Setelah membersihkan dirinya karena keringat sisa - sia bekerja, Calina segera mendorong motornya ke tukang tambal ban di ujung gang.
Hari sudah hampir gelap memang, tapi karena tetangga, pastilah si tukang tambal ban masih menerima pekerjaan sesuai profesinya.
"Saya tunggu di sinis saja ya, bang?" ucap Calina duduk di depan bengkel.
"Ya, Neng!" jawab si tukang tambal ban. "Tadi sepertinya Neng Calina naik ojek online, kenapa tidak minta di jemput bang Zio?"
"Mas Zio pulang terlambat, Bang! lagi pula lebih enak pulang sendiri dari pada mengandalkan suami." jawab Calina beralasan. Padahal dalam hati ia ingin sekali seperti Naura, di antar jemput suami yang di cintai.
"Ooh..." si tukang tambal ban mengangguk pelan. "Eh, mbak Cal... kapan hari saya ketemu Mas Zio di perumahan sebelah, ngapain?"
"Lah, mana saya tau, Mas!" jawab Calina dengan dada yang seketika bergemuruh. Bagaimana tidak, tetangga mulai mencium bau - bau anyir dalam rumah tangganya. "Ke rumah temannya kali.." lanjutnya datar.
"Saya pernah tanya, tapi katanya itu rumah adik sepupunya! emang bener?"
"Ooo... iya! di perumahan itu memang ada rumah sepupu ipar saya!" jawab Calina mengikuti alasan Zio menjawab pertanyaan tetangganya secara spontan.
Si tukang tambal ban kembali mengangguk. Entah dia percaya atau tidak.
Sedangkan Calina menarik nafas panjang. Menghelanya dengan sangat berat. Ia tak ingin kehidupan yang ruwet dan melelahkan seperti ini. Tapi apa mau dikata. Takdir sudah berkehendak untuk memberinya suami macam Zio.
Kembali ke rumah dengan mengendarai motor matic miliknya, Calina merasa tubuhnya sangat ringan. Ingin rasanya ia lepas dari jeratan luka yang tidak masuk akal ini.
Bersamaan dengan ia memasukkan motornya ke garasi, mobil Zio datang dan masuk ke halaman depan rumah.
Calina hanya menoleh sekilas. Rasa kecewa yang baru saja ia alami tak akan mungkin bisa hilang begitu saja.
Namun bagaimana pun, Calina tetaplah Calina Agasta yang berpegang teguh pada mandat sang Papa.
"Selamat sore, Mas!" sapa Calina memaksakan dua sudut bibirnya terangkat ke atas.
Tanpa menjawab, "Hah... sok manis!" Zio menyebikkan bibirnya sembari berlalu dari hadapan Calina.
"Mas, kenapa sih kamu tidak sekalipun berbaik hati padaku?" tanya Calina menatap punggung suaminya yang sudah berada di anak tangga pertama, hendak naik ke lantai atas, dimana kamarnya berada. "Kenapa kamu tidak memikirkan sedikitpun perasaan ku di hadapan sahabatku! miris, Mas! aku merasa sangat miris!" tegas Calina.
Zio menoleh dengan raut wajah yang meremehkan sosok Calina Agasta. Kembali membalikkan badan, kemudian dengan langkah sangat pelan, namun sinis Zio mendekati Calina. Berdiri tepat di belakang tubuh Calina.
"Kamu ingin aku baik seperti apa lagi?" tanya Zio dingin. "Seperti semalam? hem?" bisik Zio. "Lagi pula teman mu itu pasti tau kan apa yang terjadi dengan kita?"
Pertanyaan Zio terdengar sangat mengintimidasi Calina. Membuat wanita itu merinding dengan nafas menggebu.
"Aku tidak pernah menganggap mu ada Calina..." desis Zio. "Dan kau harus ingat, kalau bukan karena orang tua ku, aku pasti mengusir mu keluar dari rumah ini!" lanjutnya penuh penekanan. "Rumah ku tidak pantas untuk wanita manapun! apalagi dirimu yang kampungan!" desis Zio.
Nafas Calina berderu, tubuh serasa beku, namun dada begitu bergemuruh. Satu tahun sudah ia berjuang meraih cinta suaminya. Hari ini adalah tepat setahun lalu mereka melangsungkan pernikahan. Namun sampai detik ini, tak ada hasil sedikitpun.
"Jika kedua orang tua ku meninggal kelak, maka hari itu juga aku akan membuang mu! mengusir mu jauh dari hidupku!" bisik Zio tepat di telinga Calina. "Aku tidak peduli dengan perasaan ibumu saat mengetahui semuanya..."
Nafas Calina semakin menggebu. Bagaimana mungkin pria itu juga tak peduli dengan ibu mertuanya. Namun ia belum sanggup untuk berucap apapun. Goresan di hatinya sudah dalam, membuat lidahnya kilu untuk berucap.
Namun kedua tangan mengepal erat di sisi kanan dan kiri tubuhnya. Seolah siap meledak saat itu juga.
"Oh, ya! besok pagi kemasi barang - barang mu dan bawa ke kamarku. Seperti biasa, yang penting - penting saja. Besok siang Papa dan Mama akan datang!" ucap Zio tanpa rasa berdosa.
Hati Calina semakin remuk. Hal seperti ini sudah berulang kali terjadi. Besok adalah yang ke - 5 kalinya ia harus berpura - pura mesra dengan Zio. Serta tidur di kamar yang sama.
"Lalu malamnya akan ada pesta hari jadi perusahaan di kantor! seperti tahun lalu, kau harus tampil cantik dan anggun! jangan biarkan jerawat jelek mu itu terlihat teman - teman ku!" ucap Zio setengah ketus.
Dengan senyuman sinis, Zio berlalu meninggalkan Calina tanpa perasaan. Tubuh tegap dan gagahnya berjalan kembali ke arah tangga rumahnya.
Calina menatap benci tubuh suaminya itu. Amarah sudah sepenuh dada. Tinggal menunggu bom waktu saja untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan.
"Aku benci kamu, Zio Alfaro!" seru Calina dengan gigi yang mengerat dan dada yang kembang kempis menahan emosi.
Zio yang sudah berada di anak tangga ke - 5, menghentikan langkahnya. Tidak untuk menoleh istri keduanya, melainkan hanya untuk tersenyum smirk dengan mata menatap lurus ke depan.
' I don't care! '
Ucapnya dalam hati.
***
Sabtu pagi adalah hari yang di maksud Zio sebagai hari kedatangan orang tuanya. Sesuai perintah suaminya, pagi - pagi sekali Calina memindahkan beberapa barang pribadinya dari kamarnya di bawah, ke kamar atas, kamar milik Zio. Mau tak mau ia berlakon bahwa kehidupan rumah tangganya baik - baik saja.
Sementara kamar bawah di buat gelap tanpa di bersihkan, agar terkesan kamar itu tak pernah di huni.
' Hanya semalam, Calina... '
Ucap Calina dalam hati sembari menata beberapa alat make up nya di atas meja rias di kamar Zio. Menguatkan lahir dan batin yang selalu di siksa oleh Zio.
Sementara Zio, pria itu masih bergelung di bawah selimut. Menikmati udara pagi di hari liburnya.
Calina menatap nanar pria itu. Dari segi tampang, Zio memang sangat tampan. Saat tidur dengan rambut acak - acakan dan muka bantal pun tidak mengurangi kadarnya.
' Andai perilaku mu seindah tampang mu... Mas ... '
Calina tenggelam dalam nada cinta yang masih sedikit berdendang di dalam hatinya. Membuatnya ingin berlama - lama melihat wajah itu.
Namun ia segera mengalihkan pandangan, saat wajah tampan itu merubah posisinya. Hingga akhirnya ia beranjak dari kamar Zio.
Layaknya menantu pada umumnya, pastilah Calina pun juga sibuk untuk memasak. Menyiapkan menu makanan terbaik yang ia kuasai.
Tanpa peduli dengan alasan Zio yang enggan untuk makan nanti. Pastilah pria itu punya saja alasan lembut untuk menolak makan masakan ku.
Tek tek tek
Suara pagar di ketuk beberapa kali, Calina segera berlari ke arah pintu depan. Sudah bisa di duga siapa yang datang.
"Ma, Pa!" sapa Calina mencium tangan kedua mertuanya bergantian.
"Bagaimana kabarmu, Calina?" tanya Mama Reni.
"Baik,Ma! Mama dan Papa bagaimana?"
"Kami baik - baik saja!"
"Alhamdulillah, ayo kita masuk Ma, Pa!" ajak Calina sembari membuka pagar lebih lebar, supaya supir bisa memasukkan mobil ke halaman depan garasi.
Calina membawa kedua mertuanya untuk masuk ke dalam rumah. Karena rumah anak sendiri, tentu Papa Reihan dan Mama Reni tidak perlu lagi sungkan.
"Dimana Zio, Cal?" tanya Papa Reihan pada Calina yang sedang membuatkan minuman.
🪴 Happy reading 🪴
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
Samsia Chia Bahir
Kasian pa2mu disana calina, pasti dia udh melihat anak menderita gegara dia 😫😫😫😫😫
2023-08-31
2
epifania rendo
benar2 calina
2023-05-13
1
bellavolin
aku mh suka aja ama karya mu ini thor ,sampe part ini aku msh baca👍
2023-05-08
1