Cinta Laras Dan Manusia Serigala

Cinta Laras Dan Manusia Serigala

Pertemuan Takdir

Seorang wanita berjalan di padang rumput dengan keranjang bunga yang hampir penuh. Di kepalanya, tudung menjadi aksesoris harian yang akan digunakan untuk pergi ke ladang. Hamparan kembang yang dirawat menjadi sumber mata pencaharian wanita itu.

Laras, wanita berusia 26 tahun bulan lalu yang tinggal seorang diri di ujung desa, dekat sungai dan berseberangan dengan hutan. Merawat berbagai macam bunga telah menjadi pekerjaannya sejak kecil. Ia bahagia, meski kebahagiaan miliknya sangat sederhana.

"Baiklah, aku harus pergi sekarang."

Ketika hendak berdiri, sesuatu terlihat mencolok dari balik semak-semak. Dibuangnya napas dengan panjang. "Di mana kesadaran manusia tentang menjaga air agar tetap bersih?" Ia mengeluh, tapi tetap meraih ranting untuk mengambil sampah yang terlihat.

Sudah menjadi kebiasaan bagi Laras. Tidak boleh ada satu sampah pun yang boleh terlihat di sepanjang aliran sungai. Baginya menjaga air tetap bersih sama saja dengan menjaga kehidupan seluruh ekosistem. Siapa yang hidup tanpa air?

"Dan orang-orang semaunya sendiri membuang sampah mereka," ucap Laras yang masih berusaha menarik benda berwarna merah di balik semak-semak. "Astaga! Sampah apa yang mereka buang kali ini?" Sayangnya, sampah yang coba ia keluarkan nampaknya terlalu besar, sulit jika meraihnya dengan ranting.

Dengan terpaksa, Laras akhirnya meletakkan keranjang bunga dan memutuskan untuk mengambil sampah dengan tangannya sendiri. Menerobos semak-semak sembari mengomel tak henti. "Apakah aku perlu berjaga di sungai sepanjang hari? Jika aku menemukan mereka, akan kumaki sampai pucat!" Mulutnya memang berkata cepat, tapi tubuhnya bergerak lambat. Tentu ia harus berhati-hati untuk turun.

Untungnya, kegigihan Laras membuahkan hasil. Ia hampir tiba, mengambil sampah yang tergeletak tidak pada tempatnya. "Jika mereka pikir aku wanita lembut hanya karena merawat bunga, akan aku tunjukkan jika aku juga menyeramkan."

Ditariknya sampah dengan kuat, tetapi benda di sana tetap tidak bergeming. Laras menyerah, ia memutuskan untuk turun lebih jauh. "Awas sa-- Astaga!" Refleks tubuhnya terduduk, apa yang wanita itu lihat sangat mengerikan.

Kedua mata Laras membulat dengan sempurna. Bibir menganga seolah tidak bisa ditutup lagi. Dunia terasa berhenti. Seonggok sampah yang hampir ia bakar nyatanya bukan sampah biasa, melainkan seorang manusia tergeletak dengan tubuh pucat.

"A-apa yang terjadi?" Dada Laras naik turun. Lututnya terasa lemas, ia hampir tidak bisa mengatur napas. Seorang lelaki basah kuyup tak sadarkan diri di tepi sungai.

"Apa yang harus aku lakukan?" Wanita itu melihat sekitar, berharap ada seseorang yang tengah mengunjungi hutan. Namun sayang, tempat itu terlalu sepi. "Haruskah aku pergi ke desa?" Ia memikirkan salah satu opsi, tapi di detik berikutnya menggeleng. "Tidak. Aku tidak bisa meninggalkannya di sini."

Dengan jantung yang masih berdetak sekencang drum, Laras akhirnya turun memeriksa. Tangannya gemetar, ragu hendak menyentuh. Namun tak ada pilihan, ia hanya perlu memastikan lelaki yang tergeletak masih hidup atau sudah tak bernyawa.

"Oh?" Mata wanita itu membulat. Tangan yang tadi memeriksa denyut nadi kini beralih ke hidung, ia harus benar-benar memastikan. "Dia masih hidup!" pekiknya kemudian.

Tak mau membuat denyut nadi lelaki itu melemah, Laras harus segera memindahkannya. Ia memang cukup kuat, tapi tak yakin bisa membawa tubuh seorang lelaki.

Namun siapa sangka, "Dia lebih ringan dari yang kukira." Agaknya usaha Laras berkebun setiap hari tidak sia-sia. Meski tertatih, akhirnya ia berhasil membawa lelaki asing tadi ke rumah yang tidak jauh dari sungai.

Laras berjalan mondar-mandir. Bukan ia tidak tahu apa yang harus diperbuat, hanya saja ..., "Bagaimana caraku mengganti pakaiannya?" Digigitnya kuku ibu jari, wanita ini sedang terjerat dalam kebimbangan sekarang. "Terserah. Aku harus segera menggantinya atau dia akan mati kedinginan."

Diambilnya sebuah selimut dan kemeja milik sang ayah yang sudah tersimpan bertahun-tahun. Laras menarik napas dalam, tentu ia tidak boleh sembarang membuka baju laki-laki. Tetapi mau bagaimana lagi. "Jangan salah paham. Aku hanya ingin menyelamatkanmu, tidak ada maksud lain." Setengah matanya ditutup, sungguh ia tidak pernah membayangkan akan mengganti pakaian lelaki asing.

Setelah berjuang dengan keringat dingin, Laras akhirnya berhasil. Ditutupinya tubuh lelaki yang belum sadar dengan selimut berlapis. Selain itu, ia juga harus memeriksa apakah terdapat luka lain di sana. Benar saja, sebuah luka terlihat basah di kepala bagian kiri lelaki itu.

"Sudah kuduga dia pasti membentur batu di sungai itu," lirih Laras setelah menghela. Namun ia tetap harus bersyukur, setidaknya lelaki yang ia kira sampah masih hidup.

Tak mau membuang waktu, Laras bergegas mengambil akar dan bahan tradisional untuk ditumbuk menjadi obat. Tetapi sebelum itu ia harus memberitahu kepala desa tentang penemuannya. Mengirim pesan ke sahabatnya di desa, ia yakin Pak Darto akan datang segera.

"Kenapa aku harus repot melakukan ini?" Laras tiba-tiba mengeluh, walaupun ia tetap mengoleskan ramuan obat yang sudah selesai ia tumbuk ke kepala lelaki yang masih terbaring. "Mau bagaimana lagi, aku memang diciptakan menjadi orang baik."

Bertepatan dengan selesainya obat dibubuhkan, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Mendengarnya Laras langsung berubah lega. Setidaknya kini ia akan tahu akan diapakan lelaki asing di rumahnya itu.

"Pak Darto. Mari masuk," ucap Laras dengan lega. Berbeda sekali dengan ekspresi panik pak kades dan beberapa orang yang datang.

Pria berusia kisaran 54 tahun yang baru datang segera masuk, menatap lelaki yang belum sadarkan diri. "Jadi benar yang dikatakan Kinan." Sedangkan Laras hanya mengangguk. "Di mana kamu menemukan orang ini?"

Laras mulai menceritakan awal mula menemukan lelaki yang ia kira sampah sebelumnya. Ia juga mengatakan jika sudah merawat luka dan mengganti pakaian. "Lalu sekarang harus aku apakan orang ini?"

Pak Darto terlihat berpikir keras. Hingga setelah beberapa detik, ia menyadari sesuatu. "Tunggu. Kenapa ada bagian rambut pria itu yang berwarna putih?" ujarnya seraya memperhatikan rambut pria yang belum siuman.

Laras menyimak dengan seksama. Namun saat mendengar pertanyaan yang keluar, ia segera menghela panjang. "Pak Darto! Bukankah itu bukan hal yang penting sekarang? Kita harus berbuat sesuatu," ucapnya setengah kesal, "lagipula itu abu-abu, bukan putih," lanjut Laras, pening tiba-tiba menyerang.

Mendengarnya, orang di sana ikut berpikir. Namun sebelum jawaban ditemukan, lelaki yang menjadi tokoh utama di rumah itu memberikan tanda jika sudah sadar.

"Dia sadar!" ucap Pak Darto sang kepala desa dengan senang. "Cepat tanya siapa namanya."

Laras langsung menurut. Dia menghampiri lelaki yang kini terlihat kebingungan. "Jangan takut. Kamu ada di rumahku, aku menyelamatkanmu di sungai tadi," ujarnya, berharap lelaki di hadapannya tidak panik. "Jadi, siapa namamu? kami mungkin bisa menghubungi keluargamu."

Semua orang menunggu dengan penuh harap. Satu detik hingga beberapa saat lelaki di sana nampak berpikir. Namun pada akhirnya ia menggeleng. "Aku tidak ingat."

Helaan panjang terdengar bersamaan memenuhi ruangan. Akan tetapi Laras belum menyerah. "Kamu tergeletak di sungai tadi. Apa kamu ingat apa yang terjadi?"

Lelaki itu kembali berpikir. Namun semakin ia mengingat, semakin samar ingatan dalam kepala. "Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apapun."

Lagi-lagi Laras mendengus. Namun itu belum cukup. "Lalu bagaimana dengan tempat tinggal, kamu pasti mengingatnya, kan? Seperti alamat, nama orangtua, atau bahkan pacar?" Sayangnya, lelaki tadi justeru memegang kepala. Pikirannya terasa sakit terlalu dipaksa.

Sampai akhirnya Pak Darto menghentikan pertanyaan Laras yang beruntun. "Tenangkan dirimu, Laras. Bagaimana dia bisa menjawab semua itu jika namanya sendiri saja dia tidak tahu?"

Laras menghela. "Lalu sekarang bagaimana?" Ia menatap pak kepala desa yang juga terlihat sedang berpikir keras.

"Untuk sementara ini, biarkan dia tinggal di rumahmu." Seluruh mata langsung menatap ke arah Pak Darto. "Maksudku untuk sementara. Aku akan ke kota untuk melapor ke polisi."

Mendengar penjelasan itu, Laras langsung berdiri. "Kenapa tidak tinggal di rumah Bapak saja?" Ia tidak bisa menerimanya.

Namun Pak Darto segera menjelaskan. "Laras. Kamu tahu kan bagaimana istriku? Dia tidak akan senang jika aku membawa seseorang untuk diberi makan. Ayolah, Laras. Lagipula kamu tinggal sendiri--"

"Justeru karena aku tinggal sendiri. Itu yang aku takutkan, Pak. Bagaimana jika dia berbuat macam-macam padaku?"

"Tenang saja. Kami siap 24 jam dihubungi jika dia berbuat macam-macam." Pak Darto dan orang-orang di sana meyakinkan Laras.

Awalnya Laras masih tidak terima. Namun setelah dibujuk ia juga merasa tidak tega dengan lelaki yang belum sepenuhnya pulih. "Baiklah. Tapi hanya sementara!"

Helaan lega terdengar kompak. Mau bagaimana lagi, Laras hanya bisa pasrah dan membayangkan bagaimana repotnya merawat orang dewasa yang tidak mengenali diri sendiri.

Saat wanita itu dilanda bimbang, seketika malam datang dengan bulan purnama menggantung terang.

"Jadi, apa kamu sudah ingat namamu?" Laras bertanya kesekian kali dalam satu malam. Namun lelaki di sana masih menggeleng. Helaan panjang keluar. "Cepat ingat namamu agar kami bisa mengantarmu pulang!"

Lelaki tadi hanya bergeming. Wajahnya nampak sedih, seolah wanita yang telah menolong kini berkata hal yang menyakiti hatinya.

Sadar dengan kesedihan lelaki itu, Laras akhirnya mengalah. "Baiklah. Nama tidak penting. Siapa yang peduli bahkan jika seseorang tidak memiliki nama. Lion, aku akan memanggilmu dengan nama itu untuk sekarang." Ia bangkit, tetapi tangannya dicegah oleh lelaki di belakangnya. "Aku hanya akan menyiapkan makan malam. Diam di situ dan jangan banyak bergerak."

Namun belum genap dua langkah Laras beranjak, suara erangan dari pria di belakang membuatnya mematung. Perlahan dirinya  berbalik, pria yang tadi masih diam bergeming kini bergerak aneh  dengan suara mengerikan. Sementara Laras mematung di tempat, wajah Lion perlahan berubah. Bulu hampir menyelimuti sekujur tubuh.

Laras terduduk lemas. Bibir dibungkam sebelum ia mengeluarkan teriakan keras. Pemandangan di depannya benar-benar seperti mimpi. Pria yang jelas sekali seperti manusia kini berubah wujud menjadi serigala berbulu abu-abu.

"A-apa yang terjadi?" Mata Laras masih membulat. Tulang di tubuh terasa hilang.

Sementara bulan purnama di luar mencapai puncak terang, seekor serigala bergigi tajam melolong sangat lantang.

Terpopuler

Comments

Angeldust

Angeldust

ok aku bakal kepoin nih visualnya 🤭

2022-11-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!