Fire Breath
Seorang gadis duduk di serambi depan sebuah rumah mungil yang nyaman. Rumah tersebut berpagar perdu dengan pepohonan merindangi halamannya yang juga mungil. Rumput hijau dan bunga aneka warna mempercantik taman di muka rumah tersebut. Sebuah jalan setapak ke arah beranda membuat suasana halaman rumah itu menjadi tampak kuno dan sederhana.
Di depan rumah berdinding ungu pastel tersebut, sang gadis duduk dengan nyaman sambil menikmati secangkir teh hangat. Gadis itu berkulit pucat dan rambut hitam panjangnya tergerai ditiup angin. Bola matanya juga berwarna hitam, namun sesekali – secara misterius - berkilat keperakan. Sore tampak begitu cerah dan tenang di tempat tersebut.
Beberapa meter dari rumah itu, seorang pria berjalan gontai menembus kerumunan orang yang lalu lalang di trotoar kota. Langkahnya lesu, seakan tanpa tenaga. Ia berjalan tanpa arah dengan pakaian kumal dan rambut berantakan. Beberapa orang yang berpapasan dengannya berbisik-bisik sambil menatapnya seakan merasa terganggu. Tapi pria itu tidak peduli dan terus berjalan.
Tak lama kemudian, pria itu sampai di depan rumah mungil milik sang gadis tadi. Dari balik pohon, tiba-tiba tatapannya terhenti pada seorang gadis yang sedang menghirup aroma cangkir yang mengepul. Meski kulitnya sangat pucat, gadis itu tampak begitu cantik dengan gaun panjang berwarna darah yang menutupi tubuh hingga seluruh kakinya. Rambutnya yang halus dan panjang menarik pandangan pria itu hingga tak sanggup berkedip.
"Ada yang bisa kubantu?" tiba-tiba sebuah suara mengagetkan pria itu.
Ternyata sang gadis sudah menatapnya dengan senyuman ramah menghiasi wajahnya.
Pria itupun keluar dari balik pohon dan balas menatap gadis itu malu-malu.
"Maaf kalau aku mengganggu waktu minum tehmu. Aku hanya seorang laki-laki yang tersesat," jawab pria tadi.
"Aku akan sangat senang menerimamu untuk minum teh bersamaku sambil bertukar cerita."
Pria itu berpikir sejenak. Ia merasa sungkan mendatangi rumah seorang gadis yang baru pertama kali ditemuinya. Tapi sudah berhari-hari ia berjalan tanpa makanan dan minuman yang layak. Bahkan tanpa tempat tinggal sama sekali. Karena itu ia memutuskan untuk memenuhi undangan gadis itu dan berjalan melalui setapak kecil menuju beranda. Sang gadis pun mulai menyiapkan secangkir teh lagi untuk tamu asingnya.
"Aku sungguh berterimakasih atas undanganmu. Sudah hampir seminggu aku tidak makan dan minum dengan layak. Tempat tinggalku pun hanya di trotoar dan gang-gang sempit di pinggir kota. Karena itu maafkan aku bila kedatanganku mengotori rumahmu."
"Tidak perlu sungkan. Aku sama sekali tidak merasa terganggu. Aku senang karena mendapat teman untuk minum teh bersama."kata gadis itu mengulurkan secangkir teh pada sang pria.
"Ah, terimakasih," ucap pria tersebut menerima teh yang langsung ia minum. Tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi ringan dan hangat oleh teh tersebut. Rasa lelahnya hilang seketika dan semangatnya kembali lagi.
"Teh ini luar biasa. Rasanya aku hidup kembali," puji pria itu.
"Teh itu racikan orang tuaku sendiri. Mereka punya kebun teh yang luas di utara."jelas sang gadis tersenyum tipis.
Pria itu mengangguk-angguk paham dan kembali menghirup tehnya. Perasaan yang sama terjadi dalam tubuhnya lagi dan ia mulai menikmatinya.
"Namaku Aiden. Aiden Catbones," kata pria itu kemudian. Ia mengulurkan tangannya kepada sang gadis.
Gadis itu menatap tangan Aiden ragu-ragu. Tapi kemudian ia menyambut uluran tangan Aiden.
"Sabina Rickle."kata gadis itu pendek.
Rasa dingin luar bisa merembet kedalam tubuh Aiden ketika bersalaman dengan Sabina. Ia terperanjat kaget dan menarik tangannya dengan begitu terkejut.
"Oh, maaf.. bukan maksudku untuk.." kata Aiden gugup.
"Tidak apa-apa. Aku memang sedikit kedinginan berada di luar terlalu lama," jelas Sabina. "Aku belum pernah melihatmu. Kau bukan orang sini tentunya," sambung Sabina mengalihkan pembicaraan.
"Aku berasal dari Woodlock di selatan. Aku kemari karena mencari sesuatu."
"Sesuatu? Berarti sebuah benda?"
"Hanya benda kecil peninggalan keluargaku. Karena sempat hilang beberapa waktu yang lalu, dan kabarnya sekarang berada di daerah sini."
"Benda yang sangat penting pastinya."
"Cukup untuk membuatku terpaksa keluar dari kotaku dan pergi ke kota yang asing hanya untuk mencarinya," Sabina tertawa kecil dan mulai mempersilakan Aiden mencicipi kue-kue kering yang dibuatnya sendiri.
"Kudengar tadi kau sedang tersesat? Sudah berapa lama kau berjalan?"
"Kurang lebih satu minggu."
"Kenapa tidak menginap saja. Banyak hotel dan penginapan yang cukup murah di kota ini."
"Sayangnya aku tidak membawa uang atau pun benda berharga untuk kutukar dengan tempat tinggal dan makanan."
"Kau pergi tanpa persiapan sama sekali sepertinya?"
"Kurang lebih begitu"
Selama beberapa saat mereka berbincang-bincang hingga matahari hampir habis tenggelam. Semakin banyak mereka bercerita, entah kenapa Aiden semakin merasa terpesona pada Sabina. Rasanya enggan menghentikan perbincangan mereka dan pergi meninggalkan rumah itu. Namun akhirnya, setelah menahan diri sebisa mungkin untuk berhenti memandangi Sabina, Aiden pun memutuskan untuk pergi. Dengan cekatan Sabina membungkus banyak makanan dan camilan untuk dibawa Aiden. Ia juga memberikan satu termos kecil berisi teh kepada Aiden.
"Aku tidak bisa memberimu uang atau tempat tinggal. Hanya ini yang bisa aku berikan untuk bekal perjalananmu," kata Sabina.
"Ini sudah lebih dari cukup. Aku sangat berterimakasih atas semua kebaikanmu. Suatu saat nanti aku pasti membalas hutang budiku ini,"ucap Aiden.
"Datanglah lagi untuk minum teh bersamaku saat barang yang kau cari sudah ditemukan. Itu sudah cukup untuk membalas budiku."
Dengan ucapan selamat tinggal, akhirnya Aiden berlalu dari rumah Sabina. Hari benar-benar sudah malam ketika Sabina kembali masuk ke dalam rumahnya. Ia kemudian merebahkan diri ke sofa putih yang empuk di ruang tamunya yang kecil. Seekor kucing hitam berbulu lebat melompat ke pangkuannya.
"Oh, hai Nora. Kenapa kau tidak menemaniku berbincang-bincang dengan tamuku tadi?" tanya Sabina kepada kucing itu seakan ia mengerti ucapannya.
Tapi Nora, nama kucing itu, memang mengerti apa yang diucapkan Sabina. Lebih dari itu, Nora bahkan bisa membalas ucapan Sabina. Kucing itu bisa bicara!
"Aku tidak ingin mengganggumu menggoda laki-laki itu," jawab Nora ketus.
"Ha?! Aku tidak menggodanya! Aku hanya minum teh bersamanya saja. Tidak lebih."
"Huh, pembohong kecil.. kau bahkan sudah membuatnya datang ke sini sejak dia berada di kota. Lalu kau menarik perhaiannya dengan feromonmu yang kau keluarkan saat ia sampai di depan rumah."
Sabina terkikik kecil.
"Memangnya kekuatanku saat menariknya datang ke sini terlalu kuat ya? Aku memang belum berpengalaman"ucap Sabina mengelus Nora.
"Aku heran, kenapa tidak kau suruh ia bermalam di sini dan kau gigit saat ia tidur."tanya Nora yang mulai bergelung di pangkuan Sabina.
"Aku tidak tahu. Saat ia sudah ada di depanku rasanya ia berbeda. Aku curiga ia bukan manusia. Lagi pula ia bukan orang sini. Katanya ia berasal dari Selatan."
"Tapi aku tidak merasakan aroma penghisap darah darinya. Kurasa ia memang bukan manusia tapi juga tidak sejenis dengan bangsamu."
"Kau juga merasa aneh? Karena itu ia kuundang kemari. Untungnya aku sudah kenyang karena semalam aku sudah menghabiskan seorang laki-laki pencuri gemuk yang datang kemari."
"Kau sebut pencuri pun kau sendiri yang membuatya datang kemari. Lagipula dia walikota, bukan pencuri."
"Ah benar juga ya.."kata Sabina yang kembali terkikik kecil. Nora hanya menatap majikannya dengan jenuh, kemudian kembali bergelung nyaman. Tidak lama kemudian ia sudah tertidur pulas.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments