Malam hari setelah prosesi pemakaman berakhir, aku memutuskan untuk menginap di rumah Mama. Toh aku mendapat cuti 2 hari dari kantor kala itu.
Aku dan Mama saling berbagi kesedihan. Mata kami sembab akibat air mata yang masih sering meluncur saat mengingat momen - momen kebersamaan kami.
' Pa, kepergianmu membuat aku kehilangan seseorang yang membuat aku tetap semangat menjalani hidupku yang menyedihkan... '
"Kamu sudah izin suamimu kan, nduk?"
"Sudah, Ma..." jawab ku asal.
Toh aku pikir Mas Zio tidak akan pernah peduli aku di rumah atau tidak. Selama ini setiap aku menyambutnya pulang kerja pun dia akan cuek padaku.
Namun tak ku sangka, saat jam menunjukkan pukul tujuh malam, sebuah mobil yang sangat ku kenali, parkir di depan rumah.
"Mas Zio..?" panggilku tak percaya.
Mas Zio keluar dari mobil, dan menghampiri aku dan Mama yang duduk di teras rumah.
"Kenapa kamu tidak bilang kalau Papa Rudi meninggal?" tanya Mas Zio menghampiriku sembari mengulurkan tangan untuk kusalami dan kucium. "Papa Raihan dan Mama yang memberi tahuku. Jadi pulang kerja aku langsung ke sini!" Lanjut Mas Zio bersamaan dengan mengecup sekilas kening ku.
Aku benar - benar hampir pingsan di buatnya. Akting Mas Zio benar - benar bagus. Di depan Mama ia terlihat begitu perhatian dan baik padaku. Bicara pun seolah kami pasangan bahagia.
"Maaf Mas!" jawabku kala itu. Lidahku tercekat akibat kecupan tanpa rasa yang diberikan Mas Zio, hingga membuatku tak mampu mengeluarkan kalimat lainnya.
Meninggalkan hari itu, kembali pada masa kini, maka esok adalah satu tahun pernikahan kami. Selama itu pula aku tak pernah mendapatkan senyuman indah seorang Zio Alfaro secara tulus. Semua senyum yang pernah ia tujukan untukku adalah senyuman palsu. Senyuman drama indah yang ia lakonkan.
Setiap hari aku hanya bisa menghela nafas berat. Mencoba menguatkan diri dan yakin bahwa hati ku akan baik - baik saja.
Sepulang kerja, aku mengajak Mereen untuk pergi ke Mall. Aku ingin memberikan kado Anniversary pertama kami.
"Menurutku dia tidak akan menghargai pemberianmu.." ucap Mereen.
"Ayolah, Mer... do'akan aku bisa mendapatkan keadilan suamiku!" rengek ku lirih, saat kami berkeliling di lantai tiga mall.
"Iyaa...iya.." Mereen menghela nafas kesal.
Mereen, sahabat ku yang blak - blakan. Jika tidak suka, maka ia akan bilang tidak suka. Seperti pernikahan ku ini. Dari awal ia sudah tidak suka. Aku bersyukur, meski begitu sampai detik ini pun ia masih menjadi pundak terbaikku. Untuk berbagi keluh kesah. Ia tak pernah meninggalkan aku dalam kesedihan seorang diri.
Sayangnya sampai detik ini ia belum juga menikah.
Kami terus berjalan, sampai aku menemukan sebuah toko jam tangan bermerk. Aku berhenti tepat di depan toko, begitu juga Mereen yang reflek ikut berhenti.
Mengingat jumlah tabunganku, Ku rasa aku mampu untuk membeli jam tangan pria di sana.
Meskipun seolah tak membutuhkan aku, tapi sejak awal menikah Mas Zio selalu memberi ku uang belanja yang lebih dari cukup. Ia memberi ku uang belanja setara gaji ku di kantor setiap bulannya. Sehingga gaji ku selalu utuh dan bisa ku tabung.
"Sepertinya jam tangan cocok!" gumam ku.
Mereen menghela nafas panjang, "Calina..Calina.. kamu lupa seperti apa dia memperlakukan hadiah ulang tahun dari mu beberapa bulan lalu?"
Aku terdiam, mengingat kembali momen itu. Dimana ia menerima kado ku dengan tangan kiri. Melirik ki sekilas, seolah meremehkan pemberianku.
Tanpa mengucap apapun, Mas Zio justru berlalu dengan suara dering ponsel di saku celananya. Ia memang membawa kotak kado bertali pita warna emas ke kamarnya.
Namun dua hari kemudian saat aku membersihkan kamarnya, kotak itu teronggok begitu saja di meja nakas dekat sofa.
Tali pita itu tetap terlihat utuh dan rapi. Artinya kotak itu belum pernah di buka.
Sampai satu bulan kemudian kotak itu tetap utuh, di tempat yang sama. Tak bergeser sedikitpun.
' Apa mungkin Mas Zio tak melirik kotak ini sedikitpun? '
Gumam ku kala itu. Dan kotak hadiah ulang tahun itu, masih di tempat yang sama sampai kemarin lusa. Saat aku membersihkan kamarnya.
"Heh!" hentak Mereen menyenggol lenganku.
Ku hela nafas panjang sambil menatap wajah sahabatku hambar.
"Mungkin kali ini di terima!" ucapku percaya diri. Bukankah lebih baik percaya diri dari pada berkecil hati.
"Haa.." Mereen terdengar membuang nafas malas.
Kutarik Mereen untuk memasuki toko jam tangan itu. Meskipun Mereen terlihat sangat malas.
"Mbak, jam tangan pria!" ucapku pada penjaga gerai.
"Silahkan, sebelah sana." jawabnya ramah.
Aku berjalan ke sisi kiri gerai. Dimana jam tangan pria berjejer di sana. Banyak sekali pilihan model dengan harga bervariasi.
Setelah beberapa kali membandingkan, akhirnya aku menemukan satu yang menurutku sangat cocok untuk suamiku.
"Ini aja, mbak!" ucapku pada pegawai yang menjaga.
"Silahkan bayar di sana, Kak!"
"Ok!"
Aku menarik tangan Mereen yang sedari tadi mengikuti ku menuju meja kasir.
"Tiga juta empat ratus enam puluh ribu, Kak!" ucap Kasir perempuan itu.
Kuambil dari dompet ku uang sekian itu, dan menyerahkan pada kasir. Saat menunggu jam tangan itu di bungkus, iseng - iseng ku edarkan penglihatan ku ke seluruh tok sampai luar toko.
Sampai sepasang netraku menangkap gestur yang sangat ku kenali. Sepasang pria dan wanita yang tampak asyik memilih baju haram, di toko khusus pakaian dalam yang berhadapan dengan toko jam tangan.
Hatiku tersentak, tergores oleh pisau yang tak kasat mata, membuatnya tergores tapi tak berdarah. Membuatnya terluka tanpa aku tau cara mengobatinya.
Tubuh ku membeku, diam seribu bahasa. Harusnya aku juga merasakan berbelanja baju haram dengan suamiku. Untuk kemudian saling menggoda dan lanjut memadu kasih. Menyatakan cinta lewat hubungan yang lebih dari sekedar pernyataan semata.
Tapi yang di dapat istri seperti ku?
Tak pernah sekalipun merasakan sentuhan lembut dan tulus. Tak pernah sekalipun mendapatkan perhatian dari seorang suami.
Terkadang diri ini bermimpi untuk bisa menggantikan posisi Naura. Tapi melihat Mas Zio yang terus dengan sabar mengikuti langkah Naura, membuat mimpiku melebur tak bersisa.
Mungkin selamanya aku akan merasakan hal ini. Berpura - pura mandul. Dan ikhlas menerima cibiran siapa saja yang menganggap aku mandul karena setahun pernikahan tak kunjung hamil. Mataku berkaca - kaca. Sekuat hati ku tahan agar tidak meluncur bebas.
Senyum pria di toko sebrang yang kini merekah sempurna itu benar - benar ingin aku dapatkan. Walau hanya satu malam saja.
' Tuhan... tidakkah Kau menghendaki aku bisa hidup bahagia seperti Naura Azalea? Di cintai Mas Zio sedemikian dalam... '
' Hati ini remuk, Tuhan... meskipun mereka sah suami istri, tetap saja diri ini hancur... '
Batinku terluka.
"Sudahlah, Cal! jangan di lihat!" suara Mereen membuyarkan lamunanku.
Bersamaan dengan suara Mereen, air mata ku meluncur begitu saja. Satu tetes yang mengartikan betapa dalam lukaku. Ku hapus air mata tiada guna itu.
"Ini!" Mereen menyerahkan paper bag kecil berisi jam tangan pesananku.
"Thanks!" jawabku.
"Ayo!" Mereen mengajakku untuk pergi.
"Sakit, Mer!" lirihku sembari berjalan seperti orang linglung.
"Aku tau!" jawab Mereen merangkul ku. Membawaku keluar dari gerai.
"Calina!"
Suara seseorang memanggil ku samar - samar ku dengar. Aku tau suara siapa itu. Haruskan aku menoleh untuk kemudian merasakan perih di hatiku?
Tidak! sebagai wanita normal tentu aku tak sanggup!
...🪴 Happy reading 🪴...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
meE😊😊
haduh call bs ga sii aku culik aja km biar km jauh2 dr suami mu yg gada hati itu😒😒
2023-09-11
2
Samsia Chia Bahir
waaaahhhh, dpt lg niiihhh perempuan bodoh 😄😄😄😄😄😄
2023-08-31
1
epifania rendo
masih bisa bertahan sma suamimu
2023-05-12
1