Di parkiran kampus.
Avisa yang selesai bertemu dengan Mega langsung menemui Biru dan Arif setelah bertanya dimana posisi mereka pada Arif lewat hp.
“Nah tuh cewek lu balik juga.”, kata Arif.
Arif menatap Biru.
“Tumben lu nggak ngelirik tajam gue bilang gitu?”, tanya Arif.
“Apasih.”
“Nungguin gue ya?”, tanya Avisa.
“Kunci motor lu nih.”, kata Biru sambil menyodorkaan kunci motor pada Avisa.
“Tumben nggak di lempar?", tanya Arif.
“Nanya mulu lu kayak tukang sensus.”, jawab Biru.
Aneh. Ini sungguh aneh. Biru yang selama ini selalu dingin, selalu cuek dan tidak pernah bisa di ajak bercanda tiba-tiba saja menjawab ucapan Arif dengan kata-kata seperti itu. Arif memegang dahinya.
“Apasih.", kata Biru sambil menampik tangan Arif.
“Lu sakit bro?”
“Kenapa sih?”, tanya Avisa yang juga heran dengan tingkah Arif.
“Tahu nih. Salah obat kayaknya.”, jawab Biru.
Avisa tertawa. Arif terbelalak. Kata-kata seperti itu tidak pernah keluar dari mulut Biru sebelumnya.
“Bro! Lu kenapa? Huaaaa...”, teriak Arif sambil pura-pura menangis dan memeluk Biru.
“Gila nih anak.”, kata Avisa.
“Lu yang kenapa bego.”, kata Biru yang berusaha melepaskan pelukan Arif.
Setelah beberapa menit berlalu, mereka memutuskan untuk pergi ke galeri Biru.
“Hai mas Indra.”, sapa Avisa yang sudah berlari masuk terlebih dahulu.
“Hai Avisa.”
Biru dan Arif yang masih berjalan di belakang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Avisa.
“Aku ke ruangan Biru dulu ya mas.”
“Iya iya silahkan.”
Avisa berlari lagi, masuk terlebih dahulu ke ruangan Biru. Mas Indra sedikit bingung karena Biru sama sekali tidak marah dengan banyaknya tingkah Avisa. Padahal selama ini melihat orang sedikit bertingkah saja sudah membuatnya kesal bukan main.
“Maaf ya mas.”, kata Biru yang baru saja sampai di hadapan mas Indra.
“Nggak apa-apa. Aku suka orang seperti dia dan Arif. Bikin rame. Hahaha...”
“Mas, tolong jangan menyukaiku. Aku hanya setia kepada ayang Biru.”, canda Arif.
Biru melirik tajam.
“Eh eh lu kok ngelirik kayak gitu lagi padahal tadi pas gue ngomongin Avisa lu nggak ngelirik kayak gitu.”
Arif mengoceh tanpa henti. Biru meninggalkannya dan berjalan menuju ruangannya. Detik itu mas Indra mengerti bahwa Avisa sudah mulai menggeser tempat Mega di hidup Biru.
“Ternyata dia lebih suka Avisa daripada elu Rif.”, goda mas Indra.
“Iya. Gue masuk dulu ya mas.”, kata Arif tertunduk lesu.
Sambil memasang muka melas, Arif berjalan lemas menuju ruangan Biru. Mas indra yang melihatnya hanya bisa tertawa.
...***...
Sore harinya.
Kelas Mega baru saja selesai. Jingga dengan setia menunggunya di kursi luar kelas.
“Kamu kenapa masih di sini?”, tanya Mega.
“Aku mau ngajak kamu ke rumah Deni.”
“Buat apa?”
“Buat buktiin kalau aku emang hubungin dia malam itu.”
“Aku percaya Ngga.”
“Aku mohon.”
Untuk menghargai Jingga akhirnya Mega ikut dengannya ke rumah Deni.
Sesampainya di rumah Deni, Jingga mengetuk pintu dan memanggil penghuni rumah. Terlihat ibu Deni mengintip dari dalam rumah.
“Ini Jingga bu.”
“Jingga?”, tanya ibu dari dalam.
“Iya Jingga. Yang dulu sering kesini.”
Pintu terbuka. Ibu Deni terlihat sangat kurus dan berantakan. Jingga terkejut melihatnya karena dulu ibu sangat cantik dan berisi.
“Deni ada bu?”
“Kamu kemana saja sampai tidak tahu kalau temanmu sudah berada di dalam tanah sejak setahun yang lalu.”, jawab ibu sinis.
“Maksud ibu?”
“Deni sudah meninggal. Tertabrak mobil. Bawa motor dalam kondisi mabuk berat.”
Cerita ibu seakan bertubi-tubi menusuk tubuh Jingga. Meurunkan kewarasan Jingga sedikit demi sedikit.
“Kapan hal itu terjadi bu?”
Tanpa menjawab pertanyaan Jingga, ibu membanting pintu dengan keras.
“Kita pulang saja ya Ngga. Beliau sedang nggak baik-baik aja, begitu juga kamu.”, bujuk Mega.
Jingga yang masih syok menuruti perkataan Mega. Baru beberapa langkah mereka pergi, tiba-tiba pintu sedikit terbuka. Tangan kurus ibu keluaar dari sela-sela pintu sambil memegang sebuah surat, tertulis untuk Jingga. Mega mengambil surat itu perlahan. Lalu ibu Deni kembali menutup pintu tanpa berkata apapun.
Mega memutuskan agar mereka berdua berdiam diri dulu di dalam mobil sampai kondisi jingga siap untuk mengemudikannya. Jingga memejamkan mata. Bukan tertidur tapi sedang menahan rasa sakitnya.
“Aku beli minum di toko itu dulu ya.”, ucap Mega.
Jingga menganggukkan kepala dengan mata terpejam. Mega keluar dari mobil dan diam-diam menghubungi Avisa.
“Halo?”
“Hm.”
“Lu sibuk?”
“Kenapa?”
“Mmm.... Lu bisa bawa mobil kan?”
“Intinya aja. Nggak usah basa-basi.”
“Gue abis dari rumahnya Deni, temen Jingga.”
“Kalian gila! Gue kesana sekarang!”, teriak Avisa yang langsung menutup sambungan telepon.
Mega bahkan belum mengatakan intinya tapi respon Avisa sudah seheboh itu. Akhirnya Mega kembali ke dalam mobil dengan maasih kebingungan.
“Mana minumannya?”, tanya Jingga yang sudah membuka mata.
“Ha?”
Mega bingung. Jingga bingung melihat Mega yang bingung. Kemudian Mega baru ingat bahwa tadi ia beralasan akan membeli minum.
“Oh. Ini dompetnya ketinggalan.”, kata Mega sambil tersenyum canggung.
“Kamu telepon siapa?”, tanya Jingga yang masih lesu.
“Aku nggak mau kamu mengemudi dalam kondisi seperti ini, bahaya. Jadi aku telepon Avisa biar kesini. Maaf.”
“Apa katanya?”
“Dia mau kesini.”
“Emang kamu ngomong gimana ke dia sampai mau jauh-jauh kesini?”
“Anehnya, aku belum ngomong apa-apa. Aku cuma bilang kita abis dari rumah Deni terus tiba-tiba dia bilang mau kesini.”
Jingga yang mendengar jawaban Mega sontak mengernyitkan dahi. Avisa bahkan tidak mau menjemputnya saat dulu kecelakaan kerja di Inggris. Ia mulai merasa aneh.
Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya Avisa sampai dengan mengendarai motornya. Bersama Biru. Mega terkejut, masih tidak terbiasa melihat Biru dengan perempuan lain. Tanpa basa-basi, Avisa membuka pintu mobil bagian kemudi.
“Minggir.”, perintahnya pada Jingga yang masih lesu.
Jingga keluar hendak pindah ke kursi belakang namun tiba-tiba Avisa menyuruh Mega keluar dan mendudukkan Jingga di kursi samping kemudi.
“Lu ikut gue. Biar Biru yang nganter Jingga balik.”, kata Avisa.
Dengan sisa tenaganya, Jingga membuka pintu dan mencoba protes pada Avisa.
“Jangan aneh-aneh dek.”, katanya.
Avisa langsung menutup pintu.
“Gue bakal kasih tahu maksud omongan gue di perpustakaan tadi.”
Mega yang mendengar alasan itu langsung menuruti perkataan Avisa. Tanpa menoleh lagi, Avisa membawa Mega dengan motor sportnya sementara Biru langsung masuk dan mengemudikan mobil.
“Dua kali lu ngerebut Mega dari gue tapi kenapa kondisi lu malah lebih buruk dari gue.”, celetuk Biru.
“Mungkin ini balasan buat gue karena udah ngerebut Mega dari lu.", kata Jingga lalu tertawa lemas.
Biru menoleh sebentar, melihat Jingga yang setengah waras, lalu kembali fokus mengemudi.
“Gue mulai ragu dengan kelayakan gue buat Mega.”, kata Jingga.
“Butuh setahun gue baru bisa ikhlas, butuh setahun lagi gue baru bisa jadian dan butuh 13 tahun gue baru bisa ngungkapin perasaan gue. Sedangkan lu. Cuma butuh sehari buat dapetin dia, cuma butuh semalem buat ninggalin dia dan cuma butuh dua hari buat bikin dia balik lagi sama lu. Terus sekarang lu ngomong soal kelayakan sama gue? Mau mati lu?”
Biru berbicara panjang lebar dengan penuh kekesalan yang membuat Jingga menyesali perkataannya.
“Sorry Bi.”
Sepanjang jalan, Biru yang masih di penuhi kekesalan tidak mempedulikan Jingga sama sekali.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments