18

Sementara Biru mengantarkan Jingga pulang, Avisa membawa Mega ke sebuah toko buku.

“Kenapa toko buku?”, tanya Mega.

Tanpa menjawab, Avisa berjalan masuk ke dalam toko. Mega mengikutinya.

“Koh, biasanya.”, kata Avisa.

Setelah mendengar perkataan Avisa, kokoh penjaga toko langsung memberikannya sebuah kunci. Mega mengikutinya ke sebuah ruangan dengan karpet bulu dan beberapa perabotan sederhana di dalamnya. Seperti kamar kos paket lengkap.

“Kenapa toko buku punya ruangan kayak gini buat di sewain?”, tanya Mega heran.

“Siapa bilang di sewain? Ini ruang baca gue.”

Mega menatap bingung pada Avisa.

“Lu lebih pengen tahu mana? Soal omongan gue tadi atau ruangan ini.”

“Jadi apa maksud omongan lu tadi?”

“Duduk sana. Gue bikin minum dulu.”

“Nggak perlu repot-repot.”

“Gue haus.”

Mega terdiam. Anak ini benar-benar menyebalkan, batin Mega. Ia merasa Avisa adalah campuran antara Arif dan Biru. Sambil menunggu Avisa, Mega duduk di sebuah sofa minimalis di ruangan itu.

"Di Inggris, Jingga kerja di beberapa tempat sekaligus. Kalau cuma buat balik kesini, uang dari papa juga udah cukup.”

Avisa mulai bercerita sambil meletakkan dua gelas minuman di atas sebuah meja kecil lalu mendudukkan diri di samping Mega.

“Minum.”, kata Avisa mempersilahkan.

“Iya.”

“Pernah sekali gue tanya kenapa dia repot-repot kerja padahal uang dari papa sangat lebih dari sekedar cukup. Lu tahu dia bilang apa?”

“Apa?”

“Dia bilang papa bawa kita ke Inggris bukan cuma buat jauhin kita sama mama tapi juga buat jauhin dia sama lu.”

“Kenapa gitu?”

“Karena lu bukan anak orang kaya.”

Mega terdiam.

“Gue tahu lu pasti nggak nyaman tapi lu harus tahu semuanya.”

Mega menghela nafas panjang lalu berkata.

“Ok, gue siap.”

“Jingga kerja keras biar bisa biayain kuliah lu di sini. Biar lu bisa jadi orang. Biar papa bisa sedikit mandang lu dan nerima lu. Dia percaya lu bisa bikin dia bangga. Dan sekarang gue bisa lihat kalau dia bener.”

Saat ini Mega sedang sekuat tenaga menahan air mata yang sudah berada di ujung pelupuk matanya.

“Lu pasti udah lihat luka-luka di tangannya, hasil dari kerja kerasnya. Dia juga pernah masuk rumah sakit gara-gara pundaknya kejatuhan pisau daging. Yang itu pasti lu belum lihat.”

Runtuh sudah pertahanan Mega. Air mata berjatuhan membanjiri pipinya seiring dengan sesak yang memenuhi ruang di dadanya. Avisa berjalan meninggalkan ruangan. Memberi waktu agar Mega dapat meluapkan rasa sakitnya.

***

Mobil sudah tiba di depan rumah. Biru yang masih kesal terpaksa membangunkan Jingga yang sejak tadi memejamkan matanya.

“Bangun.”, ucapnya.

Namun Jingga tak juga terbangun, bergerakpun tidak.

“Bangun!”, teriak Biru yang semakin kesal

Akhirnya Jingga terbangun. Namun tubuhnya masih juga tak bertenaga.

“Masuk dulu bro.”, katanya mempersilahkan.

“Nggak perlu. Arif udah gue suruh kesini.”, kata Biru sambil keluar dari mobil.

Jingga juga keluar dari mobil, hendak membuka pintu gerbang. Namun tiba-tiba..

Gubrak! Jingga pingsan. Biru yang melihatnya langsung berlari. Ia mengambil kunci di tangan Jingga, membuka gerbang dan pintu rumah lalu dengan cepat menggendong Jingga masuk ke dalam rumah. Karena tidak tahu letak kamar Jingga, Biru membaringkannya di sofa ruang tamu lalu dengan panik menghubungi Avisa.

“Halo! Cepet pulang! Jingga pingsan!”, teriak Biru dan langsung mematikan panggilan teleponnya.

Avisa yang sedang duduk di luar ruang baca sejak tadi langsung membuka pintu.

“Kita ke rumah gue. Sekarang.”

Tangis kesedihan Mega belum sepenuhnya tuntas namun melihat kekhawatiran di raut wajah Avisa, ia memutuskan untuk mengikuti Avisa tanpa berkomentar.

Di rumah Jingga dan Avisa.

Avisa berjalan tergesa-gesa di ikuti oleh Mega.

“Jingga kenapa? Abang gue kenapa?”, tanya Avisa penuh kekhawatiran.

“Gue nggak tahu kamarnya.”

Avisa berjalan menuju kamar Jingga untuk membuka pintu lalu kembali ke ruang tamu.

“Kita bawa dia ke kamar.”, kata Avisa sambil mengangkat bagian bawah lutut abangnya.

Biru menepuk pelan tangan Avisa.

“Biar gue aja.”, katanya.

Avisa menurunkan kembali kaki abangnya tersebut. Biru langsung menggendongnya ke dalam kamar. Avisa hendak mengikuti mereka tapi di hadang oleh Mega.

“Ngapain sih?”, tanya Avisa kesal.

“Dapurnya dimana?”

“Sana. Lurus aja, ada jalan ke kiri.”

Setelah mengatakan itu, Avisa bergegas pergi ke kamar Jingga. Sementara Mega berjalan menuju dapur, membuatkan bubur untuk Jingga.

Jingga yang baru saja bangun dari pingsannya bingung melihat empat orang di kamarnya terlihat panik.

“Kalian kenapa di sini semua?” tanya Jingga.

Keempat orang itu spontan menatap ke arah Jingga. Beberapa detik kemudian Mega mulai menangis, Biru merasa lega meskipun tidak berekspresi sama sekali, Avisa menghela nafas berat dan Arif yang baru datang beberapa menit lalu langsung melompat ke kasur dan memeluknya. Ia semakin kebingungan.

“Bro. Lu kalau ada masalah cerita, jangan di pendem sendiri. Gue siap kok dengerin lu. Gue bukan kalangan laknat macam mereka.”, kata Arif dengan suaranya yang tentu saja tidak mungkin pelan.

Mega yang masih menangis mendadak tertawa karena kelakuan Arif.

“Udah beneran sadar lu?”, tanya Avisa.

“Hmm... Ya. Gue nggak kenapa-kenapa.”

Biru balik badan dan meninggalkan ruangan.

“Tadi lu pingsan bro. Terus Biru sendiran gendong lu ke dalem. Bahkan ya, dia yang nggak pernah hubungin adek lu tiba-tiba telepon sambil panik nggak karuan.”

Jingga terdiam.

“Gue ke kamar mandi dulu.”, pamit Mega yang langsung keluar dari ruangan.

Jingga tersenyum sebentar lalu kembali berbicara dengan Arif.

“Dari tadi bro?”

“Baru.... 10 menit kali.”

“Kok lu tahu kalau Biru yang gendong gue?”

“Di ceritain mereka. Hehe...”

Jingga menepuk dahinya pelan dan tertawa kecil.

“Gue mau ngomong.”, kata Avisa.

Arif yang melihat suasana serius ini dengan sadar diri langsung meninggalkan ruangan dan bergabung dengan Biru yang sedang duduk di ruang tamu.

“Lu kenapa?”, tanya Avisa.

“Nggak apa-apa.”

“Ngapain ke sana?”

Jingga langsung teringat.

“Lu udah tahu kalau Deni meninggal kan?”, tanya Jingga lembut.

“Iya.”

“Kenapa nggak ngomong?”

Avisa terdiam. Lalu Jingga menyerahkan surat dari Deni. Avisa mengambil surat itu dan membacanya.

Hai bro. Kalau lu sampe baca surat ini berarti gue gagal nyampein pesan lu ke Mega. Gue harap nanti kalian bisa ketemu lagi biar lu bisa ngomong sendiri ke dia. Makasih selama ini udah jadi temen terbaik gue. Maaf gue belum bisa bales kebaikan lu.

DENI

Isi surat itu begitu singkat namun mampu memporak-porandakan perasaan Jingga dalam beberapa detik saja.

“Dia mati gara-gara gue.”, ucap Jingga pelan.

“Kita punya waktu masing-masing. Mungkin waktu itu emang waktunya Deni pergi lebih dulu. Bukan salah lu.”

“Seandainya waktu itu gue nurut kata papa.”

Avisa terbelalak, murka.

“Maksud lu, setuju nikah sama anak mister George? Dan jadi pionnya papa? Sinting lu!”, teriak Avisa.

“Kalau yang mati gue, gue nggak peduli. Tapi gue matiin anak orang Sa! Lu mau gue gimana?”, teriak Jingga lebih keras.

Mega yang dari tadi sudah berdiri di ambang pintu langsung masuk dan mengambil surat itu dari tangan Avisa lalu membacanya. Avisa dan Jingga terkejut.

Setelah membaca surat itu, Mega hanya diam mematung.

“Deni berkoban nyawa buat mendukung perjuangan lu tapi sekarang lu mau nyerah. Kalau gue jadi dia, gue nyesel udah berusaha jadi temen yang baik buat lu.”, kata Avisa pelan.

Avisa beranjak menuju ruang tamu dan meninggalkan mereka berdua.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!