“Gue beli minum dulu.”, kata Biru.
Biru beranjak pergi tanpa jawaban dari Mega maupun Jingga. Ia berjalan menuju toko di pojok perempatan dekat taman dan berhenti sejenak sebelum menyeberang, menunggu lampu berganti merah.
Kriiinnggg... Sebuah panggilan masuk ke hp Biru. Terlihat deretan nomor di layar yang artinya Biru tidak pernah menyimpan nomor tersebut di hpnya. Namun yang pasti Biru sangat tahu siapa yang menelponnya saat ini, Avisa.
“Halo?”
“Halo.”
“Ini beneran Biru?”
“Iya.”
Seorang perempuan terlihat berjingkrak-jingkrak di seberang jalan.
“Lu nyariin gue?”
Biru terdiam.
“Gue seneng banget pas buka semua pesan dari lu.”
“Hm.”
“Lu dimana sekarang?”
“Kenapa?”
“Gue mau ngewujudin impian gue yang tertunda. Gue bakal nemuin elu. Cepet cepet lu dimana?”
Biru terus menatap perempuan di seberang jalan.
“Lu dimana?”, tanya Biru.
“Lu yang mau nyamperin gue? Ok deh. Ini gue lagi diii... depan toko Mentari.”
Biru menutup teleponnya. Ia sadar bahwa perempuan di seberang jalan yang ia lihat sejak tadi adalah Avisa.
Kriiinnngg.... Avisa menelepon lagi. Anehnya Biru menerima telepon itu, lagi.
“Kenapa di tutup?”
“Lambaikan tangan.”
“Ha?”
Avisa merasa aneh dengan perintah Biru namun tetap menurutinya. Ia melambaikan tangan setinggi mungkin.
“Jangan tinggi-tinggi.”
“Loh? Kok tahu?”
Mata Avisa memandang kesana kemari lalu berehenti di sosok pria tinggi di seberang jalan yang juga sedang melambaikan tangan.
“Waahhh.... Lama nggak lihat, lu makin ganteng ya.”
Biru terdiam malu.
“Ngapain di situ?”, tanya Avisa penasaran.
“Jalan-jalan.”
“Sendiri?”
“Sama Mega.”
“Mega? Bukannya dia sama Jingga?”
Pertanyaan Avisa membuat Biru semakin penasaran. Bagaimana Avisa bisa mengetahui segalanya. Lampu berubah merah dan Biru berjalan ke seberang jalan. Namun bukannya berhenti, Biru justru melewati Avisa begitu saja. Membuat Avisa kebingungan dan langsung mengikutinya.
“Hei gue di sini.”
Biru menghentikan langkahnya.
“Gue mau beli minum.”
Setelah mengatakan itu, ia lanjut berjalan masuk ke dalam toko. Avisa tetap mengikuti kemanapun Biru melangkah. Dari kulkas satu ke kulkas yang lain, dari rak satu ke rak yang lain. Saat biru sedang melihat-lihat deretan minuman di hadapannya, Avisa tiba-tiba membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol minuman soda.
“Gue mau yang ini.”, katanya yang langsung berlari menuju meja kasir.
Anehnya, Biru sama sekali tidak merasa risih. Tingkah Avisa justru mengingatkannya pada Arif.
Karena bingung, Biru memutuskan untuk mengambil tiga botol minuman rasa kopi lalu berjalan menuju meja kasir untuk membayar. Avisa tidak ada di sana.
“Tiga es kopi dan satu soda ya mas?”, tanya mbak kasir.
Biru menghela nafas. Ternyata Avisa belum membayar.
“Iya mbak.”
“Totalnya 22 ribu.”
Biru memberikan uang pas lalu berjalan keluar toko. Terlihat Avisa sedang bergelendotan di tiang lampu.
...***...
Sementara masih di sebuah bangku taman, Mega dan Jingga duduk berdampingan. Jingga berusaha memberikan waktu pada Mega untuk menenangkan diri yang pastinya terkejut karena kehadirannya yang tiba-tiba. Hingga 1 jam berlalu.
“Apa kabar Mey?”, tanya Jingga memberanikan diri.
“Menurut kamu?”
“Aku minta maaf.”
“Seharusnya kamu pamit.”
Jingga menatap ke arah Mega dengan bingung.
“Aku pamit Mey.”
Mega terkejut.
“Maksud kamu?”
“Malam itu sebelum pergi, aku hubungin Deni. Aku bilang ke dia kalau aku mau pergi dan minta dia nyampein ke kamu.”
“Kenapa nggak hubungin aku langsung? Atau Biru? Atau Arif? Atau teman-temaan sekelas yang lain? Kenapa Deni?”
“Hpku di sita papa, Mey. Aku cuma inget nomornya Deni karena dulu itu nomorku. Serius, aku sama sekali nggak ada niat ninggalin kamu, Mey.”
Sejenak mereka terdiam dan hanya saling menatap.
“Lalu apa aku harus bilang aku baik-baik aja?”, tanya Mega dengan suara yang mulai bergetar.
Hati Jingga terasa di sakit. Selama setahun mereka berpacaran, tidak pernah sekalipun Jingga membuat Mega menangis. Tapi kini...
“Maafin aku Mey.”
Air mata Mega yang sudah di tahan sedari tadi akhirnya tak terbendung lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Jingga yang melihat itu langsung memeluknya saat itu juga.
Beberapa menit berlalu, tangisan Mega perlahan terhenti. Mega menghela nafas panjang, berusaha menata hati dan menyadarkan diri. Lalu melepaskan diri dari pelukan Jingga.
“Kamu selama ini kemana aja?”, tanya Mega sambil berusaha tersenyum.
“Kami sekeluarga pindah ke Inggris, mengikuti papa.”
Mega melirik ke arah tangan Jingga, banyak sekali luka di sana. Tak bisa di pungkiri bahwa saat ini Mega sangat penasaran. Namun ia menahan diri. Mega hanya melontarkan pertanyaan-pertanyaan sepele dan candaan-candaan kecil. Lalu tepat sebelum tengah malam, Mega mengungkaapkan sesuatu.
“Aku sekarang pacaran sama Biru.”
Jingga spontan menatap ke arah Mega yang juga menaatap ke arahnya.
1 Januari 00:00.
Duar! Duarrrr! Duar dar dar dar!
“Selamat Tahun Baru.”, ucap Mega.
...***...
23:00.
Melihat Biru yang keluar dari toko, Avisa langsung berlari menghampirinya.
“Udah?”, tanya Avisa.
Biru tidak menjawab. Ia berjalan menuju gedung yang sudah tutup di sebelah toko lalu duduk di lantai depannya. Avisa? Tentu saja masih setia membuntutinya, masih ingin dekat-dekat dengannya. Bagi Avisa, ini adalah momen terindah dalam hidupnya yang pertama karena bisa bertemu langsung dengan lelaki kesukaannya.
“Oh iya. Tadi gue ke galeri lu.”, kata Avisa sambil mendudukkan diri di sebelah Biru.
“Ngapain?”
“Mau liat lukisan-lukisan lu selama gue nggak ada.”
“Mau lu beli semua lagi?”
“Mmm... Beli nggak ya?
“Nggak di jual.”
“Gue curi aja kalau gitu.”
Biru melirik tajam. Avisa cengengesan. Lagi-lagi tingkahnya mengingatkan Biru pada Arif.
“Lu kenal Arif?”
“Kenal.”
“Pribadi?”
“Gue lebih tertarik sama elu daripada si Arif. Ya meskipun kalian sama-sama ganteng. Tapi tetep kok lu yang lebih ganteng.”, kata Avisa sambil tersenyum lebar.
“Gue serius.”
“Emang kenapa?”
“Nggak apa-apa.”
“Dia belum balik ya?”
Biru terdiam sejenak, merasa aneh karena dari dulu Avisa mengetahui segala hal tentangnya.
“Lu orang jahat ya?”
Avisa tertawa terbahak-bahak hingga mengeluarkan air mata.
“Emang muka gue kayak orang jahat apa?”, tanya Avisa sambil mengusap air matanya.
“Lu tahu semua tentang gue.”
“Hehe... Ntar juga lu bakal tahu kalau terus bareng gue.”
Biru menghela nafas, mulai merasa kesal dengan kelakuan perempuan di hadapannya ini.
“Lagian kalau gue orang jahat, mana mau gue nemuin lu. Mending gue teror aja terus lewat hp.”
Biru menoleh, diam dan hanya menatap Avisa.
“Ntar pasti gue kasih tahu kok tapi nggak sekarang. Sabar. Gue aja sabar dan setia ngejar lu bertahun-tahun.”
Biru tidak menghiraukannya. Ia langsung berdiri dan kembali berjalan menuju taman, tentu saja dengan Avisa yang masih terus mengekorinya.
23:59.
Sekitar 10 meter dari tempat Mega, Biru memutuskan untuk berhenti. Diam berdiri dan terus menatap ke arah pacarnya yang kini sedang saling bertatapan dengan mantannya, atau masih pacarnya?
Duar! Duarrrr! Duar dar dar dar!
“Kenapa kamu masih memandang ke arah yang sama meski ia memandang ke arah yang berbeda?”, ucap Avisa yang sudah berada di samping Biru dan melihat pemandangan yang sama.
Biru tak bergeming. Avisa mulai pergi meninggalkannya yang masih tetap berdiri, sendiri.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments