

“Oh ok ok. Bye.”, kata Arif melambaikan tangan.

Jingga membalas lambaian tangan Arif. Merasa de javu.

“Aku antar kamu pulang ya Mey?”

Mega mengusap air matanya.

“Kita belum bicara.”, katanya.

“Besok aja ya?”

“Nggak. Harus selesai hari ini.”

“Ya udah. Minum dulu biar lebih tenang.”

Mega menuruti perintah Jingga.

“Sekarang kamu yang harus jujur. Kenapa kamu baru kembali sekarang.”

Karena situasi sudah seperti ini, Jingga memutuskan untuk menceritakan semuanya.

“Rumah yang pernah aku tunjukin ke kamu itu atas nama papa. Papa beli rumah itu buat aku. Karena ada satu masalah yang belum selesai antara mama dan papa, malam itu papa membawaku secara paksa dan mengusir mama dari rumah itu. Kita nggak bisa lawan papa. Bahkan sampai detik ini aku belum ketemu lagi sama mama.”

Jingga berhenti sejenak. Mega melihat kesedihan yang sangat dalam di diri Jingga.

“Kita pulang aja yuk. Besok lagi.”, ucap Mega yang merasa tidak enak hati.

“Kita udah sepakat buat nyelesaiin malam ini Mey.”

Mega terdiam karena tidak dapat memaksa lagi.

“Papa bawa aku dan Avisa ke Inggris biar nggak bisa ketemu sama mama. Karena udah lama nggak tinggal sama mereka, awalnya aku juga nggak suka sama tingkah Avisa. Tapi lama kelamaan aku tahu, dia seperti itu sebagai bentuk perlawanannya pada papa. Aku yang saat itu baru saja di paksa mengikutinya sadar bahwa Avisa sudah mengalami penyiksaan ini jauh lebih lama. Karena itu, aku harap kamu nggak terlalu membenci dia.”

“Iya Ngga.”, jawab Mega sambil tersenyum.

“Di sana kami di sekolahkan di rumah. Sementara papa akan sibuk kerja dari pagi sampai tengah malam. Diam-diam aku kerja paruh waktu. Meskipun aku sama Avisa nggak pernah bisa akrab, dia nggak pernah ngadu ke papa. Aku ngumpulin uang biar bisa balik kesini, nemuin kamu.”

Mega terharu mendengar penjelasan Jingga.

“Kamu kerja apa?”

“Siang aku kerja bantu chef di dapur sebuah restoran. Malamnya aku kerja di sebuah baar minuman.”

“Karena itu tangan kamu banyak luka?”

“Aku udah nggak peduli kerjaan itu pantes atau enggak. Yang jelas aku pengen cepet balik ke sini.”

Mega menatap Jingga penuh haru. Dengan mudahnya ia memutuskan untuk beralih ke lain hati saat Jingga sedang berusaha sekuat tenaga untuk kembali padanya, ia menyesal.

***

Sementara itu di sepanjang perjalanan, Biru tak mengucapkan sepatah katapun. Avisa hanya diam mengikuti kemana Biru akan membawanya. Lupa dengan tujuan awal karena emosinya, Biru tanpa sadar membawa Avisa ke galerinya.

“Bi? Tumben malem banget?”, tanya mas Indra heran.

Mas Indra dan para seniman yang sebelumnya sedang berkumpul di ruang pameran mendadak fokus dengan perempuan yang mengikuti Biru dari tadi. Mas indra menatap Biru lalu mengarahkan matanya pada sosok perempuan itu. Biru menoleh, baru tersadar. Avisa tersenyum lebar.

“Ini Mega?”, tanya Mas Indra.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!