Rumah Pohon

Miangase membawa Sabina dan Aiden ke dalam rumah pohonnya. Rumah itu dibuat dengan menempel sebuah pohon raksasa yang tingginya mencapai ratusan meter. Dedaunannya lebat dan batang tebal menjadi pondasi rumah pohon yang dibangun melingkar mewah hingga ketinggian yang sulit dilihat Sabina.

Ia dan Aiden kemudian memasuki pintu kayu berbentuk oval. Nora tidak ikut bersama mereka dan memilih tiduran di luar sambil mengamati Kerberos yang pingsan. Di balik pintu  kayu itu, sebuah ruangan dengan tangga melingkar ke atas menyambut keduanya. Miangase membimbing tamu-tamunya naik ke lantai atas melalui tangga kayu yang mengkilau.

Mereka naik jauh sekali ke atas, hingga akhirnya Miangase membuka satu pintu lain dan mempersilakan mereka masuk ke sebuah ruangan dengan jendela menghadap ke luar. Ruangan itu beralaskan karpet coklat muda yang cantik, dengan perabot sofa dan meja kayu berwarna senada. Jendela kaca di sisi luar ruangan memperlihatkan pemandangan hutan yang luas dan indah. Sepertinya rumah pohon Miangase dibangun di pohon tertinggi di hutan tersebut.

"Silakan duduk dimana saja," kata Miangase mempersilakan tamu-tamunya.

Ia kemudian melambaikan tangan sambil mengucap mantra sihir. Detik selanjutnya, sebuah teko berukuran sedang melayang ke udara, diikuti tiga cangkir porselen yang berornamen sama. Teko tersebut melayang sedemikian rupa dan menuangkan the hangat mengepul ke dalam tiga cangkir itu. Cangkir porselen yang sudah berisi teh beraroma chamomile kemudian terbang ke tiga arah berlainan, lantas mendarat di hadapan Sabina, Aiden serta Miangase.

"Bagaimana perjalanan kalian sampai kesini? Pasti sulit melewati para centaur itu," tanya Miangase ramah.

"Yah, mereka memang sedikit merepotkan. Tapi kami terbantu oleh Valerie yang datang tepat waktu," jawab Aiden sembari menghirup teh chamomilenya.

"Valerie bilang kau bisa member kami petunjuk tentang lokasi silver bullet," kata Sabina begitu saja, tanpa basa-basi.

"Ah, jadi kalian sedang mencari silver bullet. Apa ada kaitannya dengan para manusia serigala?" tanya Miangase lagi.

Sabina tampak mulai jengkel karena sedari tadi Miangase selalu bicara berputar-putar. Keramahtamahan berlebihan dan basa-basi tidak cocok dengan Sabina. Miangase seperti ingin mengorek infomasi dulu dari mereka sebelum nanti dia akan memberi tahu mereka tentang apa yang dia ketahui. Miangase sepertinya orang yang perhitungan.

"Begitulah Miangase. Kawanan manusia serigala di wilayah timur bertingkah tidak wajar. Mereka mendapat kekuatan batu sihir yang membuat mereka bisa berubah bahkan saat siang hari," jelas Aiden kemudian.

Miangase tampak agak terkejut. "Apa itu mungkin?" tanya Miangase.

"Kami sudah menyaksikannya sendiri. Batu sihir yang mereka gunakan berasal dari desaku, Woodlock di utara," lanjut Aiden menerangkan.

"Apa nama batu sihir itu?" Miangase terus mengorek informasi dengan pertanyaan-pertanyaannya.

"Miangase, apa kau akan membantu kami?" sergah Sabina tak sabar.

Penyihir itupun menyadari kekesalan Sabina, lantas melunakkan nada bicaranya.

"Ah, maafkan aku. Sudah lama tidak ada tamu yang datang berkunjung. Aku jadi sedikit tertarik dengan cerita kalian. Maafkan aku," ujar Miangase.

Sabina diam saja dan tidak menanggapi.

"Ah tidak apa-apa, Miangase. Tentang batu sihir yang kau tanyakan itu, namanya…" Aiden hendak member tahu Miangase, tapi Sabina segera menyikut rusuknya untuk membuat Aiden berhenti bicara. Aiden ber-ouch pelan lalu melirik Sabina yang menggeleng samar padanya.

"Baik-baik, tidak perlu mengatakannya. Kau benar-benar mirip Valerie saat aku pertama bertemu dengannya, Sabina. Dia banyak curiga pada orang lain. Pantas saja kalian bersaudara," ucap Miangase terkekeh.

Sabina diam tak menanggapi. Aiden tampak tak enak hati dengan sikap Sabina yang penuh kewaspadaan. Bukankah Miangase itu secara teknis adalah pasangan kakaknya? Tapi karena Aiden tidak ingin membuat Sabina kecewa, Aiden akhirnya memilih diam juga.

"Aku pernah menjelajah negeri yang jauh dan mendengar desas-desus tentang silver bullet. Kabarnya benda itu ada di sisi timur belahan benua ini, tempat Pegunungan Kematian berada. Kalian pasti sudah tahu Gunung Kohot yang merupakan puncak Pegunungan Kematian. Pergilah ke arah sana, di sana tersembunyi harta karun yang sangat terkenal. Kabarnya silver bullet juga tersembunyi di sana," jelas Miangase panjang lebar.

"Pegunungan Kematian? Bukankah daerah itu sudah lama ditinggalkan. Tidak ada manusia yang tinggal di sana lagi karena tanahnya yang kering dan terkutuk," tanya Aiden yang tampaknya mengetahui tempat yang disebutkan Miangase.

Miangase mengangguk. "Benar, karena itu perjalanan kalian tidak akan mudah. Sebelum mencapai tempat itu, kalian masih harus melewati Kota Kelam Terlarang di timur hutan ini. Berhati-hatilah pada banshee di kota itu. Setelah itu kalian harus terus ke timur hingga mencapai Mata Air Hidup dan Mati. Berusahalah menyeberangi mata air itu tanpa menyentuh airnya. Baru setelahnya Pegunungan Kematian akan terlihat dari sana. Ikuti petunjuk bintang untuk menemukan lokasi harta karun itu," ujar Miangase kembali menjelaskan.

Sabina mengernyit bingung. "Tak bisakah kita hanya langsung terbang pegunungan itu?" tanyanya.

"Kau tidak bisa melakukannya. Karena kalian harus mendatangi kedua tempat itu sebelum mendatangi Pegunungan Kematian," jawab Miangase.

"Kenapa?" tanya Sabina.

"Karena kalian memerlukan dua benda penting untuk membuka tempat harta karun itu. Pertama, di Kota Kelam Terlarang, kalian harus mengambil ratapan Banshee dan menyimpannya dalam teko emas. Di Mata Air Hidup dan Mati, bawalah seekor ikan mas beracun dan masukkan dalam wadah air berkilau. Kedua benda itu akan membantu kalian menyusuri kedalaman Pegunungan Kematian," kata Miangase menutup penjelasannya.

"Kenapa terdengar sangat merepotkan?" gerutu Sabina.

Miangase terkekeh. "Sudah kubilang kalian memang sedang melakukan perjalanan yang sulit. Tapi hanya itu saja yang bisa kuberitahu pada kalian. Selebihnya, keberhasilan perjalanan itu akan tergantung pada kreativitas kalian menghadapi segala rintangan."

Aiden tampak menarik napas panjang. "Terimakasih Miangase. Informasi itu sangat membantu kami," ucap Aiden.

"Kalian adalah keluarga Valerie, tentu saja aku harus membantu kalian," kata Miangase tersenyum ramah. "Ah ada satu lagi yang harus kalian bawa."

Miangase kemudian beranjak pergi dari ruangan itu, lantas kembali beberapa saat kemudian. Ia membawa sebilah pedang di tanganya, lengkap dengan sarungnya yang terbuat dari emas murni bertatahkan batu permata berkilauan.

"Bawa ini. Ini adalah Pedang Pembunuh Naga," kata Miangase sembari menyerahkan pedang berat itu pada Aiden.

"Kenapa kami harus membawa ini? Aku seorang vampir dan Aiden penyihir. Tidak satupun dari kami punya kemampuan berpedang," ucap Sabina.

"Bawa saja. Kalian akan membutuhkannya nanti." Miangase tampak bersikeras. Akhirnya Aiden menerima pedang itu dan menyarungkannya di punggung.

"Terimakasih, Miangase," kata Aiden. "Dan untuk nama batu sihir yang kau tanyakan tadi, itu adalah Kristal Ephestus," lanjut Aiden memberi tahu.

Sontak ekspresi Miangase berubah serius. Ia tampak terkejut dengan jawaban itu. "Aku harap kalian bisa segera menemukan silver bullet, Aiden. Sebelum hal buruk terjadi karena batu sihir itu."

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!