13

Bapak duduk dan mengobrol kecil dengan Avisa sementara ibu kembali ke dapur dan melihat kedua anak laki-lakinya yang masih betah beradu sengit.

“Kalian ini mau makan apa enggak?”, tanya ibu tegas.

Suara ibu langsung membuat mereka bubar jalan. Yang satu mengambil beberapa piring kosong dan sendoknya, yang satu lagi langsung membawa lauk yang sudah di siapkan oleh ibu. Mereka menuju ruang tamu secara beruntun. Tidak ada yang berani melawan jika ibu sudah berbicara tegas.

Di ruang tamu.

“Ayo ayo makan dulu, jangan sungkan-sungkan.”, kata bapak mempersilahkan Avisa.

“Iya pak.”

“Pak?”, protes Biru.

“Ya memang 'bapak’ kan? Bukan ibu.”, sahut Avisa.

“Bro. Makan bro. Makan. Nanti aja protesnya kalau udah kenyang. Nungguin lu protes malah nggak jadi makan ntar.”, ceroros Arif.

Bapak dan ibu hanya tertawa kecil melihat Arif yang selalu bisa meredakan emosi Biru dengan kata-kata ajaibnya.

...***...

Di perpustakaan kota. Meskipun sudah beberapa jam berlalu, Jingga masih setia menemani Mega disana. Ia dengan tenang duduk dan memandang Mega yang masih fokus dengan buku-bukunya. Sejak dulu Mega memang suka membaca buku dan Jingga akan terus memperhatikannya dengan tenang seperti saat ini.

Gubraaak!!! Seseorang tersandung dan menjatuhkan buku-bukunya. Mega yang terkejut mendengar suara itu sontak mengangkat kepala. Baru menyadari bahwa ia sedang bersama Jingga.

“Astaga. Maaf ya. Aku lupa kalau kesini sama kamu.”, ucap Mega.

“Nggak apa-apa. Aku suka. Bangga liatnya.”, jawab Jingga sambil tersenyum manis.

Mega mulai merasakan euforia yang sama seperti ketika mereka awal berpacaran dulu. Namun rasa bersalahnya pada Biru juga mulai menjalar di hatinya.

“Udah jam berapa ya ini?”

“Jam 8.”

“Pulang yuk.”, ajak Mega yang merasa mulai susah mengendalikan perasaanya.

“Mau makan dulu?”

“Nggak perlu. Nanti aku makan di kos aja.”

Mega membereskan meja dengan terburu-buru lalu bergegas pergi ke meja penjaga pespustakaan untuk mengembalikan buku yang tadi di pinjamnya. Jingga sadar betul bahwa saat ini Mega ingin berpisah dengannya secepat mungkin, untuk menghargai Biru yang kini jadi pacarnya. Karena itu Jingga memutuskan untuk mengantar Mega pulang tanpa bertanya apapun.

...***...

Di ruang tamu pak kades, seluruh anggota keluarga dan Avisa duduk santai di ruang tamu setelah menyelesaikan acara makan bersamanya.

“Nak Visa ini teman kuliahnya Biru?”, tanya bapak.

“Pak. Kok visa sih manggilnya. Kayak kartu kredit saja.”, protes Arif.

“Yang bapak panggil kan dia, kok kamu yang protes?”

“Ya gimana gitu dengernya pak. Aneh.”

“Memang aneh ya?”, tanya bapak pada Avisa.

“Nggak kok pak. Arif aja yang sensitif kayaknya.”

“Lu di belain kok malah berhianat?”, protes Arif lagi.

Ibu yang mendengar percakapan mereka bertiga dari dapur hanya bisa tertawa kecil. Biru yang membantu ibupun mulai bingung.

“Ibu kenapa ketawa?”

“Setiap hari ibu berdoa agar Tuhan mengembalikan Arif pada kita. Ternyata Tuhan Maha baik ya nak? Ibu hanya meminta Arif tapi Dia memberikan bonus satu orang lagi yang bisa membuat rumah ini penuh tawa.”

“Kita baru mengenalnya bu. Bahkan baru semalam Biru ketemu langsung sama dia. Kita nggak tahu kedepannya dia akan terus memberikan tawa atau malah luka.”

“Jangan takut terluka nak. Bapak dan ibu bisa mendapatkan anak sebaik kamu dan Arif justru setelah berhasil melalui banyak sekali luka.”

Setelah mengatakan hal tersebut, ibu berjalan ke ruang tamu. Sementara Biru terdiam merenungkan perkataan ibu. Setelah beberapa menit ia kembali ke ruang tamu dan bergabung dengan yang lain.

“Nak, ini kan sudah jam 9. Jalan dari sini ke kota lumayan sepi, kamu antar Avisa pulang ya?”, pinta ibu pada Biru.

Avisa tersenyum cerah mendengar ucapan ibu sementara Biru yang tidak bisa menolak permintaan ibu hanya mengiyakannya dengan muka cemberut.

“Rif, ikutin dari belakang ya?”, ucap Biru.

“Siap.”

Setelah berganti celana panjang dan memakai jaket, Biru mengantar Avisa pulang. Masih dengan muka cemberut.

“Bro. Lu pakai jaket sendiri? Avisa nggak lu kasih? Cowok apaan lu.”, hardik Arif.

“Bacot.”, kata Biru sambil kembali masuk ke dalam kamar.

Tak lama ia keluar kamar dengan membawa salah satu jaketnya dan melemparnya pada Avisa.

“Nih.”

“Makasih.”, ucap Avisa dengan senyum yang semakin lebar saja.

“Yang lembut sedikit dong nak sama perempuan.”, kata bapak.

Avisa senyum-senyum yang membuat Biru sangat kesal.

“Avisa pulang dulu ya pak, bu.”, pamit Avisa.

“Iya. Hati-hati di jalan ya.”, jawab bapak dan ibu.

Setelah itu Avisa dan Biru langsung tancap gas. Arif yang akan mengikuti mereka bergegas masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian panjang.

“Ceria sekali anak itu ya pak.”, kata ibu.

“Ibu tahu nggak tadi dia ngomong apa ke bapak?”

“Apa pak?”

“Katanya dia itu calon pacarnya Biru.”

“Dasar anak muda. Ada-ada saja.”

Bapak dan ibu tertawa bersama di depan pintu. Tidak menyadari bahwa dari tadi Arif berada di belakang mereka.

“Bapak sama ibu mau ngobrol sampai kapan di depan pintu?”

Bapak dan ibu yang mendengar Arif berbicara dari belakang sedikit terkejut.

“Kaget ibu, Rif.”

“Arif mau ngikutin mereka dulu. Kalau nggak di ikutin nanti bapak sama ibu bisa tiba-tiba punya cucu.”

“Hus! Kamu ini.”, bentak ibu pelan.

Arif cengengesan sambil berlari pergi mengambil motor, takut jika sandal bapak lagi-lagi melayang kepadanya.

...***...

Di sepanjang perjalanan, Avisa terus berusaha melingkarkan tangannya di perut Biru meskipun berkali-kali di lepaskan oleh supirnya tersebut.

“Seneng banget gue malem ini bisa ketemu keluarga lu.”, kata Avisa yang masih terus-terusan tersenyum.

Biru tidak menanggapinya sama sekali.

Setelah berjalan beberapa kilometer, jalan kota sudah mulai terlihat.

“Alamat lu dimana?”, tanya Biru.

“Masih jam segini, kita jalan-jalan dulu aja yuk?”,

Biru langsung menghentikan laju motornya.

“Kok berhenti?”, tanya Avisa.

“Lu pulang sendiri.”

“Dih ngambek. Iya iya gue kasih tahu. Buruan naik gih.”

Biru kembali menjalankan motornya. Avisa sengaja mengarahkan jalan melewati kos Mega. Terlihat Mega yang baru saja turun dari jok belakaang motor Jingga. Biru memacu motor ke sana. Mega yang melihat kehadiran Biru terkejut, apalagi dengan sosok yang berada di belakangnya.

“Kalian dari mana?”, tanya Mega.

“Kencan lah. Emang lu aja yang boleh.”

Biru menoleh dan menatap tajam pada Avisa. Sedangkan Jingga yang sudah khatam dengan kelakuan Avisa langsung mencoba memisahkan mereka.

“Kita pulang.”, ucap Jingga pada Avisa.

“Kalau gue pulang sama lu, Biru mau di kemanain? Biarin nginep di sini? Sama cewek lu?”

Ucapan Avisa memprovokasi ketiganya. Daripada takut Mega cemburu, Biru lebih kesal karena ocehan Avisa adalah hasil karangan semata. Mega yang sebenarnya merasa bersalah karena sudah bersama Jingga beberapa jam yang lalu mulai kecewa pada Biru. Sedangkan Jingga mulai tak enak hati pada keduanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!