19

Dengan kesal, Avisa berjalan menuju ruang tamu. Menggeser Arif yang duduk di sebelah Biru. Mengambil alih tempatnya lalu menyandarkan kepala di pundak Biru dan memejamkan mata.

“Sofa ini panjang, besar dan ada banyak.”, kata Arif yang berusaha protes karena di geser paksa oleh Avisa.

“Diem. Gue butuh ngisi energi.”, jawab Avisa.

Biru tidak berusaha menghindar karena energinya juga terkuras banyak untuk hari ini.

22:00.

Di kamar, Jingga dan Mega masih betah beradu bisu. Sampai Mega membuka suara.

“Aku pulang dulu ya.”, pamitnya canggung.

“Iya.”

Mega beranjak pegi meninggalkan ruangan dan melihat Biru duduk tertidur di sofa, dengan Avisa yang juga terlelap di pundaknya. Sementara Arif bermain game di hpnya, masih terjaga.

“Gue pulang dulu Rif.”

“Sendiri?”

“Iya.”

“Bentar gue anter.”, kata Arif sambil mematikan hpnya.

Mega menuruti perkataan Arif.

***

Di perjalanan.

“Sebenernya ada apa sih Mey?”

Tidak seperti biasanya, kali ini Arif berbicara dengan kalem.

“Bingung gue Rif.”

“Bingung kenapa?”

“Selama ini gue tahunya Jingga ninggalin gue tanpa pamit dan tanpa kabar. Gue pikir dia udah bahagia di tempatnya dan udah ngelupain gue. Sampe gue mutusin buat jadian sama Biru. Tapi ternyata apa yang gue pikirin semuanya keliru. Bahkan jauh di sana dia mati-matian berjuang buat masa depan gue.”

“Lu jadian sama Biru buat pelarian?”

“Lu pikir gue gila ngelakuin itu sama Biru?”

“Terus?”

“Waktu itu gue udah capek ngarepin Jingga. Sebagian besar hidup gue juga sama Biru. Gue nggak siap kalau harus buka hati buat orang baru. Jadi gue pikir mungkin lebih baik menghabiskan sisa hidup gue dengan orang yang selama ini udah ada di hidup gue.”

“Meskipun lu harus mengingkari perasaan lu sendiri?”

Mega terdiam.

“Seandainya Jingga nggak balik dan lu ngelakuin skenario barusan, itu berarti lu egois Mey. Lu ngebunuh perasaan lu sendiri. Parahnya lagi lu nyeret Biru cuma buat menuhi keegoisan lu. Yakin lu bisa bahagia dengan jalan kayak gitu?”, lanjut Arif.

Mega tidak bisa berkata-kata karena merasa tertampar oleh setiap kata yang Arif ucapkan.

“Lu bukan orang jahat Mey.”, kata Arif pelan.

Di sepanjang perjalanan, Mega merenungkan semua perkataan Arif hingga tanpa sadar mereka sudah sampai di depan kos.

“Makasih ya Rif.”, kata Mega sambil turun dari motor.

Arif mengangkat jempolnya lalu berkata.

“Kalau gue boleh spoiler. Sebenernya dua saudara itu sama-sama sedang memperjuangkan pilihannya masing-masing tanpa kalian ketahui. Nggak cuma Jingga.”

“Maksud lu?”

“Gue cuma antara di setiap kalian. Tugas gue cume ngedukung. Bukan gue yang harusnya cerita Mey.”, kata Arif sambil tersenyum.

“Gue balik dulu.”, lanjutnya.

Arif langsung memacu motornya. Mega paham betul bahwa Arif hanya ingin menghargai keputusan mereka berempat tanpa harus mencampurinya.

***

Arif kembali ke rumah Jingga untuk memastikan keadaan. Di ruang tamu, Avisa sudah terbaring dengan nyaman. Dengan bantal dan selimut yang menutupi tubuhnya. Biru tidak terlihat. Lalu ia berjalan menuju kamar Jingga yang ternyata juga sudah terlelap. Di meja, bubur buatan Mega masih utuh tak tersentuh. Ia kembali ke ruang tamu.

“Dari mana lu?”, tanya Biru dari belakang dengan cangkir di tangannya.

Arif berjingkat.

“Kaget bangsat! Lu, kebiasaan lu ya.”

“Dari mana?”

“Nganter Mega.”

“Mega udah pulang?”

“Lu sibuk tidur bareng sampe nggak sadar keadaan sekitar ya. Bagus banget lu.”

Biru menepuk mulut Arif dengan sendok kopinya.

“Panas!”, teriak Arif.

“Mulut lu tuh bisa bikin orang lain salah paham.”

“Emang itu tujuan gue.”, jawab Arif yang kemudian menjulurkan lidahnya.

Avisa sedikit bergerak.

“Sstt!”, kata Biru menaruh telunjuk di bibirnya.

Karena tidak ingin membangunkan Avisa, mereka berbicara pelan.

“Rif.”

“Apa?”

“Tahun depan lu daftar kuliah ya?”

Arif tersenyum.

“Lu mau kan?”, tanya Biru lagi.

“Arif nggak perlu daftar tahun depan.”, sahut Avisa yang ternyata sudah membuka mata.

“Ini urusan keluarga gue.”

“Avisa bener bro. Gue nggak perlu daftar tahun depan.”

“Soal biaya biar gue yang urus.”

Arif dan Avisa kompak tertawa, membuat Biru kebingungan.

“Bro, gue tahu lu cintaaaa banget sama gue tapi gue ini udah jadi mahasiswa kampus lu.”

Biru semakin kebingungan. Sejenak Arif menoleh pada Avisa lalu melanjutkan omongannya.

“Gue ini udah terdaftar di kampus yang sama sama elu. Di tahun yang sama juga.”

“Jangan bercanda.”

“Serius bro. Gue mahasiswa kedokteran tahu.”

Biru menatap serius, meminta penjelasan.

“Di Sumatera gue tinggal di rumah nenek cuma seminggu. Setelah itu gue di paksa tinggal sendiri di rumah masa kecil bunda, hp gue juga di ambil. Mereka bahkan nggak peduli gue hidup atau enggak tapi untungnya mereka tetep biarin gue sekolah. Kadang gue pengen nyerah tapi gue inget kalau gue udah janji sama lu.”

Arif menceritakan hari-hari menyakitkan yang ia jalani selama di Sumatera. Tentang nenek dan anggota keluarganya yang ternyata menarik adopsi hanya agar harta peninggalan orang tua Arif menjadi milik mereka.

“Gue sempet mikir buat nyerahin semuanya ke mereka dan balik ke sini secepatnya. Tapi seseorang bilang gue nggak boleh nyerah buat mertahanin apa yang orangtua gue tinggalin buat gue. Akhirnya setelah lulus sekolah, dia bantuin gue buat ngurus semuanya dan mengalihkan semua atas nama gue. Kenapa gue baru balik sekarang, itu karena gue harus bener-bener memastikan mereka nggak akan ngusik kehidupan gue di sini. Kehidupan bapak dan ibu. Kehidupan kita. Dan lu tahu siapa orang yang bantuin gue?”

“Siapa?”, tanya Biru penasaran.

Arif menunjuk Avisa dengan kepalanya.

“Dia?”, tanya Biru tak percaya.

Arif mengangguk.

“Yakin lu?”, tanya Biru tidak percaya.

“Bro. Dia bahkan bikin nenek gue dan seluruh keluarganya nggak bisa berkutik.”

Mendengar cerita Arif, Biru menatap Avisa terus menerus seakan meminta penjelasan. Avisa terpaksa meletakkan ktp dan hpnya di meja. Di layar hp, Biru melihat foto Avisa bersama Jingga dan seorang pria paruh baya yang terlihat tak asing. Biru menatap foto itu agak lama dan terkejut. Dengan cepat ia mengambil ktp Avisa dan membaca namanya.

AVISA DELILAH BIANTARA

Seketika itu juga Biru merasa lemas. Ternyata laki-laki di foto itu adalah Ted Richardson Biantara, seorang pemilik salah satu maskapai penerbangan dunia.

“Sekarang lu tahu kan semudah apa dia bisa menangani kasus ini?”, tanya Arif.

Biru spontan berdiri dan menarik tangan Avisa menuju dapur.

“Kalau mau berduaan, siapin kamar buat gue kek biar gue bisa tidur. Malang banget nasib lu Rif Rif.”, gerutu Arif seorang diri.

Di dapur.

“Kenapa lu lakuin itu?”, tanya Biru pada Avisa.

“Biar bisa dapetin lu.”

“Sa.”

“Waahhh... Ini pertama kalinya lu manggil nama gue.”, kata Avisa cengengesan.

“Uang yang lu keluarin buat Arif, bakal gue ganti.”

“Nggak mau!”

“Sa.”

“Uang gue udah banyak. Jadi bayar sama yang lain aja.”

“Apa?”

“Hati lu.”

Biru hanya diam menatap Avisa.

“Kalau lu nggak bisa nyerahin hati lu. Badan lu juga boleh.”

“Sa!”, teriak Biru.

Arif yang baru saja menarik selimut di ruang tamu terjingkat.

“Ngapain sih mereka, heboh banget.”, katanya sambil membaringkan diri di sofa.

Avisa tertawa keras.

“Gue cuma mau lu di samping gue. Meskipun hati lu bukan buat gue.”

Setelah mengakatan itu, Avisa berjalan pergi meninggalkan dapur sementara Biru masih berdiri mematung di sana. Beberapa detik kemudian Avisa kembali dan berkata.

“Mau ikut gue ke kamar?”

Biru terbelalak. Avisa langsung berlari menuju kamarnya di lantai dua dengan penuh tawa.

“Terusin aja. Terus. Terus.", gerutu Arif dengan mata terpejam.

“Rif.”

Arif yang baru saja memejamkan mata terjingkat, lagi.

“Apa sih bro? Nggak suka banget lu lihat gue tenang. Heran gue.”

“Pulang.”

“Ha?”

“Ayo pulang.”

“Bro, ini udah tengah malem. Tidur sini aja kenapa sih?”

“Ini rumah cewek.”

“Terus lu mau Avisa ngurus Jingga sendirian gitu? Ya udah pulang yuk pulang.”, kata Arif yang langsung bangun dari pembaringannya.

Biru terdiam.

“Jadi pulang nggak?”, tanya Arif yang masih duduk menunggu kepastian.

Biru berjalan menuju salah satu sofa panjang dan membaringkan diri di sana. Arif yang melihat tingkahnya hanya menghela nafas panjang lalu kembali berbaring dan memejamkan mata.

***

Beberapa hari berlalu, Mega menjalani hari-harinya hanya dengan kuliah dan membaca buku di perpustakaan. Tidak ada satupun pesan atau panggilan dari Jingga. Ia juga masih canggung jika berada di dekat Biru. Sesekali Arif mengirim pesan atau menghubunginya untuk sekedar menanyakan keadaan atau menawarkan diri untuk menemaninya. Namun ia menolak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!