NovelToon NovelToon

Cinta Laras Dan Manusia Serigala

Pertemuan Takdir

Seorang wanita berjalan di padang rumput dengan keranjang bunga yang hampir penuh. Di kepalanya, tudung menjadi aksesoris harian yang akan digunakan untuk pergi ke ladang. Hamparan kembang yang dirawat menjadi sumber mata pencaharian wanita itu.

Laras, wanita berusia 26 tahun bulan lalu yang tinggal seorang diri di ujung desa, dekat sungai dan berseberangan dengan hutan. Merawat berbagai macam bunga telah menjadi pekerjaannya sejak kecil. Ia bahagia, meski kebahagiaan miliknya sangat sederhana.

"Baiklah, aku harus pergi sekarang."

Ketika hendak berdiri, sesuatu terlihat mencolok dari balik semak-semak. Dibuangnya napas dengan panjang. "Di mana kesadaran manusia tentang menjaga air agar tetap bersih?" Ia mengeluh, tapi tetap meraih ranting untuk mengambil sampah yang terlihat.

Sudah menjadi kebiasaan bagi Laras. Tidak boleh ada satu sampah pun yang boleh terlihat di sepanjang aliran sungai. Baginya menjaga air tetap bersih sama saja dengan menjaga kehidupan seluruh ekosistem. Siapa yang hidup tanpa air?

"Dan orang-orang semaunya sendiri membuang sampah mereka," ucap Laras yang masih berusaha menarik benda berwarna merah di balik semak-semak. "Astaga! Sampah apa yang mereka buang kali ini?" Sayangnya, sampah yang coba ia keluarkan nampaknya terlalu besar, sulit jika meraihnya dengan ranting.

Dengan terpaksa, Laras akhirnya meletakkan keranjang bunga dan memutuskan untuk mengambil sampah dengan tangannya sendiri. Menerobos semak-semak sembari mengomel tak henti. "Apakah aku perlu berjaga di sungai sepanjang hari? Jika aku menemukan mereka, akan kumaki sampai pucat!" Mulutnya memang berkata cepat, tapi tubuhnya bergerak lambat. Tentu ia harus berhati-hati untuk turun.

Untungnya, kegigihan Laras membuahkan hasil. Ia hampir tiba, mengambil sampah yang tergeletak tidak pada tempatnya. "Jika mereka pikir aku wanita lembut hanya karena merawat bunga, akan aku tunjukkan jika aku juga menyeramkan."

Ditariknya sampah dengan kuat, tetapi benda di sana tetap tidak bergeming. Laras menyerah, ia memutuskan untuk turun lebih jauh. "Awas sa-- Astaga!" Refleks tubuhnya terduduk, apa yang wanita itu lihat sangat mengerikan.

Kedua mata Laras membulat dengan sempurna. Bibir menganga seolah tidak bisa ditutup lagi. Dunia terasa berhenti. Seonggok sampah yang hampir ia bakar nyatanya bukan sampah biasa, melainkan seorang manusia tergeletak dengan tubuh pucat.

"A-apa yang terjadi?" Dada Laras naik turun. Lututnya terasa lemas, ia hampir tidak bisa mengatur napas. Seorang lelaki basah kuyup tak sadarkan diri di tepi sungai.

"Apa yang harus aku lakukan?" Wanita itu melihat sekitar, berharap ada seseorang yang tengah mengunjungi hutan. Namun sayang, tempat itu terlalu sepi. "Haruskah aku pergi ke desa?" Ia memikirkan salah satu opsi, tapi di detik berikutnya menggeleng. "Tidak. Aku tidak bisa meninggalkannya di sini."

Dengan jantung yang masih berdetak sekencang drum, Laras akhirnya turun memeriksa. Tangannya gemetar, ragu hendak menyentuh. Namun tak ada pilihan, ia hanya perlu memastikan lelaki yang tergeletak masih hidup atau sudah tak bernyawa.

"Oh?" Mata wanita itu membulat. Tangan yang tadi memeriksa denyut nadi kini beralih ke hidung, ia harus benar-benar memastikan. "Dia masih hidup!" pekiknya kemudian.

Tak mau membuat denyut nadi lelaki itu melemah, Laras harus segera memindahkannya. Ia memang cukup kuat, tapi tak yakin bisa membawa tubuh seorang lelaki.

Namun siapa sangka, "Dia lebih ringan dari yang kukira." Agaknya usaha Laras berkebun setiap hari tidak sia-sia. Meski tertatih, akhirnya ia berhasil membawa lelaki asing tadi ke rumah yang tidak jauh dari sungai.

Laras berjalan mondar-mandir. Bukan ia tidak tahu apa yang harus diperbuat, hanya saja ..., "Bagaimana caraku mengganti pakaiannya?" Digigitnya kuku ibu jari, wanita ini sedang terjerat dalam kebimbangan sekarang. "Terserah. Aku harus segera menggantinya atau dia akan mati kedinginan."

Diambilnya sebuah selimut dan kemeja milik sang ayah yang sudah tersimpan bertahun-tahun. Laras menarik napas dalam, tentu ia tidak boleh sembarang membuka baju laki-laki. Tetapi mau bagaimana lagi. "Jangan salah paham. Aku hanya ingin menyelamatkanmu, tidak ada maksud lain." Setengah matanya ditutup, sungguh ia tidak pernah membayangkan akan mengganti pakaian lelaki asing.

Setelah berjuang dengan keringat dingin, Laras akhirnya berhasil. Ditutupinya tubuh lelaki yang belum sadar dengan selimut berlapis. Selain itu, ia juga harus memeriksa apakah terdapat luka lain di sana. Benar saja, sebuah luka terlihat basah di kepala bagian kiri lelaki itu.

"Sudah kuduga dia pasti membentur batu di sungai itu," lirih Laras setelah menghela. Namun ia tetap harus bersyukur, setidaknya lelaki yang ia kira sampah masih hidup.

Tak mau membuang waktu, Laras bergegas mengambil akar dan bahan tradisional untuk ditumbuk menjadi obat. Tetapi sebelum itu ia harus memberitahu kepala desa tentang penemuannya. Mengirim pesan ke sahabatnya di desa, ia yakin Pak Darto akan datang segera.

"Kenapa aku harus repot melakukan ini?" Laras tiba-tiba mengeluh, walaupun ia tetap mengoleskan ramuan obat yang sudah selesai ia tumbuk ke kepala lelaki yang masih terbaring. "Mau bagaimana lagi, aku memang diciptakan menjadi orang baik."

Bertepatan dengan selesainya obat dibubuhkan, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Mendengarnya Laras langsung berubah lega. Setidaknya kini ia akan tahu akan diapakan lelaki asing di rumahnya itu.

"Pak Darto. Mari masuk," ucap Laras dengan lega. Berbeda sekali dengan ekspresi panik pak kades dan beberapa orang yang datang.

Pria berusia kisaran 54 tahun yang baru datang segera masuk, menatap lelaki yang belum sadarkan diri. "Jadi benar yang dikatakan Kinan." Sedangkan Laras hanya mengangguk. "Di mana kamu menemukan orang ini?"

Laras mulai menceritakan awal mula menemukan lelaki yang ia kira sampah sebelumnya. Ia juga mengatakan jika sudah merawat luka dan mengganti pakaian. "Lalu sekarang harus aku apakan orang ini?"

Pak Darto terlihat berpikir keras. Hingga setelah beberapa detik, ia menyadari sesuatu. "Tunggu. Kenapa ada bagian rambut pria itu yang berwarna putih?" ujarnya seraya memperhatikan rambut pria yang belum siuman.

Laras menyimak dengan seksama. Namun saat mendengar pertanyaan yang keluar, ia segera menghela panjang. "Pak Darto! Bukankah itu bukan hal yang penting sekarang? Kita harus berbuat sesuatu," ucapnya setengah kesal, "lagipula itu abu-abu, bukan putih," lanjut Laras, pening tiba-tiba menyerang.

Mendengarnya, orang di sana ikut berpikir. Namun sebelum jawaban ditemukan, lelaki yang menjadi tokoh utama di rumah itu memberikan tanda jika sudah sadar.

"Dia sadar!" ucap Pak Darto sang kepala desa dengan senang. "Cepat tanya siapa namanya."

Laras langsung menurut. Dia menghampiri lelaki yang kini terlihat kebingungan. "Jangan takut. Kamu ada di rumahku, aku menyelamatkanmu di sungai tadi," ujarnya, berharap lelaki di hadapannya tidak panik. "Jadi, siapa namamu? kami mungkin bisa menghubungi keluargamu."

Semua orang menunggu dengan penuh harap. Satu detik hingga beberapa saat lelaki di sana nampak berpikir. Namun pada akhirnya ia menggeleng. "Aku tidak ingat."

Helaan panjang terdengar bersamaan memenuhi ruangan. Akan tetapi Laras belum menyerah. "Kamu tergeletak di sungai tadi. Apa kamu ingat apa yang terjadi?"

Lelaki itu kembali berpikir. Namun semakin ia mengingat, semakin samar ingatan dalam kepala. "Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apapun."

Lagi-lagi Laras mendengus. Namun itu belum cukup. "Lalu bagaimana dengan tempat tinggal, kamu pasti mengingatnya, kan? Seperti alamat, nama orangtua, atau bahkan pacar?" Sayangnya, lelaki tadi justeru memegang kepala. Pikirannya terasa sakit terlalu dipaksa.

Sampai akhirnya Pak Darto menghentikan pertanyaan Laras yang beruntun. "Tenangkan dirimu, Laras. Bagaimana dia bisa menjawab semua itu jika namanya sendiri saja dia tidak tahu?"

Laras menghela. "Lalu sekarang bagaimana?" Ia menatap pak kepala desa yang juga terlihat sedang berpikir keras.

"Untuk sementara ini, biarkan dia tinggal di rumahmu." Seluruh mata langsung menatap ke arah Pak Darto. "Maksudku untuk sementara. Aku akan ke kota untuk melapor ke polisi."

Mendengar penjelasan itu, Laras langsung berdiri. "Kenapa tidak tinggal di rumah Bapak saja?" Ia tidak bisa menerimanya.

Namun Pak Darto segera menjelaskan. "Laras. Kamu tahu kan bagaimana istriku? Dia tidak akan senang jika aku membawa seseorang untuk diberi makan. Ayolah, Laras. Lagipula kamu tinggal sendiri--"

"Justeru karena aku tinggal sendiri. Itu yang aku takutkan, Pak. Bagaimana jika dia berbuat macam-macam padaku?"

"Tenang saja. Kami siap 24 jam dihubungi jika dia berbuat macam-macam." Pak Darto dan orang-orang di sana meyakinkan Laras.

Awalnya Laras masih tidak terima. Namun setelah dibujuk ia juga merasa tidak tega dengan lelaki yang belum sepenuhnya pulih. "Baiklah. Tapi hanya sementara!"

Helaan lega terdengar kompak. Mau bagaimana lagi, Laras hanya bisa pasrah dan membayangkan bagaimana repotnya merawat orang dewasa yang tidak mengenali diri sendiri.

Saat wanita itu dilanda bimbang, seketika malam datang dengan bulan purnama menggantung terang.

"Jadi, apa kamu sudah ingat namamu?" Laras bertanya kesekian kali dalam satu malam. Namun lelaki di sana masih menggeleng. Helaan panjang keluar. "Cepat ingat namamu agar kami bisa mengantarmu pulang!"

Lelaki tadi hanya bergeming. Wajahnya nampak sedih, seolah wanita yang telah menolong kini berkata hal yang menyakiti hatinya.

Sadar dengan kesedihan lelaki itu, Laras akhirnya mengalah. "Baiklah. Nama tidak penting. Siapa yang peduli bahkan jika seseorang tidak memiliki nama. Lion, aku akan memanggilmu dengan nama itu untuk sekarang." Ia bangkit, tetapi tangannya dicegah oleh lelaki di belakangnya. "Aku hanya akan menyiapkan makan malam. Diam di situ dan jangan banyak bergerak."

Namun belum genap dua langkah Laras beranjak, suara erangan dari pria di belakang membuatnya mematung. Perlahan dirinya  berbalik, pria yang tadi masih diam bergeming kini bergerak aneh  dengan suara mengerikan. Sementara Laras mematung di tempat, wajah Lion perlahan berubah. Bulu hampir menyelimuti sekujur tubuh.

Laras terduduk lemas. Bibir dibungkam sebelum ia mengeluarkan teriakan keras. Pemandangan di depannya benar-benar seperti mimpi. Pria yang jelas sekali seperti manusia kini berubah wujud menjadi serigala berbulu abu-abu.

"A-apa yang terjadi?" Mata Laras masih membulat. Tulang di tubuh terasa hilang.

Sementara bulan purnama di luar mencapai puncak terang, seekor serigala bergigi tajam melolong sangat lantang.

Kesepakatan Besar

Bulan purnama menyela awan yang sedang berbincang. Malam terasa semakin sunyi meski sinar rembulan sampai pada tingkat tertinggi. Langit menggelap, suara arus sungai terdengar sangat jelas berebut dengan ocehan hewan-hewan malam  di hutan. Namun di antara samarnya bunyi yang terdengar, suara lolongan dari serigala yang baru berubah berhasil menyita seluruh pendengaran Laras.

Wanita itu terduduk dengan sandal yang sudah terlepas. Kedua mata membulat sempurna saat ingin ditutup rapat. Sementara tulang di sekujur tubuh hampir hilang tak bersisa. Lututnya lemas, walau otot-otot terasa menegang. Bibirnya menganga lebar, akal sudah tidak bisa disatukan.

"A-apa yang terjadi?" Kalimatnya terbata di tengah napas yang mulai tersengal.

Di hadapan Laras, pria asing yang nampak normal sekarang benar-benar berubah menjadi mahluk penuh bulu bergigi tajam. Mahluk yang seumur hidup hanya ia tahu lewat mitos dan legenda. Namun malam ini, wanita itu sungguh melihat manusia serigala di depan mata.

***

Laras meringkuk di luar rumah. Duduk di kursi kayu yang sudah lapuk termakan usia. Keringat dingin masih belum kering dari kening, tubuhnya masih gemetar membayangkan apa yang dilihat beberapa saat lalu.

Sementara di dalam, Lion sudah kembali ke wujud manusia. Bulu di sekujur tubuh sudah lenyap, meski perubahan dirinya meninggalkan pakaian yang robek di beberapa bagian.

Sesekali Laras mengintip ke dalam. Dirinya benar-benar merasa ketakutan sekarang. Walau ia tidak terluka, tapi tak bisa membiarkan manusia serigala bersamanya.

"Aku harus melaporkan hal ini ke Pak Darto," lirih Laras yang masih meremas jari jemari. Itu adalah pilihan tepat. Sayangnya ponsel yang seharusnya dijadikan sebagai alat untuk menghubungi tertinggal di dalam, di meja samping mahluk yang membuatnya ketakutan.

Menyadari bahaya yang lebih jika dia masuk, Laras segera menggeleng. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Ia panik, kepala tak bisa diajak berpikir. Sampai ketika kedua matanya menangkap sekop yang tergeletak di sudut teras.

Laras mengendap masuk dengan sekop tergenggam erat di tangan. Matanya awas setajam mata elang, sedangkan kaki dan tanga sudah siap menyerang. Tentu, target wanita itu adalah manusia serigala yang belum bisa di terima akal sehat manusia.

Pelan tapi pasti, Laras berhasil masuk tanpa diketahui oleh Lion yang duduk membelakangi. "Akan kuhabisi kau!" pekik Laras sembari mengayunkan sekop dengan kuat. Akan tetapi sebelum sekop mengenai kepala Lion, tubuh pria itu sudah lebih dulu terjatuh.

Lion tersungkur di kaki Laras. "Apa yang terjadi?" Mata wanita itu melebar tak percaya. "Aku berhasil membunuhnya? Tapi aku belum mengenai apapun."

Perlahan tubuh Laras merendah. Ia masih takut, tapi tak bisa membiarkan Lion diam tanpa bergerak. Setidaknya kehidupan pria itu harus dipastikan. Napas masih keluar dari hidung Lion, refleks Laras menghela lega, meski ia segera menyingkirkan perasaan lega itu.

"Tubuhnya demam. Apa aku perlu mengompresnya?" Segera Laras menggeleng. "Tunggu, Laras. Bukankah hal baik jika dia tidak pernah bangun lagi?"

Wanita termenung penuh kebimbangan. Mungkin membiarkan serigala mati adalah jalan paling aman. Namun, rasa iba di dalam dirinya lebih mendominasi. "Ah, kenapa aku harus merasa kasihan dalam situasi seperti ini?" keluh Laras, meski ia tetap membantu tubuh Lion untuk berbaring dengan benar.

Laras meletakkan kain hangat di dahi Lion. Setelah beberapa saat ia bangkit. Perapian adalah tujuannya sekarang. Ia menyalakan tungku kayu, memotong bahan makanan dengan perhatian terus mengarah pada pria yang belum siuman. Kemudian ia menghela.

Ketika rasa cemas masih memenuhi hati Laras, makanan sudah matang dan terhidang. Seperti waktu tahu kapan saat yang tepat. Lion sadar ketika hidangan siap di atas meja.

Di hadapannya, Laras masih menyusun beberapa lauk. Sementara di seberang meja, Lion menatap salah satu piring dengan lidah yang sulit ditelan.

"K-kau mau makan?" tanya Laras begitu ia sadar dengan tatapan lapar dari pria di depannya. "Makan kalau mau," lanjutnya, dengan langkah ditarik mundur saat Lion mulai mendekat ke arah meja.

Lion menyerang piring berisi ikan dengan ganas, sedangkan hidangan lain seperti nasi dan sayur sama sekali tak disentuh. Hingga hanya dalam waktu yang singkat, dua ekor ikan patin berukuran besar sudah raib dari piring.

"Kau pasi sangat kelaparan," ujar Laras seraya menatap ikan kesukaannya habis tak bersisa. Namun itu bukan hal yang penting sekarang. Yang jelas ia harus sangat berhati-hati dan mencari aman.

Laras terus memerhatikan Lion yang masih sibuk membersihkan sisa tulang ikan. Sampai keberanian tiba-tiba datang menghampirinya. "B-begini, apa kamu sekarang sudah tahu siapa sebenarnya dirimu?" tanya wanita itu sangat hati-hati.

Mendengarnya, Lion langsung menoleh, menatap tajam ke arah Laras, membuat wanita itu terpejam kuat dengan takut.

"M-maksudku, bukankah kamu harus kembali ke kelompokmu?" Laras meluruskan, "dengar. Aku sama sekali tidak ingin mengusik kalian, jadi kumohon pergi dan jangan berbuat apapun padaku."

Lion terdiam. Tulang yang tersisa satu dibiarkan. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Seperti ada banyak hal samar yang tidak bisa ia raba. Ketika Laras menunggu respon, pria di sana menggeleng pelan. "Aku tidak tahu."

Laras terperanjat. "Apa maksudmu tidak tahu?" Tubuhnya refleks maju, tapi segera ditarik saat Lion menatap. 

"Aku tidak tahu siapa diriku dan dari mana aku berasal."

"K-kau tidak tahu? Tapi kamu tadi beru--" Laras tak berani melanjutkan kalimat.

Sementara Lion, ia masih mencoba menemukan hal yang hilang di kepala. Namun semakin dipaksa, tubuhnya terasa semakin menderita. "Aku hanya tahu mahluk seperti apa diriku," ucapnya. Kini tangan memegang kepala yang terasa sangat berat.

Wanita di sana bergeming. Ia kahwatir pada Lion, tapi lebih cemas dengan keselamatan dirinya.

"J-jadi, kamu bisa pergi dari sini sekarang?" Tatapan tajam kembali diterima Laras begitu ia selesai dengan pertanyaan. "Maksudku, bukankah aku membuatmu tidak nyaman?"

Lion terdiam. Agaknya ia tahu kenapa Laras sangat merasa takut padanya. Setelah detik berganti, ia menoleh. "Tapi aku ingat satu hal. Manusia seperti kalian bukan makanan kami."

Mendengar itu berhasil membuat Laras semakin terkejut. Apa manusia serigala juga bisa membaca pikiran? Ia segera menyingkirkan pernyataan aneh itu. Mungkin hanya kebetulan, pikirnya.

"Tolong biarkan aku tinggal di sini."

"Eh?" Bibir Laras melebar seakan tak bisa ditutup lagi.

"Mari buat kesepakatan. Aku akan memberitahu kelemahanku, jika aku berbuat macam-macam kamu bisa langsung menghentikanku."

Namun Laras masih tidak yakin. Apakah tidak masalah melakukannya?

Ketika Laras berpikir, Lion melanjutkan, "Biarkan aku tinggal di sini. Setidaknya sampai aku ingat bagaimana aku bisa terjatuh di sungai. Sebagai gantinya, aku akan melakukan apapun yang kamu mau. Bagaimana?"

"Eh?" Tak ada jawaban. Telinga Laras terasa tersumpal. Otaknya beku, matanya tak bisa melihat jelas. "Eh? Apa katamu?"

***

Sementara itu, di sebuah gubuk tak jauh dari rumah Laras. Seorang pria tiba saat bulan perlahan turun dari peraduan. Win, pemuda dengan panah yang selalu dibawa. Apa yang ia lakukan di malam yang hampir berakhir? Tentu, ia bergegas pergi begitu mendengar kabar Laras menemukan seseorang.

"Sial! Harusnya aku pulang lebih awal tadi," sesalnya saat mengalami fakta jika dirinya sangat terlambat mendengar kabar Laras karena baru pulang dari perburuan.

Lalu sekarang, sepertinya malam tak membiarkan Win beristirahat. Sebab ia bertekad untuk tidak mengalihkan pandangan dari rumah gadis pujaan, Laras.

Lion

"Api," ujar Lion dengan tenang. Sementara Laras masih belum paham. Wanita itu hanya menatap penuh pertanyaan. "Satu-satunya kelemahanku adalah api. Kamu bisa menggunakannya untuk melindungi diri." Manusia serigala itu melanjutkan.

Laras mengatur napas agar tenang. Jantungnya masih berdetak kencang. "M-maksudmu aku bisa membunuhmu dengan api?"

Mendengar itu Lion tertawa kecil. Kepalanya menggeleng sebelum berhenti menatap Laras. "Berlebihan jika membunuh. Tapi setidaknya api bisa melemahkan kekuatanku." Pria itu menjelaskan.

Sementara Laras berjaga sepanjang malam, suara kokok ayam terdengar lantang. Hari sudah pagi, bahkan matahari sudah naik seperempat dari peraduan.

Seorang wanita duduk dengan mata terpejam, sedangkan kedua tangan waspada menggenggam kayu yang siap dibakar oleh korek api di samping ranjang. Di luar kamar, pria yang menjadi acaman Laras justeru tertidur sangat pulas. Setidaknya sampai suara keras gedoran pintu membuatnya terbangun.

Laras keluar dengan wajah kusut, mata lelah seakan dipaksa terjaga semalaman. Ia mendengus, kesal terhadap tamu yang datang pagi-pagi sekali. Padahal ini sudah cukup siang bagi petani sepertinya.

Dibukanya pintu dengan sebal, terlebih ketika melihat siapa yang datang. "Win?" Laras menghela. "Ada apa pagi-pagi datang?"

Namun bukannya menjawab, Win malah menarik Laras keluar dengan cepat. Membuat wanita itu tersentak kaget. "Kau tidak apa?" tanyanya seraya mengacungkan anak panah ke arah pria asing yang masih nampak lelah.

"Apa maksudmu? Aku baik-baik saja," ucap Laras, melepaskan diri dari tangan Win.

Sesaat Win tak menyimak, ia terus menatap Lion yang juga membalas tatapannya.

"Dia tidak menyakitimu?" tanya Win setelah melepas tatapan dengan pria asing di dalam. Menjawab pertanyaan itu, Laras mengangguk. Wanita itu ingin segera mengakhiri percakapan dan melanjutkan tidur sampai siang. 

"Tapi semalam aku dengar--"

Laras bergegas membungkam mulut Win, tak membiarkan pria itu melanjutkan kalimat yang belum selesai. "Kau dengar apa? hah?" Ia menatap Win dengan tajam. "Sudahlah. Lebih baik kamu pergi," usir Laras sembari mendorong tubuh Win dengan keras.

Belum mau pergi, Win berusaha mengajak Laras berbincang, tapi tak berhasil, sebab wanita sang wanita pujaan sudah lebih dulu menutup pintu rapat-rapat.

Di dalam, Laras menghela cukup panjang. Punggung disenderkan pada pintu yang sudah tertutup. "Kenapa aku khawatir tentang Lion?" lirihnya, tak sadar jika di seberang meja Lion terus menatapnya dengan senyuman. "Apa? Jangan tersenyum seperti itu padaku!"

Namun bukannya berhenti, Lion justeru terkekeh kecil. Membuat Laras memberikannya tatapan paling tajam. Ia menggeleng, merasa bersalah sudah membuat wanita di balik pintu kesal.

Tak mau berlama-lama dengan Lion, Laras bergegas masuk ke dalam kamar. Menggenggam kayu bakar dan korek api. Mereka memang sudah membuat kesepakatan semalam, tapi ia tetap tak bisa tenang begitu saja.

Perasaan gelisah yang meliputi Laras mengantarnya pada tidur lelap, menebus lelah karena semalaman berjaga. Meski Laras tahu, ada bahaya yang mungkin saja terjadi jika ia melelapkan diri.

***

Waktu terasa berjalan lambat, padahal baru tiga hari berlalu sejak Laras menampung Lion di rumahnya.

Sebuah hidangan untuk sarapan tersusun di atas meja. Di masing-masing sisi, Laras dan Lion duduk berhadapan. Seorang manusia masih was-was, tapi tetap berusaha memercayai si manusia serigala.

"Lion! Kenapa hanya makan ayam? Aku memasak sayur banyak agar ingatanmu cepat pulih," protes Laras, ketika mendapati Lion hanya mau makan daging selama tiga hari ini.

Mendengar protes dari Laras, Lion bergegas menelan sisa ikan di dalam mulut. Ia menatap wanita yang terlihat sangat galak. Membuat wanita di hadapannya mempertanyakan maksud dari tatapannya. "Kau tahu, tidak ada serigala yang makan sayur," jelasnya singkat.

Laras membuang napas, ia mengangguk paham, tapi tetap meletakkan sayur di atas piring Lion. "Aku tahu. Tapi aku harus berjaga-jaga, jadi aku berniat menjadikanmu omnivora alih-alih hanya memakan daging," ucapnya, membuat Lion memandang penuh tanya. "Apa? Makan sayur itu!"

Tak ada pilihan, Lion bersusah payah menelan sayur yang membuatnya hampir muntah karena aroma pahitnya. Setelah seperti berjuang melawan beruang, akhirnya ia berhasil menyelesaikan sarapan. Meski sisa rasa tak menyenangkan terus melekat walau sudah dihujam air sangat banyak.

Selang beberapa saat, Laras sudah siap dengan keranjang bunga di tangan. Sudah dua hari ia tidak pergi ke pasar, sedangkan uang yang dipegang juga mulai habis.

"Kamu mau ke mana?" tanya Lion saat mendapati Laras keluar.

Wanita di ambang pintu berhenti dan berbalik. "Aku mau ke pasar. Jangan coba-coba ikut dan diam saja di rumah!" ancamnya, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Lion.

Merasa pria di dalam rumah akan menurut, Laras bergegas keluar. Jarak menuju pasar cukup jauh, ia harus mempercepat langkah agar tidak terlambat pulang. Meski harus melewati jalan setapak dan sepi, tapi hal itu sudah biasa bagi Laras. Sampai tidak terasa kaki rampingnya sudah mengantarnya ke pasar.

Laras masuk ke toko bunga langganannya. Selain menjual hasil panen bunga, ia juga ingin menemui seseorang.

"Kinan!" pekiknya kuat, membuat wanita yang lebih muda darinya berhenti menyusun bunga. Mendekat dang menghamburkan pelukan.

"Laras. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Kau baik-baik saja?" tanya wanita bernama Kinan setelah pelukan mereka terlepas. Sementara Laras hanya mengangguk, Kinan melanjutkan, "Maafkan aku belum bisa berkunjung. Apa pria itu sungguh kehilangan ingatan?"

Sebuah anggukan diberikan oleh Laras. Dari yang ia tahu, Lion memang kehilangan ingatan. "Kinan ...," ucap Laras, berhenti karena ragu akan satu hal. Namun setelah beberapa detik Kinan menunggu kelanjutan kalimat, Laras malah menggeleng. "Tidak. Aku membawakanmu bunga tulip hari ini," ucapnya, tersenyum ceria mengalihkan pembicaraan.

Awalnya Kinan menaruh rasa curiga. Namun ia berpikir jika Laras tak ingin mengatakan, itu berarti ia tak boleh mendesak dengan pertanyaan. "Baiklah, Nona. Aku akan memeriksa bungamu yang terlihat sangat cantik seperti biasanya."

Laras tersenyum mendengar pujian dari Kinan. Setelahnya kedua wanita yang sudah menjalin persahabatan sejak kecil fokus terhadap pekerjaan dan bunga yang dijual. Meski di sela itu mereka tetap mengobrol dengan akrab. Hingga keributan di luar menghentikan Laras dan Kinan.

"Apa yang terjadi?" tanya Kinan, Laras hanya menggeleng. Namun keributan di luar terdengar semakin rusuh saat mereka diam memastikan.

Bersamaan dengan itu, Laras bergegas keluar, disusul oleh Kinan setelah mengunci toko. Di depan kios daging, orang-orang berkerumun. Keributan terus terjadi sampai perkataan tak ada yang bisa terdengar jelas.

"Apa yang terjadi?" tanya Laras pada penjual buah yang tak jauh dari kios daging.

"Katanya ada pria aneh yang mau mencuri daging."

Mendengar itu, pikiran Laras langsung tertuju pada satu orang yang sangat menggilai daging. Meski ia menepis kemungkinan Lion yang berada di tengah kerumunan, tetapi ia tetap memastikan, menerobos orang-orang dan membulatkan mata saat dugaannya benar.

"Lion!" panggil Laras berteriak, membuat beberapa orang mengalihkan perhatian padanya. Termasuk Win yang sedang membekukan lengan Lion.

"Laras?" ucap Win pelan. Tak menjawab, Laras langsung melepaskan tangan Win dari lengan Lion. "Apa yang kamu lakukan?" lanjut Win tak mengerti.

Setelah berhasil mengamankan Lion, ia menatap Win sekilas, kemudias mengedarkan pandangan ke penjuru kerumunan. "Aku akan menjamin pria ini. Dia orang baik, meski sedikit aneh. Jika ada kerusakan atau barang yang pria ini ambil, aku yang akan bertanggung jawab." Laras mengatakannya dengan mantap.

sedangkan Win yang sudah bersusah payah menangkap Lion menatap Laras dengan penuh tanya. "Laras. Apa yang kamu lakukan? Dia pria yang berbahaya!"

Tatapan tajam Laras diberikan pada Win. "Aku tahu apa yang aku lakukan, Win."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!