NovelToon NovelToon

Mega Di Antara Biru Dan Jingga

1

...---...

Bobby Rudi Darmawan, di panggil Biru. Saat bayi, ia di temukan oleh warga yang sedang berpatroli malam. Kepala desa dan istrinya mengadopsi Biru sebagai hadiah ulang tahun pernikahan yang ke-10. Mereka mengambil keputusan itu karena sang istri tidak dapat mengandung seorang anakpun akibat sebuah kecelakaan.

Biru tahu kenyataan tentang dirinya saat berusia 7 tahun, di hari pertama masuk sekolah. Sejak saat itu, ia benci berinteraksi dengan manusia lain dan lebih suka menyendiri. Jika ada yang mendekatinya, ia akan berlaku kasar atau tidak menghiraukan mereka sama sekali. Hanya seorang gadis bernama Mega yang tidak menyerah dengan perlakuannya. Seiring berjalannya waktu, Biru justru merasa lengkap dengan adanya Mega. Mega yang hangat mampu menjadi penyeimbang untuk Biru yang begitu dingin.

...---...

“Biru!”

Langkahnya terhenti.

“Udah di bilangin berkali-kali, kalau jalan tuh lihat depan. Kebiasaan deh!”, gerutunya sambil cemberut. Imut.

“Yaaaa yaaa....”

“Ah!”, seru Mega.

“Napa?”

“Gue lupa bawa buku kimia. Gimana nih?”

“Sibuk ngomel sih.”

Mendengar perkataan Biru barusan, Mega sontak melirik tajam.

“Nih!”, ucap Biru sambil melempar buku kimia pada Mega.

Mega berjingkrak kegirangan dan langsung memeluk Biru. Membuat jantung Biru berdiskoria.

“Lu punya dua?”

“Pinjem si Arif tadi.”

“Lah terus si Arifnya?”

“Dia bolos. Mau kencan katanya.”

“Jangan ikut-ikutan ya?”

“Enggak lah.”

“Awas aja kalau ikut-ikutan!”

”Ngapain? Kan lu adanya di sekolah.”

“Ha? Lu ngomong apa?”

Mega tidak mendengar ucapan Biru karena sibuk memasukkan buku ke dalam tasnya.

“Nggaaakk… Buruan, kurang 5 menit.”

“Tumben panik?”

“Piketnya pak Bowo.”

“Ooohhh... Pantes.”

Sedikit informasi. Pak Bowo adalah guru ketertiban. Sama seperti gelarnya, ia sangat tertib dan tanpa ampun. Biru pernah berurusan dengan beliau dan membuat Mega menceramahinya selama seminggu penuh.

...***...

Di kelas XI IPA.

Kriiiiiiinnngggg... Bel berbunyi dan tak lama bu Vita, guru kimia, memasuki ruang kelas bersama seseorang.

"Beri salam.”

Mega selaku ketua kelas memberi aba-aba yang serempak di ikuti oleh seluruh siswa.

"Selamat pagi bu.”

"Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, pindahan dari kota.”

Para siswi sangat gaduh melihat murid baru ini. Hal yang lumrah terjadi pada manusia ketika ada manusia lain yang good looking di hadapan mereka.

"Silahkan memperkenalkan diri.”

“Baik bu.”

Hening seketika.

"Dasar betina.", gerutu para murid laki-laki.

"Hai. Namaku Jingga. Pindahan dari Jakarta.”

"Jingga udah punya pacar belum?”, tanya Melinda.

...---...

Melinda adalah murid populer di sekolah, anak dari pemilik pabrik rokok terbesar di kota ini. Kebanyakan wali murid di kelas ini bekerja di pabrik milik ayahnya. Karena itu ia sering berlaku seenaknya pada murid lain. Ia anak orang kaya tapi isi otaknya hanya bagaimana cara bergaya saja.

...---...

“Hmm... Belum. Mungkin bakal nemu di sini.”

“Arrrgghhhh\~\~\~\~\~", para gadis teriak kegirangan.

Biru otomatis melihat ke arah Mega yang tersenyum melihat tingkah murid baru itu.

“Karena Arif tidak masuk, Jingga sementara kamu duduk sama Biru.”

“Baik bu.”

"Nanti jam istirahat yang laki-laki tolong bantu Jingga ambil ektra meja kursi di gudang ya.”

"Baik bu.”

Kesal. Biru semakin kesal.

“Hai.”

Biru tidak menghiraukan sapaan Jingga. Namun tiba-tiba Mega melotot pada Biru, mengisyaratkan bahwa ia harus berlaku baik pada Jingga.

“Hai.”, jawab Biru.

“Baiklah anak-anak, kita lanjutkan pelajaran yang kemarin ya. Karena kemarin masih banyak yang belum mengerti, untuk mempersingkat waktu kita akan mengerjakan soal secara berkelompok. Silahkan buat kelompok dengan 5 anggota.”

Tanpa di minta, Mega akan selalu memasukkan Biru ke dalam kelompoknya. Meskipun anggota lain merasa tak nyaman dengan keberadaan Biru tapi mereka tidak dapat menolak karena satu kelompok dengan Mega adalah sebuah jackpot. Karena Mega adalah murid unggulan di sekolah ini.

Kelompok beranggotakan 5 orang sudah terbentuk. Selain Biru dan Mega, tiga lainnya adalah Desi (teman sebangku Mega), Sinta (anak ibu kantin) dan yang terakhir adalah Jingga. Lagi-lagi Biru kesal.

“Kenapa dia juga?”, tanya Biru.

“Diam!”, jawab Mega.

Biru terdiam. Desi dan Sinta cekikikan, mereka selalu puas saat Biru tidak berkutik jika berhadapan dengan Mega.

“Desi\~ Tukar kelompok dong.”, bujuk Melinda yang tiba-tiba mendatangi kelompok Mega.

“Kenapa?”, tanya Mega.

“Nggak adil dong kalau satu kelompok isinya cuma yang pinter-pinter aja. Orang bodoh kayak gue harusnya yang satu kelompok sama murid nomor 1 kayak elu.”

Sebenarnya semua sudah tahu alasan Melinda ingin berada di kelompok ini adalah Jingga.

“Nggak apa-apa Mey, aku udah ngerti kok bagian ini. Lagipula di sana ada Bagas. Dia kan juga udah bisa semua soal ini.”, kata Desi.

“Ih Desi baik deh. Makasih ya.”, ucap Melinda yang langsung menggeser bangku ke sebelah Jingga.

“Hai, aku Melinda. Panggil saja Meli.”

“Jingga.”, sahutnya dengan senyum.

Sikap ramah Jingga membuat Biru sibuk bertarung dengan pikirannya.

Teeeetttt….Teeeetttt… Sudah waktunya jam istirahat. Bu Vita mengakhiri pelajarannya. Tanpa basa-basi Biru langsung berdiri dan pergi meninggalkan kelas.

“Bi! Bantuin beres-beres dulu dong. Ih!”, teriak Mega yang tak di pedulikan.

Sebagai ketua kelas, Mega bertanggungjawab membereskan dan mengembalikan peralatan praktek.

“Lagian siapa suruh masukin dia ke kelompok ini. Ngrepotin aja.”, gerutu Melinda.

“Orang yang ngerebut tempat orang lain nggak malu ya ngomong kayak gitu?”, balas Mega sambil membereskan buku dan alat tulis.

“Udah-udah. Yang penting tugasnya selesai kan.”, ucap Sinta menengahi.

Melinda langsung pergi setelah membereskan peralatannya sementara Sinta harus segera pergi membantu ibunya berjualan.

“Kamu ke kantin dulu aja Sin, biar aku beresin sisanya. Kasian nanti bibi kuwalahan.”

“Nggak apa-apa nih?”

“Biar aku yang bantuin Mega.”, kata Jingga.

“Tuh kan. Aku udah dapat asisten. Udah pergi aja. Keburu rame kantinnya.”

“Makasih ya Mey, Ngga.”

“Sama-sama.”

Sinta bergegas pergi, menyisakan Mega dan Jingga yang sibuk membereskan peralatan kelas.

“Kamu Mega kan ya?”, tanya Jingga memecah keheningan.

“Iya.”, jawab Mega ramah.

“Mmm... Setelah ini bisa tolong kasih aku panduan tur keliling sekolah?”

“Haha... Bahasamu itu loh.”

“Abis kamu kelihatan tegang banget.”

Mega tersenyum.

“Ok setelah ini aku bakal ajak kamu keliling sekolah.”

“Terimakasih.”, ucap Jingga dengan nada yang lucu.

“Apasih.”

Hanya percakapan biasa namun Mega tak berhenti senyum di buatnya.

“Ok udah beres semua. Tujuan pertama kita adalah ruang alat praktek.”

“Siap komandan!”

Mega melaksanakan tugasnya sebagai tour guide dengan penuh senyum dan tawa. Tanpa mereka sadari, sepasang mata sedang menatap tajam penuh kekesalan dari pojok ruang kantin.

“Argh! Ngapain sih masuk sini segala!”, teriak Biru.

“Kaget bangsat! Hampir aja keselek gue.”, teriak Arif yang kaget dengan teriakan Biru.

“Arrggghhh!!!”

“Bro, aman?”

“BODO!”

Biru berjalan pergi dengan penuh kekesalan.

“Salah obat kayaknya.”, gumam Arif sambil melanjutkan makan baksonya.

Arif adalah satu-satunya teman sekolah yang dekat dengan Biru. Bukan karena Biru baik padanya tapi karena Arif adalah tipe manusia bodo amatan.

“Rif, lu nggak budeg ya?”, tanya Anto yang makan di belakang Arif.

“Si Biru? Cuekin aja. Tingkah homo sapiens lagi cemburu doang itu.”

“Tapi kenapa sampai sekarang mereka nggak pacaran aja sih?”

“Mana gue tahu. Lu pikir gue doppelgangernya si Biru.”

“Ya kali aja dia cerita.”

“Abisin aja tuh makanan daripada ngurusin si Biru lu.”

Tidak pernah sekalipun Biru cerita tentang apapun yang terjadi di hidupnya namun anehnya Arif selalu memahami situasi dan kondisi Biru. Intinya, Arif adalah teman yang peka.

...---...

Arif Narendra Putra, anak dari satu-satunya pasangan bidan dan tentara di desa ini. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Dulu ia adalah anak yang sangat congkak dan sombong. Merasa bahwa profesi orang tuanya adalah yang terbaik di desa sehingga membuatnya di benci semua orang. Bahkan saat orang tuanya meninggal, tidak ada yang mau berteman dengannya. Mereka yang sebaya dengannyapun hanya datang untuk membulinya.

Suatu ketika ia di buli dengan sangat parah. Anak-anak mendorongnya hingga tercebur ke sungai. Saat itu ia sudah menyerah dengan hidupnya namun sebuah tarikan tangan menyelamatkan hidupnya. Bisakah kau tebak siapa penyelamatnya? Ya, ia adalah Biru. Kebaikan inilah yang membuat Arif tidak pernah sekalipun merasa sakit hati dengan perlakuan Biru karena Arif sudah tahu bagaimana sejatinya Biru.

...---...

2

Di pintu kelas.

“Lu ngapain sih di pintu?”, gerutu Melinda yang tak di hiraukan oleh Biru.

"Heh lu budeg ya?”, hardik Melinda kesal.

Mendengar perkataan Melinda, mata Biru melirik tajam.

“Meli sayang, masuk aja yuk. Di luar dingin banget loh. Nanti kamu kedinginan terus sakit. Kalau kamu sakit , abang kan jadi sedih.”, ucap Arif sambil mendorong Melinda masuk kelas untuk menyelamatkan suasana.

“Apa sih.”

Melinda masih kesal dengan perlakuan Biru namun ia sudah terlanjur terdorong masuk ke dalam kelas oleh Arif. Lagipula berdebat dengan Biru bukanlah hal yang bagus.

“Bro, gue tahu lu nggak suka orang lain ikut campur urusan lu. Tapi kayaknya sekarang lu udah harus melangkah maju deh bro.”, ucap Arif.

“Maksud lo?"

“Ya udah saatnya lu nyatain perasaan ke Mega.”

Biru hanya menatap serius.

“Iya gue tahu lu takut kehilangan sahabat sebaik Mega. Gue tahu lu takut kalau nanti pacaran terus putus kalian nggak bakal bisa sahabatan lagi. Lu takut jauh dan nggak bisa ketemu Mega lagi. Gue paham. Sangat paham. Tapi lu yakin bisa ikhlas lihat Mega di gandeng cowok lain?”

Biru terdiam. Ia memikirkan perkataan Arif barusan.

“Bro?”

“Bacot.”, jawab Biru kalem.

Masih sambil memikirkan perkataan Arif, Biru perlahan masuk ke dalam kelas dan duduk di kursinya. Sementara Arif ditinggal di depan pintu kelas begitu saja. Kasihan.

“Iya Rif. Ok Rif. Makasih. Sama-sama.”, Arif menggerutu seorang diri.

“Rif, lu nggak kesel ya?”, tanya Anto yang lewat di depan kelas XI IPA.

“Buat?”

“Tiap kali lu ngobrol sama si Biru pasti lu di katain. Gue aja dengernya kesel.”

“Bro, kalau lu kesel sama omongan yang bahkan nggak pakai emosi, itu berarti kalian bukan sahabat.”, jawab Arif sambil menepuk pundak Anto dan tersenyum.

“Kayaknya emang cuma elu yang bisa jadi sahabatnya si Biru deh.”, ledek Anto.

“Itu karena gue manusia yang baik.”

Dengan pernyataan itu Arif menutup percakapan dan melesat ke samping sahabatnya. Meninggalkan Anto yang masih menatap ke arahnya.

“Semoga nggak cuma elu yang nganggep hubungan kalian itu persahabatan.”, ucap Anto pelan.

“Lagian ngapain sih lu peduli banget sama hubungan orang lain?”, tanya Wildan.

“Dan, ntar aja gue ceritain. Balik kelas dulu aja yuk, tuh pak Feri udah keluar kantor.”, sahut Riko.

Anto, Wildan dan Riko berjalan menuju kelas XI IPS yang berjarak 2 kelas dari XI IPA.

---

Anto Wibisono, anak dari guru Bahasa di sekolah ini. Dulunya ia dan Arif adalah sahabat karib bahkan sering di juluki saudara beda rahim oleh penduduk desa. Namun karena Anto adalah salah satu anak yang terlibat dalam insiden terceburnya Arif di sungai, persahabatan merekapun akhirnya berakhir.

---

Di lorong kelas.

Mega dan Jingga berjalan di lorong menuju kelas karena jam pelajaran segera di mulai kembali.

“Mmm... Mey sorry. Gue boleh tanya sesuatu?”

“Apa?”

“Biru itu pacar kamu?”

Mendengar pertanyaan itu, Mega tertawa terbahak-bahak.

“Kok ketawa?”

“Bukan bukan. Aku sama Biru emang sepaket tapi kita nggak pacaran. Dia sahabat terbaik yang gue punya meskipun anak-anak lain nggak suka sama dia.”

“Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Kenapa kalian nggak pacaran?”

“Hmm... Harus di jawab ya?”

“Kalau kamu keberatan, nggak perlu.”

“Dah yuk buruan. Keburu bel bunyi.”

“Ok.”

Merekapun berjalan menuju kelas tanpa sepatah katapun lagi.

...***...

Di kelas.

Jingga berjalan menuju tempat duduknya di sebelah Biru.

“Sorry bro, ini tempat duduk gue. Tempat duduk ekstra buat lu udah di siapin noh sama anak-anak. Sorry ya.", jelas Arif.

“Oh ok nggak apa-apa. Tadi bu Vita juga udah bilang.”

Arif berdiri merangkul dan berbisik pada Jingga.

“Temen gue rabiesnya lagi kumat, ntar takutnya lu di gigit. Biar gue aja yang di sini. Gue udah biasa rabies.”

Jingga yang mendengar bisikan Arif langsung tertawa. Tanpa berkata apapun ia mengambil tasnya dan pergi menuju bangku yang sudah di siapkan untuknya. Sementara Biru menatap tajam pada Arif yang sedang cengengesan.

“Hehe... Tatapan lu bikin gue deg degan deh bro.”, goda Arif.

“Sinting.”

Kriiiinnnggg... Kriiinnnggg.... Bel berdering dua kali menandakan waktu istirahat sudah berakhir dan jam pelajaran selanjutnya sudah di mulai.

***

Ting Tong Teng... Tak terasa jam pelajaran terakhir telah usai.

“Baik anak-anak sekian untuk hari ini.", ucap bu Rini.

“Beri salam.”, aba-aba Mega.

“Selamat siang bu.”

“Selamat siang.”

Bu Rini meninggalkan ruang kelas terlebih dahulu kemudian di susul para siswa. Sementara di pojok bangku belakang Jingga bergegas membereskan peralatannya dan sedikit berlari menuju Mega yang duduk di barisan paling depan.

“Mey, tadi kan belum selesai kita keliling sekolahnya. Bisa di lanjutkan sekarang aja?", tanya Jingga pada Mega.

“Bisa. Lagipula itu sudah tugas aku juga.”

Desi dan Sinta yang duduk di sebelah dan di belakang Mega saling bertatapan. Sedangkan manusia cemburu di belakang sudah merasa tidak senang dengan pemandangan tersebut dan langsung melesat menuju bangku depan.

“Ayo pulang.”, ajak Biru.

"Gue masih mau lanjut nemenin Jingga keliling sekolah.”

“Besok aja.”, sahut Biru sambil menatap tajam pada Jingga yang berdiri sejajar denganya di seberang meja.

Beberapa murid yang masih tersisa di kelas menatap pemandangan ini dengan tegang. Mereka belum pernah melihat Biru seperti itu karena selama ini para murid laki-laki tidak ada yang berani mendekati Mega. Keberadaan Biru yang selalu menempel pada Mega membuat nyali mereka menciut sebelum mencuat.

“Lo mau ikut atau tunggu gue di warung mak Sri?”, tanya Mega yang menandakan ia tidak akan mengurungkan niatnya untuk menemani Jingga.

Biru menggebrak meja dan pergi begitu saja dengan perasaan kesal, sudah hafal dengan tabiat Mega ketika tidak ingin di debat.

"Jangan lama-lama. Gue yang repot.”, pesan Arif pada Mega.

“Iya iya.”

“Seenggaknya ajak gue kek.”, gerutu Arif yang langsung bergegas menyusul Biru.

Ketegangan berangsur hilang dengan perginya Biru dari ruang kelas.

“Itu si Biru kayaknya marah banget deh Mey.”, ucap Desi.

“Iya sampe gebrak meja begitu. Serem ih.”, sahut Sinta.

“Enggak kok. Ngambek doang sih itu bukan marah. Ntar juga bakal baikan.”

“Sorry gara-gara aku...”, ucap Jingga.

“Nggak usaah di pikirin. Biru emang gitu anaknya tapi sebenernya dia baik kok.”

“Kayaknya di seluruh alam semesta ini yang bisa lihat itu cuma elu deh, yang lain enggak.”, hardik Meli yang tidak di hiraukan oleh Mega.

“Yuk!”, ajak Mega pada Jingga.

“Jingga bisa ajak Meli aja loh sebenernya daripada repot berurusan sama si gila itu.”, goda Meli.

“Makasih. Mungkin lain kali.”

Jingga berjalan keluar kelas di susul Mega yang menoleh sambil menjulurkan lidahnya, mengejek Melinda. Membuat melinda kesal tidak karuan. Seisi kelas tertawa melihatnya.

...***...

Di lorong sekolah.

“Kayaknya Biru suka banget deh sama kamu.", kata Jingga membuka pembicaraan.

“Ketika kamu hidup dengan mengetahui fakta bahwa kamu adalah anak yang tidak di inginkan dan di buang, kamu akan menganggap orang yang menerima bagaimanapun dirimu adalah segalanya.”

Jingga terdiam mendengar perkataan Mega.

“Mungkin seperti itulah deskripsi dari hubungan kami.”

“Iya.”

“Satu-satunya hal yang membuatku nggak pernah mau membicarakan hubungan kami adalah karena aku nggak suka orang lain menganggap Biru lemah di saat dia sudah membangun citra sebagai orang yang kuat, sebagai bentuk pertahanan dirinya. Bukankah persahabatan adalah tentang menghargai?”

“Kamu dewasa sekali ya.”

“Kalau kamu menghabiskan seluruh hidupmu dengan manusia macam Biru, kamu akan dewasa secepat kilat. Mungkin cuma Arif yang enggak. Haha..."

Jingga ikut tertawa bersama Mega.

“Kalau aku mau lebih dekat sama kamu, apa aku harus mendekati Biru juga?”

Mega menghentikan langkahnya. Ia menatap ke arah Jingga yang tak sedikitpun melepaskan pandangan dari Mega. Mereka saling bertatapan. Waktu sejenak berhenti di ruang dimensi mereka.

“Why I think I love you?”, batin Jingga.

“Kalian kok belum pulang?”, tanya Pak Slamet, guru kelas X.

Pertanyaan pak Slamet memecah keheningan dan membuyarkan aksi tatap-tatapan Jingga dan Mega.

“Ah ini. Jingga ini murid baru pak. Saya sedang memperkenalkan seluk beluk sekolah ke dia.”, jawab Mega gugup.

“Kamu ini kayak lagi di grebek saja. Hahaha. Ya sudah lanjutkan.”

“Hehe... iya pak.”

“Jangan tatap-tatapan terus, nanti jatuh cinta loh.”

“Amin pak.”, jawab Jingga sambil tertawa kecil.

“Heh!", sahut Mega.

Pak Slamet yang mendengarnya ikut tertawa.

“Mari pak.”, ucap Mega.

“Ya ya.”

Pak Slamet berjalan ke arah berlawanan dengan masih tertawa cekikikan.

“Untung aja pak Slamet. Kalau guru lain bisa di sidang kita.”, gerutu Mega.

“Ternyata yang ku kira dewasa ini juga bisa ngambek ya. Imutnya.”

“Tau ah, buruan. Ntar Biru keburu ngedumel.”

“Oke oke tapi senyum dulu dong.”

Mega sedikit berlari meninggalkan Jingga karena kesal terus-terusan di goda olehnya.

“Kok aku di tinggal sih. Ini ruangan apa? Hei imut.”, oceh Jingga sambil menyusul langkah Mega.

***

3

Warung mak Sri.

Di meja depan, mata Biru menatap tajam pada dua makhluk yang bersiap menyeberang jalan menuju tempatnya.

“Esnya di minum dulu bro biar nggak panas.”, ucap Arif sambil meletakkan segelas besar es teh di hadapan Biru lalu kembali ke dalam untuk mengambil jajanan.

Biru langsung menenggaknya sekaligus dan mengunyah keras es batu besar di dalamnya dengan tanpa melepaskan pandangan dari dua orang di seberang. Arif kembali dengan membawa beberapa jajanan.

“Lu kalap bro?", tanya Arif yang terkejut melihat gelas besar yang baru saja ia letakkan sudah kosong melompong.

Seperti biasa, ucapan dan pertanyaan Arif tak di gubris oleh Biru.

“Kalau butuh teman ngobrol, gabung sini aja Rif.”, teriah Anton dari meja sebelah.

“Lu kenapa selalu pengen jadi orang ketiga di antara kita sih? Nggak mau gue.”, sahut Arif yang di sambut gelak tawa dari meja Anton.

“Tenang aja beb. Gue setia sama lo. Ai lap yu poreper. Muah.”, jelas Arif pada Biru.

Kalimat tersebut sukses membuat Biru mengalihkan pandangannya pada Arif. Masih dengan tatapan tajam.

"Hehe...”, Arif cengengesan.

“Mau lu pasang muka serem kayak apa, si Arif nggak bakal kabur.”, ledek Mega yang sudah sampai di hadapan Biru.

"Iyalah. Gue kan setia.”, sahut Arif.

"Ayo pulang.”, ucap Biru menarik tangan Mega.

Mega mengikuti Biru dengan pasrah. Lagi-lagi meninggalkan Arif sendirian.

“Mau nebeng gue nggak?”, tanya Anton pada Arif.

“Dan bikin gue di sumpah serapahi orang tua lo.”, jawab Arif yang langsung pergi begitu saja.

“Si Arif kayaknya benci banget sama lu ya bro?", tanya Wildan.

“Kalau lu jadi dia, lu juga bakal benci sama gue.”

Wildan yang sudah mengetahui cerita tentang Anton dan Arif meraasa sedikit prihatin dengan hubungan keduanya.

...***...

Di jalan pulang.

“Mana teman baru lo? Nggak nganter pulang sekalian?”, tanya Biru jutek.

“Maunya gitu tapi gue suruh pulang.”, jawab Mega tak kalah jutek.

“Kenapa?”

“Daripada lu bikin dia nggak nyaman.”

“Ya udah sana pulang sama dia!”

“Biar lu uring-uringan terus gitu?”

“Bodo!”

Biru berjalan lebih cepat hendak meninggalkan Mega.

“Lu kenapa sih? Gue nggak boleh punya teman lain? Gue nggak boleh bersosialisasi? Gue pengen hidup normal. Gue selalu menghargai pilihan lu. Gue menghargai kehidupan lu bukan berarti gue harus hidup kayak elu kan? Salahnya gue dimana?”, teriak Mega dengan terisak.

Biru menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan melihat Mega sudah tertunduk dan menangis keras. Biru langsung kembali untuk memeluk Mega.

“Padahal gue selalu di samping lu. Salah gue dimana?”, tangis Mega semakin keras.

“Maaf.”

Satu kata yang hanya bisa di dapatkan oleh Mega.

Mega menuntaskan tangisannya di pelukan Biru. Tanpa di sadari, Jingga sedang melihat mereka dari balik tembok di belakang mereka.

“Sekarang lu tahu kan bagaimana beratnya jadi Mega?”

Jingga terkejut, ternyata Arif juga sedang mengawasi mereka sedari tadi.

“Lu ngikutin mereka?”, tanya Arif.

“Gue mau minta nomornya Mega, tadi lupa.”

“Bro, tanpa gue jelasin lu pasti juga udah tahu kalau Biru suka banget sama Mega. Gue juga tahu lu suka sama Mega. Gue sebagai temennya si Biru pasti dukung Biru tapi kalau lu yang menang juga nggak apa-apa. Palingan jadi tempat sampahnya si Biru aja sih nanti.”

“Hehe... Iya.”

“Saran gue, sabar aja bro. Jangan buru-buru.”

“Gue juga maunya gitu kok bro. Duluan ya.”, sahut Jingga yang langsung meninggalkan Arif.

“Kenapa sih nasib gue selalu di tinggalkan.”, gerutu Arif.

Arif berjalan menghampiri dua insan yang sedang berpelukan di tengah jalan.

“Gue ikut pelukan juga dong. Gue kan juga mau di peluk.”, teriak Arif.

Sontak keduanya langsung melepaskan diri masing-masing. Mega mengusap air mata yang membanjiri pipinya dan biru barjalan ke kanan dan ke kiri, salah tingkah.

...***...

Di Rumah Kepala Desa.

“Buuu Arif pulang.”

“Iya Rif. Ibu di dapur. Makan sana sama Biru.”

“Siap bu!”

Biru yang setiap hari melihat pemandangan ini sudah tak lagi merasa asing, berbeda dengan pertama kali Arif melakukan hal tersebut.

...*flashback*...

“Ya ampun ini kenapa Arif bisa basah kuyup begini?”, tanya ibu khawatir.

“Nyemplung sungai.”, jawab Biru singkat.

“Kamu kasih dia baju ganti ya nak. Ibu siapkan makanan hangat dulu.”

“Iya bu.”

“Masuk masuk nak.”, kata ibu pada Arif.

Di kamar Biru.

“Nih.”, ucap Biru sambil menyodorkan handuk dan baju ganti.

“Makasih.”, sahut Arif lirih.

Biru hendak pergi meninggalkan Arif di kamar namun tiba-tiba.

“Anu...", ucap Arif pelan.

“Lu ngomong sama semut?”, tanya Biru karena hampir tidak dapat mendengar suara Arif.

“Kamar mandinya sebelah mana?”, tanya Arif dengan volume suara yang sudah mulai terdengar.

Tanpa menjawab pertanyaaan Arif, Biru berjalan keluar kamar dan di ikuti oleh Arif. Mereka menuju kamar mandi yang berada di sebelah dapur, tempat ibu memasak.

“Ibu sudah siapkan air hangatnya. Buruan mandi nanti masuk angin.”, kata ibu pada Arif.

“Terimakasi bu.”

“Iya.”

Arifpun bergegas untuk mandi. Di dalam kamar mandi ia sempat meneteskan air mata. Ia bersyukur karena dari banyaknya rasa sakit yang ia dapatkan, Tuhan masih menyisakan manusia baik yang mau merangkulnya. Meskipun tidak di sangka jika manusia itu adalah Biru yang selama ini di kenal sangat dingin pada semua orang.

“Nak, kamu siapkan mejanya ya. Ini sudah mau matang.”, pinta ibu pada Biru.

“Iya bu.”

“Arif kenapa?”

“Biasa.”

Seluruh penghuni desa memang sudah tahu dengan perlakuan yang selama ini di terima oleh Arif namun tidak ada satupun yang mau membantunya. Mereka menganggap bulian yang di terima oleh Arif hanyalah hal sepele sampai hal itu menjadi sebesar ini.

Beberapa menit kemudian Arif keluar dari kamar mandi dengan canggung.

“Sudah selesai? Ayo sini makan.”

“Iya bu.”

“Ini ibu tadi masak soto. Kamu bisa makan di kursi depan tv sama Biru. Ibu mau ke perkumpulan warga dulu.”

“Terimakasih bu.”

“Jangan sungkan-sungkan. Kamu bisa tinggal di sini dulu kalau mau daripada di rumah sendirian.”

“Te hiks rima hiks kasih hiks bu hiks.”, ucap Arif sambil terisak.

Ibu memeluk Arif dengan hangat dan menepuk punggungnya pelan.

“Sudah sudah jangan nangis. Nanti gantengnya luntur loh.”

Arif yang mendengar candaan ibu langsung mengusap air matanya dan tersenyum.

“Ibu berangkat dulu ya, sudah di tunggu. Kamu yang akrab sama Biru.”

“Iya bu. Hati-hati di jalan.”

“Iya.”

Setelah ibu melangkah pergi, Arifpun mengambil makanan yang sudah di siapkan oleh ibu kemudian berjalan menuju ruang tv (atau ruang tamu dengan tv).

“Gue duduk sini ya bro.”

“Hm.”, jawab Biru setuju.

“Ngomong-ngomong, makasih ya bro.”

“Buat?”

“Yang tadi.”

“Lu suka banget di buli ya?”

“Lu pikir gue mau?”, teriak Arif yang dengan spontan berdiri.

Teriakan Arif membuat mereka saling bertatap tajam. Suasana menjadi menegangkan namun tiba-tiba...

Kruyuuukkkk... Suara perut Arif mengisi keheningan dan membuyarkan ketegangan. Tanpa aba-aba mereka berdua tertawa secara bersamaan. Sejak saat itu Arif tahu bahwa Biru hanyalah manusia pada umunya. Hanya saja ia sedang tertutup luka.

...***...

Keesokan harinya Arif berangkat sekolah bersama Biru. Tidak ada lagi kekerasan fisik yang di terimanya meskipun terkadang masih saja ada hinaan dan cacian yang menyakiti hatinya. Sejak saat itu pula Arif lebih sering tinggal di rumah kepala desa daripada rumahnya sendiri yang tak berpenghuni.

Pulang sekolah.

“Buuu.... Arif pulang.”

“Ibu siapa lu panggil?”, tanya Biru jutek.

“Ibu gue lah, weekk.”, jawab Arif meledek.

“Tadi ibu kira Biru yang teriak. Ternyata anak barunya ibu.”

“Sejak kapan?”

“Barusan lah.”, jawab ibu menggoda Biru.

Arif dan ibu tertawa mengikuti jawaban yang ibu lontarkan pada Biru sedangkan Biru yang kesal melihat kelakuan mereka langsung nyelonong masuk ke dalam kamar.

“Dia lucu ya bu kalau lagi cemburu.”

“Ya begitu itu. Makanya ibu heran kenapa orang-orang tidak ada yang mau dekat sama dia padahal anaknya lucu begitu.”

“Iya ya bu. Oh iya bu tadi di sekolah Arif sama Biru di kenalin ke Mega.”

Arif bercerita banyak hal pada ibu. Ibu menerima dengan hangat apapun yang Arif ceritakan, seakan bersyukur kepada Tuhan karena telah memberinya satu orang putra lagi untuk mengisi kekosongan di hidupnya.

...*flashback end*...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!