...03 November...
Avisa :
Pagi
...17 November...
Avisa :
Hai!
...9 Desember...
Avisa :
Halo
Semakin lama intensitas pesan Avisa semakin berkurang. Namun tahun berikutnya ia kembali memborbardir Biru dengan banyak pesan lagi.
...6 Juli...
Avisa :
Apa kabar?
...7 Juli...
Avisa :
Hai
...14 Juli...
Avisa :
Gue masih setia
...21 Agustus...
Avisa :
Hari ini gue pergi ke toko komik langganan lu
...15 Desember...
Avisa :
Eh tadi gue ketemu Arif loh
Ternyata dia gaanteng juga
Tapi lebih ganteng lu sih
Avisa mengirimkan foto ranjang yang terdapat lukisan milik Biru di atasnya.
^^^Biru :^^^
^^^Kenapa lukisan gue ada di situ?^^^
Avisa :
Susah banget ya dapetin perhatian lu
^^^Biru :^^^
^^^Siapa lu sebenernya?^^^
Avisa :
Avisa
^^^Biru :^^^
^^^Kapan lu mau berhenti ganggu gue^^^
Avisa :
Kalau lu sudah gantian ganggu gue
^^^Biru :^^^
^^^Cewek sinting^^^
Avisa :
Gue sinting karena lu cuek
^^^Biru :^^^
^^^Stop ganggu gue^^^
Avisa :
Gamau!
^^^Biru :^^^
^^^Mau lu apa sih?^^^
Avisa :
Yakin nanya gitu?
Kalau gue maunya ketemu lu gimana?
^^^Biru :^^^
^^^Ogah!^^^
Avisa :
Bakal gue paksa
Gue punya jalur orang dalem
Avisa mengirim fotonya bersama Arif.
Biru yang mendapatkan kiriman foto dari Avisa langsung mengirimkannya pada Arif dan langsung menelponnya.
“Siapa tu cewek?”
“Avisa.”
“Udah tahu.”
“Terus kenapa lu nanya?”
“Dia punya lukisan gue.”
“Yang mana?”
“Bentar gue kirim.”
“Oh yang itu. Padahal dia beli semua kenapa cuma itu yang di kasih lihat ke elu.”
“Maksud lu?”
“Dia tuh yang beli semua lukisan lu kecuali 'langit'.”
“Jadi lu kenal tu cewek?”
“Kenal lah. Namanya Avisa. Katanya lu sudah tahu.”
“BODO!”, teriak Biru yang langsung menutup sambungan teleponnya.
Tak lama Arif datang dengan membawa satu set rantang kiriman ibu untuk Biru.
“Lu jadi perantara gue jangan aneh-aneh deh.”
“Aneh-aneh gimana sih bro?”
“Lu yang ngasih nomor gue ke dia?”
“Lah kok bisa gitu? Pertama kali dia hubungin gue saja dia bilang kalau dia kenal sama elu.”
Biru semakin merasa aneh. Siapa sebenarnya Avisa ini?
...***...
Setahun sudah berlalu. Mega masih menjalani hubungannya yang harmonis bersama Jingga sedangkan Biru semakin memiliki banyak lukisan di galerinya. Sejak perang dingin yang terjadi di antara mereka, Biru mulai mencari kesibukan baru.
Suatu hari ia pergi ke sebuah galeri yang mengadakan lomba melukis. Awalnya ia hanya ingin menuangkan segala kekecewaannya ke sebuah kanvas namun ternyata banyak yang menyukai lukisan abstraknya sehingga pemilik galeri, mas Indra, mengenalkan Biru pada senimannya yang lain. Sejak saat itu Biru sering menghabiskan waktu di galeri, tentunya dengan Arif yang masih setia menempel padanya.
“Sudah hampir satu tahun loh kamu disini. Kamu nggak mau buka galeri sendiri? Uangmu pasti kan sudah banyak.”
“Aku lebih suka di sini mas.”
“Kenapa?”
“Rame.”
“Rame juga kamu lebih suka sendiri. Haha...”
Hal yang paling Biru sukai dari tempat ini adalah meskipun tidak pernah sepi tapi semua orang selalu memberinya privasi. Itu semua berkat mas Indra yang mampu memberikan pengertian kepada seniman lain, juga kepada pengunjung. Bahkan sebagai bentuk apresiasi, mas Indra memberikan ruangan khusus untuk Biru karena selama ini selalu menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk galeri ini.
“Hai mas Indra.”
“Hai Rif. Dari mana?”
“Abis nganter ibu mas. Ini ada titipan dari ibu buat mas indra.”
“Kue bolu? Ibu ini repot-repot saja. Sampaikan terimakaasihku buat ibu ya Rif.”
“Iya mas.”
“Ya sudah kalau gitu kamu temani Biru, aku mau bagi-bagi ini ke yang lain.”
“Siap mas.”
Mas Indra melangkah pergi meninggalkan Arif bersama Biru di ruangannya.
“Lu ntar pulang kan bro?”
“Liat ntar.”
“Udah setahun lu kayak gini. Nggak kasihan ibu? Beliau nanyain lu terus.”
Biru terdiam. Ia merasa bersalah.
“Udah saatnyaa lu lupain Mega bro.”
“Apa dia keliatan bahagia?”
“Iya.”
Mendengarnya, Biru merasa sedikit lega. Jika Mega bahagia, itu cukup untuknya.
“Ya udah ntar gue pulang sama lu.”
Setelah merasa cukup menyapu kuas untuk hari ini, Biru ikut pulang bersama Arif.
...***...
Di depan rumah, ibu sudah bersiap untuk menyambut kepulangaan kedua anaknya. Tanpa basa basi ibu langsung memeluk Biru dengan hangat.
“Ibu sedang apa di luar? Dingin.”, tanya Biru lembut.
“Setiap hari ibu pasti nungguin lu kayak gini.”, sahut Arif.
“Maafin Biru ya bu.”
“Tidak apa-apa nak. Tidak ada yang kuat jika itu menyangkut masalah hati. Kamu masih mau pulang saja ibu sudah bersyukur.”
“Terimakasih bu, sudah membesarkan aku dengan baik.”
“Iya nak. Masuk yuk. Bapak di dalam.”
“Iya bu.”
Mereka masuk ke dalam rumah dan di sambut hangat oleh bapak.
“Kamu sudah makan nak?”
“Belum pak.”
“Ya sudah ayo kita makan sama-sama. Ibu juga dari tadi belum makan. Katanya mau makan bareng kamu. Ayo ayo. Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu. Arif juga ayo.”
“Iya pak.”, jawab Biru dan Arif.
Pukul 11 malam itu mereka makan bersama di ruang tamu sambil menonton tv acara malam. Tidak ada pertanyaan apapun yang terlontar dari bapak maupun ibu karena selama ini Arif sudah menceritakan segala hal yang terjadi pada Biru. Tentang sakit hatinya, tentang galeri dan lukisan-lukisannya, juga tentang Avisa.
...***...
Keesokan harinya di kamar Biru.
“Bro, lu sekolah kan?”
“Emang gue pernah bolos?”
“Pernah. Pas pertama tahu Mega sama Jingga jadian.”
Biru langsung melirik tajam. Meskipun selama ini Biru enggan pulang namun ia selalu berangkat sekolah. Ia tidak mau merusak hidup dan mengecewakan orang tua yang selama ini sudah tulus membesarkannya.
Sebelum meninggalkan rumah, Biru sempat berpesan pada ibu agar mengadopsi Arif juga agar mereka benar-benar menjadi keluarga dan ibu menyetujuinya. Biru tidak mau meninggalkan ibu dan bapak sendirian lagi di rumah. Karena itulah selama menetap di galeri, setiap harinya Arif yang akan mengurusi pakaiannya. Membawa pulang baju kotor dan membawakan baju ganti untuknya.
“Mau bawa motor atau jalan?”
“Bawa motor aja.”
“Ya udah yuk!”
“Gue yang bawa.”
“Iya iya. Nih!”, kata Arif sambil melemparkan kunci motor.
“Enak lu ya punya sodara kayak gue. Mau lu apain juga iya-iya aja.”
“Bacot.”
Setelah selesai bersiap-siap mereka pergi berangkat ke sekolah, tentu saja setelah sarapan bersama.
...***...
Di parkiran sekolah Biru melihat Mega yang baru saja datang berboncengan dengan Jingga.
“Ntar pulang mau ke galeri dulu atau langsung pulang lu?”, tanya Arif sambil merangkul pundak Biru untuk mengalihkan perhatiannya.
“Ke galeri bentar aja.”
“Ok.”
Arif menggiring Biru agar terus berjalan. Sementara Mega terus menatap mereka daari kejauhan.
“Kamu nggak mau ngomong aja apa sama Biru?”
Mega menggelengkan kepala dan tersenyum kecil pada Jingga.
“Aku nggak suka liat kamu sedih terus kayak gini. Udah setahun loh.”
“Nggak usah di bahas ya Ngga.”, ucap Mega lembut.
Meskipun selama ini ia menjalani hubungan dengan baik bersama Jingga namun sebenarnya hati Mega merasa kurang. Ia selalu memikirkan Biru dan kenangan mereka. Tak jarang Jingga merasa di selingkuhi meskipun hanya dengan sebuah kenangan.
Di dalam kelas, Biru masih memalingkan pandangan ketika bertatap mata dengan Mega. Kali ini Mega yang terus menatap ke arah Biru dengan penuh kesedihan. Ketika Mega memalingkan pandangan, Biru mulai melihat ke arahnya dan menyadari raut kesedihan yang terpancar di wajah Mega. Biru merasa bersalah dan memikirkannya sepanjang jam pelajaran.
Teeeetttt….Teeeetttt… Bel istirahat berbunyi.
“Rif.”
“Ha?”
“Gue mau nyamperin Jingga.”
“Ngapain?”
Tanpa menunggu pertanyaan Arif, Biru berdiri dan berjalan ke meja Jingga.
“Eh eh. Bro.”
Arif yang panik langsung menyusul laangkah Biru.
“Gue mau ngomong sama lu.”, kata Biru pada Jingga.
“Ok.”
Arif yang hendak menengahi, mengurungkan niatnya. Dari intonasi Biru, ia tidak terlihat marah sama sekali. Mega yang menyaksikan hal itupun hanya diam saja membiarkan Biru mengajak Jingga keluar kelas. Namun seisi kelas mulai heboh.
“Mey, Biru sama Jingga.”, kata Desi panik.
“Nggak usah khawatir. Mereka nggak bakal berantem. Ya kan Rif?”
“Iya.”
“Kamu yakin?”, tanya Sinta.
“Intonasinya datar. Itu tandanya dia nggak lagi marah.”, jelas Mega.
Seisi kelas langsung tenang mendengar penjelasan Mega.
Di taman belakang sekolah, Biru dan Jingga duduk agak berjauhan. Sementara Arif memantau situasi sambil senderan di pohon kelengkeng yang berjarak sekitar 5 meter dari tempat mereka. Sudah beberapa menit berlalu namun mereka masih saja diam.
“Mega bahagia sama lu?”, tanya Biru membuka percakapan.
“Setengah.”
“Maksud lu?”
“Bro, Mega juga butuh elu. Gue sama Mega emang sama-sama sayang tapi gue juga tahu lu punya tempat tersendiri di hati Mega.”
Biru terdiam sejenak.
“Lu tahu apa yang lucu dari hubungan gue sama Mega?”
Biru menatap Jingga.
“Terkadang gue ngerasa gue ini cuma selingkuhan dan pacar utamanya adalah kenangan kalian. Haha. Konyol banget kan. Mau cemburu, itu cuma kenangan tapi bohong banget kalau gue bilang nggak cemburu sama sekali.”
Biru tersenyum mendengar perkataan Jingga.
“Gue boleh tanya nggak?”
“Apa?”
“Lu nggak mau damai sama Mega?”
Biru terdiam lagi.
“Gue tahu kalian berdua sama-sama tersiksa dengan keadaan sekarang ini.”
“Gue belum siap.”
“Ok. Dateng kapan aja lu mau.”
“Gimana sama elu?”
“Gue? Buat gue yang penting Mega bahagia. Dari awal juga gue nggak keberatan dengan hubungan kalian. Gue tahu lu juga sayang banget sama Mega tapi mau gimana lagi kalau Mega milihnya pacaran sama gue.”
“Sialan lu.”
Mereka tertawa bersama. Menertawakan kecemburuan, sakit hati dan keadaan yang saat ini mereka hadapi.
Masih senderan di pohon kelengkeng, Arif lega melihat pemandangan baru di hadapannya tersebut. Karena merasa tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi antara mereka berdua, Arif memutuskan untuk kembali ke ruang kelas.
“Rif?”, panggil Mega yang seakan meminta penjelasan.
“Aman. Mereka bener-bener cuma ngobrol.”
Mega merasa lega mendengarnya.
Tak lama Jingga kembali ke dalam kelas dan langsung menghampiri Mega.
“Jangan khawatir.”, kata Jingga sambil mengusap rambut Mega dengan lembut.
Mega membalasnya dengan anggukan dan senyuman kecil.
Beberapa menit kemudian Biru kembali ke dalam kelas sambil membawa roti dan susu strawberry lalu meletakkannya di meja Mega tanpa berkata apapun. Mega membuka roti dan susu tersebut dengan senyuman yang tak dapat di tahannya. Seisi kelas heboh lagi. Ada yang melongo, ada yang berbisik-bisik, ada juga yang ikut tersenyum bersama Mega. Terutama Biru, Jingga dan Arif.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments