16

06:00 pagi harinya. Avisa bangun dengan penuh semangat karena tahu akan di jemput oleh Jingga. Ia bergegas mandi dan berdandan. Siap menyambut lelaki kesukaannya.

Selesai bersiap-siap, Avisa duduk di ruang tamu dengan tidak sabar. Jingga yang melihat adiknya bertengger di ruang tamu sepagi itu mulai merasa kebingungan.

“Mau kemana pagi-pagi gini udah dandan?”

“Nunggu di jemput Biru.”

Sepertinya tidak ada kata-kata yang akan Avisa ucapkan tanpa menyebut nama Biru.

“Dek. Gue mau tanya.”, kata Jingga sambil duduk menemani Avisa.

“Apa?”

“Lu bener-bener suka sama Biru?”

“Iya.”, jawab Avisa tanpa ragu.

“Sejak kapan?”

“Sejak lu pertama kali pindah sekolah.”

“Tahu Biru darimana?”

“Dari hasil ngintai lu.”

Jingga menghela nafas panjang.

“Di suruh papa?”

“Iya.”

“Jadi lu yang bilang sama papa soal Mega?”

Avisa menoleh pelan, menatap abangnya.

“Emang selama ini, lu pernah tahu gue ngaduin privasi lu ke papa?”

Jingga menunduk. Menyesal sudah menuduh adiknya macam-macam.

“Gue tahu sejauh mana yang harus gue omongin ke papa.”

“Sorry.”

“Papa emang nyuruh gue buat ngintai elu tapi tanpa sepengetahuan gue, dia pasti juga udah bayar orang buat ngintai lu juga.”

Avisa melihat kakaknya itu hanya diam tertunduk.

“Gue nggak peduli sama percintaan lu. Itu hak lu. Sama kayak gue ke Biru, itu hak gue. Lu pikir papa nggak bakal tahu? Liat aja bentar lagi pasti dia pulang.”

“Buat apa?”

“Buat misahin gue sama Biru.”

Jingga yang mendengar perkataan adiknya mulai khawatir.

“Tenang aja. Gue nggak bakal kalah sama papa.”, ucap Avisa.

Klung! Suara pesan masuk di hp Avisa menghentikan pembicaraan mereka.

“Gue pergi dulu. Biru udah di depan”, pamit Avisa.

“Hati-hati di jalan.”

Setelah Avisa pergi, Jingga mulai memikirkan banyak hal. Tentang orangtuanya, tentang adiknya juga tentang Mega. Beberapa menit kemudian ia beranjak dari duduknya dan bersiap-siap untuk menemui Mega.

***

Di depan gerbang.

“Hai.”, sapa Avisa.

“Mau kemana?”

“Kampus lah. Emang lu nggak kuliah?”

“Lu minta jemput buat ikut sama gue?”

“Iya dong. Emang mau apa lagi?”

“Gue suruh Arif jemput gue sekarang.”

Avisa tersenyum melihat tingkah panik Biru.

“Udah yuk berangkat. Gue ada kelas pagi.”

Biru bingung.

“Kemana?”

“Ke kampus, sayang.”

Biru melirik tajam dan Avisa tertawa keras.

“Ntar gue kasih tau. Kita berangkat dulu.”

“Kemana?”

“Ke kampus. Ih. Lu budeg ya?”

“Ya kampus mana?”

“Kampus lu Biiii...”

Biru yang tidak mau terus menerus berdebat dengan Avisa akhirnya memacu motornya menuju kampus. Meskipun masih bingung bagaimana Avisa tiba-tiba jadi mahasiswa kampus di pertengahan semester. Apalagi ia adik dari Jingga yang seharusnya berumur di bawahnya dan harusnya masih SMA.

***

Sesampainya di kampus.

Setelah memarkirkan motor, Avisa langsung menarik tangan Biru menuju salah satu ruang kelas. Biru yang tidak sempat menolak hanya diam pasrah mengikuti kelas.

“Avisa.”

Dosen yang sedang mengabsen memanggil nama Avisa. Artinya ia benar-benar mahasiswa di kampus ini. Biru terus-terusan di buat terkejut namun hanya bisa diam mengikuti kelas sampai selesai.

Kelas pagi Avisa selesai. Ia dengan cepat menarik tangan Biru lagi, kali ini menuju kantin. Lagi-lagi anehnya Biru hanya pasrah.

Sesampainya di kantin, Avisa mendudukkan Biru di salah satu kursi lalu berjalan ke salah satu tempat makan. Ia mengambil dua porsi nasi pecel dan langsung membawanya ke tempat Biru berada. Ia meletakkan salah satu piring di meja Biru lalu duduk di hadapan Biru dan langsung makan tanpa berbicara apapun. Tanpa sadar Biru tersenyum menatapnya.

“Laper lu?”, goda Biru.

“Banget.”

“Nggak sarapan?”

“Nggak ada yang masakin.”

Biru terdiam. Avisa selalu berbicara apapun secara gamblang. Baru dua hari Biru bersamanya namun sudah terlihat banyak sekali luka yang ia tutupi dengan kelakuannya yang kadang menyebalkan itu. Tidakkah mereka mirip? Biru menutupi luka dengan menjadi manusia dingin sedangkan Avisa menutupi luka dengan menjadi manusia suka-suka.

“Lu nggak makan?”

Pertanyaan Avisa membuyarkan pikirannya.

“Iya.”, jawab Biru mulai makan.

Selesai makan mereka berjalan-jalan di sekitaran kampus.

“Woy bro!”, panggil Arif sambil melambaikan tangan dari kejauhan.

Avisa membalas lambaian itu sambil melompat-lompat kecil dan tertawa sumringah. Arif langsung berlari menghampiri mereka.

“Kalian berdua baru semaleman bareng udah lengket aja ya?”, goda Arif yang langsung di tepuk bibirnya oleh Biru.

“Lu kalau ngomong jangan aneh-aneh ya.”, ancam Biru.

Ari cengengesan. Saat itu mereka bertiga melihat Mega dan Jingga berjalan bersama. Avisa langsung menggandeng tangan Biru dan Arif, seakan memproklamasikan pada Mega bahwa mereka berdua kini miliknya.

Klung! Klung! Sebuah pesan masuk ke hp Biru dan Arif secara bersamaan. Avisa mencoba mengintip pesan yang mereka terima. Ternyata undangan reuni dari SMA mereka. Terlihat Mega dan Jingga juga menerimanya.

***

Jingga yang melihat Mega terus menatap ke arah Biru merasa de javu.

“Lucu ya? Kita bisa dua kali berada di situasi yang sama kayak gini.”, celetuk Jingga.

“Nggak sama. Sama sekali nggak sama.”

Mega yang masih di selimuti rasaa kecewa langsung menggandeng tangan Jingga menuju perpustakaan, tempat favoritnya.

Di perpustakaan.

“Nggak sama?”, tanya Jingga.

Mega mengerti arah pembicaraan Jingga.

“Kali ini aku nggak mau mikirin Biru lagi, aku capek. Dia bebas hidup sesuai keinginannya.”

“Kalau aku?”

“Kamu kenapa?”

“Masih kamu pikirin?”

Mereka saling bertatapan. Waktu berhenti di ruang dimensi mereka.

Mega dan Jingga seperti mengulang kembali cerita yang dulu pernah mereka berdua jalani. Kali ini dengan pemikiran yang sudah lebih dewasa. Dan tanpa Biru di antaranya.

Setelah beberapa detik bertatapan, Mega menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba menyadarkan diri.

“Aku cari minum dulu ya?”, kata Jingga.

“Iya.”

Jingga bergegas keluar menuju mesin penjual minuman. Sementara Avisa yang sejak tadi berada di samping pintu langsung masuk ketika melihat Jingga pergi keluar. Dan langsung duduk di kursi depan Mega.

“Mau apa lagi?”, tanya Mega.

“Lu masih suka Jingga?”

“Harus banget ya ngasih tahu lu?”

Mereka membisu untuk beberapa detik.

“Banyak rasa sakit yang udah Jingga terima demi lu. Jadi kalau lu nggak beneran suka, lepasin dia.”

“Jadi lu minta gue jauhin Jingga, gitu?”

Avisa tersenyum sinis.

“Lu kira gue peduli sama hubungan lu?”

“Terus ngapain lu disini ngoceh-ngoceh nggak jelas.”

Mereka saling menatap sengit.

“Jingga kerja siang malam bukan cuma buat dirinya sendiri tapi juga buat elu.”, kata Avisa dengan menyebalkan.

“Jingga udah kasih tahu.”

Avisa hanya diam. Mega menatap Avisa. Menurutnya, saat ini Avisa hanya khawatir pada abangnya.

“Dia kerja biar bisa cepet balik kesini ketemu gue kan?”, tanya Mega melembut.

“Jadi dia cuma cerita sampai situ.”

Avisa tersenyum penuh arti lalu pergi meninggalkan Mega yang penasaran dengan maksud ucapannya. Mega mengikuti langkah Avisa keluar perpustakaan.

“Apa maksud lu?”, tanya Mega penasaran.

Di tengah rasa penasaran Mega, Jingga mulai terlihat di kejauhan.

“Kalau penasaran, cari gue aja.”, kata Avisa sambil mengedipkan salah satu matanya.

Avisa berjalan pergi dan berpapasan dengan Jingga yang sedang menuju ke arah Mega. Ia hanya melambaikan tangan tanpa bersuara. Jingga kebingungan.

“Avisa dari sini?”, tanya Jingga.

“Iya.”

“Apa katanya?”, tanya Jingga yang khawatir adiknya akan berkata buruk pada Mega.

“Mmm… Kamu beli minum apa?”, tanya Mega mengalihkan pembicaraan.

Mereka berdua kembali masuk ke dalam perpustakaan dan kembali ke posisi awal.

“Avisa bilang apa Mey?”

“Nggak bilang apa-apa Ngga.”, jawab Mega lembut.

“Aku bakal tanya dia.”, kata Jingga yang langsung berdiri hendak pergi.

“Ngga. Duduk.”, perintah Avisa pelan.

Jingga menurutinya.

“Adik kamu itu cuma khawatir sama kamu.”

“Khawatir? Avisa? Sama aku?”

“Menurutku dia sayang sama kamu. Dia nggak mau kamu kenapa-kenapa. Dia nggak mau kamu sakit gara-gara aku.”

“Mey.”

Jingga menghentikan ucapan Mega yang menyiratkan kesedihan lalu memegang lembut tangannya.

“Aku nggak pernah sakit karena kamu. Justru aku selalu bahagia karena kamu.”, jelas Jingga.

Mega tersenyum hangat.

“Apa ada hal yang belum kamu ceritakan ke aku?”, tanya Mega.

“Nggak ada deh kayaknya.”

“Ok.”

Setelah itu mereka hanya saling bertatapan dan tersenyum. Mega tahu laki-laki di hadapannya ini sedang meyembunyikan sesuatu namun ia tidak mau memaksanya untuk bercerita. Mungkin lebih baik jika bertanya pada Avisa saja, pikirnya.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!