Keesokan harinya.
Mega duduk di perpustakaan, melamun seorang diri sampai Biru datang menghampiri.
“Mey.”, panggil Biru sambil menepuk lembut pundak Mega.
“Oh hai Bi.”
Biru duduk di kursi depan Mega lalu mengeluarkan minuman vitamin C dan memberikannya pada Mega.
“Makasih.”, ucap Mega tersenyum.
Biru membalas senyumannya.
“Semalem kamu pulang duluan?”, tanya Mega yang masih menunduk melihat buku.
Biru sedikit terkejut karena Mega tidak pernah menggunakan kata ‘kamu’ padanya. Beberapa detik kemudian Mega tersadar dan menatap Biru yang tersenyum kepadanya. Perasaan bersalah mulai menjalar di hati Mega.
“Maaf.”, ucap Mega dengan suara yang mulai bergetar.
“Nggak apa-apa Mey.”
Biru mengusap lembut tangan Mega.
“Gue rasa kalian perlu waktu buat ngobrol, makanya gue pulang duluan. Lu marah?”
“Makasih ya Bi untuk pengertiannya. Gue minta maaf.”
Biru melihat raut kesedihan Mega semakin dalam. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Apa kabarnya Jingga?”, tanya Biru.
“Sepertinya baik.”
“Kok sepertinya?”
Mega terdiam sejenak.
“Bi.”
“Hm?”
Mega menghela nafas berat.
“Kalau belum siap, nggak usah di paksa. Ya?”, hibur Biru.
“Waktu itu… Jingga pamit.”
Biru terdiam dan mulai melepaskan genggamannya dari tangan Mega. Saat ini Mega tahu betul bahwa Biru kecewa. Namun ia tetap tersenyum agar tidak membuat Mega semakin sedih.
“Kayaknya gue butuh waktu buat sendiri.”
Biru yang mencoba memahami situasi Mega saat ini hanya bisa berkata...
“Ok. Hubungi gue kalau lu butuh sesuatu ya?”
Mega mengangguk tanda setuju. Biru beranjak pergi.
***
Di sebuah bangku di taman kampus, Biru duduk seorang diri. Tak lama seorang perempuan duduk di sampingnya yang membuatnya spontan menoleh.
“Lu!”, tunjuk Biru terkejut.
Perempuan itu tersenyum.
“Gue nyesel kemaren mau pulang duluan. Baru juga keluar taman, ternyata gue udah kangen aja sama lu. Akhirnya gue balik lagi. Eh lu-nya udah nggak ada.”, kata Avisa dengan lantang.
Biru yang mendengar suara keras Avisa sontak menutup mulutnya lalu menoleh kesana kemari, panik. Sementara di balik tangan Biru, ada bibir yang tersenyum melihat tingkah lucu itu. Tak lama Biru melepaskan tangannya.
“Kenapa?”, tanya Avisa.
“Lu gila? Kalau anak-anak denger gimana?”
“Anak-anak? Atau Mega?”
Biru melirik tajam.
“Mega di perpus, lu ngapain di sini?”
“Terserah gue.”
“Mmm... Gue tahu. Pasti lu emang sengaja jauh-jauh dari Mega biar gue bisa bebas nyamperin ya? Ya kan? Ya kan?”
“Berisik!”
Biru berdiri, hendak melangkah pergi namun Avisa dengan cepat menarik tangan Biru. Iapun terduduk kembali. Dengan kepala Avisa yang menyandar di pundaknya. Biru hendak menyingkirkan kepala Avisa dari pundaknya namun tiba-tiba...
Kriiinngg.... Sebuah panggilan masuk ke hp Biru. Nomor tidak di kenal. Biru hanya menatapnya namun dengan cepat Avisa merebut hp dan menerima panggilan tersebut.
“Halo? Gue pacarnya!”, ucap Avisa tegas.
Biru langsung merebut hp itu dari tangan Avisa dan menatap tajam padanya.
“Arif.”, kata Avisa.
Biru yang mendengar nama Arif langsung menempelkan hp ke telinganya.
“Halo.”
“Hai bro.”
Avisa benar. Itu adalah Arif. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Biru mencoba berbicara dengan santai. Berharap Arif tidak mengetahui kekhawatirannya.
“Gimana kabar lu?”, tanya Arif.
“Baik.”
“Sorry ya bro hampir setahun ini gue nggak ada kabar.”
“Hm.”
“Gue mau pulang.”
“Rumah lu kan di situ.”
“Haha... Lu lagi kesel ya?”
“Bodo.”
“Mau surat bilang alamat gue dimana juga, bagi gue rumah gue tetap di situ. Di tempat elu, ibu dan pak kades berada.”
Di titik ini, Biru merasakan dadanya penuh sesak. Ia menghela nafas panjang.
“Laki harus pegang janjinya kan bro?”, tanya Arif.
Biru meneteskan air mata yang langsung di hapus olehnya. Tanpa di sadari, Avisa sedang menatapnya dengan perasaan iba sekaligus lucu. Ia bangga bisa melihat sisi manis Biru yang ini.
“Iya.”, jawab Biru.
Terdengar di balik telepon suara Arif sedang ngos-ngosan yang membuat Biru panik tak karuan.
“Lu kenapa?”, tanya Biru.
Biru yang panik melangkah kesana kemari lalu melihat ke arah Avisa yang sedang melambaikan tangan tinggi-tinggi. Biru langsung menoleh ke arah lambaian tangan Avisa. Arif berdiri di sana. Dengan senyum lebar. Dan tangan yang melambai tinggi. Tanpa berpikir panjang, Arif langsung berlari dan memeluk sahabat sekaligus saudaranya tersebut. Biru menerima pelukan Arif dan tertawa keras dengan air mata yang bercucuran di pipinya. Avisa terharu melihatnya.
Setelah beberapa waktu dan tangis mulai berlalu, mereka bertiga duduk bersama.
“Tadi gue kira yang ngangkat telepon tuh si Mega. Tapi kok gini, pikir gue. Nggak nyangka kalian udah ketemu langsung.”
“Gue ngiranya cewek lain yang nelpon, makanya gue angkat. Enak aja, gue yang bertahun-tahun ngejar tahu-tahu mau ada yang deketin lagi. Pengen gue tampol kanan kiri apa.”
Biru yang melihat dua orang di hadapannya nyerocos tanpa henti hanya bisa tertawa, merasa lucu karena dari segi kelakuan mereka berdua memang sangat mirip. Arif dan Avisa yang mendengar Biru tertawa sendiri langsung menoleh padanya.
“Bro? Aman?”, tanya Arif.
Tawa Biru semakin menjadi-jadi. Sudah lama tidak ada yang bertanya seperti itu.
“Vi, lu apain dia sampe jadi kayak gini?”
“Ketemu juga baru kemaren.”
“Biarin aja deh. Lagi kumat kayaknya.”
“Kayaknya sih gitu.”
Biru semakin dan semakin tertawa tanpa henti mendengar perkataan-perkataan mereka. Ia merasa bahagia dengan kembalinya Arif namun tidak mampu mengungkapkan ataupun mengekspresikannya sehingga hanya tertawa seperti inilah yang bisa ia lakukan.
“Eh lu tahu nggak. Dia jadian sama Mega. Kesel banget gue.”
“Ha? Serius? Sejak kapan?”
Biru terdiam lalu tiba-tiba berdiri.
“Gue mau beli minum.”, kata Biru yang langsung bergegas pergi.
Avisa dan Arif yang melihat tingkahnya hanya bisa cekikikan.
“Lucu banget ya dia kalau lagi malu.”, kata Avisa.
“Ya gitu. Eh sejak kapan mereka pacaran?”
Mereka saling bertanya dan bercerita banyak hal tentang Biru hingga membuat waktu berjalan begitu cepat.
5, 10, 30 menit berlalu namun obrolan mereka berdua seakan tak ada habisnya. Biru yang sejak tadi menunggu di bawah pohon, yang berada tak jauh dari mereka, mulai merasa kesal dan langsung menghampiri mereka lagi.
“Kalian ini mesin gosip ya?”
Arif dan Avisa yang mendengar pertanyaan Biru kompak cengengesan.
“Lu! Katanya mau pulang?”, tanya Biru menunjuk Arif.
“Gue gimana?”, tanya Avisa.
“Pulang sana.”
“Ke rumah lu ya?”
Biru yang enggan meladeni Avisa langsung menarik tangan Arif dan berjalan pergi meninggalkan Avisa. Arif yang di seret oleh Biru hanya bisa melambaikan tangan pada Avisa.
“Lu pikir gue nggak bisa kesana sendiri.”, celetuk Avisa seorang diri.
Avisa yang kini duduk sendiri mulai merasa bosan. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus. Namun di sekitar kampuspun ia tidak menemukan hal yang menarik. Hal itu membuatnya merasa lapar. Tanpa pikir panjang ia langsung mengambil motor dan menujur warung bakso, langganan Jingga. Ia melihat Mega duduk sendirian di sana.
“Mega?”, tanya Avisa yang membuat Mega terkejut.
“Siapa ya?”
“Avisa.”
Mega tidak merasa pernah bertemu dengan Avisa namun namanya tidak terasa asing. Avisa berjalan masuk untuk memesan bakso pada mang Edi lalu kembali ke tempat Mega dan duduk di hadapannya. Saat itu Mega mulai ingat bahwa Avisa adalah nama gadis yang dulu pesannya pernah di buka di hp Biru.
“Kamu tahu aku?”, tanya Mega heran.
“Tahu. Aku tahu semua orang di hidup Biru. Aku tahu semua tentang Biru. Bahkan yang nggak lu tahu.”
Mega yang mendengar ucapan Avisa sontak terdiam menatap padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments