2

Di pintu kelas.

“Lu ngapain sih di pintu?”, gerutu Melinda yang tak di hiraukan oleh Biru.

"Heh lu budeg ya?”, hardik Melinda kesal.

Mendengar perkataan Melinda, mata Biru melirik tajam.

“Meli sayang, masuk aja yuk. Di luar dingin banget loh. Nanti kamu kedinginan terus sakit. Kalau kamu sakit , abang kan jadi sedih.”, ucap Arif sambil mendorong Melinda masuk kelas untuk menyelamatkan suasana.

“Apa sih.”

Melinda masih kesal dengan perlakuan Biru namun ia sudah terlanjur terdorong masuk ke dalam kelas oleh Arif. Lagipula berdebat dengan Biru bukanlah hal yang bagus.

“Bro, gue tahu lu nggak suka orang lain ikut campur urusan lu. Tapi kayaknya sekarang lu udah harus melangkah maju deh bro.”, ucap Arif.

“Maksud lo?"

“Ya udah saatnya lu nyatain perasaan ke Mega.”

Biru hanya menatap serius.

“Iya gue tahu lu takut kehilangan sahabat sebaik Mega. Gue tahu lu takut kalau nanti pacaran terus putus kalian nggak bakal bisa sahabatan lagi. Lu takut jauh dan nggak bisa ketemu Mega lagi. Gue paham. Sangat paham. Tapi lu yakin bisa ikhlas lihat Mega di gandeng cowok lain?”

Biru terdiam. Ia memikirkan perkataan Arif barusan.

“Bro?”

“Bacot.”, jawab Biru kalem.

Masih sambil memikirkan perkataan Arif, Biru perlahan masuk ke dalam kelas dan duduk di kursinya. Sementara Arif ditinggal di depan pintu kelas begitu saja. Kasihan.

“Iya Rif. Ok Rif. Makasih. Sama-sama.”, Arif menggerutu seorang diri.

“Rif, lu nggak kesel ya?”, tanya Anto yang lewat di depan kelas XI IPA.

“Buat?”

“Tiap kali lu ngobrol sama si Biru pasti lu di katain. Gue aja dengernya kesel.”

“Bro, kalau lu kesel sama omongan yang bahkan nggak pakai emosi, itu berarti kalian bukan sahabat.”, jawab Arif sambil menepuk pundak Anto dan tersenyum.

“Kayaknya emang cuma elu yang bisa jadi sahabatnya si Biru deh.”, ledek Anto.

“Itu karena gue manusia yang baik.”

Dengan pernyataan itu Arif menutup percakapan dan melesat ke samping sahabatnya. Meninggalkan Anto yang masih menatap ke arahnya.

“Semoga nggak cuma elu yang nganggep hubungan kalian itu persahabatan.”, ucap Anto pelan.

“Lagian ngapain sih lu peduli banget sama hubungan orang lain?”, tanya Wildan.

“Dan, ntar aja gue ceritain. Balik kelas dulu aja yuk, tuh pak Feri udah keluar kantor.”, sahut Riko.

Anto, Wildan dan Riko berjalan menuju kelas XI IPS yang berjarak 2 kelas dari XI IPA.

---

Anto Wibisono, anak dari guru Bahasa di sekolah ini. Dulunya ia dan Arif adalah sahabat karib bahkan sering di juluki saudara beda rahim oleh penduduk desa. Namun karena Anto adalah salah satu anak yang terlibat dalam insiden terceburnya Arif di sungai, persahabatan merekapun akhirnya berakhir.

---

Di lorong kelas.

Mega dan Jingga berjalan di lorong menuju kelas karena jam pelajaran segera di mulai kembali.

“Mmm... Mey sorry. Gue boleh tanya sesuatu?”

“Apa?”

“Biru itu pacar kamu?”

Mendengar pertanyaan itu, Mega tertawa terbahak-bahak.

“Kok ketawa?”

“Bukan bukan. Aku sama Biru emang sepaket tapi kita nggak pacaran. Dia sahabat terbaik yang gue punya meskipun anak-anak lain nggak suka sama dia.”

“Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Kenapa kalian nggak pacaran?”

“Hmm... Harus di jawab ya?”

“Kalau kamu keberatan, nggak perlu.”

“Dah yuk buruan. Keburu bel bunyi.”

“Ok.”

Merekapun berjalan menuju kelas tanpa sepatah katapun lagi.

...***...

Di kelas.

Jingga berjalan menuju tempat duduknya di sebelah Biru.

“Sorry bro, ini tempat duduk gue. Tempat duduk ekstra buat lu udah di siapin noh sama anak-anak. Sorry ya.", jelas Arif.

“Oh ok nggak apa-apa. Tadi bu Vita juga udah bilang.”

Arif berdiri merangkul dan berbisik pada Jingga.

“Temen gue rabiesnya lagi kumat, ntar takutnya lu di gigit. Biar gue aja yang di sini. Gue udah biasa rabies.”

Jingga yang mendengar bisikan Arif langsung tertawa. Tanpa berkata apapun ia mengambil tasnya dan pergi menuju bangku yang sudah di siapkan untuknya. Sementara Biru menatap tajam pada Arif yang sedang cengengesan.

“Hehe... Tatapan lu bikin gue deg degan deh bro.”, goda Arif.

“Sinting.”

Kriiiinnnggg... Kriiinnnggg.... Bel berdering dua kali menandakan waktu istirahat sudah berakhir dan jam pelajaran selanjutnya sudah di mulai.

***

Ting Tong Teng... Tak terasa jam pelajaran terakhir telah usai.

“Baik anak-anak sekian untuk hari ini.", ucap bu Rini.

“Beri salam.”, aba-aba Mega.

“Selamat siang bu.”

“Selamat siang.”

Bu Rini meninggalkan ruang kelas terlebih dahulu kemudian di susul para siswa. Sementara di pojok bangku belakang Jingga bergegas membereskan peralatannya dan sedikit berlari menuju Mega yang duduk di barisan paling depan.

“Mey, tadi kan belum selesai kita keliling sekolahnya. Bisa di lanjutkan sekarang aja?", tanya Jingga pada Mega.

“Bisa. Lagipula itu sudah tugas aku juga.”

Desi dan Sinta yang duduk di sebelah dan di belakang Mega saling bertatapan. Sedangkan manusia cemburu di belakang sudah merasa tidak senang dengan pemandangan tersebut dan langsung melesat menuju bangku depan.

“Ayo pulang.”, ajak Biru.

"Gue masih mau lanjut nemenin Jingga keliling sekolah.”

“Besok aja.”, sahut Biru sambil menatap tajam pada Jingga yang berdiri sejajar denganya di seberang meja.

Beberapa murid yang masih tersisa di kelas menatap pemandangan ini dengan tegang. Mereka belum pernah melihat Biru seperti itu karena selama ini para murid laki-laki tidak ada yang berani mendekati Mega. Keberadaan Biru yang selalu menempel pada Mega membuat nyali mereka menciut sebelum mencuat.

“Lo mau ikut atau tunggu gue di warung mak Sri?”, tanya Mega yang menandakan ia tidak akan mengurungkan niatnya untuk menemani Jingga.

Biru menggebrak meja dan pergi begitu saja dengan perasaan kesal, sudah hafal dengan tabiat Mega ketika tidak ingin di debat.

"Jangan lama-lama. Gue yang repot.”, pesan Arif pada Mega.

“Iya iya.”

“Seenggaknya ajak gue kek.”, gerutu Arif yang langsung bergegas menyusul Biru.

Ketegangan berangsur hilang dengan perginya Biru dari ruang kelas.

“Itu si Biru kayaknya marah banget deh Mey.”, ucap Desi.

“Iya sampe gebrak meja begitu. Serem ih.”, sahut Sinta.

“Enggak kok. Ngambek doang sih itu bukan marah. Ntar juga bakal baikan.”

“Sorry gara-gara aku...”, ucap Jingga.

“Nggak usaah di pikirin. Biru emang gitu anaknya tapi sebenernya dia baik kok.”

“Kayaknya di seluruh alam semesta ini yang bisa lihat itu cuma elu deh, yang lain enggak.”, hardik Meli yang tidak di hiraukan oleh Mega.

“Yuk!”, ajak Mega pada Jingga.

“Jingga bisa ajak Meli aja loh sebenernya daripada repot berurusan sama si gila itu.”, goda Meli.

“Makasih. Mungkin lain kali.”

Jingga berjalan keluar kelas di susul Mega yang menoleh sambil menjulurkan lidahnya, mengejek Melinda. Membuat melinda kesal tidak karuan. Seisi kelas tertawa melihatnya.

...***...

Di lorong sekolah.

“Kayaknya Biru suka banget deh sama kamu.", kata Jingga membuka pembicaraan.

“Ketika kamu hidup dengan mengetahui fakta bahwa kamu adalah anak yang tidak di inginkan dan di buang, kamu akan menganggap orang yang menerima bagaimanapun dirimu adalah segalanya.”

Jingga terdiam mendengar perkataan Mega.

“Mungkin seperti itulah deskripsi dari hubungan kami.”

“Iya.”

“Satu-satunya hal yang membuatku nggak pernah mau membicarakan hubungan kami adalah karena aku nggak suka orang lain menganggap Biru lemah di saat dia sudah membangun citra sebagai orang yang kuat, sebagai bentuk pertahanan dirinya. Bukankah persahabatan adalah tentang menghargai?”

“Kamu dewasa sekali ya.”

“Kalau kamu menghabiskan seluruh hidupmu dengan manusia macam Biru, kamu akan dewasa secepat kilat. Mungkin cuma Arif yang enggak. Haha..."

Jingga ikut tertawa bersama Mega.

“Kalau aku mau lebih dekat sama kamu, apa aku harus mendekati Biru juga?”

Mega menghentikan langkahnya. Ia menatap ke arah Jingga yang tak sedikitpun melepaskan pandangan dari Mega. Mereka saling bertatapan. Waktu sejenak berhenti di ruang dimensi mereka.

“Why I think I love you?”, batin Jingga.

“Kalian kok belum pulang?”, tanya Pak Slamet, guru kelas X.

Pertanyaan pak Slamet memecah keheningan dan membuyarkan aksi tatap-tatapan Jingga dan Mega.

“Ah ini. Jingga ini murid baru pak. Saya sedang memperkenalkan seluk beluk sekolah ke dia.”, jawab Mega gugup.

“Kamu ini kayak lagi di grebek saja. Hahaha. Ya sudah lanjutkan.”

“Hehe... iya pak.”

“Jangan tatap-tatapan terus, nanti jatuh cinta loh.”

“Amin pak.”, jawab Jingga sambil tertawa kecil.

“Heh!", sahut Mega.

Pak Slamet yang mendengarnya ikut tertawa.

“Mari pak.”, ucap Mega.

“Ya ya.”

Pak Slamet berjalan ke arah berlawanan dengan masih tertawa cekikikan.

“Untung aja pak Slamet. Kalau guru lain bisa di sidang kita.”, gerutu Mega.

“Ternyata yang ku kira dewasa ini juga bisa ngambek ya. Imutnya.”

“Tau ah, buruan. Ntar Biru keburu ngedumel.”

“Oke oke tapi senyum dulu dong.”

Mega sedikit berlari meninggalkan Jingga karena kesal terus-terusan di goda olehnya.

“Kok aku di tinggal sih. Ini ruangan apa? Hei imut.”, oceh Jingga sambil menyusul langkah Mega.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!