“Maksud lo apa?”, tanya Mega halus.
“Mmm... Gimana ya? Intinya gue suka sama cowok lu. Atau cowok kedua lu.”, kata Avisa dengan senyum menyebalkan.
Mega yang melihat tingkah Avisa hanya tersenyum.
“Dia suka sama lo?”
Sambil mengaduk-ngaduk minuman di hadapannya, kali ini giliran Mega yang memprovokasi.
“Gue bakal bikin dia suka sama gue.”
“Berarti nggak suka kan?"
“Lu pikir lu bisa pegang perasaan dua orang sekaligus.”
Tangan Mega berhenti mengaduk dan langsung menatap lurus pada Avisa. Avisa tersenyum menyebalkan.
Klung! Sebuah pesan masuk di hp Mega. Ia langsung membukanya.
“Nomor gue.”, kata Avisa.
Mega yang melihat foto profil di nomor Avisa merasa aneh karena ia memakai baju yang sama dengan yang ada di foto profil Jingga. Apakah ini kebetulan?
“Siapa lu sebenarnya?”
“Anggep aja calon pacarnya Biru.”
“Mau lu apa?”
“Lu putus sama Biru.”
“Apa hak lo!”, teriak Mega yang spontan berdiri.
Seisi ruangan menatap ke arah mereka. Avisa tersenyum. Mega yang menyadari hal itu akhirnya kembali duduk.
“Lu siapanya Jingga?”, tanya Mega.
“Waaahh... Ternyata lu lebih peka dari yang gue pikir ya.”
Di tengah tatapan sengit yang terjadi antara Mega dan Avisa, Jingga datang dengan berlari kencang.
"Pergi.”, kata Jingga yang masih ngos-ngosan pada Avisa.
“Gue mau makan.”
“Pergi!”, teriak Jingga.
Avisa yang menatap Jingga dengan penuh kekesalan langsung berdiri dan pergi dengan motor sportnya. Sedangkan Mega bingung dan tidak mengerti dengan hal yang baru saja terjadi. Apakah hubungan Jingga dan Avisa? Kenapa Jingga marah sekali padanya?
“Maaf.”, kata Jingga.
“Duduk dulu.”
Jingga duduk sesuai permintaan Mega.
“Kamu kenal sama dia?”
“Dia adik aku.”
Mega terkejut.
“Adik?”
“Iya. Adik kandung aku.”
“Kamu nggak pernah cerita punya adik kandung.”
“Dulu kita tinggal terpisah karena papa sama mama cerai. Dia tinggal sama papa.”
“Kenapa kamu nggak pernah cerita?”, tanya Mega yang sedikit kecewa.
“Papaku bukan orang sembarangan. Aku nggak mau hidup di bawah nama besarnya. Aku juga benci saat orang-orang hanya melihatku sebagai anaknya.”
Mega yang melihat kemarahan di raut wajah Jingga mencoba mencari topik pembicaraan lain.
“Kamu udah makan?”, tanya Mega.
“Udah tadi.”
“Kalau gitu temenin aku makan aja deh. Tapi tadi adik kamu udah pesen. Karena dianya kamu usir jadi kamu harus makan punya dia.”
“Iya.”, jawab Jingga sambil tersenyum.
Jingga memahami maksud Mega yang ingin sedikit menghiburnya.
“Abis ini kamu mau kemana?”, tanya Jingga.
“Mmm... Ke perpustakaan kota kayaknya. Ada buku yang pengen banget aku baca tapi nggak ada di perpustakaan kampus.”
“Boleh aku temenin?”
“Boleh.”
Mereka saling bertatap pandang dan mulai tersenyum.
Tak lama bakso pesanan mereka datang.
“Maaf ya kak agak lama. Rame banget soalnya.”, kata karyawan pengantar makanan.
“Nggak apa-apa kok mbak.”, jawab Mega lembut.
Karena sudah lapar, Mega langsung memakan baksonya dengan lahap sedangkan Jingga yang sebenarnya sudah kenyang harus memaksakan diri untuk makan lagi. Demi bisa menemani Mega.
Sementara Avisa yang merasa kesal memacu motornya dengan kencang di sepanjang jalan.
...***...
06:00 di rumah kepala desa.
“Buuu.... Arif pulaaaannggg.”, teriak Arif dari ambang pintu.
Setelah sekian lama tak mendengarkan suara itu, Ibu yang sedang melipat baju langsung berlari keluar kamar dan berjalan perlahan menuju pintu. Meraba wajah, tangan dan dada Arif. Memastikan bahwa yang berada di hadapannya ini benar-benar anak yang selama ini di rindukannya, yang di tengah malam sering memancing tangisannya. Arif langsung memeluknya. Banjir sudah air mata ibu di buatnya.
Beberapa menit berlalu. Kini mereka duduk bertiga di kursi ruang tamu. Tak lama terdengar suara motor bapak masuk halam depan. Ia berlari dengan tergesa-gesa memasuki rumah sampai hampir terjatuh karena tersandung. Ibu, Biru dan Arif yang melihatnya spontan berdiri.
“Hati-hati pak.”, kata Ibu.
Bapak berhenti di ambang pintu. Seakan tak percaya dengan penglihatannya. Ia menatap Arif beberapa detik lalu perlahan masuk ke dalam rumah sambil melepas sepatunya.
“Kamu ini anak kurang ajar.”, kata bapak sambil melempar sepatunya pada Arif.
Arif yang sudah hafal dengan serangan itu sontak langsung berlari ke belakang ibu. Bapak mengejarnya dan langsung memeluknya. Bapak, pria tangguh yang selama ini bahkan tidak pernah mengeluh pada kami, tiba-tiba meneteskan air matanya.
“Arif minta maaf pak.”, kata Arif yang masih berada di pelukan bapak.
Akhirnya lengkap sudah personil rumah pak kades. Setelah sekian lama mereka duduk bersama kembali di ruang tamu.
“Kamu kenapa tiba-tiba menghilang sih nak? Tiap malam bapak jadi nggak bisa tidur.”, kata bapak.
“Karena mikirin Arif pak?”
“Karena ibumu ini nangis terus. Mau tidur di luar ya dingin.”
Ibu, Arif dan Biru yang mendengar jawaban bapak langsung tertawa bersama.
“Bapak lapar. Mau makan dulu. Kalian sudah makan?”
“Belum pak.”, jawab Arif dan Biru.
“Ya sudah tunggu sebentar, ibu panaskan dulu sayurnya. Kita makan sama-sama. Kalian bertiga bersih-bersih dulu sana. Bau semua.”
Ketiga lelaki itupun serempak mengendus tubuhnya masih-masing.
“Oh iya bau.”, kata Arif.
Sambil menunggu makanan di siapkan oleh ibu, mereka bertiga bergantian membersihkan diri.
...***...
20:00. Suara motor terdengar di halaman rumah.
“Nak? Biru? Ada teman kamu ini.”, panggil ibu.
Biru dan Arif yang berada di dalam kamar merasa heran karena Biru tidak memiliki teman lain selain Mega. Jika Mega yang datang pastinya ibu akan menyebut namanya. Karena penasaran, Biru segera keluar kamar dan terbelalak karena melihat Avisa yang sudah duduk di ruang tamu bersama ibu.
“Lu!”, tunjuk Biru.
“Kok begitu sih nak ekspresinya.”
Avisa yang melihat kebingungan Biru hanya tersenyum. Ingin tertawa namun ia merasa sungkan pada ibu. Arif yang baru selesai berganti baju penasaran dengan 'teman Biru’ di luar.
“Jangan ngehalangin jalan.”, kata Arif sambil menggeser tubuh Biru yang dari tadi mematung di tengah pintu.
Arif yang baru saja melihat keberadaan Avisa akhirnya ikut terkejut.
“Lu! Kenapa ada disini?”, teriak Arif.
“Kalau sudah ada Arif pasti rumah nggak pernah tenang.”, kata ibu.
“Kalau di tambah Avisa pasti makin rame deh bu.”, goda Avisa.
“Haha... Kamu ini bisa saja. Oh iya, kamu sudah makan?”, tanya ibu.
“Hmmm... Belum bu. Hehe...”
“Ya sudah ayo makan dulu.”
“Nggak perlu repot-repot bu.”
“Nggak repot kok nak. Ini tadi memang rencananya kita mau makan sama-sama. Kamu makan dulu setelah itu biar di antar pulang sama Biru.”, kata ibu sambil berjalan menuju dapur.
Avisa tersenyum mendengar saran ibu. Arif melihat biru yang hanya terdiam laalu menataap Avisa yang konsisten dengan senyum mengembang, melihat Biru lagi, melihat Avisa lagi. Ia mulai pusing.
"Bro. Tunjukin jalan ke dapur. Gue lupa.”, kata Arif sambil menyeret tangan Biru.
Sesampainya di dapur.
“Dimana-mana yang minta di tunjukin jalan itu harusnyaa di belakang, bukan di depan. Apalagi sambil nyeret.”, kata Biru.
Arif cengengesan.
“Makanannya kita bawa ke ruang tamu saja biar Avisa nggak sungkan.”, perintah ibu.
“Loh, ibu sudah kenal?”, tanya Arif.
“Sudah dong. Dia tadi pagi juga kesini nyari Biru tapi Biru sudah berangkat ke kampus.”
“Kok ibu nggak cerita?”, protes Biru.
“Bagaimana ibu mau cerita kalau kalian saja baru pulang?”
“Oh iya ya. Lu jangan nyalah-nyalahin ibu gue dong bro. Lu aja baru pulang.”, godaa Arif.
Biru melirik tajam
“Hmm... Mulai deh ya. Pusing ibu pusing.”, kata ibu sambil membawa sebakul nasi ke ruang tamu.
Bapak yang baru saja selesai berganti baju langsung keluar kamar dan terkejut dengan keberadaan Avisa.
“Siapa bu?”, tanya bapak.
“Saya Avisa pak. Temannya Biru.”, sahut Avisa.
“Wah ternyata Biru sudah bisa berteman sama orang lain ya. Kemajuan yang bagus ini. Sering-sering main kesini ya?”, kata bapak.
“Siap komandan!”
“Jangan dengarkan bapakmu. Anak perempuan nggak baik kalau sering kelihatan di rumah laki-laki.”, ucap ibu.
“Sudah nggak usah mikirin itu. Saya kan kepala desanya. Hahaha..”
Avisa ikut tertawa melihat bapak tertawa. Bukannya tidak suka dengan Avisa, ibu hanya tidak ingin jika anak perempuan orang terlihat buruk di mata penduduk desa. Bukan ibu yang kolot tapi penduduk desa ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments