NovelToon NovelToon

Fire Breath

Pertemuan

Seorang gadis duduk di serambi depan sebuah rumah mungil yang nyaman. Rumah tersebut berpagar perdu dengan pepohonan merindangi halamannya yang juga mungil. Rumput hijau dan bunga aneka warna mempercantik taman di muka rumah tersebut. Sebuah jalan setapak ke arah beranda membuat suasana halaman rumah itu menjadi tampak kuno dan sederhana.

Di depan rumah berdinding ungu pastel tersebut, sang gadis duduk dengan nyaman sambil menikmati secangkir teh hangat. Gadis itu berkulit pucat dan rambut hitam panjangnya tergerai ditiup angin. Bola matanya juga berwarna hitam, namun sesekali – secara misterius - berkilat keperakan. Sore tampak begitu cerah dan tenang di tempat tersebut.

Beberapa meter dari rumah itu, seorang pria berjalan gontai menembus kerumunan orang yang lalu lalang di trotoar kota. Langkahnya lesu, seakan tanpa tenaga. Ia berjalan tanpa arah dengan pakaian kumal dan rambut berantakan. Beberapa orang yang berpapasan dengannya berbisik-bisik sambil menatapnya seakan merasa terganggu. Tapi pria itu tidak peduli dan terus berjalan.

Tak lama kemudian, pria itu sampai di depan rumah mungil milik sang gadis tadi. Dari balik pohon, tiba-tiba tatapannya terhenti pada seorang gadis yang sedang menghirup aroma cangkir yang mengepul. Meski kulitnya sangat pucat, gadis itu tampak begitu cantik dengan gaun panjang berwarna darah yang menutupi tubuh hingga seluruh kakinya. Rambutnya yang halus dan panjang menarik pandangan pria itu hingga tak sanggup berkedip.

"Ada yang bisa kubantu?" tiba-tiba sebuah suara mengagetkan pria itu.

Ternyata sang gadis sudah menatapnya dengan senyuman ramah menghiasi wajahnya.

Pria itupun keluar dari balik pohon dan balas menatap gadis itu malu-malu.

"Maaf kalau aku mengganggu waktu minum tehmu. Aku hanya seorang laki-laki yang tersesat," jawab pria tadi.

"Aku akan sangat senang menerimamu untuk minum teh bersamaku sambil bertukar cerita."

Pria itu berpikir sejenak. Ia merasa sungkan mendatangi rumah seorang gadis yang baru pertama kali ditemuinya. Tapi sudah berhari-hari ia berjalan tanpa makanan dan minuman yang layak. Bahkan tanpa tempat tinggal sama sekali. Karena itu ia memutuskan untuk memenuhi undangan gadis itu dan berjalan melalui setapak kecil menuju beranda. Sang gadis pun mulai menyiapkan secangkir teh lagi untuk tamu asingnya.

"Aku sungguh berterimakasih atas undanganmu. Sudah hampir seminggu aku tidak makan dan minum dengan layak. Tempat tinggalku pun hanya di trotoar dan gang-gang sempit di pinggir kota. Karena itu maafkan aku bila kedatanganku mengotori rumahmu."

"Tidak perlu sungkan. Aku sama sekali tidak merasa terganggu. Aku senang karena mendapat teman untuk minum teh bersama."kata gadis itu mengulurkan secangkir teh pada sang pria.

"Ah, terimakasih," ucap pria tersebut menerima teh yang langsung ia minum. Tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi ringan dan hangat oleh teh tersebut. Rasa lelahnya hilang seketika dan semangatnya kembali lagi.

"Teh ini luar biasa. Rasanya aku hidup kembali," puji pria itu.

"Teh itu racikan orang tuaku sendiri. Mereka punya kebun teh yang luas di utara."jelas sang gadis tersenyum tipis.

Pria itu mengangguk-angguk paham dan kembali menghirup tehnya. Perasaan yang sama terjadi dalam tubuhnya lagi dan ia mulai menikmatinya.

"Namaku Aiden. Aiden Catbones," kata pria itu kemudian. Ia mengulurkan tangannya kepada sang gadis.

Gadis itu menatap tangan Aiden ragu-ragu. Tapi kemudian ia menyambut uluran tangan Aiden.

"Sabina Rickle."kata gadis itu pendek.

Rasa dingin luar bisa merembet kedalam tubuh Aiden ketika bersalaman dengan Sabina. Ia terperanjat kaget dan menarik tangannya dengan begitu terkejut.

"Oh, maaf.. bukan maksudku untuk.." kata Aiden gugup.

"Tidak apa-apa. Aku memang sedikit kedinginan berada di luar terlalu lama," jelas Sabina. "Aku belum pernah melihatmu. Kau bukan orang sini tentunya," sambung Sabina mengalihkan pembicaraan.

"Aku berasal dari Woodlock di selatan. Aku kemari karena mencari sesuatu."

"Sesuatu? Berarti sebuah benda?"

"Hanya benda kecil peninggalan keluargaku. Karena sempat hilang beberapa waktu yang lalu, dan kabarnya sekarang berada di daerah sini."

"Benda yang sangat penting pastinya."

"Cukup untuk membuatku terpaksa keluar dari kotaku dan pergi ke kota yang asing hanya untuk mencarinya," Sabina tertawa kecil dan mulai mempersilakan Aiden mencicipi kue-kue kering yang dibuatnya sendiri.

"Kudengar tadi kau sedang tersesat? Sudah berapa lama kau berjalan?"

"Kurang lebih satu minggu."

"Kenapa tidak menginap saja. Banyak hotel dan penginapan yang cukup murah di kota ini."

"Sayangnya aku tidak membawa uang atau pun benda berharga untuk kutukar dengan tempat tinggal dan makanan."

"Kau pergi tanpa persiapan sama sekali sepertinya?"

"Kurang lebih begitu"

Selama beberapa saat mereka berbincang-bincang hingga matahari hampir habis tenggelam. Semakin banyak mereka bercerita, entah kenapa Aiden semakin merasa terpesona pada Sabina. Rasanya enggan menghentikan perbincangan mereka dan pergi meninggalkan rumah itu. Namun akhirnya, setelah menahan diri sebisa mungkin untuk berhenti memandangi Sabina, Aiden pun memutuskan untuk pergi. Dengan cekatan Sabina membungkus banyak makanan dan camilan untuk dibawa Aiden. Ia juga memberikan satu termos kecil berisi teh kepada Aiden.

"Aku tidak bisa memberimu uang atau tempat tinggal. Hanya ini yang bisa aku berikan untuk bekal perjalananmu," kata Sabina.

"Ini sudah lebih dari cukup. Aku sangat berterimakasih atas semua kebaikanmu. Suatu saat nanti aku pasti membalas hutang budiku ini,"ucap Aiden.

"Datanglah lagi untuk minum teh bersamaku saat barang yang kau cari sudah ditemukan. Itu sudah cukup untuk membalas budiku."

Dengan ucapan selamat tinggal, akhirnya Aiden berlalu dari rumah Sabina. Hari benar-benar sudah malam ketika Sabina kembali masuk ke dalam rumahnya. Ia kemudian merebahkan diri ke sofa putih yang empuk di ruang tamunya yang kecil. Seekor kucing hitam berbulu lebat melompat ke pangkuannya.

"Oh, hai Nora. Kenapa kau tidak menemaniku berbincang-bincang dengan tamuku tadi?" tanya Sabina kepada kucing itu seakan ia mengerti ucapannya.

Tapi Nora, nama kucing itu, memang mengerti apa yang diucapkan Sabina. Lebih dari itu, Nora bahkan bisa membalas ucapan Sabina. Kucing itu bisa bicara!

"Aku tidak ingin mengganggumu menggoda laki-laki itu," jawab Nora ketus.

"Ha?! Aku tidak menggodanya! Aku hanya minum teh bersamanya saja. Tidak lebih."

"Huh, pembohong kecil.. kau bahkan sudah membuatnya datang ke sini sejak dia berada di kota. Lalu kau menarik perhaiannya dengan feromonmu yang kau keluarkan saat ia sampai di depan rumah."

Sabina terkikik kecil.

"Memangnya kekuatanku saat menariknya datang ke sini terlalu kuat ya? Aku memang belum berpengalaman"ucap Sabina mengelus Nora.

"Aku heran, kenapa tidak kau suruh ia bermalam di sini dan kau gigit saat ia tidur."tanya Nora yang mulai bergelung di pangkuan Sabina.

"Aku tidak tahu. Saat ia sudah ada di depanku rasanya ia berbeda. Aku curiga ia bukan manusia. Lagi pula ia bukan orang sini. Katanya ia berasal dari Selatan."

"Tapi aku tidak merasakan aroma penghisap darah darinya. Kurasa ia memang bukan manusia tapi juga tidak sejenis dengan bangsamu."

"Kau juga merasa aneh? Karena itu ia kuundang kemari. Untungnya aku sudah kenyang karena semalam aku sudah menghabiskan seorang laki-laki pencuri gemuk yang datang kemari."

"Kau sebut pencuri pun kau sendiri yang membuatya datang kemari. Lagipula dia walikota, bukan pencuri."

"Ah benar juga ya.."kata Sabina yang kembali terkikik kecil. Nora hanya menatap majikannya dengan jenuh, kemudian kembali bergelung nyaman. Tidak lama kemudian ia sudah tertidur pulas.

***

Penyihir Mencurigakan

Aiden masih berjalan tanpa Arah. Dia tidak punya apa-apa kecuali sebungkus roti kering dan teh. Jaket hitam yang dipakainya sudah kusut dan robek dibeberapa bagian. Sepatunya juga sudah cukup aus dan solnya hampir habis. Ia kemudian duduk di sebuah trotoar gang buntu yang sepi. Dibukanya bungkusan roti kering yang ia simpan di saku jaketnya. Ia pun kembali teringat pada Sabina.

"Gadis yang sangat cantik dan baik hati. Aku beruntung bertemu dengannya," pikirnya sambil kembali membayangkan Sabina. Ia pun berusaha keras menahan keinginannya untuk kembali ke rumah Sabina.

Setelah menghabiskan rotinya yang kedua, Aiden mengambil termos kecilnya yang berisi teh. Sayangnya, teh itu sudah menjadi dingin. Aiden menghela nafas pendek. Ia kemudian menjenjentikkan jarinya dan tiba-tiba api menyala di tangannya! Termos itu digenggamnya selama beberapa saat. Selanjutnya ia kembali menjentikkan jarinya yang penuh api dan seketika api itu padam. Teh itu pun sudah hangat lagi.

Dengan tenang, seakan tak terjadi apa pun, Aiden meminum teh yang sudah hangat itu. Dan sensasi yang terjadi sore tadi terulang kembali.

"Teh ini sungguh luar biasa. Aku bisa merasakan sihir di dalamnya. Tapi belum pernah aku menemukan teh semacam ini di Selatan," pikir Aiden lagi.

Tapi meskipun sudah meneguk teh tersebut, rasa kantuk Aiden tetap tidak bisa hilang. Karena itu ia mulai mengepak roti dan termosnya kemudian berdiri dan menggelar sebuah kain. Sementara ia memejamkan mata, ia menjentikkan jarinya lagi dan sekejap kain itu berubah menjadi kasur yang empuk dan siap ditiduri. Aiden pun menjatuhkan tubuhnya di kasur dan tidur dengan cepat.

***

Suara bis dan orang-orang yang berjalan di ujung gang yang lain membangunkan Aiden dari tidurnya yang pulas. Dengan kaget Aiden terbangun. Selama beberapa saat Aiden hanya terduduk setengah terkantuk-kantuk.

"Aku benci bangun pagi!" ratap Aiden mengusap matanya yang tidak mau terbuka.

Setelah mengumpulkan sedikit tenaga, ia pun berdiri dan melakukan sedikit peregangan tubuh. Kemudian ia berbalik menghadap ujung gang yang tampak ramai dilewati orang. Dia mencabut sebuah tongkat kayu pendek dari dalam sakunya dan mengacungkannya ke ujung gang tersebut.

Ia lantas berbisik pelan. "Sekarang tidak ada orang yang bisa melihatku," ucapnya kemudian menjetikkan jari dan mengubah kasur yang dipakainya tidur menjadi selembar kain lagi.

Setelah mengepak barang-barangnya dan memakan beberapa kue kering sambil minum teh, Aiden kembali berjalan. Sudah hampir seminggu ia berjalan, tapi sama sekali belum ia temukan letak benda yang ia cari. Dia pun tidak tahu kemana harus mencarinya karena informasi yang ia dapat hanya sebatas benda yang ia cari ada di Hoclem, kota yang didatanginya ini, tanpa ada perincian siapa yang memegangnya.

"Seharusnya darah Catbonesku bisa merasakan keberadaan benda itu, dan tongkat sihirku akan bereaksi bila benda yang kucari ada di dekatnya. Tapi sampai sekarang kedua tanda itu belum terjadi juga," keluh Aiden putus asa.

Ia kemudian berjalan mengikuti instingnya ke arah timur kota. Di sana ia dapati sebuah bar kecil yang ramai disesaki orang. Berharap mendapat informasi lebih, ia pun masuk ke dalam bar tersebut, sekedar duduk-duduk dan minum dari bekalnya sendiri. Beruntung di kota ini, bar memang tidak mengharuskan pengunjungnya memesan, bar hanya semacam tempat banyak orang berkumpul.

Setelah mendapat tempat duduk yang nyaman, Aiden membuka bungkusan kue keringnya dan mulai makan. Didengarnya hiruk pikuk orang yang ramai berbicara, kebanyakan membicarakan berita seorang walikota yang mengilang dua minggu yang lalu.

"Polisi saja sama sekali tidak menemukan pelaku yang dicurigai," kata seorang pria berkumis dan berjanggut tebal.

"Jangan-jangan memang Wali Kota tengik itu pergi melarikan diri setelah ia terbukti menggelapkan uang pembangunan Jembatan Panjang?" sahut pria lain berrambut coklat muda.

"Aku sih senang-senang saja dia menghilang. Toh kejahatannya memang sudah tak termaafkan lagi. Kandidiat Wali Kota yang baru sepertinya lebih baik," kata pria ketiga yang badannya jauh lebih kecil dari dua temannya.

"Tapi karena dia menghilang, kasus penggelapan uang Jembatan Panjang tidak bisa diselesaikan," balas pria berambut coklat lagi.

"Gampang saja. Tinggal menyita hartanya yang sekarang dan menggunakannya untuk meneruskan proyek Jembatan Panjang," kata pria yang paling kecil.

"Katanya terakhir kali orang melihatnya, dia sedang berjalan-jalan di sekiter Hoodale St, dekat rumah kecil berwarna ungu itu." kata pria berjanggut.

"Rumah gadis itu, Sabina?" pikir Aiden lebih menajamkan telinganya.

"Benar. Semenjak rumah itu berdiri, banyak kejadian aneh yang terjadi di kota ini. Masih ingatkah kalian, tiga hari yang lalu sepasang suami istri mati mengenaskan dan mayatnya ditemukan di jalan depan rumah itu?"

"Ya aku ingat, suami istri Derk itu, yang tubuhnya tercabik-cabik."

"Lalu sebulan yang lalu, serombongan anak muda mati dengan kasus yang sama dan ditemukan tak jauh dari tikungan dekat rumah itu juga."

"Tapi polisi tidak pernah menemukan kesalahan dari gadis pemilik rumah itu. Tidak ada bukti gadis itu pembunuhnya. Lagipula dia sangat cantik. Tidak mungkin seorang gadis cantik dan baik hati seperti dia melakukan pembunuhan sekeji itu."

"Jangan tertipu oleh wajah cantik seorang perempuan. Bagaimanapun aku tidak suka dengan orang itu! Banyak kejadian mengerikan terjadi di sekitar rumahnya."

Aiden terdiam mendengar percakapan ketiga pria itu. Memang bukan informasi mengenai benda yang dicarinya, tapi ia tetap merasa terkejut. Meskipun gadis yang diceritakan pria-pria itu baru pertama kali ia temui, ia tetap merasa sangat marah karena mereka menganggap gadis itu jahat. Gadis sebaik Sabina tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu!

***

"Pagi yang cerah Nora! Bangunlah!" seru Sabina mebuka tirai-tirai jendela rumahnya. Ia kemudian menuju dapur dan mengambil senampan roti.

Nora terbangun karena sinar matahari yang menyilaukan matanya. Setelah puas menggeliat, Nora melompat turun dari sofa dan berjalan ke dapur mencari makanan yang biasa disiapkan Sabina untuknya. Begitu sampai di dapur, dilihatnya Sabina tergesa-gesa pergi membawa nampan penuh berisi roti madu.

"Mau kemana?" tanya Nora singkat.

"Aku mau ke rumah sebelah mengantarkan roti madu yang baru saja kubuat. Harus kuantarkan sebelum dingin," jawab Sabina melangkah keluar.

"Kau masih saja suka repot-repot mengurusi manusia," kata Nora menyeruput susu yang sudah ia temukan di bawah meja makan.

"Aku kan hidup di tengah manusia, jadi aku juag harus menjadi seperti mereka. Dah Nora, aku akan segera pulang," kata Sabina yang langsung pergi menginggalkan rumah.

Dengan riang Sabina menuju rumah tetangga sebelahnya. Rumah itu sedikit lebih besar dari rumah Sabina dan bercat putih. Di sana tinggal seorang wanita separuh baya, Maria, bersama cucu laki-lakinya yang berusia 6 tahun, Kelly. Mereka sangat ramah semenjak Sabina pindah ke kota itu.

Begitu sampai di depan pintu rumah, Sabina memencet bel yang langsung berdentang nyaring. Beberapa saat kemudian Maria membuka pintu rumahnya dengan senyuman terkembang.

"Ah, Sabina.. senang melihatmu lagi. Salakan masuk," kata Maria ramah.

"Terimakasih. Aku mengantarkan Kue madu yang baru saja kubuat. Aku takut kue ini menjadi dingin. Karena itu aku segera kemari meski hari masih pagi," jawab Sabina masuk ke dalam rumah.

"Luar biasa. Kau memang pandai memasak. Aku bersyukur kau menjadi tetanggaku," ujar Maria menerima nampan Sabina dan membawanya masuk ke dapurnya. Tak lama kemudian Maria keluar dengan Kue madu sudah berada di pring yang cantik.

"Kelly sudah berangkat sekolah. Kau terlambat membawa kue ini," kata Maria kemudian.

"Ah, sayang sekali Kelly tidak bisa merasakan kue ini saat masih hangat. Tapi meskipun sudah dingin, kue ini tetap enak kok, walaupun tak seenak saat masih hangat."

"Aku percaya," jawab Maria tersenyum. "Ah, kemarin kulihat kau bersama seorang pria minum teh bersama?" tanya Maria kemudian.

"Dia temanku dari jauh dan tiba-tiba datang ke rumahku," jelas Sabina menyembunyikan kenyataan sesungguhnya.

"Begitukah? Kulihat dia cukup tampan, meski sedikit berantakan. Kenapa tak kau undang dia bermalam di rumahmu?"

"Tidak. Dia ada urusan di tempat lain."

"Oh ya? Tapi sepanjang pagi ini aku melihatnya mondar-mandir di depan rumahmu. Tampaknya ia ingin datang lagi tapi khawair kau masih tidur."

Sabina sangat terkejut. Bagaimana mungkin ia tidak merasakan aura manusia berada di dekat rumahnya? Kecuali orang itu bisa menyembunyikan auranya. Sabina semakin yakin bahwa Aiden, laki-laki yang ditemuinya kemarin, bukan 'sekedar' manusia. Setelah mendengar kabar itu, Sabina bergegas pulang, dengan alasan lupa memberi makan Nora. Akhirnya Maria merelakannya pulang dibekali ucapan terimakasih atas kue madu yang diberikan Sabina.

Sesampainya di rumah, Sabina menghampiri Nora yang bergelung malas di sofa. Sabina lalu merebahkan tubuhnya di samping Nora dengan terengah-engah.

"Tidak biasanya kau berlari sampai terengah-engah seperti itu," kata Nora tanpa memandang Sabina.

"Nora... kau tahu? Aiden? Laki-laki yang kemarin datang kemari? Kata Maria ia berada di dekat rumah kita dari pagi." Jelas Sabina masih terengah-engah.

"Aku tahu? Masa kau tidak menyadarinya?"

"Hah? Kau tahu? Aku sama sekali tidak merasakan auranya. Jangan-jangan kekuatanku melemah!" kata Sabina mulai histeris dan berjalan mondar-mandir di depan Nora.

"Tidak. Aku juga tidak merasakan auranya. Kurasa ia sengaja menyembunyikan auranya."

"Sungguh? Berarti dia bukan manusia!"

"Jangan ketakutan bagitu. Dia tidak akan menyakitimu."

"Oh ya? Bagaimana bila dia teman Wolfank si serigala brengsek itu?"

"Manusia serigala tidak bisa menyembunyikan auranya. Kurasa dia penyihir."

"Penyihir?! Memangnya kenyataan itu bisa membuatku lebih aman tinggal di sini berlama-lama? Dan untuk apa dia mengawasi rumahku seharian?"

"Belum seharian. Baru pagi ini saja. Kenapa kau jadi paranoid begitu? Bukannya kau sendiri yang memutuskan untuk keluar dari keluarga Rickle dan tinggal di sini? Kelakuanmu itu mempermalukan darah bangsamu. Kau seharusnya lebih tenang dan sedikit punya harga diri untuk tidak merasa ketakutan."

"Tenang? Di saat nyawaku terancam? Aku sudah cukup gila dengan mayat-mayat di sekitar rumahku. Serigala busuk itu telah membuatku cukup kesulitan."

"Siapa tahu penyihir itu bisa membantumu. Lagi pula kau sendiri yang kemarin mengundangnya kemari."

"Ya. Dan aku menyesal sekarang."

***

Hampir tengah hari ketika Aiden memutuskan pergi meninggalkan rumah Sabina. Ia merasa tidak ada gunanya berada di situ, meskipun entah kenapa. ia sangat mengkhawatirkan gadis itu.

Aiden sangat heran terhadap dirinya sendiri yang mengkhawatirkan gadis yang baru pertama kali ia temui dan sama sekali tidak ia kenal.

Padahal keadaannya sendiri jauh lebih buruk daripada Sabina dan seharusnya lebih ia khawatirkan. Tapi, instingnya berkata bahwa benda yang ia cari memang ada hubungannya dengan Sabina. Terlebih Sabina bisa membuat teh yang penuh sihir, yang bahkan bangsa penyihirnya sendiri tidak bisa membuatnya. Pertemuannya dengan Sabina kemarin memang bukan kebetulan.

Tapi alasannya itu tidak cukup kuat untuk menahannya berada di depan rumah orang yang tidak ia kenal. Meskipun ia sudah menggunakan mantra penghilang, rasanya bukan tidak mungkin Sabina melihatnya dan mengira dirinya berbahaya – memang itu yang terjadi –. Karena itu Aiden kembali berjalan menyusuri kota untuk meneruskan perjalanannya.

***

Kedatangan Manusia Serigala

Sudah dua malam Sabina tidak melihat Aiden di sekeliling rumahnya. Selama itu pula ia tidak berani keluar rumah untuk berburu. Hingga malam ini, ia hanya menghabiskan waktunya untuk menonton TV dan membuat kue.

"Kau sama sekali tidak berburu dua hari ini dan hanya minum teh dan susu. Memangnya kau bisa hidup lebih lama lagi dengan begitu?" tanya Nora saat Sabina menjerang air untuk membuat teh.

"Tidak apa-apa. Aku cukup kuat dengan ramuan teh dari ibuku." Jawab Sabina. Wajahnya yang pucat menjadi semakin pucat. Tubuhnya juga lemas dan keceriaannya menghilang. Ia masih merasa tidak aman dengan kehadiran Aiden.

"Sampai kapan kau akan ketakutan bagitu? Sebelum kau meninggalkan rumah keluargamu, seharusnya kau sudah menyadari semua bahaya dan resiko kau hidup sendiri. Kalau terus begini lebih baik kau minta adikmu yang lebih pemberani datang menjemputmu."

"Jangan banyak bicara Nora! Aku hanya belum terbiasa hidup dengan kekuatanku sendiri. Aku tidak apa-apa. Aku akan berburu setelah aku siap." Jawab Sabina kesal. Ia kesal karena ia ternyata tidak bisa mengatasi Wolfank yang selama ini mengganggunya. Ditambah bagaimana Aiden bisa menyembunyikan aura di muka rumahnya. Semua itu semakin membuatnya merasa lemah.

Tiba-tiba suara geraman terdengar keras di luar rumah Sabina. Bunyi benda diseret melengkapi geraman ganas tadi. Bukan hanya satu, tapi beberapa.

"Sabina, dia datang!" kata Nora.

Sabina mengangguk paham. Ia berjalan menuju pintu dan keluar dari rumahnya. Di depannya, ia melihat lima makhluk yang tingginya dua kali tinggi tubuhnya. Tubuh makhluk itu dipenuhi bulu dan moncongnya menjorok keluar memamerkan taring yang besar penuh ludah yang menetes-netes. Masing-masing makhluk itu menenteng dua mayat manusia yang tubuhnya hancur terkoyak. Merekalah manusia serigala yang sedang berburu yang membuat mayat-mayat hasil buruannya itu berceceran di sepanjang rumah Sabina.

"Kenapa kau tak berhenti menggangguku Wolfank? Habiskan makananmu dan buang sisanya di tempat lain!" seru Sabina kepada manusia serigala itu.

"Kau tidak berhak memerintahku gadis kecil! Ini wilayahku dan seharusnya kau yang pergi! Tidak perlu ada dua pemburu dalam satu wilayah!" kata serigala yang paling besar dan berdiri paling depan. Suaranya serak dan parau, penuh geraman mengerikan.

"Aku tidak pernah mengganggu buruanmu. Masih banyak manusia yang bisa kau makan. Aku tidak berburu sesering kaummu."

"Aku tidak peduli! Aku ingin kau pergi dari wilayahku! Bangsamu sudah banyak membuat kaumku menderita! Sedikitpun aku tidak menaruh belas kasihan padamu!"

"Aku tidak akan pernah pergi dari sini! Ini rumahku dan kau tidak berhak mengusirku!"

Kelima manusia serigala itu menggeram lebih keras sambil mengaum-aum. Kukunya yang tajam tiba-tiba memanjang dan matanya menatap Sabina dengan bengis. Penduduk di sekitar daerah itu pun ketakutan dan segera menggulung tubuh mereka deibawah selimut.

"Kau berani melawanku?!" geram Wolfank dengan taring besarnya. Dia berjalan mendekati Sabina yang berdiri di depan pagar rumahnya. "Dengan kaki gemetar dan badan pucat ini kau menentangku?! Kau tak lebih dari mayat yang menunggu dikoyak oleh taringku yang tajam." lanjut Wolfank semakin dekat.

Tiba-tiba sepasang taring keluar dari mulut Sabina. Kukunya semakin panjang dan tajam menyerupai cakar dan kedua matanya berubah perak.

"Aku tidak akan takut melawanmu, mulut bau!" seru Sabina.

Tapi ia melakukan kesalahan besar. Serigala ganas iu dua kali lebih besar dan kuat dari pada dirinya. Dengan satu ayunan cakarnya Sabina terhempas jatuh mencium trotoar. Meski sempat menghindar, lengannya terluka parah dengan empat goresan besar. Wolfank kembali mendekati Sabina yang melompat bangun. Kelincahannya berkurang karena sudah hampir dua minggu ia tidak mendapat buruan sehingga tubuhnya lemas.

Sebuah gigitan mendarat di bahu Sabina sebelum ia sempat mengindar. Sambil menahan sakit, dicakarnya wajah Wolfank hingga mengenai matanya. Wolfank melompat dan melepaskan tubuh Sabina yang separuh hancur.

Tiba-tiba seberkas sinar kemerahan melecut di depan mata Sabina dan mengenai Wolfank. Tapi Sabina tidak bisa melihat lebih jauh yang terjadi karena mendadak pandangannya gelap. Ia jatuh terkulai, kehilangan kesadaran.

***

Entah kenapa perasaan Aiden kacau. Ia merasa harus kembali ke rumah Sabina. Mendadak tongkat sihirnya bersinar remang kehijauan. Akhirnya ia memutuskan untuk menuju ke rumah Sabina. Tidak butuh waktu lama untuk mencapai tujuannya karena ia memang berada di dekat sana.

Begitu berbelok dari tikungan, ia melihat empat ekor makhluk aneh penuh bulu dan menggeram-geram di depan rumah Sabina. Di sekeliling mereka beberapa mayat manusia tergeletak mengenaskan. Tepat di depan pagar rumah Sabina, seekor makhluk berbulu itu membungkuk siap menyerang Sabina.

"Fireve Flamesco!" serunya mengacungkan tongkat sihirnya kepada makhluk yang akan menyerang Sabina tersebut. kilatan merah keluar dari ujung tongkatnya dan menyambar makhluk tadi hingga membuatnya terlempar. Bulu-bulunya yang panjang dan mengerikan itupun mulai terbakar api. Ia berguling-guling mencoba memadamkan api tersebut tapi api itu tidak bisa padam.

Keempat makhluk berbulu lainnya menghampiri kawannya sambil memandang Aiden dengan tatapan geram.

"Siapa kau? Untuk apa mengganggu kami?" tanya salah satu diantaranya.

"Aku yang harus bertanya siapa kalian dan kenapa mengganggu gadis itu." Sahut Aiden.

"Bukan urusanmu. Pergi dari sini atau tubuhmu akan kami koyak seperti maya-mayat itu." Ancam mereka lagi.

"Aku membuat kalian terbakar seperti yang terjadi pada temanmu itu. Api yang aku buat tidak akan padam sebelum melumatkan tulang kalian," jawaban Aiden tak gentar.

Akhirnya kawanan sergala itu berlari pergi membawa Wolfank yang tubuhnya terbakar. Aiden segera menghampiri Sabina yang pingsan penuh luka. Dengan sigap ia menggendong gadis itu tanpa mempedulikan mayat-mayat yang berserakan di pinggir jalan.

Dibaringkannya Sabina di sofa ruang tamu karena Aiden sama sekali tidak menemukan tempat tidur di rumah itu. Dengan panik ia mencari perlengkapan P3K yang juga tidak dapat ia temukan dimana-mana. Akhirnya ia memutuskan untuk menggunakan sihirnya untuk menyembuhkan luka-luka Sabina.

Saat ia mengangkat tongkat sihirnya, tiba-tiba semua luka di tubuh Sabina menutup dengan cepat hingga tak berbekas sama sekali. Dengan heran Aiden memandangnya selama beberapa saat.

"Aku bahkan belum merapal mantra tapi lukanya sudah menghilang secepat kilat," katanya keheranan.

Lebih heran lagi ia saat melihat seekor kucing hitam, yang dari tadi mengikuti tubuh Sabina, tertawa. Seekor kucing yang tertawa cukup membuatnya bertanya-tanya apakah tingkat kewarasannya masih cukup normal. Untungnya Sabina segera membuka mata, sehingga perhatiannya kembali kepada Sabina.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya sambil berlutut di samping Sabina.

Sabina terlonjak kaget dan berusaka duduk. Namun ubuhnya masih terlalu lemas sehingga ia terkulai lagi.

"Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Biar aku ambilkan sesuatu yang hangat untukmu," kata Aiden yang langsung pergi ke dapur dan menemukan teh hangat yang tadi baru di jerang Sabina.

"Ini minumlah," kata Aiden menyodorkan minuman itu pada Sabina.

Sabina menerimanya dengan ragu-ragu dan masih menatap Aiden curiga.

"Maaf membuatmu kaget karena tiba-tiba berada di sini. Aku tak sengaja lewat ketika kau sedang diserang oleh... oleh... aku tak tahu itu makhluk apa, tapi ku kira itu manusia serigala," jelas Aiden.

Sabina masih terdiam di balik cangkir tehnya. Wajahnya masih tampak cantik meski sekarang menjadi berlipat-lipat lebih pucat daripada saat terakhir Aiden melihatnya.

"Kau.. menolongku?" rintih Sabina kemudian.

"Emh.. kurang lebih begitu. Tapi aku tidak membunuh mereka, persisnya. Kurasa aku tidak cukup kuat untuk melakukannya. Jadi aku hanya mengusirnya sebelum mereka... ee... membunuhmu, mungkin," jelas Aiden.

Wajah tegang Sabina berangsur-angsur mengendur. Ia berusaha duduk dan meletakkan cangkir tehnya. Aiden pun segera membantunya untuk duduk. Setelah Sabina berhasil duduk, kucing hitam tadi langsung melompat ke pangkuan majikannya itu dan bergelung manis. Entah kenapa Aiden merasa kucing itu menatapnya mengejek sehingga membuatnya sebal.

"Ini Nora, kucingku," jelas Sabina menyadari Aiden terus menatap kucing itu.

"Oh, bagus. Sekarang aku tahu nama kucing ini," kata Aiden masih menatap Nora dengan curiga. Sesaat mereka terdiam sejenak, bergelut dengan pikiran masing-masing. Hanya dengkur Nora yang memecahkan kesunyian diantara mereka.

"Terimakasih.." desah Sabina kemudian. Aiden hanya mengangguk dalam diam.

"Jadi bagaimana kau mengusir mereka?" tanya Sabina lagi.

"Yah.. hanya sedikit membakar bulu-bulunya. Kenapa mereka menyerangmu?"

"Alasannya sama seperti alasan mereka menyerang mayat-mayat yang mereka bawa," jawab Sabina berusaha menyembunyikan kebenaran.

"Jadi mereka yang membuat mayat bertebaran di sekeliling rumahmu selama ini?" tanya Aiden lagi.

"Memangnya kau sudah tahu sebelumnya?"

"Aku mendengar beberapa cerita saat aku mampir di bar beberapa saat yang lalu. Kenapa mereka tidak segera ditangkap?"

"Menangkap mereka sama saja menjemput kematian. Kebanyakan penduduk tidak mengetahui keberadaan mereka."

"Begitukah? Bukankah sudah beberapa kali mereka datang ke kota?"

"Mereka selalu datang saat tengah malam. Dan mencari tempat-tempat sepi."

"Tapi mereka hanya berlima. Kurasa bila mengerahkan seluruh polisi kota ini mereka bisa dikalahkan."

Sabina memandang Aiden dengan sedih, seakan pria itu tidak tahu apa yang ia katakan.

"Mereka hidup berkoloni di tengah hutan di ujung tenggara kota ini. Satu koloni mereka kurasa mencapai puluhan ekor. Terakhir kali kulihat, mereka datang sebanyak dua puluhan ekor."

"Jadi ini bukan pertama kalinya kau melihat mereka? Kenapa tidak kau laporkan saja?"

"Tidak akan ada yang percaya padaku. Baru dua bulan aku tinggal di sini. Dulunya mereka memangsa penduduk kota lain dan tidak menyisakan mayat di sekitar sini. Tapi semenjak aku pindah kemari, mereka mulai memangsa penduduk sekitar sini " jelas Sabina.

Aiden memandangna sambil berpikir.

"Apa mungkin mereka berusaha mengusirmu?"

"Kurasa begitu," jawab Sabina ringan.

"Tapi untuk apa?"

"Entahlah.."

Sejenak keduanya terdiam. Aiden kalut pada perasaannya sendiri. Dia semakin yakin bahwa Sabina bukan manusia biasa dan mulai bertanya-tanya apakah Sabina juga seorang penyihir. Kemudian dia juga kembali ingat pada tongkatnya yang sempat bersinar remang ketika dia hendak kemari. Tapi semakin ia berpikir, semakin jauh jawaban yang ia cari. Akhirnya ia memutuskan untuk terus berada di tempat itu karena di sanalah pertama kalinya tongkatnya bersinar dan menandakan benda yang ia cari memang berada di dekat tempat itu.

"Kalau begitu besok mereka akan datang lagi?" tanya Aiden memecah keheningan.

"Kurasa tidak. Waktu perburuan mereka hanya selama satu minggu dalam satu bulan. Dan malam ini adalah hari terakhir bulan purnama bersinar. Jadi mereka akan kembali menjadi manusia. Mungkin bulan depan baru mereka akan kembali berburu," jelas Sabina.

"Sebenarnya... kau ini apa?" tanya Aiden tanpa bisa menyembunyikan keingintahuannya. Sabina menoleh cepat kepadanya dengan alis bertaut.

"Bukan.. bukan maksudku bertanya tidak sopan. Hanya saja aku merasa... sedikit aneh. Kau tahu persis mengenai manusia serigala dan bahkan kau juga tahu bahwa nyawamu terancam. Tapi kau tetap tenang seakan ini bukan apa-apa. Padahal segerombolan manusia serigala berusaha mengusirmu dari kota ini, entah apa alasannya. Kemudian.. lukamu.. tadi aku melihat dengan mataku sendiri kau tercabik-cabik. Lihat! Bajumu juga masih terkoyak. Tapi semua luka itu sembuh dengan satu kedipan mata," jelas Aiden tanpa menarik nafas.

"Dan di rumahmu sama sekali tidak ada tenpat tidur!" tambahnya.

Sabina tersenyum kecil yang kemudian menjadi tawa renyah. Lama ia tertawa sampai Nora terbangun dengan kaget.

"Seumur hidup belum pernah aku merasa selucu ini," kata Sabina masih tertawa.

Setelah mengambil nafas panjang dan berusaha keras tidak tertawa, ia pun tenang kembali, meski masih sedikit tersenyum menahan tawa.

"Sebelum mencari tahu kehidupan orang lain, lebih baik kau perkenalkan dulu dirimu. Di sini rumahku dan kotaku. Karena itu aku juga berhak tahu latar belakang tamuku," kata Sabina kemudian.

"Baiklah. Mungkin kau tidak akan terkejut dengan pengakuanku, karena kau yakin kau bukan orang biasa. Aku.. penyihir," kata Aiden. Sabina hanya memandangnya tanpa mengubah ekspresi. Karena itu Aiden melanjutkan.

"Aku berasal dari desa penyihir Woodlock di Selatan. Beberapa waktu yang lalu desaku diserang oleh penyihir hitam dan mereka mencuri pusaka keluarga kami, sebuah batu sihir yang mampu melipatgandakan kekuatan sihir. Batu itu merupakan pusat kekuatan desa kami." Aiden menarik nafas pendek dan kembali melanjutkan.

"Akhirnya, karena beberapa pertimbangan, aku lah yang mereka pilih untuk merebut kembali batu sihir itu."

Sabina masih menatap Aiden tanpa ekspresi. Apa yang dikatakan Aiden adalah hal yang sebenarnya.

"Kenapa kau sendiri yang harus merebut batu sihir itu?"

Aiden mengangkat sebelah alisnya.

"Emh.. aku melakukan sedikit kesalahan sehingga harus menerima hukuman ini," jelasnya pendek.

Sabina tampak sedikit menimbang-nimbang.

"Aku memang bukan orang biasa seperti yang kau katakan. Tapi kau tidak perlu kawatir karena aku bukan orang jahat dan tidak akan menyakitimu. Aku tidak bisa menjelaskan secara rinci padamu, tapi yang pasti aku dan manusia serigala itu memang bermusuhan. Bukan hanya aku tapi semenjak leluhurku dulu. Apa kau cukup puas dengan penjelasanku?" jelas Sabina panjang lebar.

"Sebenarnya belum.. tapi aku yakin kau punya alasan untuk tidak menceritakan lebih dari itu," jawab Aiden mengerti.

"Aku sangat berterimakasih kalau kau bisa mengerti," kata Sabina kemudian. "Emh.. bagaimana jika kau tinggal di sini untuk sementara, hingga batu sihir itu kau temukan."

Aiden sedikit terperangah kaget mendengar tawaran itu. Meskipun ia masih sangat bertanya-tanya tentang gadis itu, tapi ia yakin Sabina tidak mungkin menyakitinya. Keyakinan yang entah darimana ia dapatkan. Karena itu ia segera mengangguk mantap untuk menyetujui tawaran Sabina.

"Tidak ada bantuan lain yang kuharapkan daripada tempat tinggal," katanya kemudian.

Sabina terkikik kecil.

"Tapi memang tidak ada tempat tidur di sini. Aku biasa tidur di sofa ini karena menurutku sudah cukup empuk dan nyaman," kata Sabina masih setengah tertawa.

"Tak ada gunanya aku menjadi penyihir bila aku tidak bisa membuat tempat tidurku sendiri," jawab Aiden.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!