8

Beberapa hari berlalu. Mega dan Biru sudah saling sapa meskipun belum ada obrolan sama sekali di antara mereka. Sampai suatu ketika di hari minggu siang, Mega berlari ke rumah Biru dengan penuh kepanikan.

“Bi!”, teriak Mega dengan air mata bercucuran dan tubuh yang bergetar hebat.

Biru dan Arif yang sedang duduk di ruang tamu langsung menghampiri Mega.

“Kenapa Mey?”, tanya Biru.

“Ibu... Ibu... Tolong ibu.”

Biru langsung berlari menuju rumah Mega sedangkan Arif berusaha menenangkan Mega. Ia merangkul pundak Mega dan mendudukkannya di kursi ruang tamu.

“Buuu... Toloonngg...”, teriak Arif.

Ibu yang sedang menjahit baaju bapak di kamar langsung keluar.

“Kenapa Rif? Mega kenapa ini?”

“Ibu tolong temani Mega ya bu. Arif nyusul Biru dulu ke rumah Mega.”

“Iya, iya ibu mengerti. Sudah sana, biar Mega sama ibu.”

“Lu tenang ya mey. Ntar gue kabarin lewat telepon.”

Mega mengangguk pelan sambil terus menangis.

Arif bergegas pergi menyusul Biru dengan membawaa motornya. Berjaga-jaga kalau seaindainya mereka butuh kendaraan secepatnya.

Di rumah Mega.

“Bro.”, panggil Arif.

“Di belakang.”, sahut Biru.

Arif langsung menuju ke belakang. Ternyata disana Biru sedang menemani ibunya Mega yang sedang memanggang kue.

“Kenapa bro?”, bisik Arif.

Biru meletakkan jari telunjuk ke mulutnya, mengisyaratkan kepada Arif untuk diam.

“Eh Arif kenapa kesini juga? Bau kue ibu sampai rumah kalian ya?”

Biru dan Arif yang mendengar ucapan ibu hanya bisa tertawa paksa.

Arif berjalan menuju ruang tamu hendak menelepon Mega. Tapi belum sempat Arif mengeluarkan hp dari sakunya, Biru tiba-tiba saja mendekat tanpa suara.

“Rif.”

Arif berjingkat, terkejut.

“Sat! Bro lu kalau mau manggil tuh pakai aba-aba kek. Bisa mati muda gue kalau gini cara lu.”

“Kayaknya ada yang aneh.”

“Apanya?”

“Ibu nggak apa-apa tapi kenapa dia minta tolongin ibu?”

“Kita pulang?”, tanya Arif

Biru mengangguk. Mereka bergegas pulang, ingin meminta penjelasan dari Mega. Terutama Biru.

Sesampainya di rumah, Biru langsung berlari menghampiri Mega yang duduk di ruang tamu bersama ibu.

“Bu, Biru mau bicara sama Mega.”

“Iya. Ibu keluar dulu sama Arif ya?”

“Makasih bu.”

“Iya.”

Arif yang baru saja selesai memarkirkan motor langsung di hadang oleh ibu.

“Rif, antar ibu ke pasar.”

“Siang-siang ke pasar mau cari apa bu?”

“Sudah ayo.”

Meskipun sebenarnya ingin menolak tapi Arif tetap mengeluarkan motornya tanpa berkata apapun lagi.

“Lu kesini bukan karena ibu kan?”

Mega melirik Biru dengan sedikit canggung.

“Iya.”, jawabnya singkat.

“Kenapa?”

Air mata Mega yang baru saja menghilang sudah mulai berjatuhan lagi.

“Gue nggak tahu apa gue pantes cerita ini sama elu.”

“Mey, lu tahu kan kalau gue selalu siap dengerin lu.”

Mega menarik nafas panjang, berusaha menghentikan tangisannya.

“Jingga....”

“Kenapa?”

“Jingga hilang Bi.”

“Hilang gimana maksud lu?”

“Nomornya nggak aktif. Gue chat teman-temennya juga nggak ada yang tahu.”

“Di rumahnya?”

“Nggak ada. Tetangganya bilang mereka sekeluarga pergi bawa banyak koper semalem. Gua harus gimana Bi? Gue harus cari dia kemana?”

“Lu tenang dulu ya. Gue bakal bantu lu cari dia.”

“Makasih Bi. Gue juga minta maaf.”

“Nggak usah di bahas.”

Air mata Mega mulai mereda setelah menceritakan masalahnya pada Biru. Sedangkan Biru semakin menyadari pentingnya sosok Jingga di hidup Mega.

“Gue pulang dulu ya. Ntar ibu nyariin.”

“Jelek banget alasan lu biar bisa kesini. Lu tahu nggak tadi gue sama ibu tuh sama-sama bingung. Gue bingung karena ibu baik-baik aja, ibu bingung karena gue panik nyariin beliau.”

Mega cengengesan.

“Janji ya bantuin gue cari Jingga.”

“Iya iya. Ayo buruan gue anterin pulang.”

Setelah sekian lama akhirnya mereka berjalan beriringan kembali.

Di rumah Mega.

“Bu, Mega pulang.”

“Iya sayang. Ibu baru selesai ini bikin kuenya.”, jawab ibu dari dapur.

“Yaahhh padahal Biru mau bantu katanya.”

Biru langsung melirik tajam.

Ibu yang mendengar Mega menyebutkan nama Biru langsung bergegas menuju ruang tamu.

“Bi, jangan pulang dulu. Tunggu sebentar.”

“Iya bu.”

Biru menunggu di ruang tamu sesuai instruksi ibu. Tak lama ibu keluar lagi sambil membawa setoples kue panggang yang baru selesai ia buat.

“Ini buat ibu kamu.”, kata ibu sambil menyerahkan kue pada Biru.

“Makasih bu.”, ucap Biru sambil menerima kue yang di berikan ibu.

“Kali ini kalian tumben berantemnya lama?”

Biru yang mendengar pertanyaan ibu hanya bisa tersenyum bingung.

“Udah pulang sana. Tadi pintunya lupa nggak gue tutup.”

Mega mencoba membantu Biru agar tidak terlalu banyak di tanyai oleh ibunya.

“Biru pulang dulu ya bu.”

“Iya iya. Yang sering-sering kesini kayak dulu ya.”

“Iya bu.”

Biru pulang dengan tak enak hati karena tidak dapat menjelaskan hal yang selama ini terjadi antara ia dan Mega.

“Ibu kenapa tanyain itu sih?”, protes Mega pelan.

“Kalian itu sudah bersama sejak kecil jadi ibu sudah anggap Biru seperti anak ibu sendiri. Kalau dia nggak kesini lagi, bukan hanya kamu yang kehilangan tapi ibu juga.”

“Maaf bu. Salah Mega.”

“Sayangku, putri ibu. Yang namanya perasaan itu tidak bisa di paksakan. Semoga kalian bisa lebih dewasa dengan kejadian ini ya.”

“Iya bu.”

...***...

Malam harinya seluruh anggota keluarga pak kades berkumpul di ruang tamu.

“Ada hal yang mau bapak sampaikan.”, kata bapak membuka obrolan.

Bapak memandang ibu sejenak, ibu menganggukkan kepala tanda menyetujui niat bapak.

“Sepertinya Arif harus pergi ke rumah neneknya di Sumatera."

"Ada apa ini pak?”, tanya Biru yang merasa tak terima dengan keputusan bapak.

“Proses adopsi bapak sama ibu buat Arif di batalkan oleh neneknya. Mereka bilang Arif masih memiliki keluarga jadi tidak perlu di adopsi.", terang bapak.

“Tapi pak....”, lanjut Biru.

Ibu langsung memegang tangan Biru.

“Nak. Ini bukan keinginan kami.”

“Bu, ini sudah setahun. Kenapa baru sekarang?”

“Kami juga tidak tahu nak.”

“Kenapa lu diem aja?”, Biru berteriak pada Arif.

“Ini juga keputusan gue bro.”

“Bapak sama ibu juga tidak rela kalau harus kehilangan Arif nak.”, kata ibu tertunduk lesu.

Biru menatap ibu, bapak juga Arif. Mereka hanya bisa diam, tenggelam dalam kesedihan masing-masing. Biru yang merasa sangat marah langsung pergi keluar dan berjalan tanpa arah hingga membuatnya berakhir di tepi sungai, tempat ia menyelamatkan Arif dulu. Ia memutuskan untuk duduk di sana.

Beberapa menit berlalu, Biru mendengar suara motor Arif yang mulai mendekat. Arif yang melihat Biru langsung turun dari motornya dan duduk di samping Biru.

“Gue dulu nyemplung disini ya bro.”, kata Arif sambil tertawa.

Biru yang masih kesal tidak merespon perkataan Arif.

“Mereka sudah mulai berani ngancem bapak pakai hukum dan pengacara. Gue nggak mau kalian kenapa-kenapa karena gue. Cuma kalian yang gue punya di dunia ini, kalau kalian kenapa-kenapa gue harus bagaimana?”, kata Arif pelan.

“Jual semua lukisan gue. Gue bakal ngelukis lebih banyak lagi. Gue bakal cari uang sebanyak-banyaknya biar kita juga bisa memakai hukum untuk melawan mereka.”, sahut Biru dengan menggebu-gebu.

Baru kali ini Biru berkata sebanyak itu. Ini membuat Arif menyadari satu hal yang tidak pernah Biru ungkapkan, bahwa Biru sangat menyayanginya.

“Gue pasti balik kok bro. Janji.”

Biru menoleh menatap Arif sejenak lalu kembali menoleh menatap aliran sungai di hadapannya.

“Lelaki sejati harus memegang janjinya.”, kata Biru pelan.

“Pasti bro.”

Biru tersenyum.

“Besok lu nganter gue kan?”

“Iya.”

Tak ada lagi percakapan setelah itu. Mereka hanya duduk memandang aliran sungai beberapa menit lalu memutuskan untung pulang ke rumah karena tidak ingin membuat ibu khawatir.

...***...

Keesokan harinya Biru ijin tidak masuk sekolah karena ingin mengantarkan Arif sampai ke bandara di kota yang terletak sekitar 5 jam dari rumah mereka. Biru melarang bapak dan ibu untuk ikut karena bapak harus bekerja dan karena Biru tidak ingin melihat ibu menangis.

Sesampainya di bandara, Biru merasa berat hati melepaskan kepergian Arif namun ia tetap menghargai keputusan saudaranya tersebut. Arif sempat memeluk Biru sejenak lalu pergi masuk ke dalam bandara. Jauh. Semakin jauh dan tak terlihat lagi.

...***...

Minggu pertama Arif di Sumatera, Biru masih sering menerima pesan dan telepon darinya. Namun memasuki minggu kedua, Arif menghilang begitu saja. Hal ini membuat ibu selalu menangis diam-diam di malam hari. Hati Biru sakit di buatnya.

...***...

Minggu-minggu berlalu. Bulan-bulan berlalu namun sedikitpun tidak ada kabar dari Arif maupun Jingga. Hingga tak terasa kini Biru dan Mega sudah menjadi mahasiswa baru di sebuah kampus ternama di kota.

Kini tidak ada lagi tawa cekikikan ibu karena ulah Arif. Tidak ada lagi sandal yang melayang dari tangan bapak. Dan tidak ada lagi tawa lepas dari Biru ataupun Mega. Mereka berdua sama-sama kehilangan.

Karena tidak ada Arif yang selalu mengerti setiap hal yang tidak di ucapkan Biru dan canggung jika harus tiba-tiba curhat pada Mega, akhirnya Biru mulai menghubungi Avisa terlebih dahulu. Meskipun hal itu membuat Biru merasa aneh.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!